Hukum
asalnya, wanita adalah seorang ibu dan pengatur rumah tangga, serta merupakan
suatu kehormatan yang wajib mendapatkan perlindungan
BAB
SISTEM PERGAULAN PRIA-WANITA (AN NIZHÂM AL IJTIMÂ’IY)
PASAL
108
Hukum
asalnya, wanita adalah seorang ibu dan pengatur rumah tangga, serta merupakan
suatu kehormatan yang wajib mendapatkan perlindungan
KETERANGAN
Hadits-hadits
tentang anjuran nikah untuk memperoleh kelahiran anak. Misalnya, “Nikahilah olehmu wanita-wanita yang
mencintai dan dapat melahirkan anak, maka sesungguhnya dengan banyaknya kamu
itu aku akan bermegah-megah terhadap nabi-nabi yang lain di Hari Kiamat”
(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Hadits-hadits
larangan seorang perempuan keluar tanpa ijin suaminya.
Perintah
bagi perempuan untuk menutup auratnya dan berjilbab. Lihat QS.(24):31, (33):59,
(24):27
PASAL
109
Kehidupan
kaum muslimin pria terpisah dengan kaum wanita. Mereka tidak dapat berkumpul,
kecuali jika terdapat suatu keperluan hidup sebatas yang dibolehkan syara’,
seperti jual beli; atau keperluan untuk berkumpul, misalnya untuk melaksanakan
ibadah haji.
Hadits-hadits
yang memerintahkan shaf wanita terpisah dari shaf laki-laki.
Laki-laki
dan perempuan diperintahkan untuk menundukkan pandangan. Lihat QS.(24):30-31.
Perintah
mengenakan jilbab bila keluar rumah, tidak tabarruj,
dan dalam kehidupan khusus hanya boleh terlihat aurat oleh suami atau
mahramnya. Lihat QS.(24):31, (33):59.
PASAL
110
Wanita
mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, kecuali sesuatu yang
dikhususkan oleh Islam untuk wanita atau laki-laki berdasarkan dalil-dalil
syar’i. Wanita memiliki hak berdagang, melakukan aktivitas perdagangan,
pertanian, perindustrian dan melakukan berbagai macam akad mu’amalat lainnya.
Wanita dibolehkan memiliki setiap jenis kepemilikan dan mengembangkan
kekayaannya, baik secara sendiri maupun bekerja sama dengan orang lain; serta
berhak menjalankan sendiri segala urusan kehidupan.
KETERANGAN
Seruan-seruan
Islam ditujukan secara umum baik untuk laki-laki maupun perempuan. Lihat
(2):104, 153, 172, 178, 183, 208, 263, 267, 278; (3):100, 118, 149, 156;
(4):29, 43, 59, 71, 135, 136; (5):51, 94, 106; (8):24, 45 dsb.
PASAL
111
Wanita
boleh diangkat sebagai pegawai negeri, memilih anggota Majelis Umat dan menjadi
anggota Majelis Umat, serta berhak memilih khalifah dan membai’atnya.
KETERANGAN
Pegawai
negeri adalah pekerja (ajiir). Dalam ijarah, perempuan boleh menjadi ajir.
Lihat
pula keterangan Pasal 101 dan Pasal 103.
Hadits
Ummu ‘Athiyyah tentang pembai’atan perempuan.
QS.(60):12
PASAL
112
Seorang
wanita tidak dibolehkan memangku jabatan pemerintahan, seperti khalifah, Mu’awin,
wali, atau amil; dan tidak dibolehkan memangku jabatan apapun yang berhubungan
dengan kekuasaan negara. Perempuan juga tidak boleh menjadi Qadhi Qudhat, qadhi
di Mahkamah Mazhalim, maupun Amirul Jihad.
KETERANGAN
“Tidak akan pernah beruntung kaum manapun
yang menyerahkan urusan (kekuasannya) kepada seorang perempuan.” (HR.
Bukhari). Topik hadits ini adalah tentang kekuasaan dan negara.
PASAL
113
Wanita
bergaul dalam kehidupan umum maupun dalam kehidupan khusus. Di tengah kehidupan
masyarakat umum dibolehkan bergaul bersama kaum wanita atau kaum laki-laki baik
yang mahram maupun yang bukan; dengan syarat tidak menampakan auratnya, kecuali
muka dan telapak tangan, tanpa tabarruj
dan tidak menampilkan lekuk tubuhnya. Dalam kehidupan khusus tidak dibolehkan
sama sekali bergaul dengan kaum laki-laki kecuali kepada wanita maupun lelaki
mahramnya. Dalam kedua macam kehidupan itu wanita harus terikat dengan seluruh
hukum syara’.
KETERANGAN
Lihat
keterangan Pasal 109
QS.(24):60
PASAL
114
Wanita
dilarang berkhalwat tanpa mahram, dan dilarang bertabarruj serta menampakkan
auratnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya.
KETERANGAN
Sabda
Nabi SAW : “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah ia melakukan khalwat dengan seorang
wanita yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya itu
adalah setan.”
QS.(24):60,
(24):30-31
PASAL
115
Seorang
laki-laki maupun wanita tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan yang dapat
membahayakan akhlak atau mengundang suatu kerusakan dalam masyarakat.
KETERANGAN
Râfi’
bin Rifâ’ah bertutur : “Nabi SAW melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan
wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda : ‘Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana
halnya tukang roti, pemintal atau pengukir’.”
Kaidah
ushul : “Sarana menuju perkara haram adalah haram” (al wasîlatu ila al harâm harâm).
Kaidah
ushul : “Suatu perkara mubah bila salah satu bagiannya menyebabkan dharar
(marabahaya) dilaranglah bagian itu saja sementara sesuatu yang mubah tadi itu
tetap mubah” (Asy syai`u al mubâhu idzâ
adday fardun min afrâdihi ilâ adh dharâr yumna’u dzâlika al fardu wahdahu wa
yabqâ asy syai`u mubâhan).
Hukum asalnya, wanita adalah seorang ibu dan
pengatur rumah tangga, serta merupakan suatu kehormatan yang wajib mendapatkan
perlindungan
Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar