Kritik Terhadap Sistem
Ekonomi Kapitalisme
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
b. Kritik Terhadap Sistem
Kapitalisme
Kritik menghendaki
objektivitas terhadap apa yang akan dikritik. Maka, kritik terhadap kapitalisme
ini akan diawali dengan deskripsi ringkas kapitalisme (objek kritik),
baru dilanjutkan dengan kritik terhadap apa yang telah dideskripsikan
itu.
Untuk dapat melakukan kritik terhadap sistem ekonomi, kita harus
berangkat dari pemahaman bahwa setiap sistem ekonomi itu muncul dari sebuah
pandangan hidup tertentu, atau sebuah ideologi tertentu. Sistem Ekonomi
kapitalisme dibangun dari sebuah pandangan atau ide sekularisme yaitu pemisahan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan agama (fashlu al-din ‘ani
al-hayat). Paham ini intinya
memandang bahwa manusia hidup di dunia ini bebas untuk mengatur kehidupannya dan tidak boleh dicampuri oleh
agama. Agama hanya boleh hidup di gereja atau di masjid-masjid saja.
Dengan demikian, menurut sekularisme aturan
kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari wahyu
Allah Swt. (al-Qur’an dan as-Sunnah). Sepenuhnya diserahkan kepada
manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan azas manfaat (naf’iyyah) ini, yang baik adalah yang
memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk
adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah
terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat
diindera dan dirasakan (barang)
maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa).
Berangkat dari sudut pandang inilah yang disebut problema yang
mendasar dari ekonomi kapitalisme adalah
bagaimana manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya. Mengapa hal ini
dianggap problem mendasar, karena sistem ekonomi kapitalisme memandang bahwa
kebutuhan manusia itu tidak terbatas,
padahal sarana pemenuhannya terbatas. Dengan
demikian yang menjadi sasaran utama dari pembahasan ekonomi kapitalisme adalah
bagaimana manusia mampu senantiasa menyediakan kebutuhan barang dan jasanya.
Berangkat dari kebutuhan inilah kapitalisme membangun teori-teorinya.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana agar manusia senantiasa
dapat memenuhi kebutuhannya tersebut? Untuk dapat menjawab persoalan itu,
mereka kemudian melakukan pengamatan dan penelitian yang mendalam terhadap
fakta, bagaimana sesungguhnya manusia memberi penilaian terhadap kebutuhannya pada barang dan jasa. Penilaian
manusia terhadap barang dan jasa dapat dilihat dari batas akhir kepuasan yang diperoleh manusia ketika mengkonsumsi
barang dan jasa. Nilai batas ini tidak semata-mata ditentukan oleh permintaan
konsumen, melainkan juga dibatasi oleh penawaran produsen. Sehingga nilai guna
barang dan jasa tersebut akhirnya ditentukan oleh titik temu antara permintaan
dan penawaran.
Selanjutnya, nilai dari barang dan jasa ternyata juga dapat
dilihat dari sejauh mana dapat dipertukarkan
terhadap barang dan jasa yang lain. Barang dan jasa dapat dikatakan mempunyai
nilai yang tinggi apabila mempunyai kekuatan tukar terhadap yang lain. Dari
sinilah dibutuhkan unit pengukuran yang ideal agar mampu memberi penilaian
terhadap semua barang dan jasa yang akan dipertukarkan. Unit pengukur tersebut
disebut uang. Penisbatan pertukaran
barang dan jasa terhadap uang selanjutnya disebut harga. Harga tersebut juga ditentukan oleh titik temu antara
permintaan dan penawaran.
Dengan adanya harga
tersebut, akhirnya manusia dengan mudah dapat memberikan penilaian terhadap
barang dan jasa. Dengan harga manusia dapat menentukan mana barang dan jasa
yang harus ditingkatkan produksinya
dan mana yang tidak. Dengan harga manusia dapat menentukan tingkat konsumsi yang harus dilakukan terhadap
barang dan jasa. Selanjutnya ketika manusia sudah dapat mengendalikan laju
produksi dan konsumsinya pada tingkat yang seimbang maka barang dan jasa secara
otomatis akan terdistribusi secara
sempurna di tengah-tengah masyarakat.
Dengan telah terjaminnya tingkat produksi, konsumsi dan
distribusi itulah ekonomi kapitalisme diyakini dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi ummat manusia
dengan satu mekanisme kendali, yaitu pasar
bebas, atau pasar persaingan sempurna, di mana keseimbangan harga
sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang ada di pasar,
dengan tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun, termasuk dari pihak
negara.
Itulah gambaran sepintas
sistem ekonomi kapitalisme dengan segenap janji-janjinya. Yang menjadi
pertanyaan adalah: Mengapa keadilan ekonomi yang dijanjikan kapitalisme gagal
terwujud? Menurut penulis, kegagalan sistem ekonomi kapitalisme tersebut
disebabkan oleh lemahnya sistem ekonomi kufur itu sendiri yang merupakan cacat
yang dibawa sejak lahir. Beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan
kapitalisme tersebut –dan ini sekaligus juga poin-poin kritik atas kapitalisme—
di antaranya adalah:
Pertama:
Dominansi sistem pasar bebas
yang ada dalam kapitalisme, telah mendorong para pelaku ekonominya untuk
senantiasa berkompetisi secara bebas dan untuk selalu dapat menang dalam
persaingan sehingga selalu dapat meraih keuntungan yang setinggi-tingginya.
Akibatnya, dalam memilih barang yang harus diproduksi dan dijual dipasar,
kapitalisme sudah tidak pernah melihat lagi apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan manusia atau tidak.
Kapitalisme sudah terpaku pada bagaimana agar barang yang diproduksi itu laku
di pasaran, walaupun sebenarnya masyarakat tidak terlalu butuh dengan barang
atau jasa tersebut. Jika perlu kapitalisme dapat mendorong terciptanya
kebutuhan semu (keinginan) masyarakat melalu berbagai iklan dan promosi yang dilakukan
secara besar-besaran.
Akhirnya masyarakat
kapitalis tidak dapat lagi membedakan mana sesungguhnya yang disebut dengan kebutuhan (yang secara keliru dianggap
tidak terbatas tersebut) dan mana yang disebut dengan keinginan. Kapitalisme menjadi tidak peduli lagi dengan apa yang
disebut kebutuhan dasar (hajah asasiyah)
manusia (yang kalau tidak dipenuhi manusia akan mati) dan mana yang seungguhnya
hanya kebutuhan pelengkap (hajah
dzaruriah dan kamaliah atau
sekunder dan tersier). Akibatnya, pelaku ekonomi dalam sistem kapitalisme
cenderung hanya terpacu untuk memproduksi barang dan jasa yang menjanjikan
tingkat harga yang tinggi saja, karena hanya barang dan jasa seperti itulah yang akan memberikan
keuntungan besar.
Kenyataan itu juga diperkuat
dengan adanya anggapan bahwa kebutuhan manusia tidaklah terbatas, dan bila
tidak dipenuhi akan menimbulkan problem. Padahal kenyataannya untuk
kebutuhan-kebutuhan tertentu (khususnya kebutuhan dasar) manusia tetaplah
mempunyai batas-batas tertentu ketika mengkonsumsinya. Tidaklah mungkin,
misalnya seorang manusia mampu mengkonsumsi seratus piring nasi per hari dan
kemudian terus menginginkan menjadi seribu piring nasi per hari.
Sesungguhnya yang akan
menimbulkan problem serius pada manusia hanyalah jika kebutuhan dasar tersebut
tidak terpenuhi. Untuk kebutuhan yang sifatnya pelengkap, jika tidak terpenuhi
sesungguhnya tidak akan menimbulkan problem yang serius.
Kapitalisme tidak memiliki peran khusus dan serius untuk
mengatur sedemikian rupa agar kebutuhan dasar manusia itu terpenuhi semua untuk
setiap individu (tanpa kecuali dan tidak
boleh ada satupun yang tertinggal), baru bisa bicara untuk produksi barang dan
jasa yang sifatnya hanya sebagai pelengkap atau barang mewah lain. Mengingat
kebutuhan dasar manusia itu sebenarnya terbatas, maka untuk memenuhinya
seharusnya bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Namun kenyataannya hal itu
tidak pernah terwujud, yang terjadi adalah kesenjangan ekonomi yang luar biasa
yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi ini.
Kedua:
Akibat dari pandangan
kapitalisme yang menganggap bahwa nilai guna dan nilai tukar dari barang dan
jasa itu ditentukan oleh titik temu dari permintaan dan penawaran, yang
tersimpul dalam harga, maka barang dan jasa apa saja dianggap bernilai guna
jika ada harganya. Hal ini akan
mendorong kepada produsen untuk menawarkan apa saja asal ada permintaan yang tinggi (harga
tinggi), tidak peduli barang dan jasa itu membahayakan masyarakat atau tidak.
Fakta yang berkembang ternyata barang dan jasa yang merusak masyarakatlah yang
paling laku di pasaran dan paling banyak menyedot peredaran mata uang.
Ketiga:
Akibat dari pandangan bahwa
problem ekonomi manusia adalah masalah kelangkaan (scarcity), maka hal itu akan mendorong para ekonom kapitalisme
untuk menyelesaikannya dengan senantiasa meningkatkan produksi yang
setinggi-tingginya, hal ini telah mendorong kapitalisme untuk membuka berbagai
ragam jalan, sehingga tingkat produksi dapat terus terdongkrak.
Keinginan untuk senantiasa
meningkatkan produksi selalu terkait dengan kebutuhan akan modal yang besar dan
selalu mudah untuk diperbesar. Ternyata hal ini telah mendorong munculnya
berbagai bentuk lembaga keuangan (sesuai prinsip jika ada permintaan pasti
memunculkan penawaran), yang selanjutnya dikenal dengan ekonomi sektor non
riil, seperti: perbankan, asuransi, bursa saham, bursa valuta asing dan sebagainya.
Karena sedemikian vitalnya, menjadikan sektor inilah yang akhirnya mempunyai
andil paling besar dalam menggelembungkan ekonomi kapitalisme (buble raising). Hampir semua penduduk
yang mempunyai kelebihan uang (dan tidak bisa mengelolanya) akan melarikan
uangnya ke sektor ini. Dan kita sudah bisa menebak, siapa-siapa yang akan
menikmati arisan ini, tentu saja group pemilik bank atau perusahaan-perusahaan
(yang sudah besar) yang memiliki bank atau terdaftar di pasar bursa saja. Jika
terjadi krisis ekonomi, para “penguasa industri uang” yang lihai tidak terkena
kerugian sebagaimana masyarakat umum. Penggelembungan sektor pasar finansial (pasar non-riil)
ribawi yang pasti berulang akan terus memunculkan krisis ekonomi (periode
kempes) dan menyengsarakan kehidupan manusia. Krisis diakibatkan sektor
sesat non-riil sementara dampaknya sangat riil.
Keempat:
Kerakusan kapitalisme akan
semakin menjadi-jadi bila produsen-produsen besar (swasta), sudah merambah
kepada sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak (pemilikan
umum), seperti: pertambangan, energi, minyak bumi, kehutanan, jalan, pelabuhan
dan sebagainya. Mereka melakukan praktik cuci mangkok dengan hanya menyisakan
sedikit untuk membayar pajak bagi pemerintah. Bisa diingat bagaimana kasus HPH,
Freeport, Busang, Pertamina, Exxon
Oil, Caltex, jalan tol dan sebagainya. Paham kapitalisme membolehkan
segala cara yang bisa diusahakan untuk memiliki apapun termasuk membeli
pemerintah, memesan undang-undang, menguasai tambang dan banyak mencuri hasilnya,
memesan perang, memanfaatkan tren seks bebas, dsb.
Kelima:
Puncak dari itu semua
akhirnya terangkum pada bagaimana ekonomi kapitalisme memberikan indikator bagi
tingkat kesejahteraan masyarakat di sebuah negara, dengan mengukur pada tingkat
produksi rata-rata dari jumlah penduduk secara nasional (atau domestik) per
tahun, yang biasa dikenal dengan GNP ataupun GDP. Dengan suatu anggapan bahwa
jika GNP naik maka pembangunan di negara itu sukses dan rakyatnya semakin
sejahtera. Hal ini akan mendorong penguasanya untuk selalu memacu dan memacu
tingkat produksi secara nasional saja, tanpa melihat lagi satu persatu individu
rakyatnya apakah sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya atau belum. Karena angka
tersebut hanyalah angka rata-rata. Sangat mungkin terjadi ketika segelintir orang penghasilannya
meningkat tajam sementara sebagian besar yang lain turun, akan memberikan nilai
GNP yang meningkat.
Kritik Terhadap Sistem Ekonomi
Kapitalisme
{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar