B. Isra' Dan Mi'raj
Isra’ dan Mi’raj
Keduanya Merupakan Mu’jizat.
Setelah menghadapi
ancaman penyiksaan fisik sejak pamannya Abu Thalib meninggal, yaitu paman yang
telah banyak membelanya dari penganiayaan dengan memanfaatkan kedudukannya yang
tinggi di Makkah; setelah menderita tekanan bathin sejak meninggalnya istri tercinta
Khadijah, istri yang sangat setia yang berfungsi sebagai perawat untuk
luka-luka Rasulullah Saw. akibat perbuatan kaum musyrikin; dan setelah menelan
pahitnya kegagalan cita-cita ketika beliau pergi ke Thaif, maka Allah hendak
menghormatinya dengan perjalanan yang penuh berkah ini, yakni perjalanan Isra'
dan Mi’raj.
Dengan penghormatan
ini seolah-olah Allah Swt. berfirman kepadanya: Wahai Muhammad, jika bumi
terasa sempit olehmu, maka langit itu sangat luas bagimu. Jika penduduk bumi
memusuhimu, maka penduduk langit menyambut dengan baik kedatanganmu. Dan jika
penduduk bumi menghinakanmu, maka kedudukanmu di sisi Allah sangatlah mulia.
Sungguh yang selalu
kami ingat dan tidak pernah kami lupakan adalah peristiwa Isra’ dan Mi'raj
sebagai mukjizat yang pernah dialami oleh Rasulullah Saw. Ketika kami
mengatakan peristiwa itu sebagai “mukjizat”, artinya peristiwa itu mengabaikan
hukum alam, dan tidak berlaku setiap pertanyaan dan keterangan: Bagaimana
Rasulullah Saw. mampu menempuh jarak yang sangat jauh hanya dalam hitungan
detik? Bagaimana beliau mampu terhindar dari gravitasi bumi dan beliau terus
naik ke langit?
Sungguh semua
pertanyaan itu akan terjawab, sekiranya peristiwa itu berjalan sesuai dengan
hukum alam, namun bahwa peristiwa itu terjadi di luar hukum alam, dan terjadi
dengan kekuasaan Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka tidak lama
kemudian pertanyaan-pertanyaan ini semuanya melebur dalam derasnya keimanan
kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Selama mukjizat itu
terjadi di luar hukum alam dan mengabaikan hukum alam, maka mukjizat itu tidak
mungkin diciptakan sendiri oleh nabi dan makhluk-makhluk
yang lainnya. Namun, mukjizat itu hanya dimiliki oleh Dzat yang menciptakan
hukum alam ini, Yang Maha Besar segala-galanya.
Dengan demikian, bukan
nabi sendiri yang membuat mukjizat-mukjizat itu, akan tetapi Allah-lah yang
mengaturnya dengan kekuasaannya. Dan sungguh sangat jauh berbeda di antara
keduanya.
Allah Swt. telah
menjelaskan kebenaran ini di dalam kitab-Nya yang agung tentang dialog yang
didokumentasikan oleh al-Qur’an al-Karim antara kaum musyrikin di satu pihak
dan para utusan Allah di pihak yang lain. Kaum musyrikin berkata kepada para
rasul:
“Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga.
Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang
selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti
yang nyata.” (TQS. Ibrahim [14]: 10)
Yakni mukjizat yang
bisa dilihat banyak orang. Para rasul pun menjawab apa yang mereka katakan:
“Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, akan
tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada
kalian melainkan dengan izin Allah.” (TQS. Ibrahim [14]: 11)
Dengan demikian, ini
merupakan keputusan akhir bahwa mukjizat itu bukanlah buatan para rasul, akan
tetapi ia termasuk di antara ciptaan Allah Swt.
Macam-Macam Mu’jizat:
Kalau kami perhatikan
dengan seksama mukjizat-mukjizat yang Allah jalankan terhadap para rasul-Nya
yang mulia, maka kami dapat mengklasifikasikannya menjadi dua kelompok:
Pertama, mukjizat yang sifatnya materi
(al-mu’jizat al-madiyah). Mu’jizat jenis pertama ini adalah mukjizat yang dapat
dilihat dan diraba wujudnya, seperti terbelahnya bulan, mengalirnya air dari
jari-jari Rasulullah Saw., kembalinya mata yang dicungkil dengan selamat, dan
lain sebagainya. Mukjizat-mukjizat jenis pertama ini hanya berlaku dan terjadi
sekali saja, pengaruhnya tidak akan melewati waktu terjadinya, dan
keberadaannya tidak setiap hari.
Kedua, mukjizat yang sifatnya non-materi
(al-mu’jizat al-ma’nawiyah). Mukjizat jenis kedua ini adalah mukjizat yang
tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, namun akan terlihat oleh mata pikiran,
dan tidak tersentuh oleh tangan, namun wujudnya dirasakan oleh pemikiran, akal
dan perasaan. Al-Qur’an al-Karim datang sebagai puncaknya mukjizat yang
sifatnya non-materi, dan yang paling besar pengaruhnya. Al-Qur'an merupakan
mukjizat yang abadi bagi Rasulullah Saw., lalu berikutnya mukjizat Isra’ dan
Mi'raj. Kedua mukjizat ini memiliki pengaruh yang besar di dalam merancang
metode baru bagi kehidupan manusia
mendatang.
Tujuan Mukjizat
Setiap mukjizat yang
terjadi pada nabi tidak dapat dipungkiri bahwa ia memiliki dua tujuan: Tujuan
umum dan khusus. Adapun tujuan umum terjadinya mukjizat adalah untuk membangun
dalil bahwa rasul yang tampak padanya adanya mukjizat adalah benar dengan apa
yang dia klaim dan apa saja yang dia serukan. Dengan demikian, keberadaan
mukjizat menduduki posisi firman Allah Swt.: Hambaku benar dengan setiap apa
yang dia sampaikan tentang aku.
Sedangkan tujuan
khusus terjadinya mukjizat, maka hal itu tercermin pada pengaruh yang
ditinggalkan oleh mukjizat ini. Dengan demikian, tujuannya sebesar pengaruh dan
sebesar mukjizat itu sendiri.
Di atas telah
dikatakan: Bahwa mukjizat yang paling besar pengaruhnya adalah al-Qur’an
al-Karim. Kemudian disusul oleh mukjizat Isra’ dan Mi’raj. Dengan demikian,
posisi Isra’ dan Mi’raj di antara mukjizat-mukjizat adalah nomer dua setelah
al-Qur’an al-Karim.
Kami dapat memastikan
bahwa kejadian Isra’ dan Mi'raj merupakan kejadian yang diprogram, artinya
kejadian itu termasuk dalam agenda yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dan
Allah juga telah membuat tanda-tandanya. Menyingkap kejadian mukjizat Isra' dan
Mi'raj termasuk kajian yang sungguh-sungguh terhadap perjalanan dakwah
Rasulullah Saw.
Mukjizat Isra'
Pada suatu malam di
antara malam-malam yang disinari oleh cahaya ketuhanan, ketika beliau berbaring
di pembaringannya dalam keadaan antara bangun dan tidur, maka Jibril as.
mendatangi Rasulullah Saw. dengan membawa Buraq,
yaitu binatang untuk kendaraan yang pernah mengangkut para nabi sebelumnya.
Buraq meletakkan kukunya ke seluruh anggota
badannya, lalu mengangkatnya dan membawanya pergi. Rasulullah Saw.
diperlihatkan akan tanda-tanda kekuasaan Allah ketika beliau berada di antara
langit dan bumi, hingga akhirnya beliau sampai di Baitul Maqdis.
Di Baitul Maqdis
beliau bertemu dengan Ibrahim al-Khalil,
Musa dan Isa yang berada di tengah-tengah rombongan para nabi yang telah
berkumpul untuk menyambutnya. Kemudian mereka shalat dan Rasulullah Saw. yang
menjadi imamnya.
Setelah shalat beliau
dibawakan dua gelas, satu gelas berisi susu dan satunya lagi berisi khomer.
Beliau mengambil gelas yang berisi susu dan lalu meminumnya, sedang gelas yang
berisi khomer beliau tinggalkan. Jibril as. berkata kepadanya: Kamu telah membimbing
menuju fitrah, kamu telah memimbing umatmu, wahai Muhammad. Dalam riwayat lain
bahwa beliau shalat bersama para nabi setelah beliau kembali dari Mi'raj.
Mukjizat Mi'raj
Meriwayatkan kepada
kami seorang sahabat yang mulia Abu Sa’id al-Khudri ra. tentang kisah mukjizat
Mi’raj yang dia dengarkan sendiri dari Rasulullah Saw. Abu Sa’id al-Khudri ra.
berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Setelah aku selesai dengan
pekerjaanku di Baitul Maqdis aku dibawanya Mi’raj, dan aku belum pernah melihat
sesuatu yang lebih bagus darinya, dia merupakan sesuatu yang dipandang oleh
mayit-mayit kalian ketika sekarat. Temanku membawaku naik ke sana, hingga
akhirnya aku sampai pada suatu pintu di antara pintu-pintu langit, namanya
pintu al-Hafazhah. Pintu itu dijaga seorang malaikat di antara
malaikat-malaikat, namanya Ismail. Ismail ini memimpin dua belas ribu malaikat,
dan tiap-tiap malaikat yang dipimpin Ismail ini juga memimpin dua belas ribu
malaikat.”
Rasulullah Saw.
bersabda ketika menceritakan kejadian ini:
“Dan tidak ada yang
mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (TQS. al-Muddatstsir [74]:
31)
Ketika aku telah masuk
dia bertanya: “Siapa dia ini, wahai Jibril?”
Jibril menjawab: “Dia ini Muhammad.” Dia
bertanya lagi, “Apakah dia benar-benar telah
diutus?” “Ya,” jawab Jibril.
Rasulullah Saw. bersabda: “Lalu dia memanggilku dengan ucapan yang sangat
baik.” Setelah aku memasuki langit dunia, aku melihat seorang laki-laki yang
sedang duduk, kepadanya disuguhkan ruh-ruh keturunan Adam. Dia berkata pada
sebagian ruh, ketika ruh disuguhkan kepadanya dengan perkataan yang baik, dan
dia pun merasa senang dengannya, lalu dia berkata: “Ruh yang baik tentu keluar dari tubuh yang baik pula.” Dan dia
juga berkata pada sebagian ruh, ketika ruh disuguhkan kepadanya: “Cih.” Dan wajahnya pun cemberut, lalu berkata:
“Ruh yang jelek tentu keluar dari tubuh yang
jahat.” Lalu aku bertanya: “Siapa orang
ini, wahai Jibril?” Jibril berkata: “Ini Adam nenek-moyangmu, kepadanya
disuguhkan ruh-ruh keturunannya. Sehingga, apabila dia mendapatkan ruh yang
beriman di antara keturunannya, maka dia merasa gembira dengannya, dan berkata:
“Ruh yang baik tentu keluar dari tubuh yang baik pula.” Ketika dia mendapatkan
ruh yang keluar di antara mereka, maka diapun berkata: “Cih… cih.” Dia kelihatan
benci dan merasa sedih karenanya, dan berkata: “Ruh yang jelek tentu keluar
dari tubuh yang jahat.” Kemudian aku melihat orang-orang yang bibirnya seperti
bibir onta, sedang di tangannya ada potongan-potongan api sebesar genggaman
tangan, mereka melemparkan potongan api tersebut ke dalam mulutnya, lalu
potongan api itu keluar dari anusnya. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang dengan
sewenang-wenang makan harta anak yatim.” Kemudian aku melihat
orang-orang yang perutnya besar, aku belum pernah sama sekali melihat perut
yang sebesar itu, mereka berada di jalan keluarga Fir’aun, mereka di akhirat
sangat berat siksanya, mereka berjalan seperti onta yang kehausan. Ketika api
didekatkan pada mereka, mereka menjadi lunglai tidak mampu bergerak dari
tempatnya. Melihat itu aku pun bertanya: “Mereka
itu siapa, wahai Jibril?” “Mereka itu
adalah orang-orang yang suka makan riba,” jawab Jibril. Berikutnya aku
melihat orang-orang yang di tangannya ada daging yang baik dan segar, sedang di
sampingnya terdapat daging yang buruk dan busuk. Anehnya, justru mereka makan
daging yang buruk dan busuk, sebaliknya meninggalkan daging yang baik dan
segar. Melihat itu aku pun bertanya: “Mereka
itu siapa, wahai Jibril?” “Mereka itu
adalah orang-orang yang suka meninggalkan wanita-wanita yang telah dihalalkan
Allah, sebaliknya mereka senang pergi pada wanita-wanita yang diharamkan Allah,”
jawab Jibril. Selanjutnya aku melihat para wanita yang mereka itu diikat dengan
payudaranya sendiri. Aku bertanya: “Mereka itu
siapa, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka
adalah para wanita yang suka menampakkan auratnya kepada kaum laki-laki yang
bukan mahramnya.” Selanjutnya, aku dibawa naik ke langit kedua. Di
langit kedua ini aku bertemu dengan dua orang putra bibiku, yaitu Isa bin
Maryam dan Yahya bin Zakariya. Lalu aku dibawa naik ke langit ketiga. Ketika
aku berada di langit ketiga ini aku melihat seseorang yang kesannya tak ubahnya
bulan purnama. Aku bertanya: “Siapa orang ini,
wahai Jibril?” “Dia ini saudaramu Yusuf
bin Ya’kub,” jawab Jibril. Kemudian aku dibawa naik ke langit kelima. Di
langit kelima ini aku melihat seseorang yang umurnya antara 30-50 tahun, di
mana rambut dan jenggotnya yang tebal warnanya sangat putih. Aku belum pernah
melihat seseorang yang umurnya antara 30-50 tahun yang lebih tampan dari dia.
Aku bertanya: “Siapa orang ini, wahai Jibril?”
Jibril menjawab: “Dia ini orang yang sangat
dicintai kaumnya, yaitu Harun bin Imran.” Lalu aku dibawa naik ke langit
keenam. Di langit keenam aku bertemu dengan seorang manusia yang kulitnya sawo
matang, badannya tinggi dan tulang hidungnya mancung, sepertinya dia berasal
dari komunitas orang-orang Syanuah.” (Syanuah adalah nama suatu kabilah dari
al-Azd). Mengenai orang itu, aku bertanya kepada Jibril: “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril
menjawab: “Dia ini adalah saudaramu Musa bin
Imran.” Kemudian aku dibawa naik ke langit ketujuh. Di langit ketujuh
ini, aku bertemu dengan seseorang yang umurnya antara 30-50 tahun, dia sedang
duduk di atas kursi dekat pintu Baitul Ma’mur. Tiap hari ada sekitar 70 ribu
malaikat yang masuk melalui pintu, dan mereka tidak kembali hingga hari kiamat.
Dia sama sekali tidak mirip dengan kalian, dan tidak seorangpun di antara
kalian yang mirip dengan dia. Aku bertanya: “Siapa
orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia ini ayahmu Ibrahim.”
Kemudian Rasulullah
Saw. memasuki Sidrat al-Muntaha, di mana
daunnya seperti daun telinga gajah, sedang buahnya seperti kendi. Di Sidrat al-Muntaha ini Rasulullah Saw. dan
umatnya mendapat perintah shalat sebanyak lima puluh kali shalat sehari
semalam, yang sebelumnya hanya dua kali shalat: dua rakaat di pagi hari dan dua
rakaat di sore hari, seperti yang pernah dijalankan oleh sayyidina Ibrahim ‘alaihi as-salam.
Rasulullah Saw.
bersabda: “Kemudian aku dibawa masuk ke Surga. Di Surga aku melihat seorang
gadis yang mewarnai bibirnya dengan warna agak kehitaman. Lalu aku
menanyakannya: “Untuk siapa kamu? Sungguh aku
benar-benar kagum dengan melihatmu.” Dia menjawab: “Aku untuk Zaid bin Haritsah.”
Maka dengan
pengalamannya di Surga itu Rasulullah Saw. memberi Zaid kabar gembira.
Rasulullah Saw.
bersabda: “Kemudian aku berpaling untuk pulang. Ketika aku melintasi Musa bin
Imran, Musa bin Imran adalah sebaik-baik teman untuk kalian. Dia bertanya
kepadaku: “Berapa banyaknya kewajiban shalat
yang diperintahkan kepadamu?” Aku jawab: “Limapuluh
kali shalat setiap hari.” Dia berkata: “Ingat,
shalat itu pekerjaan berat, sedang umatmu umat yang lemah. Untuk itu, aku
sarankan agar kamu kembali lagi kepada Tuhanmu, lalu mintalah dispensasi
untukmu dan utamanya umatmu.” Aku pun kembali, aku memohon kepada
Tuhanku dispensasi bagiku dan umatku, dan Tuhan menetapkan sepuluh kali shalat
kepadaku, lalu aku pun pergi. Ketika aku melintasi Musa, maka dia berkata
seperti semula. Aku pun kembali, aku memohon kepada Tuhanku, Tuhan masih
menetapkan sepuluh kali shalat kepadaku, lalu aku pun pergi. Ketika aku
melintasi Musa, maka dia berkata seperti sebelumnya. Aku pun kembali, aku
memohon kepada Tuhanku, Tuhan masih juga menetapkan sepuluh kali shalat
kepadaku, lalu aku pun pergi. Musa tidak bosan-bosannya berkata seperti itu
kepadaku, dan setiap aku kembali kepadanya, dia berkata: “Kembali dan mohanlah kepada Tuhan.” Hingga
akhirnya Tuhan menetapkan lima kali shalat sehari semalam. Kemudian, aku
kembali melintasi Musa, dan Musa masih mengatakan hal yang sama kepadaku. Aku
berkata: “Aku sudah berkali-kali kembali dan
memohon kepada Tuhan, sehingga aku sangat malu kepada-Nya. Sekarang aku tidak
mau melakukannya lagi.” Dengan demikian, siapa saja di antara kalian
mendirikan shalat lima waktu karena dorongan keimanan dan dilaksanakan dengan
tulus ikhlas, maka baginya pahala lima puluh kali shalat wajib.”
Sungguh Allah telah
mewajibkan shalat itu di langit untuk menunjukkan betapa pentingnya shalat itu.
Ketika shalat ditetapkan di langit, tidak lain agar shalat itu menjadi mi'raj
(alat naik) yang menjadikan manusia
terbang tinggi ketika mereka jatuh terperosok dalam keburukan-keburukan hawa nafsu
yang bersarang dalam jiwa, dan dengan shalat itu supaya jiwa mereka lima kali
setiap hari menuju Tuhan Yang Maha Tinggi.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan
Rasulullah Saw., Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar