Azab yang Merata
Menimpa Semua Orang
Siksaan Tidak Hanya Menimpa Orang Zalim
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
Allah SWT berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. al-Anfaal [8]: 25).
Makna Umum
Ayat di atas merupakan salah satu ayat teragung sekaligus paling menegakkan bulu roma, yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Banyak kitab dakwah yang menjadikan ayat di atas sebagai pendorong aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.*1) Ayat tersebut berisi peringatan untuk berhati-hati (hadzr) akan siksaan (azab) yang tidak hanya menimpa orang yang zalim saja, tetapi menimpa secara umum baik yang zalim maupun yang tidak zalim. Karena itu secara syar’i, wajib hukumnya bagi orang yang melihat kezaliman/kemunkaran dan mempunyai kesanggupan, untuk menghilangkan kemunkaran itu.*2) Inilah cara menghindarkan diri dari siksaan itu, yakni dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada yang berbuat zalim atau munkar.*3) Yang melakukan kezaliman ini sifatnya umum (bisa siapa saja), baik individu, kelompok, maupun negara (penguasa). Jika kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sini tidak dilaksanakan, maka semuanya berdosa sehingga layak menerima azab Allah yang ditimpakan secara merata baik yang berbuat munkar maupun yang tidak. Inilah salah satu makna bahwa Allah itu amatlah keras siksaan-Nya.*4)
Pendapat Para Mufassir
Imam Al-Baghawi (w. 510 H) dalam dalam Ma’alim At-Tanzil (II/204) menerangkan makna fitnah dalam ayat tersebut, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, adalah terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah) dan saling menyelisihi satu sama lain. Makna ayat ialah, peliharalah dirimu dari siksaan yang menimpa orang zalim dan orang yang tidak zalim. Kemudian Al-Baghawi meriwayatkan pendapat para mufassir seperti Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zubair bin al-’Awwam, As-Sudi, Muqatil, Adh-Dhahhak, dan Qatadah yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan suatu kaum di antara shahabat Rasulullah, yang tertimpa cobaan pada Perang Jamal (36 H). Al-Baghawi juga menukil Ibnu Abbas yang berkata, ”Allah SWT telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran di hadapan mereka sehingga Allah meratakan azab kepada mereka yang menimpa orang zalim dan tidak zalim.” Al-Baghawi kemudian meriwayatkan hadits yang mendukung makna ayat, di antaranya, sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu, hingga masyarakat umum melihat kemunkaran di hadapan mereka sedang mereka mampu mengingkarinya tapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian, maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu.” [HR. Ahmad dan Ath-Thabrani, dalam Al-Awsath].*5)
Imam Ibnu Al-’Arabi (w. 543 H) dalam Ahkamul Qur`an (Juz IV/228) menjelaskan, pengertian kata fitnah dalam ayat tersebut artinya adalah al-baliyah yang berarti cobaan/ujian (pendapat Al-Hasan Al-Bashri), atau ada yang mengatakan artinya al-azab (siksaan). Beliau secara umum menafsirkan ayat di atas dengan mengambil perkataan Ibnu Abbas, yakni bahwa Allah telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran yang terjadi di hadapan mereka, sehingga Allah meratakan azab kepada mereka. Kemudian beliau juga memaparkan beberapa hadits SAW yang menerangkan makna ayat di atas. Diriwayatkan, ada shahabat yang bertanya, ”Wahai Rasulullah apakah kami akan binasa, sedang di tengah kami ada orang-orang saleh?” Nabi menjawab, ”Ya, jika keburukan telah meluas.[i]” [HR. Muslim].*6)
Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) [i]Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an (VI/392), menerangkan, arti fitnah yang dimaksud adalah meluasnya kemaksiatan (zhuhur al-ma’ashi), menyebarnya kemunkaran (intisyar al-munkar), dan tidak adanya upaya mengubah kemunkaran (’adam at-taghyir). Beliau meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas seperti dalam tafsir al-Baghawi. Al-Qurthubi menukil ta`wil Zubair bin Al-Awwam, As-Sudi, dan Al-Hasan Al-Bashri yang menyatakan bahwa ayat itu secara khusus berkenaan dengan Ahl Badr (peserta Perang Badar) yang tertimpa fitnah pada Perang Jamal sehingga saling berbunuhan.*7)
Imam Al-Baidhawi (w. 685 H) dalam kitab tafsirnya Tafsir Baidhawi (III/46), mengartikan fitnah dalam ayat tersebut sebagai dzanbun (dosa). Jadi, makna ayat adalah, peliharalah dirimu dari dosa yang pengaruhnya akan merata mengenai kamu, yaitu seperti dosa mengakui kemunkaran yang nampak di hadapan kamu, bersikap menjilat (mudahanah) dalam amar ma’ruf nahi munkar, terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah), munculnya bid’ah, dan melalaikan jihad.*8)
Imam As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat ini.*9) Sementara dalam kitab Tafsir Jalalain/b], As-Suyuthi menerangkan bahwa cara menghindarkan diri dari siksaan/azab, adalah dengan mengingkari kemungkaran yang menjadi penyebab siksa.*10)
[b]Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitab Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (hal. 230) ’ringkasan tafsir Fathul Qadir karya Asy-Syaukani’ karya Al-Asyqar, diterangkan bahwa makna ayat, peliharalah dirimu dari siksaan, yang tidak hanya mengenai orang zalim, sehingga menimpa orang saleh dan tidak saleh. Menurut Asy-Syaukani, orang yang ditimpa siksaan itu ialah yang tidak memenuhi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak mendukung yang haq dan tidak mengingkari yang batil. Menurut beliau, bahwa di antara kerasnya siksaan Allah, ialah ditimpakannya azab bagi orang-orang yang tidak berbuat zalim. Ini terjadi karena mereka tidak beramar ma’ruf nahi munkar, sehingga kerusakan menjadi luas lalu hukuman ditimpakan secara umum.*11)
Imam Ibnu Katsir (w. 1372 H) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/300), berkata bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut artinya ikhtibar (ujian) dan mihnah (cobaan).*12) Ibnu Katsir menerangkan, dalam ayat ini Allah memberi peringatan akan adanya cobaan yang merata yang menimpa orang yang berbuat buruk dan yang tidak berbuat buruk. Cobaan ini tidak hanya menimpa pelaku maksiat atau pelaku dosa, tetapi merata dan tidak dapat dihindari dan dilenyapkan. Beliau selanjutnya menerangkan pendapat Az-Zubair, Al-Hasan Al-Bashri, dan As-Sudi bahwa ayat ini berkaitan dengan sebagian shahabat yang terlibat dalam Perang Jamal. Selanjutnya, beliau menukil penafsiran Ibnu Abbas, yang dikomentarinya sebagai, ”Ini tafsir yang bagus sekali.” (hadza hasan jiddan). Kemudian Ibnu Katsir memaparkan beberapa hadits Nabi SAW yang mendukung makna ayat. Berdasarkan hadits-hadits itu, menurut beliau, peringatan pada ayat ini berlaku umum untuk para shahabat dan selain shahabat, meskipun ayat ini berkenaan dengan shabahat.
Imam Nawawi Al-Jawi dalam Marah Labid (I/350) berkata, arti ayat di atas ialah, berhati-hatilah/waspadalah kamu terhadap fitnah, yang jika menimpa kamu, tidak hanya mengenai orang zalim saja, tetapi akan mengenai kamu semua baik orang yang saleh maupun yang tidak saleh. Berhati-hati terhadap fitnah itu adalah dengan cara melarang kemunkaran. Maka, wajib atas orang yang melihat kemunkaran untuk menghilangkan kemungkaran jika ia mempunyai kesanggupan melakukannya. Jika dia mendiamkan kemunkaran itu, maka semuanya telah berbuat maksiat. Yang melakukan kemunkaran bermaksiat karena perbuatan munkarnya, yang mendiamkan kemunkaran juga bermaksiat karena rela dengan kemunkaran itu. Allah telah menjadikan orang yang rela terhadap kemunkaran sama kedudukannya dengan orang yang melakukan kemunkaran. Maka keduanya disamakan dalam hukumannya. Ciri rela terhadap kemunkaran adalah tidak merasa sedih melihat penyimpangan agama oleh perbuatan maksiat. Jadi, orang tidak dikatakan benci, kecuali jika ia merasa sedih seperti kesedihannya karena kehilangan harta dan anaknya. Maka siapa saja tidak seperti itu, berarti dia telah rela terhadap kemunkaran sehingga hukuman dan musibah akan terjadi secara merata. Demikian menurut Imam Al-Jawi.*13)
Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ayat di atas menekankan betapa pentingnya umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada siapa saja yang berbuat zalim atau munkar. Sebab jika kewajiban ini ditinggalkan, akan muncul siksaan atau cobaan yang menimpa secara umum, baik menimpa pelaku maksiat maupun orang-orang yang taat.
Pelaku kezaliman ini bisa siapa saja, baik individu, kelompok, atau penguasa. Karena frasa alladzina zhalamu (orang-orang zalim) bersifat umum, sesuai kaidah ushul bahwa isim mawshul (di antaranya alladzina) memberikan arti umum.*14) Mengenai kemunkaran individu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin, menjelaskannya bermacam-macam kemunkaran berdasarkan tempat, seperti kemunkaran di masjid, di pasar, di jalanan, dan sebagainya.*15) Dalam konteks kekinian, tentunya tempat kemunkaran itu semakin luas dan banyak, seperti kemunkaran di tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel, penginapan, salon, kafe, bioskop, kampus, dan sebagainya. Kemunkaran yang dilakukan kelompok, misalkan kemungkaran segerombolan perampok, partai politik nasionalis (sekuler) yang tidak berasaskan Islam, sebagian partai politik Islam yang mempunyai ide, program, atau langkah yang menyalahi Islam, serta kelompok yang mengadopsi ide liberal yang kafir dan menafsirkan Islam agar tunduk pada kaidah-kaidah ideologi kapitalisme yang sekuler. Kemunkaran penguasa, misalnya menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan bernegara, menjalankan sistem demokrasi dalam bidang politik dan sistem kapitalisme dalam bidang ekonomi.
Semua itu termasuk kemunkaran atau kezaliman yang kita diwajibkan untuk menghilangkannya sesuai kesanggupan yang kita miliki. Jika umat diam saja serta rela terhadap semua itu, serta tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka berhatilah-hatilah dan waspadalah, karena berbagai cobaan, bencana, dan kerusakan akan bisa menimpa kita semua secara merata. Hancurnya kewibawaan umat, amburadulnya kondisi politik, serta porak porandanya kondisi ekonomi, merupakan sekelumit akibat buruk yang bisa kita alami secara bersama-sama akibat kelalaian kita beramar ma’ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang dilakukan sebagian dari kita.
Jelaslah, bahwa Islam adalah dien yang lurus yang mengajarkan adanya kepedulian dan tanggung jawab terhadap kepentingan dan kebaikan masyarakat, bukan ideologi individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama masyarakat. Itulah dien yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai ciri khas yang hanya dimiliki umat Islam, sebagai umat terbaik di antara seluruh umat manusia (Qs. Ali ’Imran [3]: 110). Inilah ciri khas yang berbeda dengan ciri khas kaum Bani Israil terlaknat yang tidak melarang kemunkaran yang dilakukan di antara mereka (Qs. al-Maa'idah [5]: 79), dan berbeda pula dengan ciri khas kaum munafik yang malah melakukan amar munkar dan nahi ma’ruf (Qs. At-Taubat [9]: 67). Wallahu a’lam []
Catatan Kaki:
1. Lihat misalnya Ibnu Taymiyah, Menuju Umat amar Ma’ruf Nahi Munkar (Al-Amru bil-Ma’ruf wa an-Nahyu ’an Al-Munkar), terjemahan oleh A.H. Hasan, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988. hal. 36; Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Cetakan XI, Jakarta : Media Dakwah, 2000, hal. 112.
2. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350
3. Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133.
4. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230.
5. Al-Husain ibn Mas’ud Al-Farra` Al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil, Beirut : Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1993, Juz II, hal. 203; penafisiran semakna lihat ‘Ala`uddin Al-Khazin (w. 741 H), Lubab At-Ta`wil fi Ma’an At-Tanzil (Tafsir Al-Khazin), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz II, hal. 22-23.
6. Imam Ibnu Arabi, Ahkamul Qur`an, Juz IV, hal. 228.
7. Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz VI, hal. 391.
8. Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta`wil (Tafsir Baidhawi), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz III, hal. 46-47.
9. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath Al-Tanzil, Kairo : Darul Kitab Al-‘Arabi, tanpa tahun, hal. 113; Lihat juga Abu Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas, hal. 147.
10. Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133.
11. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230
12. Tafsir Ibnu Katsir, Juz II, hal. 300.
13. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350.
14. Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, hal. 121; Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Damaskus : Darul Fikr, 2001, Juz I, hal. 248.
15. Lihat Imam Al-Ghazali, ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’, Ihya` Ulumiddin, terjemahan oleh Imron Abu Amar, Jakarta : Pustaka Amani, 1984, hal. 101-119.
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. al-Anfaal [8]: 25).
Makna Umum
Ayat di atas merupakan salah satu ayat teragung sekaligus paling menegakkan bulu roma, yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Banyak kitab dakwah yang menjadikan ayat di atas sebagai pendorong aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.*1) Ayat tersebut berisi peringatan untuk berhati-hati (hadzr) akan siksaan (azab) yang tidak hanya menimpa orang yang zalim saja, tetapi menimpa secara umum baik yang zalim maupun yang tidak zalim. Karena itu secara syar’i, wajib hukumnya bagi orang yang melihat kezaliman/kemunkaran dan mempunyai kesanggupan, untuk menghilangkan kemunkaran itu.*2) Inilah cara menghindarkan diri dari siksaan itu, yakni dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada yang berbuat zalim atau munkar.*3) Yang melakukan kezaliman ini sifatnya umum (bisa siapa saja), baik individu, kelompok, maupun negara (penguasa). Jika kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sini tidak dilaksanakan, maka semuanya berdosa sehingga layak menerima azab Allah yang ditimpakan secara merata baik yang berbuat munkar maupun yang tidak. Inilah salah satu makna bahwa Allah itu amatlah keras siksaan-Nya.*4)
Pendapat Para Mufassir
Imam Al-Baghawi (w. 510 H) dalam dalam Ma’alim At-Tanzil (II/204) menerangkan makna fitnah dalam ayat tersebut, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, adalah terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah) dan saling menyelisihi satu sama lain. Makna ayat ialah, peliharalah dirimu dari siksaan yang menimpa orang zalim dan orang yang tidak zalim. Kemudian Al-Baghawi meriwayatkan pendapat para mufassir seperti Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zubair bin al-’Awwam, As-Sudi, Muqatil, Adh-Dhahhak, dan Qatadah yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan suatu kaum di antara shahabat Rasulullah, yang tertimpa cobaan pada Perang Jamal (36 H). Al-Baghawi juga menukil Ibnu Abbas yang berkata, ”Allah SWT telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran di hadapan mereka sehingga Allah meratakan azab kepada mereka yang menimpa orang zalim dan tidak zalim.” Al-Baghawi kemudian meriwayatkan hadits yang mendukung makna ayat, di antaranya, sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu, hingga masyarakat umum melihat kemunkaran di hadapan mereka sedang mereka mampu mengingkarinya tapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian, maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu.” [HR. Ahmad dan Ath-Thabrani, dalam Al-Awsath].*5)
Imam Ibnu Al-’Arabi (w. 543 H) dalam Ahkamul Qur`an (Juz IV/228) menjelaskan, pengertian kata fitnah dalam ayat tersebut artinya adalah al-baliyah yang berarti cobaan/ujian (pendapat Al-Hasan Al-Bashri), atau ada yang mengatakan artinya al-azab (siksaan). Beliau secara umum menafsirkan ayat di atas dengan mengambil perkataan Ibnu Abbas, yakni bahwa Allah telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran yang terjadi di hadapan mereka, sehingga Allah meratakan azab kepada mereka. Kemudian beliau juga memaparkan beberapa hadits SAW yang menerangkan makna ayat di atas. Diriwayatkan, ada shahabat yang bertanya, ”Wahai Rasulullah apakah kami akan binasa, sedang di tengah kami ada orang-orang saleh?” Nabi menjawab, ”Ya, jika keburukan telah meluas.[i]” [HR. Muslim].*6)
Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) [i]Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an (VI/392), menerangkan, arti fitnah yang dimaksud adalah meluasnya kemaksiatan (zhuhur al-ma’ashi), menyebarnya kemunkaran (intisyar al-munkar), dan tidak adanya upaya mengubah kemunkaran (’adam at-taghyir). Beliau meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas seperti dalam tafsir al-Baghawi. Al-Qurthubi menukil ta`wil Zubair bin Al-Awwam, As-Sudi, dan Al-Hasan Al-Bashri yang menyatakan bahwa ayat itu secara khusus berkenaan dengan Ahl Badr (peserta Perang Badar) yang tertimpa fitnah pada Perang Jamal sehingga saling berbunuhan.*7)
Imam Al-Baidhawi (w. 685 H) dalam kitab tafsirnya Tafsir Baidhawi (III/46), mengartikan fitnah dalam ayat tersebut sebagai dzanbun (dosa). Jadi, makna ayat adalah, peliharalah dirimu dari dosa yang pengaruhnya akan merata mengenai kamu, yaitu seperti dosa mengakui kemunkaran yang nampak di hadapan kamu, bersikap menjilat (mudahanah) dalam amar ma’ruf nahi munkar, terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah), munculnya bid’ah, dan melalaikan jihad.*8)
Imam As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat ini.*9) Sementara dalam kitab Tafsir Jalalain/b], As-Suyuthi menerangkan bahwa cara menghindarkan diri dari siksaan/azab, adalah dengan mengingkari kemungkaran yang menjadi penyebab siksa.*10)
[b]Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitab Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (hal. 230) ’ringkasan tafsir Fathul Qadir karya Asy-Syaukani’ karya Al-Asyqar, diterangkan bahwa makna ayat, peliharalah dirimu dari siksaan, yang tidak hanya mengenai orang zalim, sehingga menimpa orang saleh dan tidak saleh. Menurut Asy-Syaukani, orang yang ditimpa siksaan itu ialah yang tidak memenuhi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak mendukung yang haq dan tidak mengingkari yang batil. Menurut beliau, bahwa di antara kerasnya siksaan Allah, ialah ditimpakannya azab bagi orang-orang yang tidak berbuat zalim. Ini terjadi karena mereka tidak beramar ma’ruf nahi munkar, sehingga kerusakan menjadi luas lalu hukuman ditimpakan secara umum.*11)
Imam Ibnu Katsir (w. 1372 H) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/300), berkata bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut artinya ikhtibar (ujian) dan mihnah (cobaan).*12) Ibnu Katsir menerangkan, dalam ayat ini Allah memberi peringatan akan adanya cobaan yang merata yang menimpa orang yang berbuat buruk dan yang tidak berbuat buruk. Cobaan ini tidak hanya menimpa pelaku maksiat atau pelaku dosa, tetapi merata dan tidak dapat dihindari dan dilenyapkan. Beliau selanjutnya menerangkan pendapat Az-Zubair, Al-Hasan Al-Bashri, dan As-Sudi bahwa ayat ini berkaitan dengan sebagian shahabat yang terlibat dalam Perang Jamal. Selanjutnya, beliau menukil penafsiran Ibnu Abbas, yang dikomentarinya sebagai, ”Ini tafsir yang bagus sekali.” (hadza hasan jiddan). Kemudian Ibnu Katsir memaparkan beberapa hadits Nabi SAW yang mendukung makna ayat. Berdasarkan hadits-hadits itu, menurut beliau, peringatan pada ayat ini berlaku umum untuk para shahabat dan selain shahabat, meskipun ayat ini berkenaan dengan shabahat.
Imam Nawawi Al-Jawi dalam Marah Labid (I/350) berkata, arti ayat di atas ialah, berhati-hatilah/waspadalah kamu terhadap fitnah, yang jika menimpa kamu, tidak hanya mengenai orang zalim saja, tetapi akan mengenai kamu semua baik orang yang saleh maupun yang tidak saleh. Berhati-hati terhadap fitnah itu adalah dengan cara melarang kemunkaran. Maka, wajib atas orang yang melihat kemunkaran untuk menghilangkan kemungkaran jika ia mempunyai kesanggupan melakukannya. Jika dia mendiamkan kemunkaran itu, maka semuanya telah berbuat maksiat. Yang melakukan kemunkaran bermaksiat karena perbuatan munkarnya, yang mendiamkan kemunkaran juga bermaksiat karena rela dengan kemunkaran itu. Allah telah menjadikan orang yang rela terhadap kemunkaran sama kedudukannya dengan orang yang melakukan kemunkaran. Maka keduanya disamakan dalam hukumannya. Ciri rela terhadap kemunkaran adalah tidak merasa sedih melihat penyimpangan agama oleh perbuatan maksiat. Jadi, orang tidak dikatakan benci, kecuali jika ia merasa sedih seperti kesedihannya karena kehilangan harta dan anaknya. Maka siapa saja tidak seperti itu, berarti dia telah rela terhadap kemunkaran sehingga hukuman dan musibah akan terjadi secara merata. Demikian menurut Imam Al-Jawi.*13)
Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ayat di atas menekankan betapa pentingnya umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada siapa saja yang berbuat zalim atau munkar. Sebab jika kewajiban ini ditinggalkan, akan muncul siksaan atau cobaan yang menimpa secara umum, baik menimpa pelaku maksiat maupun orang-orang yang taat.
Pelaku kezaliman ini bisa siapa saja, baik individu, kelompok, atau penguasa. Karena frasa alladzina zhalamu (orang-orang zalim) bersifat umum, sesuai kaidah ushul bahwa isim mawshul (di antaranya alladzina) memberikan arti umum.*14) Mengenai kemunkaran individu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin, menjelaskannya bermacam-macam kemunkaran berdasarkan tempat, seperti kemunkaran di masjid, di pasar, di jalanan, dan sebagainya.*15) Dalam konteks kekinian, tentunya tempat kemunkaran itu semakin luas dan banyak, seperti kemunkaran di tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel, penginapan, salon, kafe, bioskop, kampus, dan sebagainya. Kemunkaran yang dilakukan kelompok, misalkan kemungkaran segerombolan perampok, partai politik nasionalis (sekuler) yang tidak berasaskan Islam, sebagian partai politik Islam yang mempunyai ide, program, atau langkah yang menyalahi Islam, serta kelompok yang mengadopsi ide liberal yang kafir dan menafsirkan Islam agar tunduk pada kaidah-kaidah ideologi kapitalisme yang sekuler. Kemunkaran penguasa, misalnya menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan bernegara, menjalankan sistem demokrasi dalam bidang politik dan sistem kapitalisme dalam bidang ekonomi.
Semua itu termasuk kemunkaran atau kezaliman yang kita diwajibkan untuk menghilangkannya sesuai kesanggupan yang kita miliki. Jika umat diam saja serta rela terhadap semua itu, serta tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka berhatilah-hatilah dan waspadalah, karena berbagai cobaan, bencana, dan kerusakan akan bisa menimpa kita semua secara merata. Hancurnya kewibawaan umat, amburadulnya kondisi politik, serta porak porandanya kondisi ekonomi, merupakan sekelumit akibat buruk yang bisa kita alami secara bersama-sama akibat kelalaian kita beramar ma’ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang dilakukan sebagian dari kita.
Jelaslah, bahwa Islam adalah dien yang lurus yang mengajarkan adanya kepedulian dan tanggung jawab terhadap kepentingan dan kebaikan masyarakat, bukan ideologi individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama masyarakat. Itulah dien yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai ciri khas yang hanya dimiliki umat Islam, sebagai umat terbaik di antara seluruh umat manusia (Qs. Ali ’Imran [3]: 110). Inilah ciri khas yang berbeda dengan ciri khas kaum Bani Israil terlaknat yang tidak melarang kemunkaran yang dilakukan di antara mereka (Qs. al-Maa'idah [5]: 79), dan berbeda pula dengan ciri khas kaum munafik yang malah melakukan amar munkar dan nahi ma’ruf (Qs. At-Taubat [9]: 67). Wallahu a’lam []
Catatan Kaki:
1. Lihat misalnya Ibnu Taymiyah, Menuju Umat amar Ma’ruf Nahi Munkar (Al-Amru bil-Ma’ruf wa an-Nahyu ’an Al-Munkar), terjemahan oleh A.H. Hasan, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988. hal. 36; Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Cetakan XI, Jakarta : Media Dakwah, 2000, hal. 112.
2. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350
3. Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133.
4. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230.
5. Al-Husain ibn Mas’ud Al-Farra` Al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil, Beirut : Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1993, Juz II, hal. 203; penafisiran semakna lihat ‘Ala`uddin Al-Khazin (w. 741 H), Lubab At-Ta`wil fi Ma’an At-Tanzil (Tafsir Al-Khazin), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz II, hal. 22-23.
6. Imam Ibnu Arabi, Ahkamul Qur`an, Juz IV, hal. 228.
7. Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz VI, hal. 391.
8. Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta`wil (Tafsir Baidhawi), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz III, hal. 46-47.
9. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath Al-Tanzil, Kairo : Darul Kitab Al-‘Arabi, tanpa tahun, hal. 113; Lihat juga Abu Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas, hal. 147.
10. Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133.
11. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230
12. Tafsir Ibnu Katsir, Juz II, hal. 300.
13. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350.
14. Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, hal. 121; Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Damaskus : Darul Fikr, 2001, Juz I, hal. 248.
15. Lihat Imam Al-Ghazali, ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’, Ihya` Ulumiddin, terjemahan oleh Imron Abu Amar, Jakarta : Pustaka Amani, 1984, hal. 101-119.
Azab yang Merata Menimpa Semua Orang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar