Pemilu Tidak
Menghasilkan Perbaikan
Banyak orang berharap, Pemilu akan
menghasilkan banyak perbaikan. Bahkan tak sedikit yang yakin bahwa Pemilu
merupakan jalan satu-satunya untuk melakukan perbaikan. Carut-marut dan
kekacauan ekonomi yang selama ini terjadi diharapkan sirna melalui Pemilu yang
akan melahirkan para pemimpin rakyat yang baru. Apalagi, katanya, Pemilu
sekarang beda, terutama karena rakyat akan memilih langsung presiden dan
wakilnya. Artinya, Pemilu sekarang ini dipandang akan lebih mencerminkan
kehendak dan dukungan rakyat. Apa yang dihasilkan nanti benar-benar merupakan
aspirasi rakyat. Dengan demikian, Pemilu saat ini diharapkan mampu memberikan perbaikan
yang signifikan bagi kehidupan masyarakat. Betulkah demikian?
Sebagai Muslim, jika kita berkeinginan melakukan perbaikan
dalam masyarakat menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik maka, tidak
boleh tidak, kita harus menengok kembali bagaimana Rasulullah saw. melakukan
tahapan-tahapan dalam perubahan masyarakat. Mengapa demikian? Sebab, ada dua
tuntutan yang harus kita kedepankan.
Pertama,
dari segi keyakinan, seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
seharusnya senantiasa mengikatkan diri pada apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya.
Apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah ketetapan yang
pasti dan tidak boleh ditawar-tawar lagi. Kita pun yakin bahwa cakupan aturan
Allah bukan hanya dalam masalah ibadah semata, namun lebih dari itu; termasuk
di dalamnya aturan bagaimana mengubah masyarakat. Karena itu, tatkala kita
berkeinginan untuk mengubah masyarakat kita tidak boleh lepas dari tuntunan
Rasul bagaimana mengubah masyarakat.
Kedua, dari segi fakta,
perubahan yang dilakukan Rasul adalah perubahan yang mendasar lagi gemilang.
Bagaimana tidak? Masyarakat Arab jahiliah, tatkala belum masuk Islam, terkenal
suka membunuh, berjudi, mabuk-mabukkan, saling berperang, dan merendahkan
martabat perempuan. Dalam waktu singkat, Rasulullah saw. kemudian berhasil
mengubah mereka menjadi masyarakat yang beradab, bermartabat, dan disegani. Ya,
hanya dalam satu generasi, bangsa Arab yang jauh terbelakang, berubah menjadi
bangsa muslim yang maju dan menjadi pelopor peradaban. Adakah yang lebih hebat
dari perubahan yang terjadi pada diri mereka?
Walhasil, bagaimana Rasulullah mengubah masyarakat itulah
yang kemudian kita jadikan tuntunan dalam melakukan perubahan masyarakat. Tidak
boleh tidak.
Perubahan Butuh Dukungan Rakyat
Memang benar, bahwa perubahan haruslah mendapat dukungan dari
masyarakat. Tidak logis jika kita menginginkan perubahan di dalam masyarakat
namun masyarakat sendiri tidak mendukungnya. Oleh karena itu, masyarakat harus
dilibatkan secara aktif, bahkan harus menjadi pelaku utama perubahan; tak
terkecuali perubahan ke arah masyarakat yang islami.
Banyak contoh perubahan masyarakat tanpa dukungan masyarakat
akan menemui kegagalan di tengah jalan. Demikian juga yang terjadi di Aljazair.
Walau sudah menang dalam pemilihan umum secara mutlak pada putaran pertama,
namun karena militer (sebagai pemilik kekuatan/ahlul quwwah) masih berpihak
pada rezim yang ada, maka kemenangan tersebut akhirnya dibatalkan. Bahkan yang
terjadi adalah mereka (para aktivis Islam) justru dipenjarakan. Artinya, bukan
hanya masyarakat saja, namun kalangan militer dan tokoh-tokoh pejabat negara
(ahlul quwwah) yang ikut menentukan nasib suatu negeri pun harus ikut mendukung
bagi penerapan dan pelaksanaan syariat Islam.
Walhasil, seluruh
komponen masyarakat baik dia petani, pedagang, tukang becak, guru, pegawai
negeri, pegawai swasta, pengacara, hakim, jaksa, tentara, polisi, menteri,
kepala suku dan unsur-unsur lainnya harus dipersiapkan agar mendukung perubahan
masyarakat ke arah Islam. Disinilah pembinaan masyarakat, menjadi sangat penting.
Sekadar Pemilu Tak Akan Mengubah Apapun
Pemilu sekarang
diprediksikan tidak akan memberikan perbaikan yang berarti. Pertama,
dari sisi pemilihnya. Kebanyakan keikutsertaan pemilih pada Pemilu sekarang
bukan karena untuk perbaikan namun karena mengharap ‘pengakuan’ dari
masyarakat. Mereka takut mendapat sanksi sosial berupa ‘dikucilkan’ di tengah
masyarakat jika tidak ikut dalam Pemilu nanti. Artinya, mereka memilih ikut
Pemilu walau dengan penuh keterpaksaan.
Selain itu, menurut
suatu survei, 80% dari calon pemilih menyatakan Pemilu sekarang tidak akan
membawa perbaikan. Alasan yang mereka kemukakan adalah tidak terjaminnya
aspirasi mereka setelah Pemilu nanti. Menurut mereka, para politisi yang ada
hanya menebar janji, sedangkan bukti tidak menjadi perhatian. Masyarakat ‘akar
rumput’ saat ini pun banyak yang apatis. Dalam benak mereka yang penting
sembako bisa tercukupi. Dalam kampanye, misalnya, kalau ada partai yang memberi
mereka iming-iming sembako dan sejumlah uang maka mereka pun akan ikut, tidak
peduli nanti coblos apa. Yang penting terima dulu. Coblos masalah nanti. Bahkan
tidak jarang ‘bayangan mimpi indah yang semu’ zaman Orde Baru hinggap di benak
masyarakat, karena dianggap lebih tenang, nyaman, dan sejahtera; tidak banyak
huru-hara dan tetek-bengek persoalan politik — walau sebenarnya tatanan
masyarakat saat itu tak kalah rusaknya.
Kedua, dari sisi calon
legislatifnya. Tampak pada Pemilu sekarang wajah-wajah lama yang berbau KKN
bercokol di sejumlah partai kontestan Pemilu. Menurut LSM Gerakan Nasional
Tidak Pilih Politisi Busuk, minimal ada 61 politisi busuk yang tersebar di
berbagai partai politik kontenstan Pemilu saat ini yang masih dijagokan sebagai
calon legislatif. Hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan dari calon-calon
legislatif nantinya tentu tidak akan jauh berbeda dengan yang sudah-sudah.
Dari realitas di atas tampak bahwa Pemilu bukanlah metode
yang dapat melakukan perbaikan dalam masyarakat. Hal ini terjadi dalam berbagai
Pemilu di berbagai belahan dunia. Pemilu hanyalah salah satu cara untuk memilih
pemimpin, tapi bukan metode perbaikan masyarakat.
Metode Rasul Dalam Melakukan Perbaikan
Jika kita menelaah perjalanan dakwah Rasulullah saw. secara
mendalam dan jernih maka akan kita dapati bahwa beliau — dalam mengubah dan menata
umat — menempuh tiga tahapan.
Apa yang dilakukan oleh Rasul di rumah Arqam bin Abi al-Arqam
adalah tahapan pertama-nya.
Di rumah tersebut dilakukan penempaan
dan pembinaan secara intensif para kader dakwah. Pembinaan intensif ini
dilakukan melalui halqah-halqah (kelompok pembinaan kecil di bawah bimbingan
pembina halqah yang waktu itu dipimpin secara langsung oleh Rasulullah) untuk
menanamkan fikrah Islam kepada kader yang memang telah secara ikhlas ingin
terlibat dalam dakwah. Tujuannya adalah untuk membentuk kader yang
berkepribadian Islam, yakni yang berpola pikir dan berperilaku sesuai dengan
ajaran Islam, serta bersedia terlibat dalam dakwah Islam. Kader-kader dakwah
ini selanjutnya diharapkan mau dan mampu mengemban pemahaman Islam yang telah mereka
pahami ke tengah-tengah masyarakat.
Tahapan
kedua adalah membentuk kesadaran dan opini umum di tengah umat (tafâ‘ul
ma‘a al-ummah). Perjuangan untuk
menerapkan hukum Islam memerlukan kekuatan, yakni dukungan umat. Masalahnya,
umat yang bagaimana yang akan mendukung dakwah? Tentu adalah umat yang sadar
dan memiliki kesadaran politik Islam, yaitu mereka yang merasa diri dan
masyarakatnya harus diatur hanya dengan syariat Islam saja. Jika kesadaran
seperti ini telah terbentuk di tengah-tengah masyarakat, ditambah dengan adanya
dukungan dari para ahlul quwwah (para politisi, pejabat negara, militer,
dan sebagainya) maka berarti dakwah telah memiliki kekuatan pendukung besar
untuk menuntut perubahan ke arah Islam. Inilah pentingnya tahap interaksi
dengan masyarakat. Perubahan mendasar berlandaskan Islam tidak akan mungkin
bisa dicapai jika tidak ada kesadaran umum masyarakat tentang Islam. Kesadaran
ini tidak akan tercapai jika tidak ada interaksi para pengemban dakwah dengan
masyarakat.
Keterlibatan Rasul saw. dalam benturan pemikiran dengan cara
mematahkan argumentasi-argumentasi yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliah
ketika menyembah Latta dan Uzza serta bentuk-bentuk kemusyrikan dan kekufuran
yang lainnya adalah upaya nyata untuk menyadarkan umat bahwa apa yang telah
dilakukan mereka selama ini adalah bentuk kebodohan dan kesalahan yang besar.
Keyakinan, standar perbuatan, dan aktivitas yang sudah menjadi perilaku hidup
masyarakat yang bertentangan dengan seruan Allah, oleh Rasul dirombak dan diganti
sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Sementara itu, lobi-lobi yang
dilakukan oleh Rasul tatkala musim haji dengan kabilah-kabilah yang datang ke
Makkah adalah upaya Rasul untuk memperoleh dukungan dari ahlul quwwah
(pemilik kekuatan). Sebab, dari merekalah dakwah Islam kemudian mendapat
jaminan keselamatan.
Tahapan ketiga adalah penyerahan kekuasaan dari umat kepada para pengemban
dakwah yang selama ini menyerukan penerapan syariat Islam. Tatkala dakwah di Makkah semakin menemui hambatan, namun di
sisi lain perkembangan dakwah dan penerimaan masyarakat Madinah untuk diatur
sesuai dengan syariat Islam semakin mengkristal, maka Rasul kemudian hijrah ke
Madinah. Hijrahnya Rasul bukanlah lari dari ancaman siksaan yang akan dilakukan
oleh orang-orang Quraisy, namun lebih disebabkan oleh adanya masyarakat Madinah
yang mau menyerahkan kekuasaan kepada Rasul untuk mengatur mereka berlandaskan
syariat Islam. Di Madinahlah institusi Negara Islam pengayom umat berdiri.
Dengan negara inilah kesejahteraan dan kenikmatan hidup umat terjaga.
Walhasil, perbaikan mendasar itu adalah menegakkan kehidupan
Islam dengan jalan menerapkan syariat Islam secara kâffah dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Langkah terpenting adalah melalui penyadaran
umat bagi munculnya kekuatan umat demi tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah.
‘Alâ kulli hâl, marilah kita sambut seruan Allah Swt. yang
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberi kehidupan
kepada kalian. (Qs. al-Anfâl
[8]: 24).
Wallâhu a‘alam bi ash-shawâb.
Pemilu Tidak Menghasilkan Perbaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar