Proses Perubahan
Sosial Masyarakat
Metode Perubahan Masyarakat
Ada dua landasan utama penetapan metode perubahan yang digunakan oleh Hizbut Tahrir (hal 49), yakni Pertama, pengikatan pada hukum syara’ dan Kedua, ittiba’ pada bagaimana Rasulullah berdakwah serta pada bagaimana beliau menerapkan syariat dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tentang keterikatan pada syariat, Hizb berpendapat bahwa konsekuensi dari iman seorang muslim kepada Allah adalah kewajiban terikat pada syariat dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam melaksanakan dakwah. Dan tentang ittiba’ pada jalan dakwah Rasul, secara normatif memang terdapat tuntunan untuk ittiba’ pada nabi. Lagi pula, siapa lagi yang akan dicontoh dalam berdakwah bila bukan dakwah Nabi yang menghantarkan tegaknya Islam?
Berdasarkan pada sirah dakwah Rasulullah Muhammad Saw, Hizbut Tahrir menetapkan langkah operasional dakwahnya dalam tiga tahap atau marahil (hal 57). Tahap Pertama, Marhalah Tastqif, yakni tahap pembinaan dan pengkaderan individu untuk melahirkan kader yang bersyakhsiyyah islamiyyah (memiliki akliyah dan nafsiyah Islam) dan meyakini fikrah serta thariqah Hizbut Tahrir untuk pada akhirnya bersedia bergabung ke dalam Hizb. Marhalah ini dilakukan oleh Rasulullah di Makkah selama tiga tahun, hingga datang perintah untuk berdakwah secara terang-terangan.
Tahap Kedua, Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummah, yakni tahap berinteraksi dengan ummat untuk mendorongnya berperan serta dalam dakwah hingga mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Caranya dengan menggugah kesadaran umat dan membentuk pendapat umum di tengah masyarakat, hingga ide-ide, pendapat dan hukum-hukum yang telah ditabanni oleh Hizb menjadi pendapat umat. Dan umat terdorong untuk merealisasikan itu semua dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bersama Hizb.
Pada tahap ini Hizb di samping tetap melakukan kegiatan pembinaan tsaqafah murakkazah untuk para kader-kadernya melalui halqah-halqah secara intensif dan pembinaan tsaqafah jama’iyyah dengan cara menyampaikan ide, pendapat dan hukum yang ditabanni Hizb secara terbuka kepada masyarakat luas melalui berbagai cara dan sarana, juga melakukan al-shira’u al-fikriy (pergolakan pemikiran) menentang ideologi, ide-ide, pendapat, sistem, perundangan dan peraturan-peraturan kufur dengan cara menjelaskan kesalahannya, menunjukkan pengaruh buruknya dan menjelaskan pendapat yang benar. Sementara perjuangan politik (al-kifaahu al-siyasiy) pada tahap ini mencakup perjuangan melawan negara-negara imperialis, membongkar rencana jahat mereka dan membebaskan umat dari pengaruh mereka. Lalu melakukan perlawanan terhadap penguasa di negeri-negeri muslim dan menasehati agar berpihak pada Islam, serta berusaha keras untuk mengambil alih kekuasaannya, sebagai awal berjalannya tahap ketiga. Di sisi lain, pada tahap ini Hizb juga melakukan tabbani mashalihu al-ummah, dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan dan kepentingan ummat sesuai dengan hukum syara’.
Tahap Ketiga, Marhalah Istilamu al-Hukmi, yakni tahap pengambilalihan kekuasaan guna penerapan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Semua kegiatan dakwah Hizb dilakuan dengan prinsip dakwah fikriyah, yakni melalui perubahan bahkan revolusi pemikiran (inqilabu al-fikriy) dan dakwah politis. Hizb menjauhi penggunaan cara-cara kekerasan, karena sebagaimana dikatakan Rasulullah, pada tahap pertama dan kedua, dilarang menggunakan kekerasan (hal 67). Dakwah pada tahap dua juga ditempuh melalui aktivitas mencari pertolongan (thalabu al-nushrah) kepada ahlu al-quwwah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah yang meminta pertolongan kepada kabilah Kindah dan penduduk Madinah saat keadaan dakwah bertambah genting menyusul tekad tokoh-tokoh Quraisy untuk menghabisi Rasulullah dan para shahabat. Pertolongan itu diperlukan guna mendapatkan perlindungan (himayah) agar aktivitas dakwah tetap berjalan dan untuk mencapai pengambilalihan kekuasan sebagai jalan penerapan syariat Islam (hal 72).
Khatimah
Dalam ilmu sosial, perubahan sosial diartikan sebagai perubahan (fungsional dan struktural) dari unsur sosial. Unsur sosial terdiri dari individu anggota masyarakat, lembaga sosial dan pranata sosial. Perubahan fungsional terjadi ketika terdapat perubahan fungsi pada unsur sosial dari fungsi laten (yang ada) kepada fungsi manifest (yang seharusnya), atau sebaliknya. Sedang perubahan struktural terjadi ketika jalinan antar unsur-unsur sosial yang dihasilkan oleh perubahan membentuk pola hubungan atau tatanan yang baru sama sekali atau berbeda dengan yang sebelumnya.
Berkaitan dengan obyek perubahan, kecepatan dan hasil yang dicapai, secara teoritis terdapat dua model perubahan sosial: evolutif dan revolutif. Perubahan evolutif adalah perubahan sosial secara gradual. Mengingat sifatnya, perubahan ini lebih mungkin terjadi pada, mengenai dan bersifat individu. Atau bila terjadi pula pada lembaga dan pranata sosial, terbatas pada perubahan fungsional. Dengan kata lain, perubahan evolutif sedikit sekali memungkinkan terjadinya perubahan struktural pada lembaga dan pranata sosial. Perubahan dua unsur sosial itu lebih mungkin terjadi secara revolutif.
Perubahan revolutif adalah perubahan sosial yang terjadi secara mendadak, dalam waktu yang cepat dan mendasar serta kadang cenderung destruktif karena merupakan perubahan fundamental dari bangunan lama kepada yang baru. Perubahan ini akan tampak pada pembaruan (penggantian) struktur (dan tentu sekaligus fungsi) lembaga dan pranata sosial. Karena sifatnya yang cepat dan fundamental, perubahan ini sedikit sekali memberi tempat bagi perubahan unsur individu. Walhasil, dalam perubahan revolutif faktor individu cenderung agak terabaikan, sesuatu yang tidak jarang justru menjadi penghambat perubahan itu sendiri atau bahkan menjadi pendorong terjadinya revolusi lagi pada fase berikutnya akibat belum siapnya individu anggota masyarakat menerima perubahan yang serba cepat dan mendadak tersebut.
Dakwah dimengerti sebagai suatu upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk melakukan perubahan pada diri manusia, pikiran, perasaan dan tingkah lakunya menjadi lebih Islamy, hingga terbentuk masyarakat Islam (al-mujtama’ al-Islamy). Dari definisi ini kita melihat terdapat dua fase perubahan, yakni perubahan individu (taghyiru al-afrad) dan perubahan sistem (taghyiru al-nidzam) ketika menuju masyarakat Islam. Perubahan fikrah individu ke arah Islam yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perubahan fungsi lembaga dan pranata sosial, terjadi secara evolutif atau ishlahy.
Perubahan pada individu akan menghasilkan keadaan yang kondusif bagi perubahan mendasar (revolutif atau inqilabiyah) pada fase berikutnya. Karena, seperti telah disebut, perubahan evolutif tidak akan secara otomatis menghasilkan masyarakat Islam yang ditandai dengan perubahan struktur lembaga dan pranata sosial sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk mewujudkannya harus ada satu fase “revolutif”, kendati tidak harus diartikan sebagai gerakan destruktif, chaos dan berdarah.
Jelaslah, bahwa tugas umat untuk mencapai tujuan dakwah Islam adalah melakukan perubahan individu secara evolutif melalui dakwah fikriyah dan mengarahkannya pada terbentuknya kekuatan ummat melalui dakwah siyasiyah bagi tercapainya perubahan sistem yang harus dilakukan secara revolutif.
Dalam Hizb, sebagaimana diuraikan dalam kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyiri, perubahan individu yang bersifat evolutif dilakukan melalui dialog dalam pendekatan yang bersifat individual dan secara intensif melalui halqah-halqah murakkazah. Inilah fase pertama. Kemudian perubahan pemikiran ditingkatkan bukan hanya pada tingkat individu, tapi juga masyarakat melalui kegiatan tasqif jamaiy. Perubahan revolutif terjadi ketika masyarakat menuntut perubahan struktur dan pranata sosial ke arah Islam, hingga terbentuk masyarakat Islam. Berpuncak pada pengambilalihan kekuasaan guna penerapan syariat Islam. Dalam daulah Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah Islam, warga negara akan dibina secara intensif melalui berbagai bentuk dan pendekatan agar mereka secara berangsur mampu mengikuti irama perubahan revolutif yang telah terjadi. Inilah dakwah yang dilakukan oleh negara bagi dimungkinkan terjadinya perubahan evolutif seluruh anggota masyarakat guna mendukung tetap tegaknya sistem Islam. Wallahu’alam bi al-shawab
Ada dua landasan utama penetapan metode perubahan yang digunakan oleh Hizbut Tahrir (hal 49), yakni Pertama, pengikatan pada hukum syara’ dan Kedua, ittiba’ pada bagaimana Rasulullah berdakwah serta pada bagaimana beliau menerapkan syariat dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tentang keterikatan pada syariat, Hizb berpendapat bahwa konsekuensi dari iman seorang muslim kepada Allah adalah kewajiban terikat pada syariat dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam melaksanakan dakwah. Dan tentang ittiba’ pada jalan dakwah Rasul, secara normatif memang terdapat tuntunan untuk ittiba’ pada nabi. Lagi pula, siapa lagi yang akan dicontoh dalam berdakwah bila bukan dakwah Nabi yang menghantarkan tegaknya Islam?
Berdasarkan pada sirah dakwah Rasulullah Muhammad Saw, Hizbut Tahrir menetapkan langkah operasional dakwahnya dalam tiga tahap atau marahil (hal 57). Tahap Pertama, Marhalah Tastqif, yakni tahap pembinaan dan pengkaderan individu untuk melahirkan kader yang bersyakhsiyyah islamiyyah (memiliki akliyah dan nafsiyah Islam) dan meyakini fikrah serta thariqah Hizbut Tahrir untuk pada akhirnya bersedia bergabung ke dalam Hizb. Marhalah ini dilakukan oleh Rasulullah di Makkah selama tiga tahun, hingga datang perintah untuk berdakwah secara terang-terangan.
Tahap Kedua, Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummah, yakni tahap berinteraksi dengan ummat untuk mendorongnya berperan serta dalam dakwah hingga mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Caranya dengan menggugah kesadaran umat dan membentuk pendapat umum di tengah masyarakat, hingga ide-ide, pendapat dan hukum-hukum yang telah ditabanni oleh Hizb menjadi pendapat umat. Dan umat terdorong untuk merealisasikan itu semua dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bersama Hizb.
Pada tahap ini Hizb di samping tetap melakukan kegiatan pembinaan tsaqafah murakkazah untuk para kader-kadernya melalui halqah-halqah secara intensif dan pembinaan tsaqafah jama’iyyah dengan cara menyampaikan ide, pendapat dan hukum yang ditabanni Hizb secara terbuka kepada masyarakat luas melalui berbagai cara dan sarana, juga melakukan al-shira’u al-fikriy (pergolakan pemikiran) menentang ideologi, ide-ide, pendapat, sistem, perundangan dan peraturan-peraturan kufur dengan cara menjelaskan kesalahannya, menunjukkan pengaruh buruknya dan menjelaskan pendapat yang benar. Sementara perjuangan politik (al-kifaahu al-siyasiy) pada tahap ini mencakup perjuangan melawan negara-negara imperialis, membongkar rencana jahat mereka dan membebaskan umat dari pengaruh mereka. Lalu melakukan perlawanan terhadap penguasa di negeri-negeri muslim dan menasehati agar berpihak pada Islam, serta berusaha keras untuk mengambil alih kekuasaannya, sebagai awal berjalannya tahap ketiga. Di sisi lain, pada tahap ini Hizb juga melakukan tabbani mashalihu al-ummah, dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan dan kepentingan ummat sesuai dengan hukum syara’.
Tahap Ketiga, Marhalah Istilamu al-Hukmi, yakni tahap pengambilalihan kekuasaan guna penerapan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Semua kegiatan dakwah Hizb dilakuan dengan prinsip dakwah fikriyah, yakni melalui perubahan bahkan revolusi pemikiran (inqilabu al-fikriy) dan dakwah politis. Hizb menjauhi penggunaan cara-cara kekerasan, karena sebagaimana dikatakan Rasulullah, pada tahap pertama dan kedua, dilarang menggunakan kekerasan (hal 67). Dakwah pada tahap dua juga ditempuh melalui aktivitas mencari pertolongan (thalabu al-nushrah) kepada ahlu al-quwwah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah yang meminta pertolongan kepada kabilah Kindah dan penduduk Madinah saat keadaan dakwah bertambah genting menyusul tekad tokoh-tokoh Quraisy untuk menghabisi Rasulullah dan para shahabat. Pertolongan itu diperlukan guna mendapatkan perlindungan (himayah) agar aktivitas dakwah tetap berjalan dan untuk mencapai pengambilalihan kekuasan sebagai jalan penerapan syariat Islam (hal 72).
Khatimah
Dalam ilmu sosial, perubahan sosial diartikan sebagai perubahan (fungsional dan struktural) dari unsur sosial. Unsur sosial terdiri dari individu anggota masyarakat, lembaga sosial dan pranata sosial. Perubahan fungsional terjadi ketika terdapat perubahan fungsi pada unsur sosial dari fungsi laten (yang ada) kepada fungsi manifest (yang seharusnya), atau sebaliknya. Sedang perubahan struktural terjadi ketika jalinan antar unsur-unsur sosial yang dihasilkan oleh perubahan membentuk pola hubungan atau tatanan yang baru sama sekali atau berbeda dengan yang sebelumnya.
Berkaitan dengan obyek perubahan, kecepatan dan hasil yang dicapai, secara teoritis terdapat dua model perubahan sosial: evolutif dan revolutif. Perubahan evolutif adalah perubahan sosial secara gradual. Mengingat sifatnya, perubahan ini lebih mungkin terjadi pada, mengenai dan bersifat individu. Atau bila terjadi pula pada lembaga dan pranata sosial, terbatas pada perubahan fungsional. Dengan kata lain, perubahan evolutif sedikit sekali memungkinkan terjadinya perubahan struktural pada lembaga dan pranata sosial. Perubahan dua unsur sosial itu lebih mungkin terjadi secara revolutif.
Perubahan revolutif adalah perubahan sosial yang terjadi secara mendadak, dalam waktu yang cepat dan mendasar serta kadang cenderung destruktif karena merupakan perubahan fundamental dari bangunan lama kepada yang baru. Perubahan ini akan tampak pada pembaruan (penggantian) struktur (dan tentu sekaligus fungsi) lembaga dan pranata sosial. Karena sifatnya yang cepat dan fundamental, perubahan ini sedikit sekali memberi tempat bagi perubahan unsur individu. Walhasil, dalam perubahan revolutif faktor individu cenderung agak terabaikan, sesuatu yang tidak jarang justru menjadi penghambat perubahan itu sendiri atau bahkan menjadi pendorong terjadinya revolusi lagi pada fase berikutnya akibat belum siapnya individu anggota masyarakat menerima perubahan yang serba cepat dan mendadak tersebut.
Dakwah dimengerti sebagai suatu upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk melakukan perubahan pada diri manusia, pikiran, perasaan dan tingkah lakunya menjadi lebih Islamy, hingga terbentuk masyarakat Islam (al-mujtama’ al-Islamy). Dari definisi ini kita melihat terdapat dua fase perubahan, yakni perubahan individu (taghyiru al-afrad) dan perubahan sistem (taghyiru al-nidzam) ketika menuju masyarakat Islam. Perubahan fikrah individu ke arah Islam yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perubahan fungsi lembaga dan pranata sosial, terjadi secara evolutif atau ishlahy.
Perubahan pada individu akan menghasilkan keadaan yang kondusif bagi perubahan mendasar (revolutif atau inqilabiyah) pada fase berikutnya. Karena, seperti telah disebut, perubahan evolutif tidak akan secara otomatis menghasilkan masyarakat Islam yang ditandai dengan perubahan struktur lembaga dan pranata sosial sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk mewujudkannya harus ada satu fase “revolutif”, kendati tidak harus diartikan sebagai gerakan destruktif, chaos dan berdarah.
Jelaslah, bahwa tugas umat untuk mencapai tujuan dakwah Islam adalah melakukan perubahan individu secara evolutif melalui dakwah fikriyah dan mengarahkannya pada terbentuknya kekuatan ummat melalui dakwah siyasiyah bagi tercapainya perubahan sistem yang harus dilakukan secara revolutif.
Dalam Hizb, sebagaimana diuraikan dalam kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyiri, perubahan individu yang bersifat evolutif dilakukan melalui dialog dalam pendekatan yang bersifat individual dan secara intensif melalui halqah-halqah murakkazah. Inilah fase pertama. Kemudian perubahan pemikiran ditingkatkan bukan hanya pada tingkat individu, tapi juga masyarakat melalui kegiatan tasqif jamaiy. Perubahan revolutif terjadi ketika masyarakat menuntut perubahan struktur dan pranata sosial ke arah Islam, hingga terbentuk masyarakat Islam. Berpuncak pada pengambilalihan kekuasaan guna penerapan syariat Islam. Dalam daulah Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah Islam, warga negara akan dibina secara intensif melalui berbagai bentuk dan pendekatan agar mereka secara berangsur mampu mengikuti irama perubahan revolutif yang telah terjadi. Inilah dakwah yang dilakukan oleh negara bagi dimungkinkan terjadinya perubahan evolutif seluruh anggota masyarakat guna mendukung tetap tegaknya sistem Islam. Wallahu’alam bi al-shawab
Manhaj Hizbut
Tahrir Fi Al-Taghyir (Telaah Sekilas)
Oleh: Muhammad Ismail Yusanto
hidup ber-Islam
hidup ber-Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar