5. Pemboikotan terhadap
Rasulullah Saw. dan para kaum pembelanya
Ketika kaum Quraisy
melihat bahwa para sahabat Rasulullah Saw. mendapat proteksi keamanan dan
ketentraman di Habasyi, dan mereka gagal dalam upaya mengembalikan kaum
muslimin kembali ke Makkah, serta mereka tidak mampu berbuat banyak untuk
menyakiti Rasulullah Saw. sebab beliau mendapat proteksi keluarganya dari Bani
Hasyim dan Bani Muththalib. Untuk itu, para pembesar Quraisy bersepakat
melakukan pemboikotan terhadap Rasulullah Saw. dan para pembelanya di antara
Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Kaum Quraisy dilarang melakukan transaksi
jual-beli dengan mereka, tidak boleh menikahkan atau dinikahkan dengan salah
seorang di antara mereka.
Mereka menulis teks
pemboikotan itu di atas lembaran yang digantung di tengah dinding Ka’bah, agar
menjadi bukti kuat bahwa kaum Quraisy wajib terikat dengan pemboikotan ini.
Yang menulis teks pemboikotan di atas lembaran adalah Manshur bin Ikrimah, lalu
Rasulullah Saw. mendo'akan keburukan untuk Manshur agar jari-jarinya rusak.
Kaum Quraisy menjalankan pemboikotan sesuai yang tersurat dalam teks
pemboikotan. Abu Lahab paman Rasulullah Saw. bergabung dalam konspirasi
pemboikotan ini. Pemboikotan berlangsung selama tiga tahun.
Selama berlangsungnya
pemboikotan ini Rasulullah Saw. dan kaumnya benar-benar menderita, sebab mereka
tidak mendapatkan kebutuhan hidup primer mereka, kecuali yang dikirim oleh
sebagian sahabat dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, manusia selamanya pasti
ada memiliki sikap simpatik kepada kaum yang tertindas, meski mereka berada di
pihak kaum yang zhalim. Untuk itu, ia melihat kekuatannya ada di suatu lembah
sedang hatinya berada di lembah yang lain.
Kesempitan hidup yang
dialami oleh Bani Hasyim dan Bani Muththalib akibat pemboikotan yang tidak
manusiawi, yang dibuat atas instruksi mereka kaum Quraisy yang berkonspirasi,
serta penderitaan yang menimpa Rasulullah Saw. beserta kaumnya selama tiga tahun
telah menggerakkan hati yang akhirnya mereka simpatik terhadap kaum yang
tertindas ini, meski mereka tidak beriman dengan ajaran yang diserukan oleh
Rasulullah Saw.
Hisyam bin Amr
misalnya, dia datang dengan membawa keledai yang dimuati makanan dan kebutuhan
lain selama dijalankannya pemboikotan terhadap mereka, lalu dia memberikan
semua yang dibawanya. Akan tetapi, apa yang dilakukannya hanyalah perlindungan
individu yang tidak banyak berguna di hadapan kekejaman mereka kaum durjana.
Perbuatan seperti itu tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah, kecuali
sebatas meringankan saja. Sedang yang mampu menyelesaikan masalah tidak lain
kecuali dengan mengakhiri keputusan pemboikotan yang tidak manusiawi ini.
Untuk itu, Hisyam bin
'Amr berjalan di kegelapan malam menemui Zuhair bin Abi Umayyah bin
al-Mughirah, sedang ibunya Zuhair adalah Atikah putri Abdul Muththalib. Hisyam
berkata, “Wahai Zubair, apakah engkau suka makan makanan, memakai pakaian dan
menikahi wanita. Engkau tahu betul keberadaan para bibimu, di mana orang-orang
Quraisy dilarang melakukan transaksi jual-beli dengan mereka, tidak boleh
menikahkan atau dinikahkan dengan mereka. Seandainya ajakan seperti yang
menimpa bibimu diserukan kepada para bibi Abi al-Hakam bin Hisyam, maka aku
akan bersumpah demi Allah untuk tidak akan mematuhi selamanya.”
Mendengar itu Zuhair
berkata, “Celaka engkau, wahai Hisyam, apa yang dapat saya perbuat jika saya
seorang diri? Demi Allah, seandainya ada orang lain selain saya, niscaya saya
akan benar-benar merusaknya hingga pemboikotan berakhir.”
Hisyam berkata, “Sudah
ada orang lain selain engkau.” “Siapa dia?” tanya Zuhair. “Saya,” jawab Hisyam.
Zuhair berkata kepada Hisyam, “Kami masih ingin orang ketiga.”
Kemudian Hisyam pergi
menemui al-Muth’im bin ‘Adi. Kepadanya Hisyam berkata, “Wahai Muth'im,
senangkah engkau jika orang-orang dekat kami di antara Bani Abdi Manaf binasa,
sedang engkau menyaksikan sendiri, bagaimana sikap orang-orang Quraisy terhadap
mereka? Demi Allah, jika hal itu menimpa kelompokmu, maka dapat dipastikan
engkau dengan segera menolongnya.”
Muth'im berkata,
“Celaka engkau, apa yang dapat aku perbuat, sedang aku seorang diri?” Hisyam
berkata, “Sudah ada orang lain selain engkau.” “Siapa dia?” tanya Muth’im.
“Aku,” jawab Hisyam. Muth’im berkata, “Kami perlu orang ketiga.” “Sudah ada,”
jawab Hisyam. “Siapa dia?” tanya Muth’im. “Zubair bin Abi Umayyah,” jawab
Hisyam. Muth’im berkata lagi, “Kami masih butuh orang keempat.”
Lalu Hisyam pergi
menemui Abu al-Bakhtariy bin Hisyam. Kepadanya Hisyam berkata seperti yang
dikatakan kepada Muth’im bin ‘Adi. Abu al-Bakhtariy berkata, “Adakah seseorang
yang akan membantuku mengerjakan hal ini?” “Ya, ada,” jawab Hisyam. Abu
al-Bakhtariy bertanya, “Siapa dia?” Hisyam berkata, “Zubair bin Abi Umayyah,
Muth’im bin Adi dan aku sendiri.” Abu al-Bakhtariy berkata, “Kami masih perlu
orang kelima.”
Lalu Hisyam pun pergi
menemui Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muthallib. Hisyam berkata kepadanya tentang
kondisi kerabatnya dan hak-haknya yang diperkosa. Mendengar hal itu Zam’ah
berkata, “Adakah seseorang yang akan membantuku dalam menjalan tugas yang kamu
serukan ini?” “Ada,” jawab Hisyam. Lalu Hisyam menyebutkan nama-nama orang yang
telah ditemuinya.
Akhirnya, mereka semua
berjanji untuk bertemu pada malam hari di suatu tempat di gunung yang berada di
dataran tinggi Makkah. Setelah semuanya berkumpul di sana, mereka membuat
konsensus untuk bersama-sama melakukan tindakan yang dapat mengakhiri pemboikotan
sebagaimana yang tercantum dalam lembaran yang digantung di dinding Kalbah.
Zuhair berkata, “Aku yang akan memulai terlebih dahulu, sehingga akulah orang
pertama yang akan berbicara.”
Ketika pagi tiba, maka
mereka segera pergi ke tempat di mana mereka biasa berkumpul. Zuhair bin Abi
Umayyah pergi pagi-pagi sekali. Setelah melakukan thawaf sebanyak tujuh kali,
lalu dia berdiri dan berbicara di hadapan banyak orang, “Wahai penduduk Makkah,
kami dapat menikmati makanan dan memakai pakaian, sedang Bani Hasyim menghadapi
penderitaan, sebab dilarang melakukan transaksi jual-beli dengan mereka. Demi
Allah, saya tidak akan berdiam diri, sampai aku bisa merobek lembaran yang
berisi perintah pemboikotan yang tidak manusiawi ini.”
Abu Jahal -yang berada
di pojok masjid-berkata, “Kamu pembohong, demi Allah, kamu jangan coba-coba
merobeknya.”
Zam’ah bin al-Aswad
berkata, “Wahai Abu Jahal, engkaulah sebenarnya orang yang paling pembohong.
Kami tidak senang dengan tulisan lembaran itu, sebagaimana yang engkau tulis.”
Abu al-Bakhtariy
berkata, “Zam’ah benar, kami tidak senang dengan apa yang tertulis dalam
lembaran itu, dan kami tidak mengakuinya.”
Al-Muth’im bin ‘Adi
berkata, “Keduanya benar, dan bohonglah orang yang mengatakan selain itu. Kami
berlepas diri di hadapan Allah dari kezhaliman akibat tulisan yang ada dalam
lembaran itu.”
Hisyam bin ‘Amru juga
berkata seperti itu. Melihat kenyataan ini, Abu Jahal berkata, “Pasti hal ini
telah diputuskan semalam, dan mereka telah merencanakannya tidak di tempat
ini.” Sambil duduk di pojok masjid, Abu Thalib menyaksikan hal itu.
Kemudian, Muth’im
mendekati lembaran untuk merobeknya, namun dia mendapati lembaran itu telah
dimakan rayap, kecuali kalimat “Bismika
Allahumma.”
Akibat-Akibat Pemboikotan
Kejadian di atas itu
benar-benar mengagumkan. Bagaimana tidak, permusuhan berubah menjadi simpatik
oleh pihak yang sama… namun tidak perlu heran... karena itu kehendak Tuhan Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
“Mereka membuat tipudaya dan Allah menggagalkan
tipudaya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipudaya.” (TQS. al-Anfal
[8]: 30)
Benar, pemboikotan
yang diinstruksikan kaum Quraisy melalui lembaran yang tidak manusiawi telah
mendatangkan penderitaan yang sangat besar bagi Rasulullah Saw. dan kaumnya.
Namun, bagi dakwah justru mendatangkan kebaikan yang sangat besar. Sungguh
Allah telah memperkuat posisi agama Islam ini melalui orang kafir tanpa
disadarinya. Dengan adanya pemboikotan ini telah tercegah masuknya orang-orang
yang memiliki tujuan kotor ke dalam agama ini. Sebab, tidak mungkin masuk agama
ini orang yang sangat rakus dengan gemerlapnya dunia. Sehingga tidak akan
menerima agama ini, kecuali orang yang hatinya telah terbakar oleh panasnya iman.
Seseorang tidak akan mampu bersabar jika hidupnya terisolasi, meski dengan
terisolasi ini dia mendapatkan keamanan dan keselamatan.
Setiap dakwah yang
memberi peluang kepada orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan terselubung di
tengah-tengah barisannya, maka kerusakan akibat ulah mereka tidak akan dapat
terhindarkan. Sebab, tidak lama kemudian, mereka akan berpaling dari tujuan
dakwah, mereka akan berjalan di belakang kepentingan mereka, dan merealisasikan
tujuan-tujuannya yang sangat membahayakan terhadap target-target dakwah
di dunia.
Siksaan dan
penderitaan yang dihadapi oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang beriman
dengan Rasulullah Saw. menjadi jaminan yang valid atas bersihnya hati mereka
yang bergabung ke dalam Islam.
Sesungguhnya, di
antara kaum musyrikin -padahal mereka adalah musuh-musuh terdekat bagi Muhammad
Saw. dan agamanya- ketika melihat kesempitan dan kesulitan yang menyelimuti
Rasulullah Saw. dan para pengikutnya di tengah-tengah bukit, maka mereka
berubah menjadi objektif dan positif
dalam menilai Rasulullah Saw. dan para pengikutnya. Sehingga, akhirnya mereka
menjadi pembelanya. Inilah yang mendorong mereka untuk merobek lembaran yang
melahirkan kezhaliman.
Dengan demikian,
terjadi penggembosan dalam barisan kaum musyrikin, dan mereka tidak lagi
kompak. Dari sini mulai tampak adanya orang yang mengangkat suaranya guna
menentang tindakan mempersulit Muhammad Saw., para sahabatnya dan kaumnya.
Hal ini yang mendorong
lahirnya polemik
dan diskusi yang terus berkembang... dan berkembang, hingga sampai pada masalah
akidah. Dan setiap perdebatan seputar akidah, maka dapat dipastikan bahwa
akidah Islam yang akan keluar sebagai pemenangnya. Inilah hasil-hasil yang
dilahirkan dari pemboikotan. Untuk itu, renungkanlah!
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar