Masalah (Perkara) Kelima:
Menyentuh Perempuan Tidak
Membatalkan Wudhu
Para imam dan fuqaha
berbeda pendapat tentang menyentuh perempuan: apakah membatalkan wudhu atau
tidak. Mereka terbagi menjadi beberapa pendapat:
Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Umar, az-Zuhri, Rabi’ah dan as-Syafi’i berpendapat, menyentuh
perempuan itu membatalkan wudhu.
Sedangkan Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Kaab, al-Hasan, Mujahid, Qatadah, Said bin
Jubair, as-Sya’biy, Atha, Thawus, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Ibnu Jarir
at-Thabari berpendapat, menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu.
Abu Hanifah dan Abu
Yusuf berkata: kecuali jika dua alat kelamin bersentuhan, lalu dzakarnya
bangun, walaupun tidak sampai mengeluarkan madzi.
Malik, Ahmad, dan
Ishaq bin Rahuwaih berpendapat bahwa menyentuh perempuan dengan syahwat itu
membatalkan wudhu.
Agar nampak jelas
sudut pandang kebenaran dalam persoalan ini, dan kita mendapatkan pendapat yang
tepat, maka kita harus mencermati semua dalil-dalilnya:
1. Firman Allah Swt.:
“Atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)
Ini adalah qira'ah Nafi, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ashim dan
Ibnu Amir, dan dibaca au lamastum () ini merupakan qira'ah Hamzah dan al-Kisa’iy.
2. Dari Muadz bin
Jabal ra., dia berkata:
“Seorang laki-laki
menemui Rasulullah Saw., seraya berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
tentang seorang laki-laki menemui seorang perempuan yang tidak diketahuinya.
Tidaklah lelaki itu melakukan sesuatu dengan isterinya kecuali dilakukannya juga
dengan perempuan tersebut selain menyetubuhinya? Kemudian Allah Swt. menurunkan
ayat: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang
baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (TQS. Hud: 114).
Dia berkata: Maka Nabi Saw. berkata padanya: “Berwudhulah kemudian shalatlah.”
Muadz berkata: Lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ketentuan ini khusus
untuknya ataukah berlaku umum untuk kaum mukmin. Beliau Saw. berkata: “Berlaku
umum untuk seluruh kaum mukmin.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Daruquthni,
al-Baihaqi dan al-Hakim)
Hadits ini mengandung
tambahan yang dhaif.
3. Dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
mencium sebagian isterinya, kemudian beliau Saw. berangkat untuk shalat dan
tidak berwudhu. Urwah berkata: Aku berkata kepada Aisyah: Siapa lagi yang
dicium itu jika bukan engkau. Dia berkata: Maka Aisyah tertawa.” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)
4. Dari Aisyah ra.:
“Ketika Rasulullah
Saw. sedang shalat, aku tidur melintang di hadapannya seperti melintangnya
mayat, hingga ketika beliau Saw. hendak berwitir, beliau Saw. menyentuh aku
dengan kakinya.” (HR. an-Nasai dan Ahmad)
5. Dari Aisyah, dia berkata:
“Pada suatu malam aku
tidak menemukan Rasulullah Saw. dari tempat tidurnya, lalu aku mencarinya,
tanganku menyentuh telapak kakinya, saat itu beliau Saw. sedang di tempat
shalat, kedua telapak kakinya tegak. Beliau Saw. berdoa: “Ya Allah, aku
berlindung pada keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan kemaafan-Mu dari
siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, tak terhitung kulantunkan
pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi,
Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)
6. Dari Aisyah, dia berkata:
“Aku pernah mandi
bersama Rasulullah Saw. dari satu bejana, tangan kami bergantian (menciduk air)
ke dalam bejana untuk mandi junub. (HR. Muslim dan Bukhari)
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Aku pernah mandi
bersama Nabi Saw. dari satu bejana, kami meletakkan tangan kami bersama-sama.”
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Dari satu wadah, kami
menciduk air dari bejana itu bersama-sama.”
An-Nasai meriwayatkan
hadits yang sama dengan lafadz:
“Aisyah berkata:
Sungguh aku telah berebutan dengan Rasulullah menciduk air dari bejana. Aku dan
beliau Saw. mandi dari bejana tersebut.”
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Sesungguhnya aku
pernah mandi bersama Rasulullah Saw. dari satu bejana, tangan kami saling
bergantian (menciduk air di dalamnya) dan saling bersentuhan.”
7. Dari Ummu Salamah ra.:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. seringkali menciumnya, padahal beliau Saw. sedang berpuasa, kemudian
beliau Saw. tidak berbuka dan tidak memperbarui wudhunya.” (HR. Ibnu Jarir, dia
menshahihkannya)
8. Dari Aisyah ra., dia berkata:
“Aku pernah tidur di
hadapan Rasulullah Saw., kedua kakiku berada di arah kiblat beliau Saw. Ketika
bersujud, beliau Saw. merabaku lalu memegang kedua kakiku, ketika berdiri
beliau Saw. melepaskannya. Aisyah berkata: Rumah-rumah saat itu tidak memiliki
lampu penerang.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)
Hadits yang kedua
adalah hadits munqathi', karena
Abdurrahman bin Abi Laila tidak mendengar hadits dari Muadz. Tirmidzi berkata:
Sanad hadits ini tidak muttashil (bersambung). Abdurrahman bin Abi Laila tidak
mendengar hadits dari Muadz bin Jabal. Karena itu, hadits tersebut
dikategorikan sebagai hadits dhaif yang
tidak layak digunakan sebagai hujjah. Hadits yang saya maksud adalah hadits
yang di dalamnya terdapat tambahan perintah untuk berwudhu dan shalat.
Hadits yang ketiga didhaifkan oleh segolongan orang dan dishahihkan oleh golongan yang lain. Pendapat
yang benar adalah, hadits ini didhaifkan
oleh mereka, ketika mereka menganggap Urwah yang ada dalam sanad hadits ini
adalah Urwah al-Muzanniy, nama tersebut ditemukan dalam Sunan Abu Dawud. Al-Muzanniy ini adalah seorang yang majhul
(tidak dikenal), tetapi Ahmad, Ibnu Majah dan ad-Daruquthni dengan jelas
menyatakan bahwa Urwah dalam sanad hadits ini adalah Urwah bin Zubair. Karena
itu, alasan mereka mendhaifkan hadits
ini tidak bisa diterima. Ada juga di antara mereka yang mendhaifkan hadits ini dengan alasan Habib itu
tidak meriwayatkan hadits dari Urwah, alasan ini jelas tidak bisa diterima,
karena Abu Dawud telah menyebutkan satu hadits shahih
yang diriwayatkan Habib dari Urwah. Dengan demikian, alasan mendhaifkan hadits ini tidak benar dan tidak bisa
diterima, sehingga hadits ini bisa diterima dan bisa digunakan sebagai dalil.
Hadits yang keempat
dikomentari Ibnu Hajar: sanadnya shahih.
Hadits yang kelima
adalah hadits shahih.
Tiga hadits yang
terakhir juga merupakan hadits shahih.
Dengan demikian, yang
tidak boleh digunakan sebagai hujjah hanya hadits yang kedua saja, sedangkan
hadits yang lainnya boleh digunakan.
Kita mulai dengan nash
yang pertama, karena ini menjadi pangkalnya. Firman Allah Swt.:
“Atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air.” (TQS. An-Nisa [4]: 43, dan
al-Maidah [5]: 6)
Ayat dari surat
an-Nisa ini lengkapnya berbunyi:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (TQS. an-Nisa [4]: 43)
Sedangkan ayat surat
al-Maidah lengkapnya berbunyi:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Ayat dari surat
an-Nisa ini merupakan seruan kepada orang-orang
yang beriman untuk tidak mendekati tempat shalat, yakni masjid, dalam keadaan
mabuk, dan mereka tidak boleh mendekati tempat shalat ketika mereka junub,
kecuali kalau sekedar berlalu (lewat) saja, hingga mereka mandi junub. Inilah
pengertian bagian awal ayat.
Sedangkan bagian kedua
ayat ini, hendak menjelaskan hukum tayamum kepada kaum Muslim ketika tidak ada
air. Bagian kedua ayat tersebut menyebutkan beberapa kondisi yang menuntut
seorang Muslim
untuk bertayamum ketika tidak ada air.
Frase laamastum tidak cocok ditafsirkan kecuali
dengan jima (bersetubuh). Di antara
mereka yang berpendapat senada dengan penafsiran ini adalah Ali bin Abi Thalib,
Ubay bin Kaab, Abdullah bin Abbas; mereka adalah para sahabat yang paling
piawai menafsirkan al-Qur’an.
Terdapat beberapa nama
lain yang menafsirkan seperti itu, di antaranya Abu Hanifah, Mujahid, Thawus,
al-Hasan, Said bin Jubair, as-Sya’biy, Qatadah, at-Thabari dan as-Syaukani;
mereka adalah para ahli tafsir yang terkenal dari kalangan salaf dan khalaf, juga termasuk fuqaha yang populer.
Penafsiran seperti di
atas selain merupakan tafsir yuristik (at-tafsir
al-fiqhiy) juga merupakan penafsiran yang dikandung oleh bahasa.
Penafsiran seperti ini
disebutkan dalam sejumlah ayat al-Qur’an, misalnya firman Allah Swt.:
“Kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya (mencampurinya).” (TQS. al-Ahzab
[33]: 49)
Yakni menyetubuhinya (tujami’uuhunna).
Dan firman Allah Swt.:
“Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka.” (TQS. al-Baqarah [2]:
237)
Yakni menyetubuhinya (tujami’uuhunna).
Dan firman Allah Swt.:
“Padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” (TQS. Ali Imran [3]: 47, Maryam
[19]: 20)
Senada dengan itu
adalah firman Allah Swt.:
“Maka sekarang
campurilah mereka.” (TQS. al-Baqarah [2]: 187)
Yakni setubuhilah
mereka (jami'uuhunna).
Juga disebutkan dalam
hadits tentang wanita yang berzina:
“Dia tidak menolak
tangan yang menyentuhnya.”
Sebagai kiasan
persetubuhan.
Ayat-ayat al-Qur'an
dan Sunnah Nabawiyah telah menyebut kata al-lamsa,
al-massa dan al-mubasyarah dengan arti bersetubuh (al-jima'). Pemahaman ini
bersesuaian dengan sisi bahasa, syara',
dan hukum fiqihnya. Dua ayat al-Qur' an tersebut (yakni an-Nisa: 43 dan
al-Maidah: 6) datang dengan dua jenis qira'ah:
laamastum dan lamastum.
Muhammad bin Zaid
membedakan pengertian di antara keduanya. Dia berkata: laamastum menurut bahasa memiliki arti qabbaltum (kalian mencium) atau padanannya, karena kedua belah
pihak sama-sama aktif melakukan. Selanjutnya dia menambahkan: sedangkan lamastum memiliki arti ghasyiitum (kalian menutupi) dan masastum
(kalian menyentuh) dan dalam lafadz ini perempuan tidak aktif melakukan. Jadi,
dari sisi bahasa, dua ayat ini mengandung dua pengertian.
Ketika dari sisi
bahasa kata al-lamsu itu mengandung
pengertian bersetubuh (al-jima') dan menyentuh dengan tangan (al-massu bil yad), maka qarinah-lah yang menentukan makna manakah yang
dimaksud oleh kata tersebut. Konteks ayat dari sudut pandang fiqih itulah yang
menjadi qarinah bahwa makna yang
dimaksud lafadz laamastum adalah
al-jima' (bersetubuh). Arti inilah yang memuaskan.
Sedangkan penafsiran
kata laamastum dengan menyentuh saja (al-massu bil yad), itu hanyalah penafsiran
dari sisi bahasa saja dengan tanpa melihat qarinah dan tanpa pengkajian yang
cermat terhadap korelasi dua ayat di atas.
Kami sepakat bahwa al-lamsu itu dari sisi bahasa mengandung arti al-massu bil yad (menyentuh dengan tangan)
yang tidak perlu argumentasi lagi, tetapi yang mereka –yang mengartikan bukan
jima’ dalam ayat itu- harus lakukan justru menyampaikan atau menjelaskan satu
atau beberapa qarinah, sehingga
dengannya bisa dipastikan yang dimaksudkan ayat tersebut adalah menyentuh
dengan tangan, bukan arti yang lain. Karena mereka tidak mampu menghadirkan qarinah itu, maka arti kata laamastum yang dimaksud ayat tersebut adalah
al-jima' (bersetubuh).
Tetapi agar tidak
terburu-buru menutup pintu diskusi dan perdebatan, kita akan menelaah beberapa
hadits yang bisa menjelaskan dan menafsirkan frase laamastum yang disebutkan dalam ayat tersebut, sehingga kemudian
layak digunakan sebagai qarinah yang
bisa menunjukkan makna dimaksud.
Mereka berargumentasi
dengan hadits yang kedua bahwa al-lamsu
itu membatalkan wudhu. Mereka mengatakan bahwa lelaki dalam hadits tersebut
telah menyentuh wanita, dan dia hampir menyetubuhinya, tetapi belum sempat
dilakukan, maka Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk berwudhu. Hadits ini
menurut mereka menjadi dalil bahwa al-lamsu
(menyentuh dengan tangan) itu membatalkan wudhu. Untuk membantah pernyataan
tersebut kami katakan bahwa hadits ini munqathi
dan dhaif, sebagaimana telah kami
jelaskan sebelumnya sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah dan dalil.
Dasar kisah ini
terdapat dalam as-Shahihain (dua kitab
hadits shahih), di sana tidak
diriwayatkan Rasulullah Saw. memerintahkan lelaki tersebut untuk berwudhu,
bahkan untuk shalat sekalipun.
Dengan demikian
peristiwanya satu, diriwayatkan dalam kitab-kitab Shahih
tanpa perintah berwudhu, tetapi diriwayatkan dalam hadits dhaif dengan tambahan perintah berwudhu,
sehingga hadits-hadits shahih itulah
yang harus dipegang dan hadits dhaif
harus ditinggalkan. Karena itu, hadits ini tidak bisa membantu hujjah mereka.
Mereka berargumentasi
juga dengan ucapan Umar bin Khattab ra.: “Sesungguhnya mencium itu dipandang
sebagai menyentuh, maka berwudhulah karenanya,” dan karena Ibnu Umar
berpendapat bahwa mencium itu dipandang sebagai menyentuh, sehingga dia
memerintahkan seseorang yang melakukannya untuk berwudhu. Ibnu Mas’ud berkata:
“mencium itu termasuk menyentuh, jika dilakukan mesti berwudhu.” Ketiga atsar
ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi.
Maka kami katakan:
bahwa ketiga atsar ini merupakan ucapan sahabat, dan ucapan sahabat itu bukan
dalil. Fakta ucapan sahabat itu adalah pemahaman dan ijtihad dari mereka, yang
tidak wajib kita patuhi, terlebih lagi ketika kita mengetahui bahwa sejumlah sahabat
dan tabf’in melontarkan pernyataan yang berbeda, termasuk turjumanul Qur’an
dan habru hadzihi al-ummati (tinta ilmu
umat ini), yakni Ibnu Abbas ra. Dari Said bin Jubair, dia berkata:
“Kami mendiskusikan
kata al-lamsu, sejumlah orang dari
kalangan mawali berkata: Al-Lamsu itu
bukan jima (bersetubuh). Sedangkan sejumlah orang dari Arab mengatakan: Al-Lamsu itu adalah jima (bersetubuh). Lalu
aku ceritakan hal itu kepada Ibnu Abbas, maka dia balik bertanya: Engkau
sependapat dengan siapa di antara mereka? Aku menjawab: Dengan kaum mawali.
Ibnu Abbas berkata: Pendapat kaum mawali kalah, sesungguhnya al-lamsu dan al-mubasyarah
itu artinya adalah jima (bersetubuh), tetapi Allah Swt. menyebutkan sesuatu
sesuai yang dikehendaki-Nya.” (HR. al-Baihaqi)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Abdurrazaq dengan lafadz:
“Kaum mawali keliru,
dan kaum Arab yang benar, artinya adalah jima’ (bersetubuh), tetapi Allah Swt.
memelihara diri dan menyebutkan sesuatu (sesuai kehendak-Nya).”
Riwayat ini setara
dengan beberapa atsar ucapan sahabat di atas.
Semua itu merupakan
pemahaman dan ijtihad, bukan dalil dan nash yang layak untuk menjelaskan dan
menjadi qarinah atas frase laamastum tersebut. Dalil-dalil yang layak
hanyalah al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah Saw.
Kita telah mengkaji
beberapa ayat yang menggunakan kata tersebut.
Sekarang kita
mencermati beberapa hadits Nabi Saw.
Hadits ketiga
menyebutkan:
“Rasulullah Saw.
mencium sebagian isterinya, kemudian beliau Saw. berangkat untuk shalat dan
tidak berwudhu.”
Hadits yang keempat
menyebutkan:
“Hingga ketika beliau
Saw. hendak berwitir, beliau Saw. menyentuh aku dengan kakinya.”
Hadits yang kelima
menyebutkan:
“Tanganku menyentuh
telapak kakinya. Saat itu beliau Saw. sedang berada di tempat shalat, kedua
telapak kakinya ditegakkan.”
Hadits keenam
menyebutkan:
“Dari satu bejana.
Tangan kami bergantian (menciduk air) ke dalam bejana untuk mandi junub”
“Dari satu bejana.
Kami meletakkan tangan kami bersama-sama.”
“Dari satu wadah. Kami
menciduk air dari bejana itu bersama-sama.”
An-Nasai meriwayatkan
hadits yang sama dengan lafadz:
“Berebutan dengan
Rasulullah menciduk air dari bejana.”
“Dari satu bejana.
Tangan kami saling bergantian (menciduk air di dalamnya) dan saling
bersentuhan.”
Hadits ketujuh
menyebutkan:
“(Rasulullah Saw.)
sering menciuminya, padahal beliau Saw. sedang berpuasa, kemudian beliau Saw.
tidak berbuka dan tidak memperbarui wudhunya.”
Hadits kedelapan
menyebutkan:
“Ketika bersujud,
beliau Saw. merabaku lalu memegang kedua kakiku, ketika berdiri beliau Saw.
melepaskannya.”
Dalam hadits kempat
disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menyentuh Aisyah dengan kakinya, padahal
beliau Saw. sedang shalat.
Dalam hadits kedelapan
disebutkan bahwa beliau Saw. memegangnya, padahal beliau Saw. sedang shalat.
Artinya, dua hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. menyentuh Aisyah
padahal beliau Saw. sedang shalat, dan beliau Saw. tidak menghentikan shalatnya.
Dalam hadits kelima
disebutkan bahwa Aisyah menyentuh Rasulullah Saw. dengan tangannya ketika
beliau Saw. sedang shalat, dan beliau Saw. tidak menghentikan shalatnya.
Dalam hadits ketiga
dan ketujuh disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mencium isterinya dan beliau Saw.
tidak berwudhu. Artinya, mencium itu tidak membatalkan wudhunya.
Dalam hadits keenam
ada dilalah bahwa beliau menyentuh
isterinya, dan sebaliknya, mereka saling bersentuhan dan wudhu keduanya tidak
batal.
Hadits ini perlu
dipaparkan dan dijelaskan aspek dilalahnya
karena agak samar, maka saya katakan:
Seandainya menyentuh
perempuan itu membatalkan wudhu, tentu keduanya tidak akan membiarkan
tangan-tangan mereka berdua menciduk air bersamaan selama mandi hingga satu
sama lain saling bersentuhan yang bisa membatalkan bersucinya, sehingga
keduanya selesai mandi [janabah] dalam keadaan tidak suci hadats. Dan telah
diketahui bahwasanya Rasulullah Saw. tidak berwudhu lagi setelah mandi. Telah
diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwasanya dia berkata:
“Rasulullah Saw. tidak
berwudhu setelah mandi junub.” (HR. Ibnu Majah, an-Nasai dan al-Baihaqi)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan berkata: hadits ini hasan
shahih. Al-Hakim meriwayatkan hadits ini
dan berkata: hadits ini shahih.
Rasulullah Saw.
memberikan petunjuk pada umatnya bahwa mandi itu cukup untuk shalat, dan wudhu
sudah termasuk ke dalamnya, sehingga ketika beliau Saw. mandi bersama isterinya
dari satu bejana, lalu tangan keduanya terulur dan saling mendahului menciduk air
dari bejana serta saling bersentuhan di dalamnya, kemudian beliau Saw. tidak
berwudhu dan juga tidak memerintahkan isterinya untuk berwudhu, maka ini
menjadi dalil dan hujjah bahwa persentuhan tersebut tidak membatalkan wudhu,
karena beliau Saw. tidak boleh mendiamkan sesuatu yang perlu penjelasan.
Hadits ini menjadi
dalil bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Ini merupakan perbuatan
Rasulullah Saw. dan isteri beliau Saw. Diamnya Rasulullah Saw. atas hal itu
merupakan iqrar (pengakuan) atas hal
itu. Ketika hadits yang ketiga -yang notabene merupakan perbuatan Rasulullah
Saw.-, hadits keempat merupakan perbuatan beliau Saw., hadits ketujuh merupakan
perbuatan beliau Saw., dan hadits kedelapan merupakan perbuatan beliau Saw.;
semua ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah Saw. sering menyentuh
isterinya dan tidak berwudhu lagi, yakni empat hadits ini menetapkan bahwa
Rasulullah Saw. menyentuh wanita dan tidak berwudhu lagi.
Semua ini menjadi
dalil yang jelas nan tegas bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.
Fakta Rasulullah Saw. menyentuh wanita dan tidak batal wudhunya itu terbukti
dengan empat hadits shahih yang layak
dijadikan sebagai hujjah ini. Inilah jenis pembuktian yang paling kuat.
Di sisi lain, justru
tidak ada satu hadits pun yang berasal dari perbuatan Rasulullah Saw., atau
bahkan dari perbuatan seorang sahabat di hadapan Rasulullah Saw., bahwa dia
menyentuh wanita lalu berwudhu. Yakni seorang sahabat menyentuh wanita lalu dia
berwudhu dengan adanya pengakuan Rasulullah Saw. Ini menjadi qarinah yang layak untuk menentukan maksud
frase laamastum dari dua ayat tersebut
adalah bersetubuh (al-jima'), atau katakanlah menafikan batalnya wudhu hanya
karena menyentuh dengan berbagai padanannya, seperti mencium, menyentuh dengan
tangan, menggeser dengan kaki.
Bisa jadi ada yang
mengatakan bahwa dua ayat ini menetapkan bahwa menyentuh wanita itu membatalkan
wudhu, sedangkan hadits-hadits yang notabene merupakan perbuatan Rasulullah
Saw. menunjukkan bahwa menyentuh wanita itu tidak membatalkan wudhu, sehingga hadits-hadits
tersebut dipahami sebagai kekhususan bagi Rasulullah saw. Untuk membantah
pernyataan seperti ini kami katakan: kita tidak bisa menerima pernyataan
seperti ini, karena kami tidak menerima jika dikatakan ayat ini menetapkan
batalnya wudhu yang disebabkan menyentuh wanita, bahkan dengan mudah kita
katakan bahwa dua ayat ini bersifat muhtamal (mengandung dua kemungkinan
pengertian), sehingga dengan adanya ihtimal maka gugurlah istidlal, sehingga
lebih tepat bila di atas dua makna ini tidak dibangun pengertian apapun dan
hadits-hadits ini dibawa pada dilalah muhtamalah. Ucapan seperti ini tidak
pantas dilontarkan. Sebab, seandainya benar bahwa dua ayat ini tidak mengandung
pengertian selain batalnya wudhu ketika menyentuh wanita, dan perbuatan-perbuatan
Rasulullah Saw. menunjukkan tidak batalnya wudhu ketika menyentuh wanita, maka
perbuatan atau beberapa perbuatan Rasulullah Saw. sah-sah saja bila dipahami
sebagai kekhususan Rasulullah Saw. Sementara dalam persoalan yang sedang kita
bahas, tidak bisa dipahami seperti itu.
Kedua, sesungguhnya
hadits-hadits tersebut menafsirkan al-Qur’an dan tidak akan kontradiktif
dengannya. Ketika mudah dipahami bahwa dua ayat ini mengandung dua makna, maka
hadits-hadits ini -baik berupa perbuatan ataupun ucapan Rasulullah Saw.- layak
untuk menafsirkan dua ayat tersebut dan menentukan arti mana yang dimaksud dari
dua kemungkinan makna tersebut.
Di sini,
perbuatan-perbuatan Rasulullah Saw. layak untuk menjelaskan makna dua ayat
tersebut, dan membatasi makna yang dimaksud dari kedua makna tersebut.
Pernyataan seperti ini lebih tepat daripada pernyataan adanya ta'arudl
(kontradiksi) di antara al-Qur’an dan hadits, yang akibatnya terpaksa harus
dikatakan bahwa itu merupakan perbuatan yang khusus bagi Rasulullah Saw. Hal
ini karena pernyataan sebagai kekhususan Rasulullah Saw. biasanya tidak diambil
kecuali jika benar-benar ada kontradiksi dan tidak ada kemungkinan sedikitpun
untuk menghimpun dan mengkompromikannya. Dalam persoalan ini, justru besar
kemungkinan untuk menghimpun dan mengkompromikan keduanya.
Ketiga, sesungguhnya
hadits-hadits tersebut tidak hanya terbatas pada perbuatan Rasulullah Saw.,
melainkan menyebutkan perbuatan sahabat yang lain, lalu ada pengakuan atau
persetujuan dari Rasulullah Saw. atas perbuatan tersebut. Hadits-hadits ini
menjelaskan bahwa isteri-isteri beliau Saw. seringkali menyentuh Rasulullah
Saw., baik dengan mencium ataupun dengan yang lainnya, tetapi beliau Saw. tidak
menjelaskan kepada isterinya itu bahwa wudhu mereka telah batal, padahal ada
alasan bahwa perkara tersebut harus dijelaskan seandainya benar menyentuh itu
membatalkan wudhu mereka. Ini juga menjadi qarinah
kebenaran pendapat yang kami pegang ini.
Keempat, kami memiliki
satu nash yang memberi pengertian bahwa isteri-isteri Nabi Saw. memahami bahwa
ciuman Rasulullah Saw. kepada mereka tanpa membatalkan wudhu beliau Saw. itu
bukan termasuk kekhususan beliau Saw., melainkan berlaku untuk seluruh kaum
Muslim. Ad-Daruquthni meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang dijayyidkan oleh al-Hafidz Abadi dari Aisyah:
“Aisyah mendengar
ucapan Ibnu Umar: Mencium itu mengharuskan untuk berwudhu. Maka Aisyah berkata:
Rasulullah Saw. seringkali mencium (isterinya) padahal beliau Saw. sedang
berpuasa, kemudian beliau Saw. tidak berwudhu lagi.”
Bahkan ad-Daruquthni
telah meriwayatkan dari Aisyah dalil yang lebih tegas dan lebih pasti untuk
menjadi hujjah. Dia meriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang diakui, seperti
sanad yang dijayyidkan oleh al-Hafidz
Abadi:
“Bahwasanya Nabi Saw.
bersabda: “Dalam mencium itu tidak ada keharusan untuk berwudhu.”
Ibnu Jarir at-Thabari
menyatakan dalam tafsirnya: “Pendapat yang paling tepat dalam persoalan
tersebut adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa maksud firman Allah Swt. au laamastumun nisaa
itu adalah jima (bersetubuh), bukan pengertian yang lainnya, karena keshahihan kabar dari Rasulullah Saw. bahwa
beliau Saw. mencium sebagian isterinya, kemudian beliau Saw. shalat tanpa
berwudhu lagi.”
Ibnu Jarir
menyampaikan beberapa hadits, dari Aisyah ada dua hadits, dari Zainab
as-Sahmiyyah satu hadits, dari Ummu Salamah ada satu hadits, yakni yang
disebutkan pada poin ketujuh di atas.
Setelah itu, Ibnu
Jarir berkata: “Karena itu, dalam hadits shahih
terkait perkara yang kami sebutkan tadi terdapat dilalah yang jelas, bahwa al-lamsu pada persoalan ini adalah sentuhan
persetubuhan (lamsul jima’), bukan
sentuhan yang lain.”
Berdasarkan ini semua, menyentuh
wanita, baik pada tangan, mulut dan kaki atau bagian tubuh yang lainnya (selain
kemaluan), tidak membatalkan wudhu. Yang membatalkan wudhu itu adalah berjima.
Dengan pendapat dan
kesimpulan seperti ini, kita telah mengamalkan dua ayat dan seluruh hadits shahih dan hadits yang layak untuk dijadikan
sebagai dalil, baik yang berasal dari perbuatan atau dari ucapan Rasulullah
Saw., atau dari perbuatan sahabat dengan pengakuan dan diamnya Rasulullah Saw.
Kami telah menetapkan
bahwa pendapat menyentuh wanita membatalkan wudhu sebagai pendapat yang keliru,
maka ini sekaligus menjelaskan kekeliruan pendapat sentuhan yang disertai
syahwat yang membatalkan wudhu. Karena ciuman -yang biasanya disertai dengan syahwat-
tidak membatalkan wudhu. Ciuman itu merupakan tingkatan tertinggi dari sentuhan
yang disertai syahwat, karena sentuhan yang disertai syahwat itu tidak ragu
lagi adalah sesuatu yang tidak membatalkan wudhu.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar