BAB
SEBELAS
MENGUSAP
PAKAIAN YANG MENUTUPI
Pakaian Di Atas Kepala
Dengan mengkaji
hadits-hadits Nabi Saw. yang berkaitan dengan masalah ini, kita bisa menarik
kesimpulan hukum mengusap pakaian di atas kepala dalam wudhu:
a. Dari Mughirah bin Syu’bah, dia berkata:
“Rasulullah Saw. pergi
ke belakang, dan aku pergi menemani beliau Saw. Ketika beliau Saw. selesai
buang hajatnya, beliau Saw. bertanya: “Apakah engkau membawa air?” Maka aku
memberikan air untuk bersuci, lalu beliau Saw. membasuh kedua telapak tangannya
dan wajahnya, kemudian berusaha menyingkapkan kain dari kedua lengannya,
ternyata lengan jubahnya itu sempit, maka beliau Saw. mengeluarkan tangannya
dari bawah jubahnya, dan meletakkan jubah di atas kedua bahunya. Beliau Saw.
kemudian membasuh kedua lengannya, mengusap ubun-ubunnya, mengusap surbannya,
dan mengusap khuffnya, lalu beliau Saw.
menaiki hewan tunggangannya, dan akupun juga naik hewan tunggangan, hingga kami
sampai pada orang-orang di mana mereka sedang mendirikan shalat. Mereka diimami
oleh Abdurrahman bin Auf. Dia mengimami mereka sudah satu rakaat, ketika
merasakan kehadiran Nabi Saw. dia mundur ke belakang, tetapi beliau Saw.
memberi isyarat kepadanya untuk tetap shalat mengimami mereka. Ketika dia
mengucap salam maka Nabi Saw. berdiri dan aku pun berdiri, lalu kami shalat
dengan jumlah rakaat yang tertinggal.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Hadits ini telah kami
sebutkan.
b. Dari Bilal:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. mengusap dua khuffnya dan khimarnya (penutup kepala). (HR. Muslim,
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)
c. Dari Amr bin Umayyah, dia berkata:
“Aku melihat Nabi Saw.
mengusap surbannya dan dua khuffnya.
(HR. Bukhari, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)
d. Dari al-Mughirah bin Syu’bah, dia berkata:
“Nabi Saw. berwudhu,
beliau Saw. mengusap dua khuffnya dan
surbannya.” (HR. Tirmidzi)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan shahih
e. Dari Tsauban, dia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. berwudhu, beliau Saw. mengusap dua khuffnya, khimar (penutup kepala), kemudian surbannya.” (HR.
Ahmad, al-Hakim, at-Thabrani dan Abu Dawud)
Lima hadits inilah
yang shahih dan hasan menurut para imam ahli hadits, sehingga kelimanya layak
digunakan sebagai hujjah. Kami cukup menggunakan lima hadits ini saja dan
membuang sejumlah hadits lainnya yang tidak shahih
dan tidak bersih dari berbagai hujatan, karena pertama, lima hadits ini saja
sudah cukup, dan kedua, agar tidak ada seorangpun yang menghujat hukum yang
kami gali (istinbath) darinya.
Hadits yang pertama
menyebutkan:
“Beliau Saw. mengusap
ubun-ubunnya, mengusap surbannya.”
Hadits kedua
menyatakan:
“(Nabi Saw.) mengusap
dua khuffnya dan khimarnya (penutup kepala).”
Hadits ketiga
menyatakan:
“(Nabi Saw.) mengusap
surbannya dan dua khuffnya.”
Hadits keempat
menyatakan:
“Dan (Nabi Saw.)
mengusap dua khuffnya dan surbannya.”
Hadits kelima
menyatakan:
“Beliau Saw. mengusap
dua khuffnya, khimar (penutup kepala),
kemudian surbannya.”
Dengan mencermati
nash-nash ini kita bisa melihat bahwa usapan yang dilakukan terhadap penutup
kepala, disebutkan dalam tiga kondisi: pertama, mengusap surban atau khimar
saja (hadits kedua, ketiga dan keempat), kedua, mengusap ubun-ubun dan surban
secara bersamaan (hadits pertama), dan ketiga, mengusap khimar dan surban
secara bersamaan (hadits kelima). Tentunya kami tidak menyinggung perbuatan
mengusap dua khuff, karena di sini bukan tempat pembahasannya.
Kami nyatakan bahwa
dalam hadits yang pertama, ketiga, keempat dan kelima disebutkan lafadz al-‘imaamah (surban), dalam hadits kedua dan
kelima disebutkan lafadz al-khimar (penutup kepala); ini menunjukkan bahwa
usapan itu tidak hanya ditujukan untuk surban saja, melainkan untuk segala
sesuatu yang dipakai di atas kepala. Lafadz khimar mencakup segala sesuatu yang
menutupi kepala, sehingga ke dalamnya termasuk kopiah, thaqiyah (kudung penutup kepala), tarbus (sejenis pakaian besar
yang bersambung dengan penutup kepala), dan pakaian lainnya yang dikenakan di
atas kepala.
Hadits yang pertama
menyebutkan mengusap surban dan ubun-ubun secara bersamaan, hadits kelima
menyebutkan mengusap surban dan khimar. Berdasarkan dua hadits ini kita bisa
mengambil dua hukum: pertama, pakaian di atas kepala yang hendak diusap itu
tidak harus menutupi seluruh kepala dan seluruh rambut, dengan dalil nash yang
menyebutkan mengusap ubun-ubun, karena jelas ubun-ubun tersebut tidak
tertutupi, kedua, mengusap surban itu tidak dipandang cukup melainkan harus
tetap mengusap bagian kepala lainnya yang tidak tertutup surban.
Terakhir, dari
nash-nash ini bisa dipahami hukum kebolehan mengusap surban saat berwudhu, dan
setiap nashnya menunjukkan kebolehan tersebut.
Telah kami singgung
dalam topik pembahasan mengusap kepala dalam wudhu, bahwa mengusap kepala yang
cukup itu harus dilakukan pada seluruh bagian kepala. Kami telah mengambil
kesimpulan seperti itu, salah satunya dari hadits yang menyatakan beliau Saw.
mengusap ubun-ubun dan surban secara bersamaan. Seandainya mengusap sebagian
kepala itu dipandang cukup, tentu Rasulullah Saw. hanya akan mengusap
ubun-ubunya saja dan tidak mengusap surbannya, atau sebaliknya hanya mengusap
surbannya tanpa mengusap ubun-ubunnya.
Maka ketika beliau
Saw. mengusap keduanya secara bersamaan maka ini menjadi dalil disyariatkannya
mengusap seluruh bagian kepala, baik ketika kepalanya itu terbuka (tidak
mengenakan apapun), atau tertutupi oleh sesuatu, baik terbuka sebagian ataupun
tertutup sebagian, sehingga menjadi satu keharusan untuk mengusapkan kedua
tangannya pada seluruh bagian kepalanya, tanpa memperhatikan lagi apakah
mengenakan penutup atau tidak.
Hukum-hukum ini kami
simpulkan dari nash-nash yang layak digunakan sebagai dalil. Ini merupakan
pengambilan kesimpulan yang jelas benar validitasnya, sehingga kita tidak boleh
berpaling darinya seraya menyatakan selainnya.
Mengusap surban
merupakan perkara yang populer di kalangan sahabat Rasulullah Saw. Ibnu Abi
Syaibah telah meriwayatkan:
“Bahwasanya Abu Bakar,
Abu Musa, Abu Umamah dan Ummu Salamah mengusap surban dan khimar (penutup
kepala). Umar serta Salman memerintahkan untuk mengusap juga.”
At-Tirmidzi berkata:
Ucapan ini dilontarkan bukan oleh satu orang saja dari ahli ilmu dari kalangan
sahabat, di antara mereka ada Abu Bakar, Umar dan Anas.
Ucapan ini
diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dari at-Thabari, Ibnu Khuzaimah dan Ibnul Mundzir,
dan ini menjadi pendapat Ahmad, al-Auza’iy, Malik, Ishaq, Abu Tsur, Dawud bin
Ali dan Ibnu Hazm. As-Syafi’i bertawaquf
(tidak mengambil sikap) dalam persoalan ini, dia berkata: Jika satu hadits
terbukti shahih berasal dari Rasulullah
Saw., maka aku akan berpendapat dengannya.
Dengan ini nyata benar
keshahihan hadits tersebut, sehingga
as-Syafi'i harus digabungkan dengan penganut pendapat ini, atau minimal beliau
dikeluarkan dari kelompok yang menentang pendapat ini.
Para imam berbeda
pendapat tentang legalitas usapan hanya terbatas pada surban saja. Sufyan
at-Tsauri, Malik, Ibnul Mubarak, as-Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat tidak
boleh membatasi usapan pada surban saja, melainkan ketika mengusap surban
diharuskan pula untuk mengusap bagian kepala yang lainnya. Mereka berhujjah
bahwa Allah Swt. telah mewajibkan mengusap kepala, sedangkan hadits mengusap
surban itu mengandung penakwilan, sehingga nash yang meyakinkan tidak boleh
ditinggalkan demi memegang nash yang muhtamal (yang mengandung beberapa
kemungkinan), dan mengusap surban tidaklah sama dengan mengusap kepala.
Kami nyatakan bahwa
ucapan seperti ini sama dengan menolak legalitas mengusap surban dari asasnya,
karena ucapan mereka bahwa mengusap surban tidak sama dengan mengusap kepala,
jelas merupakan sebuah penolakan, selain mengusap satu bagian dari kepala saat
mengusap surban merupakan bentuk penolakan juga. Hal ini karena mereka
membolehkan mengusap bagian dari kepala secara mutlak. Penolakan mereka ini
sama dengan penentangan terhadap nash-nash yang jelas dan sharih, sehingga sama dengan menggunakan akal
dalam menetapkan perkara yang sudah ditetapkan oleh syara.
Mengusap surban itu
boleh dan disyariatkan dalam wudhu. Ketika surban itu menutupi seluruh bagian
kepala, maka cukup dengan mengusap surban itu saja. Dan ketika surban itu
menutupi sebagian dan tidak menutupi sebagian yang lain, maka surban itu diusap
dan bagian kepala yang tidak tertutupi surban juga diusap. Jadi, kita tidak
cukup mengusap bagian kepala yang tidak tertutupi surban saja.
Ibnul Qayyim berkata:
Tidak ada satu haditspun yang shahih
dari beliau Saw., bahwa beliau Saw. hanya mengusap sebagian kepala saja,
melainkan ketika beliau Saw. mengusap ubun-ubunnya maka beliau Saw. juga
mengusap surbannya.
Mengenai tata cara
mengusap surban, maka pendapat kami dalam persoalan tersebut persis sama dengan
apa yang telah kami nyatakan terkait dengan cara mengusap rambut kepala.
Yang wajib dilakukan
adalah mengusapkan kedua tangan pada seluruh bagian surban tanpa perlu sampai
basah, karena usapan itu sendiri tidak harus sampai menyerap sebagaimana telah
kami sebutkan sebelumnya.
Pendapat kami tentang
apa yang harus dilakukan wanita persis sama dengan yang dilakukan lelaki. Lelaki
mengusap penutup kepala yang biasa dikenakannya, maka begitu juga dengan
wanita, dia mengusap penutup kepala yang biasa dikenakannya.
Perihal apakah surban
itu diusap ketika dipakai dalam keadaan sudah bersuci saja, ataukah boleh
diusap secara mutlak? Apakah ada limitasi atau pembatasan waktu dalam usapan
surban? Jawabannya adalah tidak ada nash, baik dari al-Qur’an, al-Hadits,
ataupun Ijma Sahabat, yang menetapkan dua perkara ini. Sehingga seorang Muslim
memiliki keluasan dalam persoalan ini.
Saya tidak sependapat
dengan Ibnu Qudamah dan Abu Tsur, yang mensyaratkan seseorang harus sudah
bersuci terlebih dahulu sebelum memakai surban jika dia ingin mengusapnya,
karena dianalogikan dengan mengusap dua khuff. Sebab qiyas dalam persoalan ini
tidak bisa dibenarkan, di mana dalam persoalan ibadah tidak ada ‘illat, sehingga tidak boleh dilakukan analogi
(qiyas) dalam persoalan tersebut, kecuali jika memang nashnya ber'illat. Dalam persoalan ini ketentuan mengusap
itu tidak ber'illat.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar