Pengertian Aqidah Arti Definisi
3. Pengertian
Aqidah
Karena makalah ini meninjau ideologi
dari segi asas, maka akan diperdalam mengenai apa yang dimaksud dengan aqidah
yang menjadi asas sebuah ideologi.
Dalam kamus Al Muhith karya Al Fairuz
Abadi, seperti dikutip Muhammad Husain Abdullah (1990) dalam Dirasat fi Al
Fikr Al Islami, aqidah secara bahasa berasal dari fi’il madhi ‘aqada, yang bermakna
syadda (menguatkan atau mengikatkan). Maka dari itu, kata ‘aqada
dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai makna yang intinya mengandung makna
ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al habl (mengikatkan tali), ‘aqdu
al bai’ (mengadakan aqad (“ikatan”) jual-beli), ‘aqd al ‘ahdi
(mengadakan aqad (“ikatan”) perjanjian) dan sebagainya (Muhammad Husain
Abdullah, 1990).
Masih secara bahasa, aqidah dapat pula
bermakna ma in’aqada ‘alaihi al qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu
terikat padanya (Muhammad Husain Abdullah, 1990). Adapun pengertian in’aqada
adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan
(hati itu membenarkannya secara yakin/pasti) (Taqiyuddin An Nabhani, 1994, Syakhshiyyah
Al Islamiyah, Juz I, hlm. 191).
Dengan demikian, menurut bahasa, apa yang
disebut aqidah itu adalah segala sesuatu pemikiran yang dibenarkan secara pasti
oleh hati sedemikian rupa, sehingga hati itu kemudian terikat kepadanya dan
memberi pengaruh nyata pada manusia. (Taqiyuddin An Nabhani, 1994).
Pemikiran yang
demikian haruslah berupa pemikiran yang mendasar, atau pemikiran yang tercabang
dari pemikiran mendasar. Pemikiran seperti inilah yang mempunyai pengaruh nyata
pada seorang manusia. Misalnya pemikiran tentang adanya Hari Kiamat, surga,
neraka, dan sebagainya. Pemikiran seperti ini mempunyai pengaruh nyata dalam
kehidupan manusia. Orang yang beriman pada Hari Kiamat, misalnya, akan
berhati-hati dalam hidupnya, tidak hidup liar dan seenaknya, karena dia yakin
bahwa suatu saat kelak semua perbuatannya harus dipertanggungjawabkan pada Hari
Kiamat.
Sedangkan
pemikiran-pemikiran yang tidak mendasar, dengan demikian, tidak disebut dengan
aqidah, karena terikatnya hati dengan pemikiran-pemikiran seperti itu tidak
memberikan dampak nyata terhadap manusia. Misalnya pemikiran bahwa bumi itu
bulat, atau bahwa matahari pusat tatasurnya, dan sebagainya, bukanlah aqidah.
Karena terikatnya hati dengan hal-hal tersebut tidak membawa dampak yang nyata
terhadap keyakinan atau perilaku manusia.
Pengertian aqidah secara bahasa ini menjadi
dasar perumusan pengertian aqidah secara istilah. Jika aqidah merupakan
pemikiran-pemikiran mendasar yang hati itu terikat kepadanya (membenarkannya
secara pasti), maka pertanyaan yang muncul adalah, pemikiran apakah yang merupakan pemikiran mendasar itu?
Dari sinilah
muncul definisi aqidah secara istilah, yang dalam perumusannya terkandung
pemikiran-pemikiran paling mendasar yang tidak ada pemikiran lain yang lebih
mendasar lagi. Di atas pemikiran mendasar itulah dibangun pemikiran-pemikiran
cabang yang berkenaan dengan kehidupan secara praktis, seperti sistem ekonomi,
politik, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran ini adalah pemikiran menyeluruh
tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan serta pemikiran-pemikiran lain
yang berhubungan dengannya.
Karena itu, secara istilah, aqidah
adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta
tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta
hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan
sesudah kehidupan dunia. (Muhammad Husain Abdullah, 1990). Definisi ini adalah
definisi umum yang dapat berlaku untuk semua pemikiran mendasar atau aqidah. Ia
dapat berlaku untuk aqidah ideologi kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari
kehidupan, atau aqidah ideologi sosialisme, yaitu materialisme, dan berlaku
pula untuk Aqidah Islamiyah.
Definisi aqidah ini bila diurai secara
rinci, mengandung 4 (empat) poin
pemikiran:
Pertama, aqidah
membahas tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dasar pembahasan tiga
unsur ini berasal dari kenyataan bahwa manusia itu hidup di alam semesta (al
insan yahya fi al kaun).
Karena itu,
aqidah harus menjelaskan hakikat manusia sebagai subjek (pelaku) kehidupan.
Aqidah harus
pula menjelaskan hakikat kehidupan, yang dengan adanya kehidupan itu dalam diri
manusia, dia dapat beraktivitas dalam segala macam bentuknya. Yang dimaksud
kehidupan di sini adalah sesuatu yang terdapat pada makhluk hidup dengan
berbagai tanda-tanda kehidupan yang ada padanya, misalnya pertumbuhan, gerak,
kebutuhan akan makanan, peka terhadap rangsang, dan sebagainya.
Aqidah harus
pula menjelaskan alam semesta, karena alam semesta merupakan tempat manusia
hidup.
Dalam poin
pertama ini, aqidah menjelaskan hakikat tiga unsur ini berkaitan keberadaan
ketiganya dalam kehidupan dunia. Apakah tiga unsur itu makhluk (diciptakan) ataukah
azali (abadi)? Khusus untuk
manusia, poin pertama ini menjawab pertanyaan untuk apa manusia itu menjalani
kehidupan dunia?
Kedua, aqidah
membahas tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia. Maksudnya, aqidah harus
menjelaskan sesuatu yang ada sebelum manusia hadir dalam kehidupan dunia.
Dengan ungkapan lain, poin kedua ini menjawab pertanyaan, dari mana manusia
berasal? Apakah dia ada dengan sendirinya atau ada yang menciptakannya?
Ketiga, aqidah
membahas tentang apa yang ada sesudah kehidupan dunia. Maksudnya, aqidah harus
menjelaskan sesuatu yang ada setelah manusia mati atau meninggalkan kehidupan
dunia. Dengan ungkapan lain, poin ketiga ini menjawab pertanyaan, ke mana
manusia menuju setelah kematian? Apakah akan berakhir begitu saja ataukah akan
ada pertanggung jawaban?
Keempat, aqidah
membahas hubungan yang ada antara kehidupan dunia (yang di dalamnya ada unsur
manusia, alam semesta, dan kehidupan), dengan apa yang ada sebelum kehidupan
dunia dan sesudah kehidupan dunia.
Hubungan apakah
yang ada antara apa yang ada sebelum kehidupan dunia dengan kehidupan dunia?
Hubungan apakah
yang ada antara kehidupan dunia sekarang dengan apa yang sesudah kehidupan
dunia?
Pertanyaan–pertanyaan
inilah yang dijawab dalam poin keempat ini. Berikut bagan tentang empat
pertanyaan tersebut.
SEBELUM KEHIDUPAN DUNIA
|
KEHIDUPAN DUNIA
|
SESUDAH KEHIDUPAN DUNIA
|
||||
|
·
MANUSIA?
·
KEHIDUPAN?
·
|
|
MISI HIDUP
MANUSIA? |
MANUSIA
MATI
|
MANUSIA
LAHIR
|
Gb. 4.
Pertanyaan Besar Manusia (Al ‘Uqdatul Kubro)
Dengan demikian, dalam definisi aqidah,
terdapat penjelasan-penjelasan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini disebut juga dengan istilah al
‘uqdah al kubro (simpul-simpul besar), yakni pertanyaan-pertanyaan besar
dan mendasar tentang dari mana manusia (juga kehidupan dan alam semesta)
berasal, untuk apa manusia hidup, dan ke
mana nanti manusia setelah mati. (Muhammad Husain Abdullah, 1990).
Jawaban-jawaban terhadap al-Uqdatu
al-Kubro ini menurut Muhammad Husain Abdullah disebut dengan fikrah
kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena jawabannya mencakup segala sesuatu
yang maujud (alam semesta, manusia, dan kehidupan) di samping mencakup ketiga
fase kehidupan yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiga
fase kehidupan itu. Jawaban itu
disebutnya juga sebagai aqidah (pemikiran yang mendasar) dan qa’idah
fikriyah (landasan pemikiran). Disebut aqidah, karena memang jawaban
terhadap al-Uqdatu al-Kubro merupakan
pemikiran yang mendasar. Dan disebut qa’idah fikriyah, karena
jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun
pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.
Berikut adalah bagan yang menjelaskan
hubungan aqidah sebagai jawaban dari Al Uqdatul Kubro.
DARI MANA
MANUSIA ADA ?
|
UNTUK APA
MANUSIA HIDUP ?
|
KEMANA
MANUSIA SETELAH MATI ?
|
SEKUMPULAN
JAWABAN TERHADAP AL-UQDATUL KUBRO
|
PERTANYAAN
BESAR
(AL-UQDATUL KUBRO)
|
AQIDAH à
Gb.5. Aqidah
Merupakan Jawaban Al Uqdatul Kubro
Pengertian Akidah Arti
Definisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar