Pengertian Paham
Sekularisme Paham Kufur
SEKULARISME: PEMASUNGAN AJARAN ISLAM
Upaya musuh-musuh Islam untuk
menghancurkan ajaran Islam tidak pernah berhenti. Melalui perang pemikiran
(ghazwu al-fikri) dan pertarungan kebudayaan (ghazwu ats-tsaqafi) mereka
melontarkan senjata-senjata terbarunya, mengarahkan moncong-moncong
senjata-senjata baru mereka ke tengah-tengah kaum muslimin.
Di antara berbagai isu yang paling
santer dikembangkan oleh peradaban Barat yang kafir adalah Sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan, pemisahan agama dari negara/politik) dan
Demokrasi. Sedemikian berhasilnya peradaban Barat mencekokkan ide Sekular dan
Demokrasi, sampai-sampai hal itu mempengaruhi benak pemikiran sebagian besar
kaum muslimin. Paling tidak itulah yang tampak dalam pidato perayaan Natal
Bersama 2000 yang disampaikan oleh Gus Dur.
Pidato ini antara lain diawali dengan
pernyataan bahwa perayaan Natal ini bukan hanya milik umat Kristiani, tapi
seluruh bangsa Indonesia (Kompas, 30/12/2000). Di bagian lain pidatonya ia
menyatakan, tepat sekali apa yang telah dibuat para pendiri negara ini ketika
mereka dengan sadar memisahkan agama dari kehidupan bernegara. “Negara tidak
terkait dengan agama secara formal, melainkan secara budaya…” (Kompas, ibidem).
“… Demokrasi di negeri kita timbul dari agama, dari kepercayaan, bukan dari
institusi lain,” begitu jelasnya (Kompas, ibidem).
Tulisan berikut ini akan mengupas dan
meluruskan persepsi yang keliru tentang tiga perkara; yaitu pernyataan bahwa
perayaan Natal bukan hanya milik orang-orang Kristen, tapi seluruh bangsa
Indonesia, pemisahan agama dari kehidupan bernegara, dan demokrasi itu timbul
dari agama.
Tasyabbuh dalam ibadah kafir, Haram!
Islam adalah ajaran yang universal.
Namun demikian bukan berarti sifatnya yang universal itu memiliki
kesamaan-kesamaan dengan ajaran-ajaran agama lain maupun ideologi-ideologi
lainnya. Firman Allah SWT:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al Maidah [5]:
48)
Maksudnya adalah, umat Nabi Muhammad
saw, dan juga umat-umat lain memiliki aturan dan syariat yang berbeda-beda,
satu sama lain tidak sama.
Tatkala Rasulullah saw sampai di kota
Madinah, beliau menyaksikan sebagian penduduk Madinah merayakan dua hari raya
besar milik bangsa Persia, yaitu Nairuz dan Maharjan. Seketika itu juga
Rasulullah saw melarang kaum muslimin terlibat dalam perayaan tersebut, sekaligus
membedakan hari raya Islam dengan hari raya agama-agama lain. Sabda Rasulullah
saw:
“Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikan (untuk kalian)
dua hari raya ini (Nairuz dan Maharjan) dengan dua hari raya yang lebih baik
dari kedua hari raya ini, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR.
Nasai dari Anas bin Malik)
Bahkan Rasulullah saw memberi peringatan
terhadap kaumnya yang mencoba meniru-niru atau mengikuti syariat agama maupun
ideologi-ideologi lain.
“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka mereka termasuk
golongan mereka (kaum itu).” (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad dari Ibnu
Umar)
Tasyabbuh dalam hadits ini memiliki
pengertian larangan untuk menyerupai syariat agama-agama lain, termasuk tata
cara peribadatan agama-agama lain.
Sedemikian besar perhatian Rasulullah
saw dalam hal membedakan diri beliau dan kaum muslimin dengan kebiasaan dan
syariat agama-agama lain, sampai-sampai orang-orang Yahudi yang tinggal di kota
Madinah saat itu berkata:
“Orang ini (maksudnya Muhammad saw) selalu saja tidak pernah
rela melihat kebiasaan yang kita lakukan, melainkan ia segera melakukan sesuatu
yang sebaliknya…” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai,
Ibnu Majah dan Ahmad)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah
mengumpulkan hadits-hadits yang berisi pembedaan Rasulullah saw secara
menyengaja dengan kebiasaan/syariat umat-umat lain, dalam kitab beliau yang
berjudul “al Qauli ats-Tsabit fi Shaumi Yaumu Sabti”.
Oleh karena itu pernyataan Gus Dur bahwa
perayaan natal bukan hanya milik umat Kristen, tapi seluruh bangsa Indonesia,
tidak memiliki dasar syar'iy dan bertolak belakang dengan ajaran Islam yang
dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia.
Sekularisme, Haram!
Sekularisme (pemisahan agama dari
kehidupan, atau pemisahan agama dari negara/politik) tidak dikenal dalam ajaran
Islam. Ide Sekularisme ini hanya dikenal dalam masyarakat dan peradaban Barat
yang Kristen. Kelahirannya berawal di masa Renaissance, bermula pada saat para
kaisar dan raja-raja Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk
memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama –saat itu-
dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Sehingga timbul pergolakan
sengit, yang membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian
mereka mengingkari adanya peran agama secara mutlak, sedangkan lainnya mengakui
adanya peran agama, dan menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Hingga
akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu cenderung
memilih ide memisahkan agama dari kehidupan. Inilah yang menghasilkan jalan
tengah berupa pemisahan peran agama dengan negara.
Ide paham sekularisme ini dianggap sebagai kompromi atau
jalan tengah antara para pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus
tunduk kepada mereka –dengan mengatasnamakan agama- dengan para filosof dan
cendekiawan yang mengingkari peran agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi
ide sekularisme tidak dikenal dalam sejarah Islam maupun ajaran Islam.
Ide sekularisme hanya dikenal oleh
masyarakat Barat yang kafir, dan hanya tepat ditujukan bagi agama-agama yang
hanya mengatur urusan ritual (hubungan peribadatan). Sedangkan ajaran Islam
tidak hanya mengatur urusan ibadah ritual, melainkan seluruh aspek kehidupan
manusia, baik peradilan, ekonomi, politik, negara, militer, sosial, pendidikan,
hubungan luar negeri dan lain-lain.
Dengan demikian, jika ide sekularisme
diterapkan dan dipaksakan atas kaum muslimin, hal itu sama saja dengan membuang
sebagian besar hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ekonomi, politik,
negara, pendidikan, militer, politik luar negeri dan lain-lain.
Lalu akan di kemanakan ribuan ayat-ayat al Quran dan Hadits Nabi saw yang menyinggung
hukum-hukum tentang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, militer, dan
sejenisnya ? Bukankah, al Quran dan as Sunah diturunkan kepada umat manusia
untuk diterapkan, bukan sekedar dibaca berulang-ulang ?
Hal ini sama artinya dengan memasung
ajaran Islam dan kaum muslimin hanya dalam perkara-perkara ubudiyah saja, serta
menyamakan ajaran Islam dengan ajaran agama lain.
Kaum muslimin pernah mengalami masa
kejayaannya tatkala para penguasa mereka (dalam sistem Daulah Khilafah
Islamiyah) telah menerapkan sistem (hukum) Islam dalam seluruh aspek kehidupan
selama lebih dari XIII abad. Paling tidak hal itu tampak dalam beberapa
pernyataan para ulama yang pernah hidup di bawah naungan Daulah Khilafah
Islamiyah.
Imam al Ghazali berkata :
“Kekuasaan sangat penting untuk tegaknya peraturan dunia
dan agama. Dan peraturan agama sangat penting untuk mencapai kebahagiaan
akhirat yang secara pasti merupakan tujuan dari para Nabi. Maka dari itu,
kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk perkara yang sangat penting dalam
syara, yang tidak ada jalan untuk meninggalkannya. Camkanlah ini !” (al Iqtishad fil I'tiqad, kar. Imam al Ghazali, hal. 199)
Imam Ibnu Taimiyah berkata:
“Apabila kekuasaan terpisah dari agama, atau apabila agama
terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.” (Majmu'ul Fatawa, kar. Ibnu Taimiyah, jilid.28, hal. 394)
Maka, atas dasar apa Gus Dur mengatakan
bahwa tepat sekali apa yang telah dibuat para pendiri negara ini ketika mereka
dengan sadar memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Bukankah perkataannya
ini berakibat tercampaknya ribuan ayat-ayat al Quran dan as Sunah yang
berkaitan dengan hukum ekonomi, sosial, politik, pendidikan, militer dan
sejenisnya, serta menyamaratakan Dinul Islam dengan agama-agama lain, sehingga
menghilangkan gambaran Dinul Islam, sebagai ajaran yang sempurna.
Demokrasi, Berhala Modern
Demokrasi berasal dari pandangan bahwa
manusialah yang berhak membuat peraturan (undang-undang). Sehingga –menurut
mereka- rakyat adalah sumber kedaulatan, sekaligus pemilik kekuasaan yang
sebenarnya. Rakyat yang membuat perundang-undangan. Rakyat yang menggaji kepala
negara untuk menjalankan undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Rakyat pula
yang berhak mencabut kekuasaan dari kepala negara, lalu menggantinya, termasuk
merubah undang-undang sekehendak mereka.
Jadi, Demokrasi itu berlandaskan kepada
dua ide; (1). Kedaulatan di tangan rakyat, (2). Rakyat sebagai sumber
kekuasaan. Dalam hal ini rakyat bertindak selaku Musyarri' (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik
kedaulatan, dan berlaku sebagai Munaffidz
(pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Ide Demokrasi, merupakan anak emas dari
ide Sekularisme (pemisahan agama dari negara/politik). Sebab, Sekularisme telah
memberikan wahana bagi rakyat untuk menentukan arah kehidupan mereka sendiri.
Inilah makna dari rakyat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan. Artinya rakyat
sebagai Musyarri' (pembuat hukum).
Pemahaman semacam ini nyata-nyata
bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sebab, Islam telah meletakkan kedaulatan
berada di tangan syara (atau di tangan Allah, sebagai Musyarri'), bukan di tangan manusia. Firman Allah SWT :
“(Hak untuk) menetapkan hukum itu (hanyalah) hak Allah.” (QS. Al An'aam [6]: 57)
Bahkan al Quran tegas-tegas
menggolongkan tidak beriman bagi siapa saja yang tidak menjadikan Rasulullah
saw sebagai rujukan hukum.
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang
mereka perselisihkan.” (QS. An Nisa [4]: 65)
Oleh karena itu, ide Demokrasi yang
telah meletakkan kedaulatan berada di tangan manusia (dalam hal ini rakyat),
dan kekuasaan (untuk menjalankan sistem hukum selain Islam) berada di tangan
rakyat, adalah ide yang bathil, bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dan
Islam tidak mengenal Demokrasi, sejak kelahirannya hingga hari Kiamat.
Berdasarkan hal ini, maka pernyataan Gus
Dur bahwa Demokrasi di negeri ini timbul dari agama, dari kepercayaan, bukan
dari institusi lain, amat tidak berdasar, paling tidak dengan ajaran Islam.
Demokrasi tidak sama dengan syura,
karena syura berarti memberikan pendapat. Sedangkan demokrasi merupakan suatu
pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang,
dan peraturan, yang telah dibuat oleh manusia menurut akal mereka sendiri.
Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan itu berdasarkan kemaslahatan yang
dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.
Kaum muslimin wajib membuang demokrasi
sejauh-jauhnya, karena demokrasi juga berarti bertahkim kepada thaghut.
Bertahkim kepada thaghut berarti juga bertahkim kepada hukum-hukum yang tidak
diturunkan Allah SWT. Dengan kata lain bertahkim kepada hukum-hukum
kufur yang dibuat manusia, dan bertentangan dengan sistem hukum
Islam. Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al Quran) dan kepada
apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak bertahkim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa [4]: 60)
Maka, apakah kita tetap tidak
mengindahkan peringatan-peringatan ini?!
Pengertian Paham Sekularisme Paham Kufur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar