Kesalahan Paham Kebebasan
1. Kebebasan Beraqidah
Kebebasan beraqidah menurut kaum Kapitalis, artinya ialah
manusia berhak untuk meyakini ideologi atau agama apapun dan berhak mengingkari
agama atau ide apapun. Manusia juga dianggap berhak mengubah agamanya, bahkan
berhak tidak mempercayai suatu agama sama sekali.
Sebagian kaum muslimin yang tertipu oleh kaum kafir dan
menjadi corong mereka, menyangka bahwa kebebasan beraqidah yang dipropagandakan
oleh kaum Kapitalis itu tidaklah bertentangan dengan Islam. Mereka
berargumentasi dengan firman Allah SWT:
لاَ
إِكْرَاهَا
فيِ
الدِّيْنَ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam)." (Q.S. Al Baqarah :
256)
فَمَنْ
شَاءَ
فــَلْيُؤْمِنْ
و َمَنْ شَاءَ
فـَلْيَكْفُرْ
"Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah
beriman, dan siapa saja yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (Q.S. Al Kahfi : 29)
Mereka sengaja pura-pura tidak mengetahui objek
pembahasan dua nash tersebut, karena sesungguhnya seruan (khithab) dalam
dua nash tersebut terbatas hanya ditujukan untuk orang-orang kafir. Jadi, kaum
muslimin tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam, sebab orang-orang
kafir dalam hal ini berhak untuk beriman kepada Islam dan berhak pula untuk
tidak mengimaninya. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh memaksa mereka
untuk mengimani Islam.
Hanya saja seruan dalam dua nash tadi tidak tepat jika
diterapkan untuk kaum muslimin, sebab setelah mereka beragama Islam, kaum
muslimin tidak diberi pilihan lagi untuk kafir atau murtad dari Islam. Hukum
Islam bagi seorang muslim yang murtad, ialah diminta bertaubat agar kembali
kepada haribaan Islam. Jika dia tetap bersikeras pada kekafirannya, maka
kepadanya dikenakan sanksi (had) yang ditetapkan untuk orang murtad,
yaitu dihukum mati. Hal ini semata-mata dalam rangka melaksanakan sabda Rasulullah
Saw.:
مَنْ
بَدَّلَ
دِيْنَهُ
فَاقْتُلُوْهُ
"Siapa saja yang mengganti agama (Islam)-nya,
bunuhlah dia." (HSR. Ahmad, Bukhari,
Muslim, Ashhabus Sunan)
Jadi, kebebasan beraqidah tidak ada dalam kamus kaum
muslimin, bahkan sebaliknya, mereka wajib untuk terus memeluk Aqidah
Islamiyah. Seorang muslim tidak boleh memeluk aqidah apapun selain Aqidah
Islamiyah, baik aqidah itu berasal dari agama samawi lainnya seperti Yahudi dan
Nashrani, maupun dari ideologi lain, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dia
tak boleh pula meyakini aqidah apa pun dari agama dan ide apapun, selama itu
bukan Aqidah Islamiyah.
Jelaslah, bahwa seorang muslim tidak boleh menerima ide
kebebasan beraqidah yang diserukan oleh orang-orang Kapitalis. Bahkan dia wajib
menolaknya dan menentang siapapun yang menggembar-gemborkan ide tersebut.
2. Kebebasan Berpendapat
Kebebasan berpendapat menurut orang-orang Kapitalis
berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat apa saja di
segala bidang dan segala persoalan tanpa terikat dengan batasan apapun.
Kebebasan berpendapat ini sangat menarik bagi sebagian
kaum muslimin, sebab mereka memang hidup tertindas di negara-negara tirani
(militer), yang melarang siapapun untuk menyatakan pendapatnya, apabila
bertentangan dengan pendapat penguasa, walau pendapat tersebut berasal dari
Islam, bahkan dari ayat-ayat Al Qur'an atau hadits-hadits Nabi. Semua pendapat
ini dilarang, selama yang dimaksud oleh ayat atau hadits itu bertentangan
dengan apa yang dikatakan oleh penguasa atau kebijakan politik yang
dijalankannya. Hal ini sudah sedemikian rupa, sampai-sampai salah seorang
penguasa kaum muslimin memerintahkankan aparatnya yang penindas itu untuk
mencampakkan ayat-ayat atau hadits-hadits dari dinding-dinding masjid dan
tempat-tempat umum lainnya serta menyobek-nyobeknya. Mereka melakukan kejahatan
ini hanya karena ayat atau hadits tersebut menjelaskan hakekat bangsa Yahudi,
seperti firman Allah SWT:
لَتَجِدَنَّ
أَشَدَّ
النَّاسِ
عَدَاوَةً لِلَّذِيْنَ
آمَنُوا
اليَهُوْدَ
وَ الَّذِينَ
أَشْرَكُوا
"Tidaklah engkau dapati manusia
yang paling keras per- musuhannya terhadap orang-orang yang beriman kecuali
orang Yahudi dan orang-orang musyrik.."
(Q.S. Al Maaidah: 82)
Sungguhpun demikian, apa yang menimpa kaum muslimin
-yakni kejahatan dan penindasan para penguasa berikut pelanggaran mereka
terhadap hukum-hukum Allah- tetap tidak membolehkan kaum muslimin menerima apa
yang dimurkai Allah, yakni menerima ide kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat pada ideologi Kapitalisme tidak
terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan koreksi terhadap penguasa,
kritik terhadap sepak-terjang para politikus, dan yang lainnya. Ide kebebasan
ini juga mencakup kebebasan untuk terang-terangan bersikap kufur, ingkar terhadap
adanya Allah, atau mempropagandakan ide apa saja, walaupun ide tersebut bertentangan
dengan Aqidah Islamiyah atau menyalahi hukum-hukum yang terpancar dari Aqidah
Islamiyah itu. Misalnya, propaganda terhadap hal-hal yang diharamkan Allah
seperti praktek riba, perjudian, minuman keras, perzinaan, penyimpangan
seksual, dan segala sesuatu yang menghancurkan nilai-nilai luhur Islam yang
harus kita pegang teguh dan kita jaga sesuai perintah Allah SWT kepada kita.
Kebebasan berpendapat juga berarti kebolehan bagi para
agen Barat, orang-orang munafik dan orang-orang fasik serta musuh-musuh Islam
untuk berpropaganda menentang Islam dan menghancurkan kesatuan umat, dengan
memecah belahnya menjadi berbagai bangsa, negara, kelompok, dan golongan yang
berbeda-beda. Kebebasan berpendapat juga membolehkan seruan-seruan yang
bertolak dari fanatisme golongan (ashabiyah), seperti Nasionalisme,
Patriotisme, dan sebagainya. Padahal Islam telah memerintahkan umatnya untuk
menghapuskan fanatisme golongan dan mengharamkan mereka untuk menyerukannya.
Bahkan Rasulullah Saw. pernah mengklasifikasikannya sebagai bangkai atau
ajaran yang rusak.
Selain itu kebebasan ini juga berarti kebolehan bagi
agen-agen Barat tersebut untuk menyerukan ide-ide kufur yang dijajakan untuk
menjatuhkan martabat kaum wanita, menyebarkan kebejatan dan kebobrokan moral,
serta memusnahkan nilai-nilai luhur, kehormatan, dan kemuliaan.
Untuk mengetahui sejauh mana kebebasan ini diberikan oleh
orang-orang Kapitalis, cukuplah kita mengingat hujatan Salman Rushdi yang mendiskreditkan Nabi Saw. dan isteri-isteri
beliau yang mulia (ummahatul mu'minin). Semua ini dibenarkan menurut
prinsip kebebasan berpendapat yang digembar-gemborkan kaum Kapitalis.
Memang benar, bahwa Islam telah membolehkan seorang
muslim untuk menyatakan pendapatnya terhadap segala hal dan persoalan. Akan
tetapi Islam mensyaratkan bahwa pendapat tersebut wajib terpancar dari Aqidah
Islamiyah atau dibangun di atasnya, serta tetap berada di dalam lingkaran
Islam. Karena itu, seorang muslim berhak menyatakan pendapat apa saja sekalipun
pendapat itu bertentangan dengan pendapat yang diadopsi Khalifah dan
berlawanan dengan pendapat mayoritas kaum muslimin. Tetapi tentu semua
pendapatnya ini tetap harus bersandar kepada dalil syara' atau berada dalam
batas-batas syara'.
Lebih dari itu, Islam telah mewajibkan seorang muslim
untuk menyatakan pendapatnya dan mengoreksi penguasa, apabila mereka bertindak
zhalim dan mengeluarkan pernyataan atau memerintahkan sesuatu yang dimurkai
Allah. Bahkan dalam hal ini Islam mensejajarkan aktivitas seperti ini dengan jihad
fi sabilillah. Rasulullah Saw. bersabda:
سَيِّدَ
الشُّهَدَاءِ
حَمْزةُ بن
عَبْدِ المُطَلِّبْ
وَرَجُلٌ
قَامَ إلَى
إمامٍ جَائِرٍ
فَأمره وَ
نَهَاه
فَقتَلهُ
"Penghulu para syuhada' ialah Hamzah bin Abdul
Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zhalim, lalu orang itu
memerintahkannya berbuat ma'ruf (menjalankan apa yang diwajibkan oleh syara')
dan melarangnya berbuat mungkar (kekufuran/kezhaliman/kemaksiatan), kemudian
penguasa itu membunuhnya." (HR.
Al Hakim)
Sekalipun demikian, seorang muslim tidak boleh menyatakan
pendapat yang bertentangan dengan Islam, yakni bila pendapat itu bertentangan
dengan Aqidah Islamiyah atau bertentangan dengan pemikiran dan hukum yang
terpancar darinya.
Maka dari itu, seorang muslim tidak diperkenankan
menyerukan apa yang dinamakan sebagai kebebasan wanita, Nasionalisme, Patriotisme,
dan sebagainya. Ia tidak boleh pula mempropagandakan ideologi-ideologi kufur
seperti Kapitalisme dan Sosialisme
atau pemikiran apa pun yang bertentangan dengan Islam.
Atas dasar inilah, seorang muslim tidak diperbolehkan menerima
ide kebebasan berpendapat yang diserukan oleh orang-orang Kapitalis. Sebab,
segala pendapat yang dinyatakan seorang muslim wajib terikat dengan hukum
syara'. Rasulullah Saw. dalam konteks ini pernah bersabda:
مَنْ
كَانَ
يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَ
اليَوْمِ الأَخِرِ
فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمِتْ
"Siapa saja yang telah beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, hendaklah ia menyatakan Al Khair atau diam." (HSR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Al Khair
dalam hadits di atas artinya adalah Islam atau apa yang dibenarkan Islam.
Selain itu, Islam
juga telah melarang para pemeluknya untuk mempunyai kecenderungan -walaupun
baru berupa kecenderungan- terhadap hal-hal yang bertentangan
dengan Islam. Rasulullah saw bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ
حَتَى
يَكُوْنَ
هَوَاهُ تَبَعًا
لِمَـا
جِئْتُ بِهِ
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian
sebelum hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa (Islam)". (HSR. Al Baghawi dan Imam Nawawi)
Kesalahan Paham Kebebasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar