2. Muhammad Menerima
Kepemimpinan (Kenabian Dakwah Islam)
Setelah persiapan
terhadap Muhammad Saw. untuk diserahi kepemimpinan itu sempurna, maka
diserahkanlah kepemimpinan kepadanya. Sedang yang menyiapkannya dan yang akan
menyerahkan kepemimpinan kepadanya adalah Rabbul
‘Izzah Jalla Jalaluhu, yaitu Allah Swt. Sebab, Dialah Dzat Yang Maha
Tahu akan manusia dan kapabilitas yang dimilikinya.
“Allah lebih
mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” (TQS. al-An'aam [6]: 124)
Muhammad menerima
kepemimpinan tidak di tengah-tengah kerumunan manusia, tetapi beliau sendirian
berada di puncak gunung. Sebab, kepemimpinan (kenabian dakwah Islam) ini tidak
membutuhkan kesepakatan manusia, dan yang diinginkan hanyalah ridha dari Allah
Swt.; yang diperlukan hanyalah pengabdian kepada Allah Swt.; yang dibutuhkan
hanyalah keikhlasan semata.
Berikut ini riwayat
secara global tentang bagaimana Muhammad Saw. menerima kepemimpinan.
Ketika Rasulullah Saw.
dalam keadaan antara tidur dan bangun di gua Hira’, tiba-tiba datang seseorang
kepadanya dengan membawa kitab yang dilipat dengan sepotong kain sutra. Lalu
dia membukanya dan berkata kepada Muhammad, “Bacalah.” “Aku tidak bisa membaca,” timpal Rasulullah Saw. Kemudian dia
menarik Rasulullah Saw. dengan keras, lalu melepaskannya dan berkata lagi,
“Bacalah.” Rasulullah Saw. tetap berkata, “Aku
tidak bisa membaca.” Sekali lagi dia menarik Rasulullah Saw. dengan
keras, lalu melepaskannya dan berkata, “Bacalah.” Baru Rasulullah Saw. berkata,
“Apa yang akan aku baca?” Dia berkata:
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (TQS. al-‘Alaq [96]: 1-5)
Setelah Rasulullah
Saw. membacanya dan orang tersebut pergi meninggalkannya, maka Rasulullah Saw.
bangkit berdiri disertai perasaan seolah-olah hatinya runtuh. Rasulullah Saw.
keluar dari gua, lalu beliau mendengar suara dari langit, “Hai Muhammad, kamu utusan
Allah, sedang aku Jibril. Beliau melihat ke langit, ternyata Jibril dalam wujud
seorang laki-laki... Selanjutnya, Rasulullah Saw. pulang menemui keluarganya.
Khadijah, istri beliau melihat adanya perubahan pada wajah Rasulullah Saw.
Khadijah bertanya apa yang terjadi dengan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw.
menceritakan apa yang dialaminya.
Khadijah berkata,
“Gembiralah dan tegarlah, wahai putra paman, demi Dzat yang menguasai diri
Khadijah, sungguh aku benar-benar berharap bahwa engkaulah Nabi yang
ditunggu-tunggu umat ini.” Khadijah berkata yang demikian itu berdasarkan kabar
gembira yang disampaikan oleh sepupunya, Waraqah, cerita-cerita yang diterima
dari pembantunya, Maisarah yang melihat kejadian-kejadian aneh dalam
perjalanannya dengan Rasulullah Saw., yaitu ketika memperdagangkan
barang-barang dagangan Khadijah ke negeri Syam.
Setelah berpakaian,
Khadijah pergi menemui Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah sepupunya. Waraqah
penganut agama Nasrani. Dia banyak membaca kitab dan mendengar dari para ahli
Taurat dan Injil. Khadijah memberitahukan apa yang dialami Rasulullah Saw. bahwa
Rasulullah Saw. melihat dan mendengar... Waraqah berkata: “Quddus, Quddus! Demi
Dzat yang menguasai jiwa Waraqah, jika apa yang kamu katakan kepadaku ini
benar, wahai Khadijah, maka sungguh telah datang padanya an-Namus al-Akbar
(Jibril) yang (dulu juga) datang pada Musa. Sungguh, dia adalah Nabi bagi umat
ini. Untuk itu, katakan kepadanya agar dia senantiasa tegar.”
Khadijah pulang
menemui Rasulullah Saw. Sesampainya di rumah, Khadijah menyampaikan apa yang
dikatakan Waraqah. Rasulullah Saw. kembali lagi ke gua untuk menyempurnakan
masa pengasingannya, setelah masa pengasingannya berakhir, Rasulullah Saw.
-sebagaimana biasanya- pergi ke Ka’bah. Di Ka’bah beliau bertemu dengan Waraqah
bin Naufal yang sedang thawaf. Waraqah berkata: “Wahai anak saudaraku, beritahu
aku tentang apa yang kamu lihat dan kamu dengar.” Rasulullah Saw. pun
memberitahukannya.
Setelah mendengarnya
semua, maka Waraqah berkata kepada Rasulullah Saw.: “Demi Dzat yang menguasai
jiwaku, sungguh kamu benar-benar Nabi bagi umat ini. Telah datang kepadamu
an-Namus al-Akbar (Jibril) yang (dulu juga) datang pada Musa. (Setelab ini),
kamu akan benar-benar didustakan, disakiti, diusir dan diperangi. Dan
seandainya aku mendapatkan hari itu, niscaya aku akan sungguh-sungguh menolong
(agama) Allah dengan mengajari mereka.” Lalu Waraqah mencium ubun-ubun
Rasulullah Saw., kemudian Rasulullah Saw. pulang ke rumahnya.
Sunnatullah bagi para Nabi dan para pengemban dakwah
adalah bahwa mereka akan selalu dihadapkan dengan berbagai penyiksaan, sehingga
seorang pembohong dan pendusta tidak akan memasuki medan dakwah, sebab bendera
dakwah tidak akan diemban, kecuali oleh orang yang ikhlas. Seandainya dakwah
itu dibiarkan diemban oleh sembarang orang, niscaya banyak orang yang mengaku
menjadi Nabi, dan risalah kenabian diemban oleh mereka yang sebenarnya tidak
beriman. Namun, semua orang tahu bahwa jalan dakwah
dipenuhi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan dan menyakitkan. Sehingga tidak
mungkin memasukinya, kecuali orang yang ikhlas, jujur dan terpercaya.
Jeda Wahyu
Setelah menerima wahyu
pertama, Rasulullah Saw. tidak lagi menerima wahyu, sehingga hal itu membuat
berat dan sedih beliau. Ketika beliau sedang berjalan-jalan, beliau memandang
ke langit, tiba-tiba beliau melihat Jibril dalam rupa aslinya berada di atas
kursi di antara langit dan bumi. Melihat itu, Rasulullah Saw. sangat takut,
lalu beliau dengan tergesa-gesa pulang menemui istrinya sambil berkata,
“Sembunyikan aku,
selimuti aku.” Tidak lama beliau berselimut, turunlah wahyu dari Allah Swt.,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah...”
(TQS. al-Mudatstsir [74]: 1-4)
Selanjutnya Allah Swt.
menurunkan wahyu:
“Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (TQS. asy-Syu’araa’
[26]: 214)
Ayat-ayat ini
merupakan perintah bagi Rasulullah Saw. agar mengumpulkan kekuatan dan
menyiapkan dukungan
publik dalam rangka mendirikan Negara Islam, untuk menjalankan seluruh ajaran
Islam.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar