G. Shalat Dhuha
Shalat dhuha dinamai
pula dengan shalat al-awwabin. Dari Abu
Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak ada yang
memelihara shalat dhuha kecuali al-awwab.
Dia berkata: dan inilah shalat al-awwabin.”
(HR. Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)
Al-Awwab artinya orang yang sangat suka
kembali kepada Allah Swt. dengan bertaubat kepada-Nya.
Shalat dhuha memiliki
keutamaan yang agung dan pahala yang besar. Salah satu keutamaannya adalah
barangsiapa yang melakukan dua belas rakaat shalat dhuha maka Allah akan
membangun untuknya satu istana di Surga. Keutamaan seperti ini sebanding dengan
melaksanakan dua belas rakaat shalat rawatib
dalam satu hari, dan sebelumnya telah kami paparkan dalam topik “shalat sunat mulhaqah (yang disertakan) pada shalat sunat rawatib muakkad”. Sehingga satu rakaat
shalat dhuha sebanding dengan satu rakaat shalat rawatib.
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
shalat dhuha dua belas rakaat maka Allah Swt. membangun untuknya satu istana di
Surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Termasuk keutamaan
shalat ini adalah bahwa dua rakaat dari shalat dhuha dipandang cukup dan
sebanding dengan pahala tiga ratus enam puluh shadaqah. Jadi, betapa mulianya
shalat dhuha ini dengan berlimpahnya keutamaan. Dari Buraidah ra. ia berkata:
aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Di dalam diri manusia
ada tiga ratus enam puluh sendi, dan dia harus bersedekah atas setiap sendi
dengan satu sedekah. Ia berkata: “Siapa yang mampu melakukan hal itu wahai
Rasululah?” Beliau berkata: “(Jika) ada dahak di masjid lalu engkau
menguburnya, atau duri yang engkau singkirkan dari jalanan, dan jika engkau
tidak mampu maka dua rakaat shalat dhuha telah cukup bagimu.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Dari Abu Dzar ra. dari
Nabi Saw. bahwa beliau Saw. bersabda:
“Setiap pagi, atas
seluruh sendi setiap orang dari kalian dikenai kewajiban sedekah, maka setiap
tasbih itu menjadi sedekah, setiap tahmid itu menjadi sedekah, setiap tahlil
itu menjadi sedekah, setiap takbir itu menjadi sedekah, amar ma'ruf itu menjadi sedekah, melarang dari mungkar itu
menjadi sedekah, dan yang bisa mencukupi semua itu adalah dua rakaat dhuha yang
dilakukannya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)
Termasuk keutamaan
shalat ini adalah bahwa Allah Swt. menjamin orang yang melakukannya di mana Dia
Swt. akan mencukupi dirinya dalam hari yang ia shalat dhuha di dalamnya, dan
jaminan ini mencakup penjagaan dari setan, pemenuhan rizki yang halal, penolakan
dari keburukan dan sesuatu yang tidak disukai, dan sebagainya. Nu’aim bin
Hammar al-Ghatfani telah meriwayatkan dari Rasulullah Saw., dari Tuhannya tabaraka wa ta'ala, Dia berfirman:
“ Wahai anak Adam,
shalatlah untuk-Ku empat rakaat di awal hari, niscaya Aku akan mencukupimu
hingga penghujung hari.” (HR. Ibnu Hibban, an-Nasai, Abu Dawud dan Ahmad)
Dan bagi orang yang
banyak kesalahannya, dan begitu besar dosanya, lalu dia hendak bertaubat dan
menginginkan ampunan atas dosa-dosanya itu -bagaimanapun besarnya-, maka
dengarlah hadits ini dan amalkanlah apa yang dituntutnya: dari Muadz bin Anas
al-Juhani ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
duduk di tempat shalatnya ketika selesai dari shalat subuh hingga dia
melaksanakan shalat nafilah dua rakaat
dhuha dan dia tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang baik, niscaya diampuni
segala kesalahannya walaupun lebih banyak dari buih lautan.” (HR. Abu Dawud dan
al-Baihaqi)
Jika kita mengetahui
bahwa shalat subuh itu dilakukan sebelum matahari terbit sekitar satu jam atau
satu setengah jam, dan bahwa shalat dhuha itu dilakukan ketika ketinggian
matahari dari arah Timur sebanding dengan ketinggian matahari di sebelah Barat
ketika shalat ashar, dan waktunya bisa diperkirakan sekitar dua jam setengah
hingga tiga jam, sehingga kita bisa mengetahui bahwa waktu yang dibutuhkan oleh
seorang yang ingin bertaubat dan mengharap ampunan Allah Swt. dari segala
dosanya ini diperkirakan sekitar empat jam yang harus dilewatkannya di mushalla tempat dia shalat subuh, dia
berdzikir dan berdoa kepada Allah Swt., membaca al-Qur'an, dan kemudian berdiri
di akhirnya melaksanakan dua rakaat dhuha, maka betapa lebar pintu terbuka bagi
mereka yang ingin bertaubat.
Waktu shalat dhuha
dimulai ketika matahari sudah tinggi dan berwarna putih. Lebih rincinya lagi
kami jelaskan sebagai berikut. Waktu shalat dhuha itu dimulai ketika ketinggian
matahari di sebelah Timur sebanding dengan ketinggiannya di sebelah Barat ketika
shalat ashar, sehingga shalat dhuha berbanding dengan shalat ashar, di mana
shalat ashar dilakukan di ujung hari sedangkan shalat dhuha di awal hari, dan
waktunya terus berlangsung hingga pertengahan hari. Dari Zaid bin Arqam ra. ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar menemui penduduk Quba dan mereka sedang melaksanakan shalat dhuha, maka
beliau berkata: “Shalat al-awwabin itu
dilaksanakan ketika unta yang belum disapih merasa kepanasan karena sinar
matahari yang sudah sepenggalan naik.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abi
Syaibah dan at-Thabrani)
Zaid bin Arqam ra.
melihat orang-orang sedang melaksanakan shalat di waktu matahari mulai naik,
maka ia berkata:
“Apakah mereka tidak
tahu bahwa shalat di selain waktu ini adalah lebih utama, sesungguhnya
Rasululah Saw. bersabda: ”Shalat al-awwabin
itu ketika unta yang belum dipisah merasa panas.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban dan
al-Baihaqi)
Ucapan: idza ramadhatil fishal dalam hadits pertama,
dan hiina tarmadhul fishal pada hadits
kedua, artinya ketika unta yang paling kecil merasa kepanasan, yakni saat hari
semakin tinggi dan pasir sudah panas sehingga unta yang kecil (belum disapih)
tidak dapat berjalan di atasnya.
Rasulullah Saw. telah
mengatakan hal itu kepada penduduk Quba ketika beliau Saw. melihat mereka
melaksanakan shalat dhuha di awal hari, maka beliau menjelaskan kepada mereka
bahwa waktu shalat dhuha itu dimulai ketika matahari meninggi dan pasir sudah
panas, bukan di awal hari. Makna ini telah diriwayatkan pula dari Ali ra., di
mana Abu Ramalah telah meriwayatkan dari Ali ra.:
“Bahwa dia melihat
mereka melaksanakan shalat dhuha ketika matahari terbit, maka Ali berkata:
Mengapa kalian tidak membiarkannya hingga matahari naik sekitar satu atau dua
tombak, lalu kalian melakukan shalat tersebut, dan itulah shalat al-awwabin.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
Dari Ali ra. ia
berkata:
“Rasulullah Saw. shalat dhuha ketika matahari di
sebelah Timur berbanding dengan matahari di sebelah Barat di waktu shalat ashar.”
(HR. Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Adapun jumlah rakaat dhuha, maka paling
sedikit dilaksanakan sebanyak dua rakaat, dan tidak ada batasan maksimal
jumlah rakaatnya, tetapi sebagian besar Rasulullah Saw. melakukannya antara
empat hingga delapan rakaat, dan dilaksanakan dua rakaat-dua rakaat. Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata:
“Kekasihku berwasiat
kepadaku dengan tiga perkara yang tidak boleh aku tinggalkan hingga aku mati:
(yaitu) puasa tiga hari di setiap bulannya, shalat dhuha, dan tidur dalam
keadaan sudah berwitir.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz “dan shalat dhuha dua rakaat.” Lafadz
dalam riwayat al-Baihaqi dan Muslim, “dan dua rakaat shalat dhuha.” Sedangkan
Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz: ”...dan aku tidak boleh
meninggalkan dua rakaat dhuha, karena shalat ini adalah shalat al-awwabin.” Abu Hurairah ra. menyatakan
dengan redaksi: “kekasihku berwasiat kepadaku (untuk menetapi) dua rakaat
dhuha”, dan sebelumnya ada hadits dari Muadz bin Anas al-Juhani dengan redaksi:
“dia melaksanakan shalat nafilah dua
rakaat dhuha.” Sedangkan hadits Abu Dzar disebutkan di dalamnya: “dua rakaat
dhuha yang dilakukannya”, dan hadits Buraidah menyebutkan: “maka dua rakaat
shalat dhuha telah cukup bagimu.” Semua ini menunjukkan bahwa shalat dhuha itu
dilaksanakan sebanyak dua rakaat.
Dari Muadzah, bahwa
dia bertanya kepada Aisyah:
“Berapa rakaatkah
Rasulullah Saw. melaksanakan shalat dhuha? Aisyah berkata: empat rakaat, dan
bisa menambahnya sesuai kehendak Allah.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah,
an-Nasai dan Tirmidzi)
Sebelumnya juga telah
kami sebutkan hadits Nu’aim bin Hammar, di dalamnya disebutkan:
“Wahai anak Adam,
shalatlah untuk-Ku empat rakaat di awal hari…”
Maka dua nash ini
menunjukkan bahwa shalat dhuha itu dilaksanakan sebanyak empat rakaat.
Dari Jabir bin
Abdullah ra. ia berkata:
“Aku mendatangi Nabi
Saw. untuk memberikan seekor unta milikku kepadanya, lalu aku melihatnya sedang
shalat dhuha enam rakaat.” (HR. at-Thabrani)
Maka nash ini
menunjukkan bahwa shalat dhuha itu bisa enam rakaat. Dan dari Hudzaifah ra. ia
berkata:
“Aku keluar bersama
Rasulullah Saw. ke benteng Bani Muawiyah, lalu beliau shalat dhuha delapan
rakaat dan memanjangkan setiap rakaatnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
memasuki kamarku, lalu beliau shalat dhuha delapan rakaat.” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Ummu Hani ra. ia
berkata:
“Sesungguhnya Nabi
Saw. memasuki kamarku pada hari penaklukan Makkah, lalu beliau Saw. mandi dan
shalat delapan rakaat, dan aku belum pernah melihat beliau shalat yang lebih
ringan dari itu sama sekali, walaupun begitu beliau menyempurnakan ruku, dan
sujudnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan ad-Darimi)
Ibnu Hibban dan Ibnu
Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Lalu beliau Saw.
shalat dhuha delapan rakaat.”
Dalam riwayat Muslim
dan Malik disebutkan dengan lafadz:
“Ummu Hani berkata:
dan itulah shalat dhuha.”
Semua nash ini
menunjukkan bahwa shalat dhuha itu dilaksanakan sebanyak delapan rakaat.
Dan sebelumnya telah
kami sebutkan pula hadits Anas bin Malik, di dalamnya terdapat kalimat:
“Barangsiapa yang
shalat dhuha dua belas rakaat, maka Allah Swt. membangun untuknya satu istana
di Surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Nash ini menunjukkan
bahwa shalat dhuha itu dilaksanakan sebanyak dua belas rakaat.
Dengan demikian,
shalat dhuha itu paling sedikit dilaksanakan dua rakaat, dan tidak ada batasan
untuk jumlah maksimal rakaatnya, sehingga seseorang bisa melaksanakannya
sekehendaknya, dan petiklah pahala dan balasan yang disediakan Allah Swt. dalam
shalat ini.
Shalat ini bisa dilaksanakan
secara munfarid
(sendirian) dan bisa pula secara berjamaah. ‘Itban bin Malik ra. telah
meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melaksanakan shalat dhuha di rumahnya, lalu orang-orang berdiri di belakangnya
dan mengikuti shalatnya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah)
Tetapi ada sejumlah
hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah melakukan shalat
dhuha sama sekali, dan hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa beliau Saw.
tidak pernah shalat dhuha kecuali jika beliau pulang dari suatu perjalanan.
Saya sebutkan di antaranya:
1) Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Aku tidak pernah
melihat Rasulullah Saw. melakukan shalat sunat dhuha sama sekali...” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari
yang lain, bahwa Aisyah ra. berkata:
”...Dan Rasulullah
Saw. tidak shalat sunat dhuha sekalipun, dan (jika ya) niscaya aku
mengerjakannya secara dawam.”
2) Dari Muwarriq bahwa
dia berkata:
“Aku berkata kepada
Ibnu Umar ra.: Apakah engkau shalat dhuha? Ia berkata: Tidak. Aku bertanya:
Kalau Umar? Dia berkata: Tidak. Aku bertanya: Kalau Abu Bakar? Ia berkata:
Tidak. Aku bertanya: “Kalau Nabi Saw.?” Ia berkata: ”Tidak.” Aku tidak
menyangkanya.” (HR. Bukhari)
3) Dari Abdullah bin
Syaqiq bahwa dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah: Apakah Rasululah Saw. melaksanakan shalat dhuha? Dia menjawab: Tidak,
kecuali jika beliau Saw. pulang dari safarnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka saya katakan:
a) Hadits Aisyah yang ketiga ini menyalahi
haditsnya yang pertama, di mana hadits yang ketiga menetapkan shalat dhuha
tetapi dibatasi dengan kepulangan beliau dari perjalanan, sedangkan hadits yang
pertama menafikan sama sekali shalat ini dengan bentuk umum dan mutlak.
b) Sesungguhnya Aisyah yang meriwayatkan hadits
yang pertama, juga telah meriwayatkan satu hadits lain yang bertentangan dengan
hadits tersebut. Dari Yazid ar-Risyki:
“Telah bercerita
kepadaku Mu’adzah bahwa dia bertanya kepada Aisyah: Berapa rakaatkah Rasulullah
Saw. melaksanakan shalat dhuha? Dia menjawab: Empat rakaat dan menambahnya
sekehendaknya.” (HR. Muslim)
Muslim meriwayatkan
hadits lain yang serupa tetapi dari jalur Abu Said, ia berkata:
“Telah berbicara
kepada kami Qatadah bahwa Mu’adzah al-Adawiyah bercerita kepada mereka dari
Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah Saw. shalat dhuha empat rakaat, dan
menambahkannya menurut kehendak Allah.”
Dengan demikian
riwayat yang dinukil dari Aisyah ini saling bertentangan satu sama lain.
c) Adapun hadits Ibnu Umar yang kedua, yang
menjadi sumber munculnya pendapat bahwa Rasulullah Saw. tidak melakukan shalat
dhuha, maka kalimat: “aku tidak menyangkanya” bisa dibantah dari beberapa
aspek.
1. Sesungguhnya kalimat “aku tidak
menyangkanya” dibangun di atas keraguan, dugaan dan ketidakpastian. Jadi,
khabar ini adalah khabar muhtamal,
sehingga dengan adanya ihtimal
(probabilitas) maka gugurlah istidlal
(penarikan kesimpulan).
2. Bukhari menyebutkan hadits ini di bawah
judul “bab shalat dhuha di perjalanan”, ini berarti bahwa Bukhari telah
memahami hadits ini, atau katakanlah telah mengetahui bahwa Ibnu Umar -ketika
menafikan shalat dhuha- sesungguhnya dia menafikan shalat tersebut dalam
kondisi safar (perjalanan) dan bukan dalam bentuk yang mutlak. Bukhari pasti
memiliki sandaran dan argumentasi sehingga meletakkan hadits ini dalam bab
safar, dan beliau telah diakui sebagai orang yang sangat teliti dalam
periwayatan hadits-hadits.
3. Dari Ibnu Umar sendiri telah diriwayatkan
hadits lain yang bertentangan dengan hadits ini, jika dia dipandang sebagai
seorang yang menafikan kemutlakan shalat dhuha -baik dalam kondisi safar
ataupun hadhar-. Dari Nafi:
“Bahwa Ibnu Umar ra.
tidak shalat dhuha kecuali dalam dua hari, (yaitu) hari ketika dia tiba di
Makkah karena dia tiba di sana pada waktu dhuha, …dan ketika dia mendatangi
masjid Quba…” (Riwayat Bukhari)
Sehingga
riwayat-riwayat yang dinukil dari Ibnu Umar juga saling bertentangan satu sama
lain.
Dengan demikian,
pendapat yang lebih rajih menurut kami
adalah pendapat yang menyatakan disyariatkannya shalat dhuha berdasarkan
berbagai riwayat yang shahih yang menetapkannya. Karena itu, adalah benar dan
terbukti bahwa shalat dhuha itu disyariatkan dan disunatkan, tetapi shalat ini
tidak termasuk shalat rawatib yang
senantiasa dijaga oleh Rasulullah Saw. Dari Abu Said al-Khudri ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. melaksanakan shalat dhuha hingga kami mengatakan beliau tidak
meninggalkannya, dan meninggalkannya hingga kami mengatakan beliau tidak pernah
melakukannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar