5. Tidur
Para ulama dan imam
memiliki perbedaan pendapat yang cukup luas tentang hukum tidur, dari sisi
membatalkan atau tidak membatalkan wudhu, hingga mencapai delapan kategori
pendapat sebagaimana yang dihimpun oleh an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, yakni sebagai berikut:
Pertama, tidur itu
tidak membatalkan wudhu, bagaimanapun keadaannya, dan ini merupakan pendapat
Abu Musa al-Asyari, Said bin Musayyab, Abu Mijlaz, Hamid al-A’raj dan Syu'bah.
Kedua, tidur -dengan
seluruh kondisinya itu- membatalkan wudhu, dan ini merupakan pendapat al-Hasan
al-Bashri, al-Muzani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ishaq bin Rahuwaih, Ibnu
al-Mundzir, dan pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas, dan Abu Hurairah.
Ketiga, sebagian besar
tidur itu -dengan setiap kondisinya- membatalkan wudhu, hanya segelintir tidur
yang tidak membatalkan wudhu, itupun dalam satu kondisi, dan ini pendapat
az-Zuhri, Rabi'ah, al-Auza’iy, Malik, dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya.
Keempat, jika tidur
dengan posisi seperti orang yang shalat, seperti posisi ruku, sujud, berdiri,
duduk, maka tidak membatalkan wudhu, baik tertidur dalam shalat ataupun di luar
shalat, sehingga ketika seseorang tidur dengan posisi berbaring atau terlentang
maka batallah wudhunya. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Dawud. Ini pun
merupakan salah satu pendapat as-Syafi’i yang dipandang asing.
Kelima, wudhunya itu
tidak batal kecuali tidurnya orang
yang ruku dan sujud. Pendapat ini diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal.
Keenam, wudhunya itu
tidak batal kecuali tidurnya orang
yang sujud. Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ahmad bin Hanbal.
Ketujuh, tidur dalam
shalat -dengan semua kondisinya itu- tidak membatalkan wudhu, dan tidur di luar
shalat itu membatalkan wudhu, dan ini merupakan pendapat yang lemah dari
as-Syafi’i.
Kedelapan, jika seseorang
tidur dalam keadaan duduk dan kokoh di tempat duduknya, maka tidak batal
wudhunya, jika tidak, maka batallah wudhunya, baik lama atau sebentar, baik
dalam shalat atau di luar shalat. Ini merupakan pendapat as-Syafi'i rahimahullah.
Kami akan menyebutkan
hadits-hadits yang terkait dengan persoalan tidur ini, kemudian akan kami
jelaskan mana yang shahih, hasan dan dhaif, lalu akan kami gali hukum yang rajih
darinya dengan ijin Allah.
1) Dari Shafwan bin ‘Assal, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
memerintahkan kami jika kami sedang melakukan perjalanan untuk tidak
menanggalkan khuff kami selama tiga hari tiga malam, kecuali karena janabah,
tetapi (tidak ditanggalkan) karena buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
(HR. Tirmidzi)
Tirmidzi berkata:
status hadits ini hasan shahih. Hadits ini diriwayatkan pula oleh
Ahmad dan an-Nasai. Dalam bab sebelumnya hadits ini telah kami sebutkan.
2) Dari Ali bin Abi Thalib bahwasanya
Rasulullah Saw. bersabda:
“Mata itu tali
pengikat dubur, barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.” (HR. Ibnu
Majah, Abu Dawud, Ahmad dan ad-Daruquthni)
3) Dari Muawiyah bin
Abu Sufyan bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya kedua
mata itu tali pengikat dubur, jika mata itu tidur maka lepaslah tali itu.” (HR.
ad-Darimi, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Ahmad dan at-Thabrani)
Ini hadits dhaif.
As-Sahu itu adalah nama lingkaran dubur.
4) Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:
“Suatu malam aku
menginap di rumah bibiku Maimunah binti al-Harits, maka aku berkata padanya:
Jika Rasulullah Saw. shalat malam maka bangunkanlah aku. Lalu Rasulullah Saw.
berdiri shalat, kemudian aku pun berdiri di samping kirinya. Beliau Saw.
memegang kedua tanganku dan menyeretku ke sebalah kanannya. Ketika aku
mengantuk, beliau Saw. memegang duping telingaku. Ibnu Abbas berkata: Lalu
beliau Saw. shalat sebelas rakaat, kemudian beliau Saw. duduk memeluk lutut
hingga sungguh. Aku mendengar nafasnya karena beliau tertidur. Ketika beliau
Saw. mengetahui waktu sudah fajar, beliau Saw. shalat dua rakaat yang ringan.”
(HR. Muslim)
Dalam riwayat Bukhari
dari Ibnu Abbas ra. disampaikan dengan lafadz:
“Pada suatu malam aku
tidur di rumah bibiku, Maimunah, lalu Nabi Saw. bangun untuk shalat malam.
Ketika di sebagian waktu malam, Nabi Saw. bangun, lalu berwudhu dari bejana
kecil dengan wudhu yang ringan, diringankan oleh Amr. Beliau Saw. berdiri
shalat. Aku pun berwudhu seperti yang beliau Saw. lakukan, lalu aku berdiri di
sebelah kirinya. Sufyan berkata: Di sebelah kanannya. Kemudian beliau Saw.
memindahkanku dan menjadikan diriku berada di sebelah kanannya. Beliau Saw.
shalat sesuai yang dikehendaki-Nya, setelah itu berbaring dan tertidur hingga
mendengkur. Kemudian datanglah mu'adzin seraya menyerukan adzan untuk shalat.
Beliau Saw. pun bangun untuk shalat bersamanya. Lalu beliau Saw. shalat dan
tidak berwudhu.”
Dalam riwayat Muslim
yang kedua dari Ibnu Abbas ra. diungkapkan dengan lafadz:
“Lalu beliau Saw.
bangun dan kemudian shalat. Aku pun berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau
Saw. memegang tanganku dan menggeserku ke sebelah kanannya. Shalat Rasulullah
Saw. di waktu malam lengkap tiga belas rakaat, kemudian beliau Saw. berbaring
dan tertidur hingga mendengkur. Dan ketika beliau Saw. tidur beliau mendengkur,
lalu datanglah Bilal. Dia mengumandangkan adzan panggilan untuk shalat, lalu
beliau Saw. bangun, shalat dan tidak berwudhu.”
Dalam riwayat Bukhari
yang kedua dari Ibnu Abbas diungkapkan dengan lafadz:
“Kemudian beliau Saw.
shalat dua rakaat, lalu tidur, hingga aku mendengar suara dengkurannya. Setelah
itu beliau Saw. keluar untuk shalat.”
5) Dari Anas, ia berkata:
“Para sahabat menunggu
waktu shalat isya, hingga kepala mereka terangguk-angguk. Kemudian mereka
shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Abu Dawud, as-Syafi'i, al-Baihaqi, Muslim dan
ad-Daruquthni)
Dalam satu riwayat
disebutkan:
“Sungguh aku melihat
para sahabat Rasulullah Saw. dibangunkan untuk shalat, hingga sungguh aku
mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka shalat dan tidak
berwudhu.” (HR. ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan Tirmidzi)
Dalam riwayat ketiga
yang ditakhrij oleh al-Bazzar dan
al-Khallal diungkapkan dengan lafadz:
“Sesungguhnya para
sahabat Rasulullah Saw. suka membaringkan tubuh mereka, di antara mereka ada
yang berwudhu dan ada juga yang tidak berwudhu.”
Hadits ini dengan
seluruh riwayatnya berstatus shahih atau
hasan.
6) Dari Yazid bin
Abdirrahman (ad-Dalani), dari Qatadah, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas ra.
bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Orang yang tidur
dalam keadaan bersujud tidak wajib berwudhu hingga dia berbaring, karena jika
tidur berbaring maka tulang-tulang sendinya mengendur.” (HR. Ahmad)
Ini hadits dhaif.
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dari Ibnu Abbas dengan lafadz:
“Dia berkata: Lalu aku
bertanya pada beliau Saw.: Engkau shalat dan tidak berwudhu, padahal engkau
telah tidur? Maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya wudhu itu diwajibkan bagi
orang yang tidur dalam keadaan berbaring, karena jika seseorang berbaring maka
tulang-tulang persendiannya mengendur.”
Tirmidzi dan
al-Baihaqi meriwayatkan hadits yang kurang lebih sama.
Al-Baihaqi juga
meriwayatkan:
“Wudhu itu tidak wajib
bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk, berdiri atau bersujud hingga dia
berbaring, karena jika dia berbaring maka tulang-tulang persendiannya
mengendur.”
7) Dari Hudzaifah bin
al-Yaman ra., dia berkata:
“Aku pernah berada di
Masjid Madinah dalam keadaan duduk dengan kepala terangguk-angguk karena
mengantuk, lalu seseorang dari belakangku memelukku. Aku pun menoleh, ternyata
yang memelukku adalah Nabi Saw. Kemudian aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah
aku diharuskan untuk berwudhu? Beliau Saw. menjawab: “Tidak, hingga engkau
(tidur) berbaring.” (HR. al-Baihaqi)
Ini hadits dhaif.
8) Dari Yazid bin
Qasith, dia berkata sesungguhnya dia mendengar Abu Hurairah ra. berkata:
“Orang yang tidur
dalam keadaan memeluk lututnya, orang yang tidur dalam keadaan berdiri, orang
yang tidur dalam keadaan bersujud, itu tidak wajib berwudhu hingga dia (tidur
dalam keadaan) berbaring, sehingga jika dia tidur berbaring maka hendaklah dia
berwudhu.” (Riwayat al-Baihaqi)
9) Dari Abu Hurairah
ra., dia berkata:
“Barangsiapa yang
benar-benar tidur maka dia wajib berwudhu.” (Riwayat al-Baihaqi dengan sanad shahih, secara mauquf sampai pada Abu
Hurairah)
Al-Baihaqi berkata:
tidak sah memarfu'kan hadits ini.
Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini juga dan berkata: hadits ini lebih shahih dimauqufkan.
Hadits yang pertama shahih.
Sedangkan terkait
dengan hadits yang kedua, Ahmad ditanya tentang hadits yang kedua dan ketiga,
dia berkata: hadits Ali ini lebih mapan dan lebih kuat. Al-Jurjani berkata:
hadits ini lemah. Hadits ini didhaifkan
oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim. Tetapi al-Mundziri, Ibnu Shalah dan an-Nawawi
menghasankannya. Ibnu Hajar membelanya.
Dengan demikian, hadits ini hasan sehingga layak digunakan sebagai hujjah,
terlebih lagi jika kita mengetahui alasan Abu Zur’ah mendhaifkannya itu adalah ketika dia menyatakan bahwa Abdurrahman
bin Aid itu tidak mendengar hadits tersebut dari Ali. Pernyataan ini dibantah
oleh Ibnu Hajar.
Hadits yang ketiga dhaif, karena di dalam sanadnya terdapat Baqiyyah, dari Abu Bakar bin Abi Maryam, dia
perawi yang dhaif, sehingga hadits ini
tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Hadits yang keempat shahih. Hadts yang kelima juga shahih.
Hadits yang keenam didhaifkan oleh Ahmad, Bukhari, Abu Dawud,
Ibrahim al-Harbiy dan Tirmidzi. Al-Baihaqi berkata: Abu Khalid ad-Dalani
menyendiri, dan ia diingkari oleh seluruh imam hadits, dan merekapun menyanggah
Abu Khalid mendengar dari Qatadah. Ibnu Hibban berkata: Tidak boleh berhujjah
dengannya. Jadi status hadits ini dhaif
sehingga harus ditinggalkan.
Mengenai hadits yang
ketujuh, Bahr bin Kunbuz sendirian yang meriwayatkannya, dan dia seorang yang dhaif, sehingga riwayatnya tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah. Ini yang dinyatakan oleh al-Baihaqi, sehingga hadits
tersebut dhaif dan tidak layak dijadikan
sebagai hujjah.
Hadits yang kedelapan
dikomentari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar: sanadnya
jayyid, tetapi hadits ini mauquf.
Al-Baihaqi berkata:
“hadits ini mauquf,” yakni bukan hadits marfu', yaitu bukan sebagai dalil,
karena perkataan dan perbuatan sahabat itu walaupun boleh diikuti, tetapi tidak
boleh dipandang sebagai dalil.
Hadits yang kesembilan
mauquf sampai Abu Hurairah, sehingga tidak layak dijadikan sebagai dalil.
Tinggallah kini hadits
yang pertama, kedua, dan keempat, dengan keempat redaksinya, dan hadits kelima
dengan ketiga riwayatnya, dan kita tinggalkan hadits-hadits yang lain yakni
hadits ketiga, keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan.
Sekarang kita akan
mengkaji lebih jauh hadits-hadits yang telah kita tarjih yang layak digunakan
sebagai hujjah. Kami katakan: Di dalam hadits yang pertama disebutkan:
“Tetapi (tidak
ditanggalkan) karena buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
Di dalam hadits kedua
disebutkan:
“Barangsiapa yang
tidur maka hendaklah dia berwudhu.”
Dalam hadits keempat
dengan lafadz dari Muslim disebutkan:
“Dan ketika aku
mengantuk, beliau Saw. memegang cuping telingaku.”
Dalam lafadz hadits
yang diungkapkan Bukhari disebutkan:
“Kemudian beliau Saw.
berbaring dan tertidur hingga mendengkur, lalu datang mu'adzin seraya
menyerukan adzan untuk shalat. Beliau Saw. bangun untuk shalat bersamanya,
kemudian beliau Saw. shalat dan tidak berwudhu.”
Ini persis dengan
lafadz yang digunakan dalam hadits yang ditakhrij
oleh Muslim. Dalam lafadz kedua dari Bukhari disebutkan:
“Kemudian beliau Saw.
tidur hingga aku mendengar suara dengkurannya. Setelah itu beliau Saw. keluar
untuk shalat.”
Dalam hadits yang
kelima disebutkan:
“Para sahabat menunggu
waktu shalat isya, hingga kepala mereka terangguk-rangguk mengantuk, kemudian
mereka shalat dan tidak berwudhu.”
Lafadz yang lain
menyebutkan:
“Mereka (para sahabat)
dibangunkan untuk shalat, hingga sungguh aku mendengar dengkuran salah seorang
dari mereka. Kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.”
Lafadz yang ketiga
menyebutkan:
“Mereka membaringkan
tubuh mereka. Di antara mereka ada yang berwudhu dan ada juga yang tidak
berwudhu.”
Hadits yang pertama
dan hadits kedua menunjukkan bahwa tidur itu membatalkan wudhu. Yang pertama
berdasarkan mafhumnya, sedangkan yang
kedua berdasarkan manthuq-nya.
Hadits yang keempat
dengan lafadz pertama dari Muslim menunjukkan bahwa mengantuk saat shalat tidak
membatalkan wudhu, dasar alasannya sangat jelas.
Hadits yang kelima
lafadz yang pertama menunjukkan bahwa tidur menunggu waktu shalat tidaklah
membatalkan wudhu, begitu pula lafadz yang kedua, tetapi dengan tambahan
mendengkur, yakni tidur yang disertai dengkuran saat menunggu waktu shalat
tidak membatalkan wudhu.
Dengan menghimpun
lafadz-lafadz hadits kelima dan lafadz Bukhari Muslim dalam hadits keempat,
kemudian beliau Saw. berbaring, maka saya katakan bahwa tidur yang disertai
dengan terangguk-angguknya kepala, dengkuran, dan berbaring untuk menunggu
waktu shalat, itu tidak membatalkan wudhu.
Ringkasnya adalah,
ketika hadits yang pertama dan hadits yang kedua menyatakan bahwa tidur itu
membatalkan wudhu, maka hadits yang keempat dan kelima dengan seluruh lafadznya
itu menunjukkan bahwa tidur
tidak membatalkan wudhu, di mana tidurnya bisa berupa mengantuk saat shalat,
terangguk-angguknya kepala, mendengkur dan berbaring saat menunggu waktu shalat.
Semua hadits ini berstatus shahih dan
hasan. Mengamalkan dalil-dalil tersebut lebih utama daripada mengabaikannya
atau mengabaikan salah satu dan sebagiannya. Di sini mengamalkan dalil-dalil
tersebut bisa dilakukan bahkan nampak jelas, sehingga kita tidak perlu
mengatakan ada kontradiksi, dan tidak mungkin mengkompromikan dalil-dalil
tersebut.
Dengan mengamalkan
dalil-dalil tersebut, dan dengan mengkaji dan menelitinya lebih cermat lagi
akan kita dapati bahwa hadits-hadits yang menunjukkan batalnya wudhu itu
memberi pengertian tidur secara mutlak.
Sedangkan
hadits-hadits yang memberi pengertian tidak batalnya wudhu itu datang dalam
bentuk muqayyad (diberi batasan) dengan
satu kondisi shalat dan menunggu shalat. Kami katakan satu kondisi bukan dua
kondisi, karena menunggu shalat itu juga dianggap shalat sebagaimana disebutkan
dalam beberapa hadits. Dari Anas, dia berkata:
“Nabi Saw.
mengakhirkan shalat isya ke tengah malam, kemudian beliau Saw. shalat, lalu
berkata: “Orang-orang sudah shalat dan tidur, sedangkan kalian sesungguhnya
berada dalam shalat, selama kalian menunggu shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan
Abu Dawud)
Dari Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Malaikat mendoakan
salah seorang dari kalian selama dia berada di tempat shalat dan tidak
berhadats, ya Allah ampunilah dia, ya Allah kasihilah dia. Dan salah seorang
dari kalian tetap berada dalam shalat selama shalat menahannya, tidak ada yang
mencegahnya pulang menemui keluarganya, selain shalat.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Muslim juga
meriwayatkan dari jalur yang sama:
“Ketika dia memasuki
masjid, maka dia berada dalam shalat selama shalat itu menahannya, dan malaikat
mendo’akan salah seorang dari kalian selama dia berada di tempat yang
digunakannya untuk shalat. Para malaikat berdoa, ya Allah kasihilah dia, ya
Allah ampunilah dia, terimalah taubatnya, selama dia tidak menyakiti di
dalamnya, dan selama dia tidak berhadats di dalamnya.”
Hadits-hadits ini
menyatakan bahwa menunggu shalat itu dipandang sebagai shalat juga.
Menunggu shalat itu
dipandang sebagai shalat, artinya menunggu shalat dipandang sebagai shalat
dilihat dari sisi hukumnya, bukan dari sisi faktanya. Sehingga shalat yang
dilaksanakan itulah yang dipandang shalat dari sisi faktanya. Sedangkan
menunggu shalat dipandang shalat dari sisi hukumnya sehingga keduanya merupakan
kondisi yang satu dalam sifatnya.
Lalu datang beberapa
hadits yang tidak membatalkan wudhu, yang menyamakan antara shalat dari sisi
hukumnya dan shalat dari sisi faktanya. Hadits-hadits tersebut menjadikan
keduanya sebagai sesuatu yang satu, yakni dari sisi bahwa tidur dalam kedua hal
itu tidak membatalkan wudhu.
Dengan demikian,
hadits-hadits ini telah mengecualikan tidur dalam kondisi shalat sebagai
sesuatu yang tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan tidur yang
lain, secara umum dan mutlak membatalkan wudhu. Karena itu, tidak ragu lagi
bahwa tidur membatalkan wudhu. Dan dikecualikan dari hal itu adalah tidur dalam
kondisi shalat. Inilah hukum yang rajih yang bisa didapatkan dari hadits-hadits
di atas.
Di sini kami ingin
memberi sedikit catatan, bahwa tidur yang membatalkan wudhu itu adalah sesuatu
yang bisa disebut sebagai tidur. Jadi, kalau tidur mengantuk (kepala
terangguk-angguk, sekali atau dua kali dalam posisi duduk), maka syara telah memaafkan hal itu, dan tidak
menjadikannya sebagai sesuatu yang membatalkan wudhu, dan memang ini bukan
termasuk tidur, selain memang bahwa syara
memaafkan sesuatu yang sedikit dan ringan.
Persis seperti darah
yang membatalkan wudhu, itu akan dimaafkan kalau ringan dan sedikit, sehingga
(darah yang sedikit) tidak terkategorikan sebagai darah yang membatalkan wudhu.
Syara memaafkan segala sesuatu dan
segala perbuatan yang sedikit dan ringan. Najis yang sedikit itu dimaafkan,
darah yang sedikit keluar dari badan dimaafkan, sehingga tidur pun termasuk
dalam kaidah ini, di mana jika tidur itu hanya sedikit atau ringan maka ia
dimaafkan.
Pengertian seperti ini
telah diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ibnu Abbas bahwasanya dia berkata:
“Wudhu itu wajib atas
setiap orang yang tidur, kecuali orang yang terangguk-angguk kepalanya karena
mengantuk.”
Al-Khafqah itu artinya adalah mengantuk.
Tidur mengantuk
seperti itu tidak membatalkan wudhu.
Sekarang kita akan
mengkaji delapan pendapat di atas. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidur itu
tidak membatalkan wudhu -bagaimanapun kondisinya- dengan alasan dilalah hadits
Anas. Telah jelas sebelumnya bahwa hadits ini dengan tiga lafadznya itu tidak
memberi pengertian seperti yang mereka pahami, melainkan memberi pengertian
bahwa tidur dalam kondisi shalat tidaklah membatalkan wudhu. Kekeliruan
tersebut muncul karena orang yang melontarkan pendapat ini telah
menggeneralisir dan memutlakkan hadits Anas.
Pendapat kedua tidak
mengecualikan kondisi shalat dan menunggu shalat.
Pendapat ketiga juga
tidak mengecualikan kondisi shalat dan menunggu shalat. Kekeliruan tersebut
bisa diminimalisir seandainya mereka memperhatikan tidur yang ringan atau
sedikit, sebagaimana yang kami jelaskan di atas.
Adapun pendapat
keempat jelas keliru, mengecualikan tidur yang dilakukan dalam salah satu
posisi shalat, padahal di luar shalat sebagai sesuatu yang tidak membatalkan
wudhu jelas keliru. Kekeliruan mereka berasal dari penggunaan hadits dhaif sebagai dalil, dan menggeneralisir
sesuatu yang terjadi dalam shalat pada sesuatu di luar shalat.
Pendapat kelima juga
keliru. Mereka mengatakan bahwa orang
yang ruku dan sujud berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan keluarnya
angin. Ini jelas pengambilan kesimpulan yang rusak, satu nash pun tidak
mendukung pendapat mereka.
Tentang pendapat
keenam jelas keliru dengan alasan seperti yang kami kemukakan untuk membantah
pendapat kelima.
Pendapat ketujuh -dari
sisi pengungkapannya- adalah pendapat yang benar. Saya harap mereka menetapkan
bahwa tidur menunggu shalat itu tidak membatalkan wudhu, walaupun pendapat ini
benar dari sisi pengungkapannya -sebagaimana yang kami katakan- tetapi sayangnya
dalil yang mereka gunakan adalah hadits yang sangat dhaif yang diriwayatkan ad-Dailami dan Ibnu Asakir dari jalur
Anas:
“Ketika seorang hamba
tidur dalam sujudnya, Allah Swt. membanggakannya di hadapan malaikat, seraya
berkata: Lihatlah oleh kalian hamba-Ku ini, ruhnya di sisi-Ku, sedangkan
jasadnya berada dalam ketaatan pada-Ku.”
Hadits ini sangat dhaif.
Sedangkan pendapat
kedelapan, saya melihatnya sebagai pendapat yang keliru. Mereka mengambil
kesimpulan dari hadits Ali, Muawiyah dan Anas, padahal hadits Muawiyah ini dhaif sehingga tidak layak digunakan sebagai
hujjah, dan hadits Anas juga sama, tidak bisa dijadikan sandaran penopang
pendapat mereka. Mereka berargumentasi dengan lafadz pertama hadits Anas:
“Hingga kepala mereka
terangguk-angguk, kemudian mereka shalat.”
Mereka memahami dari
hadits ini bahwa tidur seperti itu adalah tidur orang yang duduk, tetapi sayang
mereka tidak memperhatikan lafadz ketiga:
“Mereka membaringkan
tubuh mereka.”
Ini merupakan nash
yang jelas menerangkan bahwa mereka tidak tidur dalam keadaan duduk. Karena itu
saya katakan, mereka terlalu memaksakan diri memberi penakwilan seperti itu.
Agar Anda bisa
merasakan sejauh mana kebingungan yang mereka alami ketika beristidlal (mengambil kesimpulan), maka saya
sampaikan kepada pembaca sekalian satu paragraf yang bisa ditemukan dalam kitab
Dzail Sunan ad-Daruquthni karya Abu
at-Thayyib Abadiy: [Lafadz hadits yang ditakhrij
at-Tirmidzi dari jalur Syu'bah:
“Sungguh aku melihat
para sahabat Rasulullah Saw. dibangunkan untuk shalat hingga aku benar-benar
mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka bangun, lalu
shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.”
Ibnul al-Mubarak
berkata: Menurut kami, para sahabat tersebut tidur dalam keadaan duduk.
Al-Baihaqi berkata:
seperti itu juga hadits ini dipahami oleh Abdurrahman bin Mahdi dan as-Syafi’i.
Ibnu al-Qathan
berkata: Hadits ini bersesuaian dengan riwayat Muslim, mengandung kemungkinan
bahwa para sahabat tersebut tidur dalam keadaan duduk.
Seperti inilah
pendapat yang dipegang oleh orang-orang, tetapi ada tambahan riwayat yang bisa
mencegah lahirnya pendapat seperti itu, yakni hadits yang diriwayatkan oleh
Yahya bin al-Qathan dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas, dia berkata:
“Para sahabat
Rasulullah Saw. menunggu shalat, lalu mereka membaringkan tubuhnya. Di antara
mereka ada yang tidur, kemudian dia berdiri untuk shalat.”
Ibnu Daqiq al-Id
berkata: Tidur mereka tersebut dipahami sebagai tidur yang ringan. Tetapi
sayang pendapat al-Ied ini bertentangan dengan riwayat Tirmidzi yang
menyebutkan adanya dengkuran dari salah seorang dari sahabat yang tidur.]
Kebingungan itu nampak
jelas, setiap kali mereka terikat dengan satu sisi maka terlepaslah sisi yang
lain, sehingga hadits ini tidak cukup membantu mereka. Adapun hadits Ali:
“Mata itu tali
pengikat dubur. Barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”
Berdasarkan hadits
tersebut, mereka berpendapat bahwa tidur itu bukan hadats itu sendiri, keluar
angin saat tidur itulah yang menjadi hadatsnya. Dari situ pula mereka
menyatakan bahwa orang
yang tidur dalam keadaan duduk tidak akan mengeluarkan angin, sehingga wudhunya
tidak dianggap batal. Artinya, berdasarkan hadits ini mereka menyimpulkan ‘illat batalnya wudhu saat tidur itu adalah
keluarnya angin. Maka kami katakan:
Pertama: hadits Anas telah membantah pemahaman
mereka terhadap hadits ini, karena dalam hadits tersebut jelas disebutkan bahwa
para sahabat tidur dalam keadaan berbaring, tetapi mereka tidak berwudhu.
Kedua: hadits mata itu tali pengikat dubur
tidak layak untuk dijadikan sebagai dalil penetapan bahwa ‘illat batalnya wudhu saat tidur itu karena
keluarnya angin, karena lafadz haditsnya tidak memberi pengertian kausal
(penetapan sebab).
Ketiga: syara
telah menetapkan tidur sebagai faktor yang membatalkan wudhu, persis dengan
keluarnya angin, yang juga menjadi faktor yang membatalkan wudhu. Karena itu syara menetapkan keduanya (tidur dan keluarnya
angin-pen.) itu sebagai faktor yang
membatalkan wudhu. Syara tidak
menjadikan salah satunya sebagai ‘illat
(sebab) untuk pembatal wudhu yang lain, karena hal seperti itu sama saja dengan
mengharuskan pembatal wudhu itu hanya satu saja, seraya mengabaikan yang lain.
Pengabaian ini sama dengan nasakh (penghapusan), padahal tidak ada seorang
Muslim pun yang berhak melakukan penasakhan
selain Rasulullah Saw. Dan faktanya tidak ada riwayat beliau Saw. yang
mengabaikan, membatalkan, atau menasakh
tidur itu sebagai faktor yang membatalkan wudhu.
Pernyataan bahwa tidur
menjadi pembatal wudhu disebabkan keluarnya angin saat tidur, dan ketika keluar
angin ini bisa dicegah dengan cara tidur dalam keadaan duduk maka hilanglah
hukum tidur sebagai pembatal wudhu. Maka pernyataan seperti ini tidak benar
berdasarkan paparan yang telah kami jelaskan sebelumnya, karena di dalam syara justru banyak ditemukan nash-nash yang
menetapkan tidur itu membatalkan wudhu, dan nash tersebut tidak dinasakh.
Bahkan bagian terakhir
hadits mereka itu telah membantah cara mereka memahami bagian awalnya. Hadits
tersebut menyatakan:
“Mata itu tali
pengikat dubur. Barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”
Bagian akhir hadits
tersebut menyatakan:
“Barangsiapa yang
tidur maka hendaklah dia berwudhu.”
Kalimat tersebut tidak
membatasi (taqyid), mengkhususkan (takhsis), ataupun merinci (tafshil), tidur
dalam keadaan duduk jelas dicakup oleh nash tersebut. Seharusnya yang justru
dikatakan adalah keluar angin itu besar kemungkinan terjadi pada orang
yang tidur, sehingga keluar angin tidak layak menjadi ‘illat.
Inilah pendapat para
ulama dan para imam beserta dalil-dalilnya. Mereka gagal mengkompromikan dan
menyatukan semua dalil tersebut kecuali dengan penakwilan yang terlalu
dipaksakan. Nampak jelas di hadapan pembaca sekalian bahwa hadits-hadits ini
tidak bisa disatukan kecuali dengan pemahaman atau pendapat yang telah kami
nyatakan, yakni bahwa tidur dalam shalat yang fi'liyah (shalat sebagai fakta
riilnya) dan shalat yang hukmiyah (shalat dari sisi hukumnya) adalah tidak
membatalkan wudhu, sedangkan tidur dalam selain kedua kondisi tersebut adalah
membatalkan wudhu.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar