Sifat Wudhu
Mandi itu ada yang
cukup (mujzi) dan ada pula yang lebih sempurna (akmal). Begitu pula dengan
wudhu; ada yang cukup dan ada pula yang lebih sempurna. Wudhu dan mandi yang
cukup adalah dengan melakukan fardhu-fardhunya saja, sehingga ketika salah satu
fardhu tersebut terlewatkan maka batal-lah mandi dan wudhunya.
Sedangkan yang lebih
sempurna adalah dengan melakukan berbagai macam perbuatan sunah, sebagai
tambahan atas fardhu-fardhu wudhu/mandi tersebut.
Wudhu yang cukup
(mujzi) adalah dengan berniat menghilangkan hadats kecil, membasuh wajah dengan
air, membasuh kedua tangan hingga dua siku, mengusap kepala, membasuh dua kaki
hingga dua mata kaki, berturut-turut (muwalat) dan berurutan (tartib). Siapa saja
yang melakukan fardhu-fardhu wudhu tersebut maka dia telah melakukan wudhu yang
cukup. Dengan wudhu seperti itu, pelakunya bisa dipandang sah melakukan thawaf, memegang mushaf dan shalat, dan thaharahnya (bersucinya) dipandang sempurna.
Dalil-dalil atas hal
itu adalah:
1. Dari Umar bin Khaththab ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya sahnya
amal itu tergantung pada niat, dan bagi setiap orang adalah apa yang
diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya itu adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
itu karena dunia yang ingin didapatkannya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang diniatkannya.” (HR.
Muslim, Ahmad dan Bukhari)
Ketika wudhu itu
merupakan salah satu aktivitas ibadah, dan itu merupakan “amal”, maka wudhu
termasuk dalam perkara yang dituju oleh hadits ini, di mana hadits ini menjadi
dalil wajibnya niat.
2. Firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengenakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan ( basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Ayat ini menjelaskan
empat fardhu wudhu, yakni membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga dua siku,
mengusap kepala, dan membasuh dua kaki hingga dua mata kaki. Saya katakan
membasuh muka dengan air. Saya menyebutkan air dalam rangka mengeliminir benda-benda
cair lainnya, sehingga wudhu itu tidah sah dengan selain air. Sama dengan mandi
yang tidak sah dilakukan dengan selain air. Dalil atas hal itu adalah firman
Allah Swt.
3. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)
Ayat ini memerintahkan
tayamum ketika tidak ada air. Mafhumnya
adalah airlah yang digunakan ketika mandi dan wudhu, sehingga tidak bisa
diganti dengan tanah, kecuali ketika tidak ada air.
Dalam pembahasan wudhu
yang cukup (mujzi) saya mengatakan berturut-turut (muwalat), untuk menjelaskan
bahwa muwalat itu menjadi satu kefardhuan, sehingga ketika tidak ada muwalat,
wudhunya menjadi tidak sah. Dalilnya adalah:
4. Dari Khalid bin Ma’dan dari sebagian sahabat
Nabi Saw.:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. melihat seorang laki-laki sedang shalat, dan pada punggung kakinya
terdapat satu bagian kulit sebesar dirham yang belum terkena air. Maka
Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk mengulang wudhunya.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dan menambahkan frase dan (mengulang) shalatnya. Atsram bertanya:
Aku bertanya kepada Ahmad: Apakah status sanad hadits ini bagus? Ahmad
menjawab: Iya.
Demikian jelas hadits
ini, menunjukkan wajibnya muwalat (berturut-turut). Ketika Rasulullah Saw.
melihat bahwa seukuran dirham dari punggung kaki laki-laki tersebut belum
terbasuh air, beliau Saw. memerintahkan laki-laki tersebut untuk mengulang
wudhunya. Beliau Saw. tidak memerintahkan laki-laki tersebut membasuh bagian
kaki yang belum terbasuh saja, sehingga ini menunjukkan bahwa wudhu lelaki
tersebut batil. Yang bisa diperbaiki orang tersebut bukan hanya dengan membasuh
kakinya saja, karena membasuh kaki setelah agak lama menjadikan wudhu tersebut
tanpa muwalat. Ketika hal itu terjadi maka bisa kita pahami muwalat itu
merupakan satu kewajiban.
Saya tutup topik
kefardhuan wudhu dengan tartib (berurutan), dalilnya adalah ayat al-Qur’an yang
menjadikan mengusap kepala menjadi perantara antara membasuh dua tangan hingga
dua siku dengan membasuh dua kaki hingga dua mata kaki. Adanya perantara dan adanya
pemisahan sesuatu dengan pembandingnya tidak mungkin terjadi kecuali demi suatu
makna. Dan tidak ada makna apapun di sini melainkan keharusan berurutan.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa wudhu yang cukup (mujzi) di dalamnya harus terpenuhi hal berikut
ini:
1. Niat.
2. Menggunakan air.
3. Membasuh wajah.
4. Membasuh dua
tangan.
5. Mengusap kepala.
6. Membasuh dua kaki.
7. Muwalat
(berturut-turut).
8. Tartib (berurutan).
Jika salah satu dari
delapan perkara ini tidak ada, maka batal-lah wudhunya dan wajib diulang.
Wudhu yang lebih
sempurna (akmal) adalah dengan melakukan beberapa kefardhuan tersebut, ditambah
dengan beberapa perkara sunah. Sunah-sunah wudhu adalah perkara yang bisa
ditemukan dalam beberapa nash tentang wudhu yang ditambahkan pada beberapa
fardhu wudhu.
Telah diketahui bahwa
dalam suatu rangkaian aktivitas ibadah itu ada yang termasuk perkara fardhu,
ada juga yang termasuk perkara sunah. Ketika nash-nash tersebut menyebutkan
beberapa aktivitas yang dilakukan dalam wudhu yang bukan perkara-perkara fardhu,
maka tidak ragu lagi bahwa aktivitas tersebut merupakan perkara sunah dan
mandub.
Ulasan ini cukup
menyebutkan setiap aktivitas berikutnya sebagai perkara-perkara sunah, dan saya
berusaha membuktikannya.
Wudhu yang lebih
sempurna adalah sebagai berikut: berniat menghilangkan hadats kecil, menyebut
nama Allah (membaca basmalah), membasuh dua telapak tangannya tiga kali,
berkumur-kumur dengan tangan kanan tiga kali, bersiwak walaupun dengan jari
tangannya, beristinsyaq (memasukkan air
ke dalam hidung) dengan tangan kanan dan beristinsyar
(mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri tiga kali, kemudian membasuh
wajahnya tiga kali, menyela-nyela janggutnya, menyeka dua ujung mata, kemudian
membasuh tangan kanan hingga mencapai lengan atas sebanyak tiga kali, kemudian
membasuh tangan kirinya hingga mencapai lengan atas sebanyak tiga kali,
kemudian mengusap kepala dimulai dari bagian depan kepala dengan kedua
tangannya hingga bagian belakang kepala lalu mengembalikan kedua tangan hingga
bagian depan kepala, kemudian mengusap kedua telinga dengan kedua tangan -baik
telinga bagian luar maupun bagian dalam-, kemudian membasuh kaki kanan hingga
mencapai betis dan menyela-nyela jari-jari kaki kanan dengan kelingking tangan
kiri, kemudian membasuh kaki kiri seperti yang dilakukan pada kaki kanan,
melakukan semua yang disebutkan tadi secara berurutan (tartib), memulai yang
kanan baru kemudian yang kiri, berturut-turut (muwalat) dalam membasuh dan
mengusap anggota wudhu, kemudian mengucapkan:
“Aku bersaksi bahwa
tidak ada tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, bagi-Nya tidak ada sekutu. Dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Ya Allah jadikanlah
aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang
yang bersih suci. Maha Suci Engkau wahai Allah dan segala puji bagi-Mu. Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan
bertaubat kepada-Mu.”
Inilah beberapa
aktivitas wudhu yang sempurna (al-wudhu al-akmal) dan tidak ada tambahan lagi
atasnya. Wudhu tersebut mencakup beberapa perkara berikut:
1) Niat.
2) Membaca basmalah.
3) Membasuh kedua
telapak tangan.
4) Berkumur-kumur.
5) Bersiwak.
6) Memasukkan air ke
hidung (istinsyaq) dengan bagian kanan dan mengeluarkan air dari hidung
(istintsar) dengan bagian kiri.
7) Membasuh muka dan
satu bagian dari rambut kepala bagian depan, menyeka dua sudut mata dan
menyela-nyela janggut.
8) Membasuh kedua
tangan hingga dua siku, dalam membasuh harus sampai pada dua lengan atas, dan
menyela-nyela jari-jari tangan.
9) Mengusap kepala,
dimulai dari depan ke belakang dan kembali lagi ke depan.
10) Mengusap kedua
telinga bagian luar dan dalam.
11) Membasuh kedua
kaki hingga dua mata kaki, menyela-nyela jari-jari kaki dengan kelingking jari
kiri.
12) Membasuh anggota
wudhu sebanyak tiga kali kecuali kepala dan dua telinga.
13) Tartib
(berurutan).
14) Mendahulukan yang
kanan.
15) Muwalat
(berturut-turut).
Siapa saja yang
berwudhu seperti ini maka dia telah melakukan seluruh fardhu dan sunah wudhu
sekaligus, dan akan memperoleh pahala paling besar yang bisa diperoleh
seseorang dalam wudhu dengan ijin Allah. Sebagian besar perkara-perkara di atas
dijelaskan dalam dua hadits berikut:
1. Humran pelayan Utsman mengabarkan:
“Bahwasanya Utsman bin
Affan ra. meminta air wudhu, lalu dia berwudhu. Beliau membasuh dua telapak
tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan beristintsar (memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkannya
kembali), kemudian membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya
hingga ke siku tiga kali, kemudian membasuh tangan kirinya seperti itu pula,
kemudian menyapu kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki
tiga kali, kemudian membasuh kaki kirinya seperti itu. Setelah itu beliau
berkata: Aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu yang aku lakukan
ini, kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku
ini, kemudian dia berdiri dan shalat dua rakaat, di mana dia tidak berbicara
dalam melakukan keduanya, niscaya dosa yang telah dilakukannya diampuni.” Ibnu
Syihab berkata: Ulama kami menyatakan wudhu seperti ini adalah wudhu yang
paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat. (HR. Muslim, Bukhari dan
Ahmad)
2. Dari Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Anshari
(seorang sahabat), dia berkata:
“Dia pernah ditanya:
Tunjukkan kepada kami cara Rasulullah Saw. berwudhu. Abdullah lalu meminta satu
wadah berisi air. Dia lalu menuangkan air ke atas kedua tapak tangan dan
membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan ke dalam wadah
untuk menciduk air (dengan tangannya) dan berkumur-kumur serta memasukkan air
ke dalam hidung dengan air yang sama dari satu telapak tangan. Kemudian dia
menciduk air sekali lagi, lalu membasuh muka sebanyak tiga kali. Selepas itu,
dia menciduk lagi dengan tangannya dan membasuh tangan hingga ke siku dua
kali-dua kali. Kemudian dia menciduk lagi lalu mengusap kepala dengan cara
menyapukan tangannya dari arah depan kepala ke arah belakang, kemudian dia
membasuh kedua kakinya hingga mata kaki. Selepas itu dia berkata: Beginilah
cara Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR. Muslim, Bukhari, Malik dan Ahmad)
Sebagian besar topik
pembahasan wudhu berkisar pada dua hadits ini, kecuali dalam beberapa hal saja.
Kita akan membahas secara rinci semua rangkaian aktivitas wudhu, sejumlah dalil
lainnya, serta berbagai perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para imam
satu per satu.
5. Bersiwak
Disunahkan untuk
bersiwak ketika berwudhu. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu
Hurairah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Seandainya tidak
memberatkan umatku niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak bersama
dengan wudhu.” (HR. Ahmad, Malik, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Bersiwak itu cukup
dengan menggosokkan jari jemari ke atas gigi. Ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Jari jemari itu sudah
cukup untuk bersiwak.” (HR. al-Baihaqi dari beberapa jalur riwayat)
Ibnu Hajar berkata
mengomentari hadits ini: Aku tidak melihat ada masalah dalam sanadnya.
Dan berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Ahmad dari Abu Mathar yang menceritakan wudhu Ali ra., di
dalamnya disebutkan:
“Dan dia
berkumur-kumur tiga kali, lalu memasukkan sebagian jarinya ke dalam mulutnya,
dan dia beristinsyaq tiga kali… lalu dia
berkata: Seperti inilah wudhu Nabi Saw.”
Hadits ini telah kami
sebutkan di atas.
6. Istinsyaq dan Istintsar
Istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam
hidung, sedangkan istintsar adalah
mengeluarkan air dari hidung.
Ketika disebutkan kata
istintsar, kadangkala mencakup istinsyaq juga, sehingga istintsar itu bisa berarti memasukkan air ke
dalam hidung dan mengeluarkan air dari hidung. Istintsar
lebih umum dari istinsyaq. Beberapa
hadits menuturkan keduanya.
Dalil-dalil istintsar adalah dalil-dalil yang telah kami
sebutkan dalam pembahasan berkumur-kumur dan juga beberapa hadits berikut:
a. Dari Ali ra.:
“Bahwasanya dia
meminta air wudhu, lalu dia berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidungnya
dan mengeluarkannya dengan tangan kirinya. Dia melakukan hal itu tiga kali,
kemudian berkata: Inilah cara bersuci Nabi Saw.” (HR. an-Nasai dan Ahmad)
Para perawi hadits ini
terkategorikan perawi yang tsiqah.
b. Dari Abu Hurairah, dia mendengar Nabi Saw.
bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian berwudhu maka masukkanlah air ke dalam hidungnya, kemudian
keluarkanlah.” (HR. Muslim, Ahmad, Bukhari dan Abu Dawud)
c. Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Beristintsarlah dua kali dengan sempurna atau
tiga kali.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu al-Qaththan.
Dengan adanya
pembedaan antara istinsyaq dan istintsar, kami katakan: sesungguhnya sunah
yang berlaku adalah istinsyaq itu
menggunakan tangan kanan, sedangkan istintsar
menggunakan tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits Ali di atas, yang di
dalamnya disebutkan:
“Lalu dia
berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidungnya dan mengeluarkannya dengan
tangan kirinya.”
Lafadz hadits ini
menunjukkan bahwa beliau Saw. berkumur-kumur itu menggunakan tangan kanan, dan
beliau ber-istintsar menggunakan tangan
kiri.
Sunah yang berlaku
dalam beristinsyaq adalah benar-benar
sempurna beristinsyaq (memasukkan air ke
dalam hidung sedalam mungkin) kecuali jika sedang berpuasa, sehingga tidak
disunahkan untuk memasukkan air ke dalam hidung terlalu dalam.
Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Laqith bin Shabrah bahwasanya Rasulullah Saw.
bersabda:
“Dan sempurnakanlah istinsyaq (hiruplah air sedalam mungkin)
kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar