BAB
KETIGA
MENCARI
DAERAH UNTUK MENDIRIKAN NEGARA YANG AKAN MENJAGA AKIDAH DAN MENEGAKKAN SYARI'AH
A. Pergi Ke Thaif
Sungguh dunia ini
terasa sempit bagi Rasulullah Saw. setelah pamannya, Abu Thalib, dan istrinya,
Khadijah ra., meninggal. Sebab, masing-masing dari keduanya memiliki
keistimewaan bagi Rasulullah Saw. Abu Thalib keistimewaannya adalah selalu
membela dan menjaga Rasulullah Saw. dari serangan dan penyiksaan fisik. Sedang
Khadijah keistimewaannya adalah selalu menghibur Rasulullah Saw. dan membantu
melepaskan kesulitannya dengan memberinya kata pencerahan dan optimisme yang
membuat hati beliau merasa tentram, serta selalu menanamkannya spirit kebulatan tekad yang membuat Rasulullah
Saw. sangat bersemangat dalam mewujudkan keinginannya.
Para sahabat beliau
sebagian telah pergi meninggalkan keluarganya dan tanah kelahirannya ke negara
Habasyi, dan sebagian yang lain yang masih di Makkah selalu mendapatkan
penyiksaan -yang tujuannya agar orang lain tidak berani berbuat seperti mereka-
dari tangan-tangan kesewenang-wenangan
kaum kafir Quraisy. Bahkan beliau Saw. pun tidak luput dari mendapatkan
perkataan ejekan dan perbuatan-perbuatan yang menyakitkan.
Mereka disiksa bukan
karena melakukan kesalahan apapun, melainkan karena mereka menyembah Tuhan Yang
Maha Esa dan mengingkari sesembahan-sesembahan palsu selain Allah. Kaum kafir
Quraisy sebagai pihak yang menggenggam kekuasaan sistem
kufur, sedang Rasulullah Saw. sebagai pihak yang memegang erat keimanan.
Rasulullah Saw.
berpikir kalau saja beliau mampu mendapatkan daerah yang aman yang memungkinkan
mengumpulkan para sahabatnya dan mendirikan kekuasaan di daerah itu, niscaya
beliau mampu menemukan tempat (iklim) yang cocok untuk akidah di bawah naungan
kekuasaan, sebab dengan berada di bawah naungan kekuasaan ini akidah akan mampu
tumbuh dan berkembang.
Rasulullah Saw. mulai
mengamati dan menganalisa tempat-tempat dan daerah-daerah yang memungkinkan di
sana ditegakkannya kekuasaan, maka beliau mendapatkan bahwa Thaif merupakan
tempat atau daerah terbaik untuk hal itu. Keputusan beliau itu karena beberapa
faktor di antaranya:
1.
Faktor Kemanusiaan
Di Thaif ada Bani
Tsaqif yang di sana ada banyak hidup saudara ibu Rasulullah Saw. Mereka adalah
keluarga dekat yang tentu akan memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap
Rasulullah Saw. Di samping itu, di sana ada hubungan kekeluargaan melalui pernikahan
(besanan) antara salah seorang pemimpin Thaif dan Quraisy -sebagaimana
kebiasaan Bangsa Arab yang sangat menjaga hubungan semacam ini.
Dengan demikian,
Rasulullah Saw. mengira bahwa jika beliau pergi ke Thaif dan menyeru
penduduknya agar beriman kepadanya, meminta bantuannya dalam membangun pondasi
Islam, dan mengajaknya bersama-sama dalam menghadapi orang-orang yang
menentangnya, maka penduduknya sekali-kali tidak akan ragu-ragu lagi untuk
menerima apa yang dibawanya kepada mereka, sebab apa yang dibawanya itu adalah
suatu kebenaran, sedang manusia harus menjadikan kebenaran sebagai penunjuk
jalannya, begitu juga menolongnya merupakan bagian dari tuntutan-tuntutan yang
harus dipenuhi oleh manusia.
2.
Faktor Ekonomi
Mengingat Thaif
merupakan daerah pertanian (agrikultural) dan banyak menyimpan sumber daya
alam. Sehingga, kalau Allah menakdirkan Thaif sebagai daerah yang baik bagi
dakwah Islam dan orang-orang yang menerimanya juga tinggal di sana, maka
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya pasti mendapatkan kemudahan hidup yang
sangat membantu mereka dalam menyebarkan dakwah, mendirikan negara yang tentu
memerlukan banyak harta untuk mempersenjatahi angkatan perangnya, dan dalam
membangun perlengkapan-perlengkapan lainnya.
3.
Faktor Strategis
Thaif merupakan daerah
yang berada di puncak gunung. Sedang gunung menjamin adanya perlindungan bagi
siapa saja yang tinggal di sana, sebab di gunung terdapat banyak tebing yang
curam. Oleh karena itu, kami melihat para pemberontak semuanya bersembunyi di
gunung, sebab dengan bersembunyi di gunung mereka mampu melindungi
keberadaannya dan kekuatannya. Jalan ke Thaif adalah jalan pegunungan juga,
yaitu jalan yang berliku-liku dan dikelilingi tebing-tebing yang curam,
sehingga menjamin adanya perlindungan bagi yang melewatinya, sebab dia dengan
mudah bersembunyi di antara tebing-tebing itu.
Dengan demikian,
keberadaan daerah yang seperti ini sangat berguna bagi para sahabat Rasulullah
Saw. ketika mereka ingin bergabung dari Makkah ke Thaif. Di samping itu, Thaif
merupakan daerah yang berbenteng, sehingga hal itu sangat membantu Rasulullah Saw.
ketika beliau dikepung dengan manjanik (alat pelontar batu) yang akan
menghancurkan bentengnya.
Dengan demikian, kalau
Negara Islam mampu ditegakkan di Thaif, maka sulit bagi para musuh untuk
mencapainya. Meski di Madinah juga terdapat benteng, namun berbeda dengan
benteng di Thaif dilihat dari sisi strategi defensifnya, sehingga dengan
kelebihannya itu sulit menundukkan dan menaklukkan Thaif.
Demikian inilah
faktor-faktor yang menjadikan Rasulullah Saw. sangat memperhatikan Thaif.
Rasulullah Saw. pergi
ke Thaif sendiri guna berbicara dengan pemimpin Bani Tsaqif. Setelah beliau
sampai di Thaif, beliau memutuskan untuk menemui tiga bersaudara, yang ketika
itu ketiganya merupakan pemimpin Bani Tsaqif dan sekaligus tokoh yang dimuliakan.
Mereka itu adalah Abdu Yalil bin Amr bin Umair, Mas’ud bin Amr bin Umair dan
Hubaib bin Amr bin Umair. Salah seorang dari mereka menikah dengan perempuan
Quraisy dari Bani Jumah.
Rasulullah Saw. pun
menemui mereka, dan menyeru mereka kepada Allah. Rasulullah Saw. menyampaikan
kepada mereka maksud kedatangan, yakni meminta mereka agar mau membantu Islam
dan bersama-sama menghadapi orang-orang yang menentangnya. Lalu salah seorang dari
mereka berkata kepada Rasulullah Saw., “Tercabik-cabiklah baju Ka'bah jika
Allah mengutusmu!” “Apakah Allah tidak menemukan orang lain untuk diutusnya
selain kamu?” sergah yang lain. Orang ketiga berkata, “Demi Allah, aku tidak
akan berbicara denganmu selamanya jika kamu benar-benar utusan Allah saperti
yang kamu katakan. Sungguh bahayamu lebih besar daripada berbicara denganmu.
Kamu benar-benar telah berdusta atas nama Allah, inilah yang menjadi alasan,
mengapa aku tidak mau berbicara denganmu.”
Sebelum Rasulullah
Saw. meninggalkan mereka, beliau berkata, “Jika kalian melakukan apa yang ingin
kalian lakukan, maka rahasiakan dariku.” Rasulullah Saw. tidak ingin hal itu
sampai pada kaumnya agar keberanian dan penganiayaan mereka kepada Rasulullah Saw.
tidak bertambah. Memang mereka tidak melakukan, namun mereka telah memprovokasi
orang-orang awam dan budak-budak mereka untuk mencaci-maki Rasulullah Saw.,
meneriakkan yel-yel yang sangat tidak etis tentang Rasulullah Saw., bahkan
mereka melempari Rasulullah Saw. dengan batu hingga kedua tumit beliau yang
mulia berdarah.
Beliau menyelamatkan
diri dengan masuk ke kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah,
sedang kedua orang ini berada di kebun. Setelah tahu bahwa orang-orang awam
Bani Tsaqif yang mengejarnya kembali, beliau kemudian pergi berteduh dan
beristirahat di bawah naungan batang pohon anggur. Kedua anak Rabi'ah itu
melihat Rasulullah Saw., namun karena tanamannya sangat lebat dan hijau, maka
orang-orang awam di antara penduduk Thaif tidak terlihat olehnya. Setelah
Rasulullah Saw. merasa tenang, beliau berdo’a,
“Ya Allah, hanya kepadamu aku mengadu tentang
ketidakberdayaanku, sedikitnya tipudayaku, dan kehinaanku di hadapan manusia,
wahai Dzat Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. Engkau Tuhan bagi
orang-orang yang lemah, Engkau Tuhanku, kepada siapa lagi Engkau akan membuatku
letih, kepada yang jauh di sana yang akan menjumpaiku dengan wajah geram penuh
kebencian, atau kepada musuh yang Engkau beri dia kekuasaan atas urusanku?
Seandainya aku tidak takut akan amarah-Mu, maka aku sudah tidak perduli lagi.
Akan tetapi, keagungan-Mu itu yang paling tampak terbentang luas di hadapanku.
Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang karenanya kegelapan-kegelapan
menjadi bersinar, dan karenanya pula perkara dunia dan akhirat menjadi baik,
dari mendapatkan amarah-Mu dan juga murka-Mu. Hanya karena-Mu aku kembali dan
bebas dari keburukan hingga Engkau meridhaiku. Dan tidak ada daya dan kekuatan
melainkan dengan daya dan kekuatan-Mu.”
Ketika dua anak
Rabi’ah: ‘Utbah dan Syaibah melihat kelelahan yang luar biasa pada diri
Rasulullah Saw. dan kesulitan yang dihadapinya, maka tergeraklah rasa kasih
sayang keduanya terhadap Rasulullah Saw. Lalu keduanya memanggil pembantunya
yang bernama Addas, sedang Addas seorang Nasrani. Keduanya berkata pada Addas,
“Ambillah setangkai anggur yang telah dipetik, lalu letakkan di atas piring
ini. Kemudian pergilah dan berikan ia kepada orang itu. Katakan kepadanya agar
memakannya.” Addas pun melakukannya, dia pergi mendekati Rasulullah Saw. dan
meletakkan anggur itu di dekat Rasulullah Saw.
Lalu Addas berkata
pada Rasulullah Saw., “Makanlah.” Ketika meletakkan tangannya Rasulullah Saw.
berkata, “Bismillah.” Baru setelah itu
beliau makan. Addas memperhatikan wajah Rasulullah Saw., lalu dia berkata,
“Demi Allah, perkataan ini belum pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.”
Rasulullah Saw.
berkata pada Addas, “Berasal dari daerah mana kamu, wahai Addas, dan apa
agamamu?” Addas berkata, “Agamaku Nashrani, aku salah seorang di antara
penduduk Ninawa.” (Ninawa adalah suatu desa di Moshul bagian dari wilayah
Iraq). Rasulullah Saw. berkata, “Kalau begitu kamu berasal dari desa orang yang
shaleh Yunus bin Mata.”
Addas berkata, “Dari
mana kamu mengenal Yunus bin Mata?” Rasulullah Saw. berkata, “Dia itu
saudaraku, dia seorang nabi, dan aku juga seorang nabi.” Addas sangat percaya
dengan Rasulullah Saw., dia mencium kepalanya, kedua tangannya dan kedua
telapak kakinya.
Melihat itu, salah
salah seorang di antara kedua anak Rabi’ah berkata kepada saudaranya, “Lihat
pembantumu, dia benar-benar telah berbuat tidak sopan kepadamu.”
Setelah Addas
mendatangi keduanya, keduanya berkata kepada Addas, “Celaka engkau, wahai
Addas. Kenapa engkau mencium kepala orang itu, kedua tangannya dan kedua
telapak kakinya?” Addas berkata, “Wahai tuanku, tidak ada sesuatu di bumi yang
lebih baik dari ini. Dia telah menyampaikan kepadaku suatu perkara yang tidak
diketahui kecuali oleh seorang nabi.” Keduanya berkata, “Celaka engkau, wahai
Addas, jangan sampai dia memalingkanmu dari agamamu. Ingat! Agamamu lebih baik
dari agamanya.”
Kembali ke Makkah
Rasulullah Saw.
berjalan melintasi jalan-jalan menuju Makkah, hingga akhirnya beliau sampai di
Hira’, yaitu tempat di mana beliau mendapatkan pancaran ruhiyah pertama kali,
dan di tempat ini pula beliau menerima ayat-ayat al-Qur’an yang pertama. Beliau
mulai berpikir, bagaimana caranya beliau masuk Makkah. Mengingat para intelijen
Makkah selalu memata-matainya, lebih-lebih setelah mengetahui aktivitasnya yang
baru dan juga kegagalannya.
Oleh karena itu,
beliau berpendapat tidak mungkin dapat memasuki Makkah tanpa mendapatkan
proteksi dari sebagian orang yang berpengaruh di Makkah. Beliau meminta Akhnas
bin Syuraiq untuk melindunginya, namun Akhnas menyampaikan keberatannya: Saya
sekutu (musuhmu), sedang sekutu tidak boleh melindungi (musuh sekutunya).
Lalu beliau meminta
perlindungan kepada Suhail bin Amr, namun dia juga menyampaikan keberatannya:
sesungguhnya Bani Amir tidak boleh melindungi Bani Ka'ab.
Kemudian beliau
meminta perlindungan kepada Muth’im bin Adi, Muth’im bin Adi mengabulkan
permintaannya. Setelah Muth’im dan keluarganya bersenjata, maka mereka pergi
hingga sampai di masjid, kemudian Muth’im meminta Rasulullah Saw. agar beliau
masuk ke masjid. Beliau pun memasuki masjid, lalu beliau thawaf dan mendirikan
shalat di sisi Ka’bah. Kemudian beliau pulang ke rumahnya tanpa ada seorangpun
yang berani berbuat buruk kepadanya.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar