4. Menyentuh Kemaluan
Beberapa hadits
berikut berkaitan dengan hukum menyentuh kemaluan:
a. Dari Busrah binti Shafwan, bahwasanya Nabi
Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
menyentuh kemaluannya, hendaknya dia tidak shalat hingga berwudhu.” (HR.
Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Malik)
Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi, Ahmad, ad-Daruquthni,
al-Baihaqi dan al-Hakim.
Dalam riwayat an-Nasai
dari Basrah:
“Bahwasanya dia
mendengar Rasulullah Saw. menyebutkan beberapa perkara, yang karenanya
seseorang harus berwudhu. Dan Rasulullah Saw. bersabda: “Seseorang hendaknya
berwudhu karena menyentuh kemaluan.”
Dalam riwayat Ibnu
Hibban dari Busrah, dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian menyentuh farjinya maka
hendaklah dia berwudhu. Perempuan pun seperti itu.”
Dalam riwayat
at-Thabrani dari Busrah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
menyentuh farjinya, maka dia wajib berwudhu.”
b. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian menyentuhkan tangannya ke kemaluannya, dan di antara keduanya itu
tidak ada penutup dan penghalang, maka hendaklah dia berwudhu.” (HR. Ibnu
Hibban, al-Hakim dari jalur Nafi bin Abi Nuaim, dari al-Maqbari, dari Abu
Hurairah, hadits ini dishahihkan oleh
Ibnu Hibban, al-Hakim dan Ibnu Abdil Barr)
c. Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari
kakeknya, dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Lelaki manapun yang
menyentuh farjinya, maka hendaknya dia berwudhu. Wanita manapun yang menyentuh
faijinya, maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. ad-Daruquthni, Ahmad dan
al-Baihaqi)
Tirmidzi menukil
pernyataan Bukhari: Menurutku status hadits ini shahih.
Al-Hazimi berkata: sanad hadits ini shahih.
Hadits ini pun dikuatkan oleh ad-Dzahabi.
d. Dari Thalq bin Ali,
dia berkata:
“Kami mengunjungi Nabi
Saw., lalu datanglah seorang lelaki yang nampak sebagai seorang Arab dusun.
Kemudian dia bertanya: Wahai Nabiyullah,
bagaimana menurutmu tentang seorang lelaki yang menyentuh kemaluannya setelah
dia berwudhu? Maka beliau Saw. berkata: “Kemaluan itu hanya segumpal daging
dari tubuh. Atau beliau Saw. berkata: Satu bagian daging dari tubuh.” (HR. Abu
Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Tirmidzi)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, at-Thabrani dan
Ibnu Hazm.
Diriwayatkan bahwa
Ibnu al-Madini berkata: Menurut kami hadits ini lebih baik dari hadits Busrah.
Tetapi hadits ini didhaifkan oleh as-Syafi’i, Abu Hatim, Abu
Zur'ah, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Ibnu al-Jauzi.
Sedangkan Ibnu Hibban,
at-Thabrani, Ibnu al-Arabi dan al-Hazimiy menyatakan bahwa hadits ini dinasakh (dihapus).
Para imam dan ulama,
juga para sahabat sebelum mereka, berbeda pendapat dalam persoalan apakah
menyentuh kemaluan itu membatalkan wudhu ataukah tidak. Al-Hazimi menyebutkan
bahwa Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas
dalam salah satu riwayatnya, Hudzaifah bin al-Yaman, Imran bin Hushain, Abu
Darda, Saad bin Abi Waqash dalam salah satu riwayat darinya, Said bin Musayyab
dalam salah satu riwayat darinya, Said bin Jubair, Ibrahim an-Nakha’iy, Rabi’ah
bin Abdurrahman, Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah dan para sahabatnya,
berpendapat seseorang tidak perlu berwudhu karena menyentuh kemaluan.
Sedangkan yang lain
berpendapat wajibnya berwudhu karena menyentuh kemaluan. Di antara para sahabat
yang diriwayatkan mewajibkan wudhu -berdasarkan paparan yang disebutkan
al-Hazimi- adalah Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar, Abu Ayub al-Anshari,
Zaid bin Khalid, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr, Jabir, Aisyah, Ummu Habibah,
Busrah binti Shafwan, Saad bin Abi Waqash dalam salah satu riwayat darinya,
Ibnu Abbas dalam salah satu riwayat darinya, dan dari kalangan tabi’in ada
Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Atha bin Abi Rabbah, Aban bin Utsman,
Jabir bin Zaid, Zuhri, Mush’ab bin Saad, Yahya bin Abi Katsir, Said bin
al-Musayyab dalam salah satu riwayat yang paling shahih
darinya, Hisyam bin Urwah, ale Auzai, as-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan pendapat
yang masyhur dari Malik.
Kalangan ulama
Syafi'iyah mengatakan wudhu itu menjadi batal ketika kemaluan disentuh oleh
telapak tangan, merujuk pada pengertian lafadz afdha,
dan diriwayatkan dari Malik satu pendapat yang memandubkan
wudhu ketika menyentuh kemaluan, diriwayatkan dari Jabir bin Zaid bahwa beliau
berpendapat wudhu itu menjadi batal jika memang seseorang sengaja menyentuh
kemaluan, sehingga jika tidak sengaja menyentuhnya maka tidak batal wudhunya.
Inilah secara ringkas pendapat yang ada dalam persoalan ini.
Kita akan mengkaji
lebih jauh hadits-hadits yang berhubungan dengan persoalan ini, dan kemudian
menggali beberapa hukumnya dengan ijin Allah.
Hadits yang pertama:
riwayat yang pertama menyebutkan:
“Barangsiapa yang
menyentuh kemaluannya, hendaknya dia tidak shalat hingga berwudhu.”
Sedangkan riwayat
kedua menyebutkan:
“Seseorang hendaknya
berwudhu karena menyentuh kemaluan.”
Riwayat ketiga
menyebutkan:
“Jika salah seorang
dari kalian menyentuh farjinya, maka hendaklah dia berwudhu. Perempuan pun
seperti itu.”
Riwayat keempat
menyebutkan:
“Barangsiapa yang
menyentuh farjinya, maka dia wajib berwudhu.”
Hadits yang kedua
menyebutkan:
“Jika salah seorang
dari kalian menyentuhkan tangannya ke farjinya, ...maka hendaklah dia
berwudhu.”
Hadits yang ketiga
menyebutkan:
“Lelaki manapun yang
menyentuh farjinya maka hendaknya dia berwudhu. Wanita manapun yang menyentuh
farjinya maka hendaknya dia berwudhu.”
Hadits keempat
menyebutkan:
“Kemaluan itu hanya
segumpal daging dari tubuh. Atau beliau Saw. berkata: Satu bagian daging dari
tubuh.”
Dengan meneliti lebih
jauh hadits-hadits tersebut, akan nampak, bahwa orang yang menyentuh kemaluan
atau kemaluannya, maka dia harus berwudhu. Dan ini bersifat umum, untuk
laki-laki dan perempuan. Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, atau farjinya,
atau kemaluan orang
lain, berdasarkan dilalah riwayat yang
kedua dari hadits yang pertama, atau menyentuh farjinya maka hendaknya dia
berwudhu; dan seorang wanita ketika menyentuh farjinya maka hendaknya dia
berwudhu.
Kita mendapati bahwa
hadits-hadits tersebut menggunakan lafadz dzakar
dan farj. Dzakar itu qubul seorang lelaki, sedangkan farj adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut qubul dan dubur lelaki dan wanita, karena farj itu aurat, sebagaimana disebutkan dalam
kitab al-Qamus dan Lisan ul Arab.
Lafadz-lafadz hadits
itu ditafsirkan menurut istilah bahasa, selama lafadz tersebut belum memiliki
definisi syar’i yang berbeda. Dan di sini kata farj
dan kata dzakar dalam syara tidak memiliki pengertian atau makna
yang berbeda dengan pengertian bahasanya, sehingga kata tersebut ditafsirkan
secara bahasa. Kitab al-Qamus dan Lisanul Arab menafsirkan farj sebagai aurat,
dan ini mencakup qubul dan dubur, sehingga penafsiran ini bisa diamalkan
(dipergunakan).
Dengan demikian,
hadits-hadits tersebut memberi pengertian bahwa menyentuh qubul dan dubur
laki-laki dan perempuan itu, membatalkan wudhu.
Hadits-hadits tersebut
layak digunakan sebagai hujjah, dan hadits-hadits tersebut melahirkan hukum
ini, yakni hukum batalnya wudhu akibat menyentuh qubul dan dubur laki-laki dan
perempuan.
Perihal hadits yang
keempat, hadits ini digunakan oleh mereka yang menyatakan tidak batalnya wudhu.
Sebagaimana telah kami sebutkan, di antara mereka ada sahabat, para imam dan
ulama, sayangnya hadits tersebut tidak bisa menopang pendapat mereka, dan hadits
tersebut tidak mampu berdiri ketika dihadapkan dengan hadits-hadits yang
menyatakan batalnya wudhu.
Al-Baihaqi mengatakan:
“Cukuplah kiranya mentarjih hadits
Busrah, yakni hadits yang pertama atas hadits Thalq, yakni hadits yang keempat.
Bahwa dalam hadits Thalq itu tidak seorangpun perawinya yang dijadikan hujjah
oleh Syaikhan (Bukhari Muslim),
sedangkan seluruh perawi hadits Busrah dijadikan hujjah oleh keduanya.” Inilah
hujjah pertama untuk mentarjih pendapat
yang mewajibkan wudhu daripada yang tidak.
Kedua, sesungguhnya
keIslaman Busrah itu lebih akhir, dan keIslaman Thalq lebih awal. Ibnu Hibban
yang meriwayatkan hadits ini berkata: “Hadits Thalq bin Ali yang kami sebutkan
ini merupakan khabar yang telah dinasakh, karena kedatangan Thalq bin Ali
menemui Nabi Saw. adalah tahun pertama dari tahun-tahun hijrah, di mana saat
itu kaum Muslim sedang membangun Masjid Rasulullah di Madinah.” Sedangkan
Busrah masuk Islam jauh setelah itu, di mana hal itu merupakan perkara yang
diketahui oleh ahli hadits.
Hadits Abu Hurairah
yang kedua menguatkan hadits Busrah ini, karena Abu Hurairah pun seorang
sahabat yang akhir-akhir masuk Islam seperti halnya Busrah.
Ibnu Hibban berkata:
“Abu Hurairah itu masuk Islam tahun ketujuh setelah hijrah, dan yang mutaakhir itu lebih kuat dan lebih wajib
diambil dan diamalkan dibandingkan yang sebelumnya. Yang menambah kuatnya
hadits Busrah ini adalah bahwasanya Busrah menyampaikan hadits ini di Darul
Muhajirin wal Anshar, di mana jumlah mereka sangat banyak.”
Ketiga, hadits Thalq
ini didhaifkan oleh sejumlah imam
terkemuka. As-Syafi’i berkata: Kami bertanya tentang identitas Qais bin Thalq,
tetapi kami tidak menemukan orang yang mengetahuinya. Abu Hatim dan Abu Zur'ah
berkata: Qais bin Thalq termasuk orang yang tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Telah diketahui bahwa hadits Thalq bin Ali berasal dari riwayat anaknya, yakni
Qais bin Thalq. Pada saat yang sama, para imam yang mendhaifkan hadits Busrah semata-mata mendhaifkannya dari jalur Urwah, dari Marwan, dari Busrah. Marwan
itu dituduh cacat sifat ‘adalahnya,
tetapi Ibnu Khuzaimah dan selainnya menegaskan bahwa Urwah mendengar langsung
hadits ini dari Busrah, di mana dalam Shahih
Ibnu Hibban dan Sunan ad-Daruquthni
disebutkan: “Urwah berkata, aku bertanya kepada Busrah dan dia membenarkannya,”
dengan fakta seperti ini tuduhan Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim telah terjawab,
sehingga gugur pula alasan pendhaifan
mereka itu.
Selain itu, mereka mendhaifkan hadits tersebut dengan menyatakan
bahwa Hisyam tidak mendengar hadits ini dari ayahnya (Urwah). Ini dikatakan
oleh an-Nasai dan at-Thahawi. Maka kami sanggah pendhaifan ini dengan menyatakan bahwa sekali waktu Hisyam
meriwayatkan hadits ini dari ayahnya (Urwah), kali yang lain Hisyam
meriwayatkan dari Abu Bakar bin Muhammad. Ahmad dalam salah satu riwayat telah
menegaskan bahwa ayahnyalah (Urwah) yang menceritakan hadits ini kepadanya.
Tirmidzi menegaskan dalam satu riwayat bahwa ayahnya (Urwah) yang mengabari
hadits ini kepadanya, sehingga dengan demikian Hisyam telah meriwayatkan hadits
ini, sekali dari ayahnya secara langsung, kali yang lain meriwayatkan dari Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr.
Dia menyampaikan
hadits ini melalui ayahnya, juga menyampaikan hadits ini melalui Abu Bakar bin
Muhammad, dan ini tidak bisa menjadi faktor penyebab dhaifnya hadits tersebut. Hadits ini tidak dhaif, melainkan shahih,
dan pada saat yang sama, hadits Thalq justru diragukan keshahihannya.
Keempat, tidak
wajibnya wudhu karena menyentuh farji itu diambil dari hadits Thalq berdasarkan
mafhum, sedangkan hadits-hadits kami di atas memberi pengertian wajibnya
berwudhu berdasarkan manthuq (makna literal). Padahal manthuq itu lebih kuat
daripada mafhum.
Dengan beberapa sebab
ini, maka hadits Busrah dan hadits-hadits lain yang menyatakan batalnya wudhu,
ternyata lebih diunggulkan; dan hadits Thalq tidak bisa diamalkan, karena tidak
layak digunakan sebagai dalil untuk masalah ini setelah semuanya jelas sedemikian
rupa. Karena itu, nampaklah alasan benarnya pendapat yang mewajibkan wudhu
karena menyentuh farji, baik qubul ataupun dubur, baik laki-laki ataupun
perempuan, farji-nya sendiri ataupun farji orang
lain.
Mengenai pendapat
ulama Syafi’iyah, bahwa wudhu itu menjadi batal jika farji disentuh oleh
telapak tangan bagian dalam, bukan punggung telapak tangan, maka pendapat ini
lemah.
Pakar bahasa Ibnu
Sayyidih dalam kitab al-Muhkam menyatakan: afdha
fulanun ilaa fulanin washala ilaihi (sampainya itu lebih umum, baik
dengan punggung ataupun bagian dalam telapak tangan).
Ibnu Hazm berkata: “Ifdha itu terjadi, baik dengan
punggung telapak tangan ataupun bagian dalam telapak tangan,” dan
berkata: “tidak ada dalil atas apa yang mereka nyatakan dengan mentakhsis hanya untuk telapak tangan bagian
dalam, baik yang berasal dari Kitab, Sunnah ataupun Ijma Sahabat, ataupun
pernyataan sahabat, qiyas dan pendapat yang shahih
manapun.”
Dengan demikian, hanya
ada dua kemungkinan saja, ulama Syafi'iyah menyampaikan dalil atas pendapat
yang mereka lontarkan, atau pendapat mereka itu tidak benar. Dalil-dalil syara justru tidak menyatakan seperti apa yang
mereka katakan, pengertian bahasa pun tidak menolong dan membantu pendapat yang
mereka pegang.
Tentang pendapat yang
diriwayatkan dari Malik, bahwa wudhu itu dianjurkan (disunahkan) saja, alias
tidak wajib ketika menyentuh kemaluan, maka hadits Busrah yang menyatakan:
“Barangsiapa yang
menyentuh farjinya maka dia wajib berwudhu.”
Itu telah cukup untuk
membantahnya.
Adapun pendapat Jabir
bin Zaid yang menyatakan wudhu itu batal jika menyentuh kemaluan dengan
sengaja, berbeda halnya (alias tidak batal) jika tidak disengaja, maka semua
hadits yang ada justru membantahnya, di mana hadits-hadits tersebut tidak membedakan antara yang
disengaja dan tidak disengaja.
Hadits-hadits ini
menunjukkan wudhu itu menjadi batal ketika menyentuh farji manusia, sehingga
tidak menjadi batal kalau yang disentuh itu farji binatang, sehingga menyentuh
farji binatang tidak membatalkan wudhu. Begitu pula tidak menjadi batal kalau
menyentuh bulu kemaluan, sehingga menyentuh bulu kemaluan tidak membatalkan
wudhu, karena dalil tersebut tidak kongruen dengan fakta bulu kemaluan.
Sedangkan menyentuh
buah pelir, maka ini membatalkan wudhu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
al-Baihaqi, at-Thabrani, dan ad-Daruquthni dari Busrah binti Shafwan dia
berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
menyentuh dzakarnya, buah pelirnya atau rufghu-nya,
maka hendaklah dia berwudhu seperti halnya wudhu untuk shalat.”
Lafadz ar-rufghu artinya adalah pangkal paha yang
dekat dengan dzakar, al-untsiyyani
adalah al-khashiyyatan (buah pelir atau
testis).
Hadits ini walaupun didhaifkan oleh sebagian orang, tetapi juga
telah dihasankan oleh yang lain,
sehingga layak untuk dijadikan sebagai dalil.
Sedangkan farji yang
membatalkan wudhu itu adalah farji manusia, tidak ada perbedaan antara farji orang
dewasa yang sudah baligh dengan farji anak-anak yang belum baligh, bahkan farji
balita yang masih menyusui sekalipun, selama dicakup oleh pengertian farji anak
Adam.
Begitu pula tidak ada
perbedaan antara menyentuh dengan atau tanpa syahwat, karena hadits-hadits
tersebut tidak mentakhsis salah satupun
di antara keduanya, sehingga hukum ini tetap berlaku dalam keumumannya.
Dan yang dimaksud
dengan al-yad (tangan) itu adalah bagian
yang sampai pergelangan tangan, dan inilah pendapat seluruh ulama yang saya
ketahui. Karena tangan (pergelangan) itu adalah alat untuk menyentuh, berbeda
dengan hasta ataupun lengan atas.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar