Beberapa Dimensi yang Sebenarnya
Dalam Peristiwa Isra' dan Mi’raj
Di sini terdapat tiga
poin yang kami pantas dan bahkan harus untuk memahaminya. Karena ia memiliki
maksud-maksud yang bersifat politik, sosial dan spiritual, di mana jangkauannya
sangat luas.
Poin pertama,
Isra’ ke Baitul Maqdis secara pribadi dan mendirikan shalat di sana.
Poin kedua,
Rasulullah Saw. menjadi imam ketika beliau shalat bersama para nabi, dan para
nabi mengikutinya.
Poin ketiga,
pilihan Rasulullah Saw. terhadap gelas yang berisi susu dan beliau mengabaikan
gelas yang berisi khamer, dan perkataan
Jibril: “Kamu telah membimbing menuju fitrah, kamu telah membimbing umatmu.”
Mengingat semua orang
yang telah menulis tentang perjalanan hidup nabi yang mulia belum bersepakat
tentang kejelasan dimensi yang jadi tujuan peristiwa Isra' dan Mi’raj,
khususnya tiga dimensi ini:
1. Dimensi Politik
a. Sesungguhnya kepemimpinan dunia sebelum
terjadinya mukjizat Isra’ dan Mi’raj ada pada kekuasaan Bani Israil. Sebab,
agama-agama samawi yang masih ada -yaitu Yahudi dan Nashrani- adalah
agama-agama Bangsa Israil. Akan tetapi, orang-orang yang mengemban agama-agama
tersebut sudah tidak pantas lagi untuk memimpin. Sebab, mereka telah
menyia-nyiakan tuntunan hidup, menjual
tatanan kehidupan dengan harga yang sangat murah, dengan mendistorsi agama dan
mengganti petunjuk-petunjuk yang menjadi ciri khasnya.
Tuntunan hidup di masa
lalu telah di-nasakh oleh Islam untuk memimpin dunia, dan otomatis mereka yang
mengemban agama yang telah didistorsi
tersebut sudah tidak berhak lagi dengan kepemimpinan ini. Untuk itu, harus
dicabut tongkat kepemimpinan dari tangan mereka dan selanjutnya diserahkan
kepada komunitas yang lain, di mana mereka itu dipilih Allah Swt. untuk
mengemban amanat kepemimpinan dunia ini.
Poin ini -poin
kesepakatan atas ideologi yang berkaitan dengan kekuasaan, dan karakter
orang-orang yang akan berkuasa- harus disepakatinya, dan diperkuat
landasan-landasannya sebelum memulai membangun Negara Islam yang batu
pondasinya telah dipasang oleh Rasulullah Saw. setelah beliau hijrah ke Madinah
al-Munawwarah.
Kami yakin bahwa
keputusan membangun Negara Islam tidak mungkin sempurna kecuali dengan
dipenuhinya dua perkara:
1. Ideologi dan sistem harus kuat, akurat dan
sejalan dengan fitrah manusia. Sebab, orang yang menjadi sarananya jangan
sampai merasa dipaksa, tetapi diarahkan bahwa dengan ideologi dan sistem ini
akan diraih kebaikan dan kebahagiaannya dengan diridhai Allah Swt.
2. Tangan-tangan yang bersih, terpercaya dan
tulus ikhlas yang akan diserahi kekuasaan untuk menjalankan sistem ini.
Dari sini, maka
pilihan Rasulullah Saw. terhadap gelas yang berisi susu yang mencerminkan
fitrah, dan perkataan Jibril as. kepada Rasulullah Saw.: “Kamu telah membimbing menuju fitrah, kamu telah
membimbing umatmu.” Mengandung maksud: Bahwa sistem yang akan diturunkan
kepadamu -agar kamu membangun Negara Islam di atas sistem itu, dan dengan
sistem itu pula kamu dan umatmu sesudahmu akan menjadi pemimpin di
tengah-tengah manusia- adalah fitrah yang menjadikan manusia tidak akan
mendapatkan kesulitan dengan mengambilnya. Meskipun, terkadang fitrah ini
dipalingkan oleh pemiliknya, akan tetapi fitrah tidak akan berubah dan tetap
selamanya. Sistem yang akan diturunkan kepadamu ini Muhammad sifatnya tetap,
sebagaimana tetapnya fitrah, dan fitrah akan tetap ada selama manusia masih
ada.
b. Tampilnya Rasulullah Saw. ke depan menjadi
imam ketika beliau shalat bersama para nabi, dan pengakuan para nabi atas hal
itu, dengan bukti mereka semua shalat mengikuti Rasulullah Saw. Dengan
demikian, telah terjadi perubahan politik yang sangat mendasar, sebab dengan
fakta ini telah tercabut kepemimpinan dari tangan Bani Israil, selanjutnya
kepemimpinan itu diserahkan kepada umat Muhammad. Sehingga, sejak terjadinya
fakta itu batallah beramal dengan syariat yang telah terdistorsi dan banyak
mengalami berbagai bentuk perubahan, selanjutnya posisinya diganti dengan
syariat lain yang baru, adil dan sejalan dengan fitrah, yaitu Islam.
Perubahan ini
merupakan perubahan yang konstitusional (masyru’), sebab yang melakukannya
adalah orang-orang yang benar-benar mewakili semua umat, dan mereka para
cendekiawan yang tidak mungkin berbuat salah, mengingat mereka adalah para
nabi. Oleh karena itu, setiap yang menentangnya dianggap menentang sesuatu yang
konstitusional, setiap yang melawannya dianggap perlawanan yang tidak berguna,
karena hendak membela kebathilan dan menghancurkan kebenaran, sehingga
tindakannya dianggap keluar dari undang-undang (inkonstitusional). Untuk itu,
yang melakukan perlawanan ini harus ditangani.
Demikian inilah nilai
filsafat politik yang diberikan Negara Islam yang dibangun oleh Rasulullah Saw.
di Madinah al-Munawwarah. Benar! Perlu dilakukan tindakan tegas terhadap semua
gerakan perlawanan yang dengan jelas menentang Negara Islam dan menentang
penyebaran ideologinya, yang justru karena ideologi ini Negara Islam didirikan.
Dan yang lebih khusus
untuk disebutkan di antaranya adalah perlawanan orang-orang Yahudi di Madinah
al-Munawwarah dan sekitarnya. Rasulullah Saw. benar-benar telah menyusun
strategi-strategi yang cermat untuk tindakan pembersihan terhadap lawan-lawan
politik Islamnya. Rasulullah Saw. mulai menjalankan rencana-rencana ini sejak
tahun ketiga hijriyah.
c. Sesungguhnya Isra’ beliau ke Baitul Maqdis
secara khusus, shalat beliau di sana dengan para Nabi dan beliau yang bertindak
sebagai imam, serta dari sana beliau Mi’raj ke langit, maka ini artinya bahwa
Baitul Maqdis termasuk bagian dari daerah kekuasaan Negara Islam yang akan
datang (prospektif). Dengan demikian, tampilnya Rasulullah Saw. sebagai imam
shalat di Baitul Maqdis menjadi bukti bahwa beliaulah pemilik Baitul Maqdis
bukan yang lainnya. Begitu juga ikutnya para nabi terhadap beliau dalam shalat
menjadi bukti pengakuan mereka bahwa Baitul Maqdis merupakan wilayah di antara
sejumlah wilayah Islam yang nantinya akan berkibar di sana bendera-bendera
syari’at Islam.
2. Dimensi Sosial
Sesungguhnya shalat
beliau dengan para nabi, padahal mereka berbeda kebangsaannya dan warna
kulitnya, maka ini berarti bahwa Negara Islam dengan ideologi Islamnya akan
menaungi semua kaum mukminin, tidak membeda-bedakan antara yang hitam dengan
yang putih, antara bangsa Arab dengan non-Arab… bangsa-bangsa yang berbeda-beda
itu semuanya akan dilebur dalam wadah keimanan, kemudian dituang dalam cetakan
dalam bentuk penerapan syari'at Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi.
Di dalam Negara ini
kesempatan untuk menduduki jabatan tinggi dan berlomba untuk mendudukinya
diberikan kepada semua tanpa membeda-bedakan. Sungguh pintu-pintu negara
terbuka bagi siapa saja yang memiliki kelebihan untuk menduduki jabatan tinggi,
sebagaimana diberinya kesempatan di depan semua orang-orang yang shalat tanpa
dibeda-bedakan untuk ikut berlomba, dan pintu-pintu langit terbuka untuk
menerima amal perbuatan mereka yang turut dalam berlomba.
Dengan demikian,
mukjizat Isra’ telah meletakkan landasan yang baru untuk membangun masyarakat
yang baru yang telah direncanakan berdirinya di bawah naungan ideologi Islam
dan negaranya.
3. Dimensi Spiritual
Harus kami sebutkan
bahwa mukjizat Isra’ dan Mi’raj terjadi menyusul rentetan kejadian yang
menyedihkan (dramatis) yang dihadapi oleh Rasulullah Saw. Di antaranya adalah
meninggalnya paman beliau Abu Thalib yang telah banyak melindungi beliau dari
ancaman penyiksaan kaum Quraisy, meninggalnya istri beliau Khadijah yang telah
terus-menerus menambah semangat, tekad yang kuat dan kemauan yang keras dalam
diri beliau, serta semakin kerasnya siksaan kaum Quraisy dan orang-orang yang
menjadi sekutunya, sehingga peristiwa beruntun yang terjadi di tahun itu
dinamakan dengan ‘amul huzni (tahun berduka cita).
Allah Swt. hendak
menghibur Rasul-Nya Saw. dengan perjalanan yang penuh berkah. Dalam perjalanan
itu, tepatnya di Baitul Maqdis beliau shalat bersama para nabi dan beliau
tampil sebagai imamnya. Seolah-olah Allah Swt. berfirman sehubungan dengan
peristiwa ini kepada Nabi dan sekaligus kekasihnya: Wahai Muhammad,
sesungguhnya masa depan milikmu dan umatmu sesudahmu, sehingga batas negaramu
akan melewati Baitul Maqdis, begitu juga warisan-warisan agama terdahulu berada
di pundakmu.
Sambil shalat di
belakang Rasulullah Saw., para rasul Allah itu seolah-olah berkata kepada
beliau: Pergilah menuju Tuhanmu, do’a kami selalu bersamamu.
Ketika beliau Mi’raj
ke langit, seolah-olah para malaikat di langit berkata kepada beliau: Jika bumi
terasa sempit olehmu, maka langit telah membuka dadanya untukmu. Jika
orang-orang bodoh dan zhalim di antara penduduk bumi menyakitimu, maka penduduk
langit telah berdiri menyambut kedatanganmu.
Semua ini telah
menciptakan semangat yang baru yang mengalir dalam diri Rasulullah Saw. dan
kaum mukminin. Sehingga setelah beliau kembali dari perjalanan yang penuh
berkah ini, beliau mulai menawarkan Islam dengan penuh semangat dan optimisme
kepada suku-suku dan para delegasi yang datang ke Makkah guna berhaji.
Ujian
Setelah beliau kembali
dari perjalanan yang penuh berkah ini ke rumahnya di Makkah, beliau berbaring
di tempat tidurnya, lalu tidak lama kemudian beliau pergi pagi-pagi sekali
menemui komunitas kaum kafir Quraisy, kemudian beliau memberitahu mereka apa yang
baru saja beliau alami.
Sebagian besar mereka
berkata: “Wah, demi Allah, apa yang kamu sampaikan ini benar-benar kedustaan
yang nyata! Demi Allah, suatu rombongan pedagang yang pergi sebulan yang lalu
dari Makkah ke Syam akan kembali lagi sebulan yang akan datang. Sedang kamu Muhammad
mengaku melakukan perjalanan itu hanya semalam dan sudah kembali ke Makkah!”
Akhirnya, banyak sekali di antara mereka yang lemah imannya yang murtad,
sebaliknya mereka yang masih muslim dan beriman sangat percaya dan sangat
membenarkan berita itu. Di antara mereka yang beriman dan percaya adalah Abu
Bakar ash-Shiddiq ra.
Orang-orang menemui
Abu Bakar, lalu mereka berkata kepadanya: “Wahai Abu Bakar, apa komentar anda
tentang temanmu? Dia mengaku bahwa malam ini dia datang dari Baitul Maqdis,
mengerjakan shalat di sana, dan sudah berada di Makkah kembali sekarang?” Abu
Bakar balik bertanya: “Apakah kalian benar-benar tidak mempercayainya?” Mereka
berkata: “Tentu, kami tidak percaya. Nah, itu dia Muhammad di masjid,
orang-orang sedang berbincang-bincang dengannya.” Abu Bakar berkata: “Demi
Allah, jika Muhammad benar-benar berkata demikian, maka aku sangat percaya.
Sesungguhnya apa yang mengherankan kalian dari berita itu? Demi Allah, beliau
sudah biasa baik siang maupun malam memberitahu aku bahwa suatu berita dari
Allah telah datang kepada beliau dari langit ke bumi hanya dalam satu jam, lalu
aku pun percaya dengan apa yang diberitahukannya.”
Kemudian akhirnya Abu
Bakar sampai pada Rasulullah Saw. Abu Bakar berkata: “Wahai Nabi Allah,
orang-orang ini memberitahu aku bahwa malam ini kamu datang dari Baitul
Maqdis?” Rasulullah Saw. berkata: “Benar.”
Abu Bakar berkata: “Gambarkanlah kepadaku tentang perjalanan itu, sebab aku
datang kepadamu karena hal itu.” Rasulullah Saw. bersabda: “Aku diangkat hingga
aku dapat melihatmu.” Beliau mulai menggambarkan tentang perjalanan itu kepada
Abu Bakar. Abu Bakar berkata: “Benar sekali engkau, Wahai Rasulullah Saw. Aku
bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasulullah Saw.”
Akhirnya, Rasulullah
Saw. berkata kepada Abu Bakar: “Sedang engkau,
wahai Abu Bakar ash-Shiddiq (orang jujur, yang membuktikan ucapannya
dengan perbuatan).” Maka sejak itulah Abu Bakar diberi nama “ash-Shiddiq.”
Beliau juga menuturkan
kepada para sahabatnya tentang siapa saja para nabi yang beliau temui. Beliau
berkata: Tentang Ibrahim, maka dia adalah seorang yang sama sekali tidak mirip
dengan kalian, dan tidak seorangpun di antara kalian yang mirip dengan dia.
Adapun Musa, maka dia adalah seorang manusia yang kulitnya sawo matang,
rambutnya kriting, badannya tinggi dan tulang hidungnya mancung, sepertinya dia
berasal dari komunitas orang-orang Syanuah. Sedangkan Isa bin Maryam, maka dia
adalah seorang yang warna kulitnya merah, badannya tidak pendek dan juga tidak
tinggi, rambutnya lebat, dan di wajahnya banyak tahi lalatnya, seolah-olah dia
baru keluar dari kamar mandi, sebab dari kepalanya menetes air, di antara
kalian yang serupa dengan dia adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.
Urgensitas Isra' dan Mi'raj
Di sini yang juga
harus kita ingat selalu, bahwa kami tidak boleh melewati peristiwa yang penting
ini tanpa merenungi dan memahami dimensi-dimensinya. Sesungguhnya peristiwa
Isra’ dan Mi’raj ini merupakan ujian dari Allah kepada manusia, sehingga
dengannya berimanlah orang-orang yang beriman dan berdustalah oleh orang orang
yang dusta.
Peristiwa Isra' dan
Mi’raj itu terjadi setahun sebelum hijrah, yakni peristiwa itu terjadi setahun
sebelum diproklamirkan berdirinya Negara Islam. Dengan demikian, di sini tampak
sekali bagi kami tentang pentingnya scheduling
dan timing (penetapan waktu). Mengingat,
peristiwa itu melahirkan goncangan yang mengerikan dan kegiatan yang tidak
biasa di Makkah, dan akhirnya di Makkah terjadi perdebatan di semua komunitas.
Perdebatan yang
berlangsung itu semuanya terfokus pada perdebatan tentang ideologi yang
diturunkan kepada Muhammad Saw. Dan hasil dari perdebatan itu banyak
orang-orang yang masuk Islam, sebaliknya banyak di antara mereka yang justru
keluar dari Islam -seperti yang telah kami sebutkan.
Dengan demikian,
terjadinya peristiwa itu sangat urgen sebelum diproklamirkan berdirinya Negara
Islam di Madinah al-Munawwarah. Bahkan kami katakan: Sesungguhnya menyingkap
unsur-unsur itu merupakan suatu keharusan, sehingga Muhammad Saw. tahu ketika
memproklamirkan berdirinya Negara Islam siapa saja di antara unsur-unsur ini
yang dapat dijadikan sandaran dan tonggak dalam membangun Negara ini, dan siapa
saja di antara mereka yang harus dijauhinya; siapa di antara mereka yang pantas
untuk diserahi tugas pertama, dan siapa saja di antara mereka yang pantas untuk
diserahi tugas kedua.
Sehingga, ketika Allah
Swt. telah memberi izin kepada Rasulullah Saw. untuk hijrah ke Madinah
al-Munawwarah, dan memerintahkannya agar mendirikan Negara Islam di sana, maka
akan sangat mudah sekali bagi Rasulullah Saw. menempatkan orang yang pantas
sesuai dengan posisinya. Untuk itu, Negara Islam dalam waktu yang relatif
pendek dibanding sejarah negara yang telah terkenal mampu mendatangkan sesuatu
yang baik dan penuh berkah.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis
Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar