Sesuatu yang Dipakai Di Kaki
Contohnya adalah
sepatu, sandal, khuff, jurmuq (overshoe), dan kaus kaki. Fakta sepatu sudah
dipastikan bisa diketahui, sedangkan khuff adalah sandal dari kulit yang
menutupi dua mata kaki, jurmuq lebih besar dari khuff dan dipakai di atasnya,
sedangkan mengenai jaurab (kaus kaki)
disebutkan oleh penyusun kitab al-Qamus:
yaitu penutup kaki. Ibnul Arabiy berkata: Jaurab
adalah sesuatu yang dipakai penduduk negeri yang sangat dingin, yang berasal
dari tenunan wol. Dari Khalida bin Said, dia berkata:
“Abu Mas’ud al-Anshari
mengusap dua jaurab miliknya yang
berasal dari bulu domba, dan mengusap kedua sandalnya.” (HR. Abdurrazaq)
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan: “Dari Uqbah bin Amr, bahwasanya dia mengusap dua jaurabnya yang berasal dari bulu domba.”
Nama-nama ini mencakup
sesuatu yang digunakan seseorang
pada kakinya, berupa sepatu dan sebagainya, yang digunakan untuk menutupi dan
menghangatkan kaki serta memudahkannya berjalan, tanpa perbedaan apakah
bahannya berasal dari kulit, wol, rami, atau bahan sintetis modern lainnya,
tidak ada perbedaan apakah keras ataukah lembut, selama menutupi dan
menghangatkan kaki serta memudahkannya berjalan.
Kami menyebutkan
“menutupi”, “menghangatkan, dan “memudahkan berjalan” karena biasanya karakter
seperti ini terdapat pada sesuatu yang dipakai oleh kaki. Benda-benda tersebut
ada yang keras yang bisa menahan kasar dan kerasnya tanah selama berjalan seperti
sandal, ada juga yang lebih lembut yang terbuat dari kulit yang lembut, atau
bulu domba, bulu unta, bulu kambing, atau kain, ada yang lebar dan ada yang
sempit; semua ini tercakup dalam pembahasan mengusap sesuatu yang dipakai kaki.
Legalitas mengusap
sepatu sudah disampaikan dalam Sunnah Nabi Saw., dinukil dari mayoritas
sahabat, serta sangat populer di kalangan umat ini.
An-Nawawi berkata: Tak
terhitung banyaknya jumlah sahabat yang meriwayatkan mengusap dua khuff.
Ibrahim an-Nakha’iy
berkata: “Di antara sahabat Rasulullah Saw. yang mengusap dua khuff adalah Umar
bin Khaththab, Saad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud al-Anshari,
Hudzaifah, al-Mughirah bin Syu'bah, dan al-Barra bin Azib.” Ini diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah.
Ibnu Hajar berkata:
Sejumlah al-Hafidz (orang yang hafal minimal seratus ribu hadits) menyatakan
bahwa mengusap dua khuf itu mutawatir, sebagian mereka mengumpulkan para
perawinya, ternyata jumlahnya lebih dari delapan puluh perawi. Di antara mereka
adalah perawi yang sepuluh.
Ahmad berkata: Dalam
masalah mengusap khuff ada empat puluh hadits dari sahabat yang berstatus
marfu’.
Ibnu al-Mubarak
berkata: Dalam masalah bolehnya mengusap dua khuff tidak ada perbedaan
pendapat. Dia berkata lagi: “Terdapat beberapa sahabat yang konon diriwayatkan
darinya bahwa dia enggan mengusap dua khuff, ternyata kemudian diriwayatkan
darinya hal sebaliknya.” Pernyataan Ibnul Mubarak ini dituturkan oleh Ibnul
Mundzir.
Ibnu Abdil Barr
berkata: Aku tidak mengetahui ada riwayat dari fuqaha yang mengingkari
kebolehan mengusap khuff selain Malik, walaupun begitu, riwayat-riwayat yang shahih justru menegaskan kebolehannya.
Adapun hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah dan Abu Hurairah yang mengandung pengingkaran terhadap
kebolehan mengusap khuff, maka kedua riwayat tersebut telah dikomentari oleh
Ibnu Abdil Barr: Tidak terbukti keshahihannya.
Ahmad berkata: Hadits
Abu Hurairah yang mengingkari kebolehan mengusap khuff tidak shahih, hadits ini batil.
Sedangkan hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa Ali ra. menyatakan tidak boleh mengusap
dua khuff, maka hadits tersebut telah dibatalkan oleh hadits yang diriwayatkan
dari jalur yang shahih dari Ali, juga
yang menyatakan bolehnya mengusap khuff.
Dari Syuraih bin Hani,
dia berkata:
“Aku pernah menemui
Aisyah dan bertanya kepadanya tentang mengusap dua khuff, maka beliau berkata:
Datanglah kepada Ibnu Abi Thalib, lalu tanyakanlah perihal itu kepadanya,
karena dia pernah bepergian bersama Rasulullah Saw. Maka kami bertanya kepada
Ali, dia berkata: Rasulullah Saw. menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir,
dan satu hari satu malam bagi orang yang mukim.” (HR. Muslim dan an-Nasai)
Walaupun paparan di
atas begitu jelas, tetapi Abu Bakar bin Dawud ad-Dzahiri dan yang lainnya
mengingkari kebolehan mengusap dua khuff. Untuk menopang pendapatnya, mereka
berargumentasi dengan ayat al-Maidah yang membahas wudhu dan di dalamnya ada
perintah membasuh dua kaki, juga berargumentasi dengan perintah Rasulullah Saw.
untuk membasuh:
“Dan basuhlah kakimu.”
Dan sabda beliau Saw.
setelah membasuh dua kaki:
“Allah Swt. tidak
menerima shalat tanpanya (membasuh kaki).”
Dan sabda beliau Saw.:
“Lembah Neraka Wail
dari Neraka diperuntukkan untuk tumit-tumit (yang tidak terbasuh air).”
Mereka menolak
hadits-hadits mengusap khuff dengan alasan hadits-hadits tersebut telah dinasakh oleh ayat al-Maidah. Mereka keliru
besar dan sewenang-wenang dalam istinbath dan pengambilan kesimpulan.
As-Syaukani memberikan
bantahan yang sangat tepat kepada mereka dengan menyatakan: “Perihal ayat ini
maka telah terbukti kabar dari Rasulullah bahwa beliau Saw. mengusap dua khuff
setelah ayat al-Maidah ini turun, sebagaimana tercantum dalam hadits Jarir yang
kami sebutkan dalam bab ini. Sedangkan hadits “cucilah kakimu”, maka tujuannya
adalah perintah mencuci tetapi di dalamnya tidak ada sesuatupun yang
mengesankan adanya pembatasan. Seandainya ada sesuatu yang menunjukkan
pembatasan pastinya hadits tersebut sudah ditakhsis
oleh hadits-hadits ”mengusap khuff” yang mutawatir, sedangkan hadits “Allah
Swt. tidak menerima shalat tanpanya” tidak bisa digunakan sebagai hujjah sama
sekali. Jadi, bagaimana mungkin bisa melawan hadits-hadits mutawatir karena
kita tidak menemukan lafadz seperti ini dari jalur yang cukup diperhitungkan.
Sedangkan hadits “lembah Neraka Wail untuk tumit yang tidak terbasuh air,” maka
ini merupakan ancaman bagi orang yang mengusap kakinya dan tidak membasuhnya.
Hadits ini tidak terkait sama sekali dengan mengusap dua khuff. Kalau boleh aku
katakan, hadits ini bersifat umum, sehingga tidak bisa membatasi sebabnya. Aku
katakan: Kami tidak bisa menerima pernyataan bahwa hadits ini mencakup orang
yang mengusap dua khuff, karena dia membiarkan kakinya seluruhnya, bukan hanya
membiarkan tumitnya (tidak terbasuh). Hadits-hadits mengusap dua khuff itu
dikhususkan orang yang mengusapnya dari ancaman tadi. Adapun klaim adanya
nasakh, maka jawabannya adalah ayat ini bersifat umum dan muthlaq ketika
dikaitkan dengan persoalan memakai atau tidak memakai khuff, sehingga
hadits-hadits mengusap khuff itu menjadi pentakhsis
atau pentaqyidnya. Dengan demikian klaim
nasakh dalam masalah ini tidak benar adanya.”
Ibnu Hajar menyatakan
dalam kitab Fathul Baari: “Ayat
al-Maidah itu turun dalam Perang al-Muraisi', sedangkan hadits al-Mughirah
terjadi dalam Perang Tabuk. Telah disepakati bahwa Perang Tabuk itu terjadi
belakangan.”
Abu Dawud dan Malik
secara jelas menyebutkan hadits al-Mughirah terjadi dalam Perang Tabuk, begitu
pula as-Syafi’i dalam kitab Musnad-nya.
Al-Bazzar,
at-Thabrani, dan Ahmad telah meriwayatkan dari Auf bin Malik, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
memerintahkan kami dalam Perang Tabuk untuk mengusap dua khuff, tiga hari tiga
malam untuk orang musafir, dan sehari semalam untuk orang yang mukim.”
Hadits Jarir dan
hadits al-Mughirah yang disinggung dalam pernyataan as-Syaukani dan Ibnu Hajar
akan kami sampaikan dengan ijin Allah dengan hadits lainnya, untuk menunjukkan
legalitas mengusap dua khuff.
1. Dari Hammam, dia berkata:
“Jarir buang air kecil
(kencing), kemudian dia berwudhu dan mengusap kedua khuffnya. Setelah itu dia ditanya: Benarkah yang engkau lakukan?
Dia menjawab: Iya, aku melihat Rasulullah Saw. buang air kecil, kemudian beliau
Saw. berwudhu dan mengusap dua khuffnya.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmidzi)
2. Dari Abdurrahman bin Abi Nu’m dari
al-Mughirah bin Syu’bah:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. mengusap dua khuffnya, maka aku
bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa. Beliau Saw. berkata:
“Sebaliknya, justru engkau yang lupa. Seperti inilah yang diperintahkan Allah azza wa jalla kepadaku.” (HR. Abu Dawud)
Sanad hadits ini shahih.
3. Dari al-Mughirah bin Syu’bah:
“Lalu beliau Saw.
membasuh kedua lengannya, mengusap kepalanya, kemudian aku jongkok untuk
membuka dua khuffnya, maka beliau Saw.
berkata: “Biarkanlah keduanya, karena aku memasukkan kedua kakiku ke dalamnya
dalam keadaan suci. Lalu beliau Saw. mengusap kedua khuffnya.” (HR. Muslim)
4. Dari Abdullah bin Umar, dari Saad bin Abi
Waqqash, dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya beliau
Saw. mengusap dua khuffnya. Abdullah bin
Umar menanyakan hal itu kepada Umar, maka Umar berkata: Iya. Jika Saad
menceritakan hadits Nabi Saw. kepadamu, maka janganlah engkau bertanya lagi
kepada orang lain.” (HR. Bukhari, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Malik)
5. Dari al-Mughirah, dia berkata:
“Nabi Saw. berwudhu,
beliau Saw. mengusap kedua kaus kaki dan dua sandalnya. (HR. Tirmidzi)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan shahih.
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah.
6. Hadits Bilal, Tsauban, Amr bin Umayyah yang
kami sebutkan dalam pembahasan sesuatu yang dipakai di atas kepala.
Hadits-hadits shahih ini menunjukkan legalitas mengusap
sepasang khuff, sepasang sandal, dan sepasang kaus kaki. Ini telah dimaklumi di
kalangan para fuqaha, baik salaf ataupun khalaf,
sehingga pernyataan yang menyalahinya tidak perlu kita hiraukan.
Hadits Jarir cukup
menjadi dalil bahwa ayat ini tidak menunjukkan adanya nasakh, karena Jarir
masuk Islam belakangan.
Abu Dawud telah
meriwayatkan hadits Jarir dan menambahkan:
“Mereka berkata:
Sesungguhnya ini terjadi sebelum turunnya al-Maidah. Dia berkata: Aku tidak
masuk Islam melainkan setelah turunnya al-Maidah.”
At-Thabrani
meriwayatkan dari Jarir, dia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. mengusap dua khuffnya
setelah turun al-Maidah.”
Dengan demikian,
hadits ini datang belakangan setelah turunnya ayat al-Maidah yang memerintahkan
membasuh kaki, sehingga ayat tersebut tentu saja tidak menasakhnya.
Begitu pula hadits
al-Mughirah datang belakangan setelah turunnya ayat al-Maidah, karena konteks
hadits tersebut terjadi saat Perang Tabuk. Hal ini diceritakan oleh Abu Dawud.
Begitu pula hadits
yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik yang ditakhrij
oleh al-Bazzar, at-Thabrani dan Ahmad:
“Rasulullah Saw.
memerintahkan kami dalam Perang Tabuk untuk mengusap dua khuff.”
Secara lengkap hadits
ini telah kami sebutkan sebelumnya.
Ahmad berkata: Ini
merupakan hadits yang paling bagus dalam masalah mengusap dua khuff. Hadits ini
dihasankan oleh Bukhari. Al-Haitsami
berkata: Para perawinya adalah perawi hadits shahih.
Ini merupakan nash
yang menyatakan bahwa mengusap dua khuff itu terjadi pada Perang Tabuk.
Kemudian Malik
meriwayatkan hadits al-Mughirah dalam kitab al-Muwaththa:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. pergi untuk buang hajat pada Perang Tabuk… lalu beliau Saw. membasuh dua
tangannya, mengusap kepalanya, dan mengusap dua khuffnya.”
Ini juga merupakan
nash yang sharih (jelas), sehingga
sangat tidak tepat bila dikatakan ayat al-Maidah telah menasakh hadits-hadits ini. Karena sesuatu yang
datang lebih dahulu itu (yakni ayat al-Maidah) tidak akan bisa menasakh nash yang datang belakangan (yakni
hadits mengusap dua khuff ini).
Mengenai mengusap kaus
kaki secara khusus, sebagian ulama dan fuqaha merasa bimbang tentangnya. Di
antara mereka ada Abu Hanifah, yang sepanjang hayatnya mentawaqufi masalah ini, kecuali satu minggu
terakhir beliau melontarkan pendapat mengenai bolehnya mengusap dua kaus kaki.
Dan beliau berkata tiga hari atau tujuh hari sebelum wafatnya kepada para
tamunya: “Aku melakukan sesuatu yang sebelumnya aku larang.” Tetapi mayoritas
ulama dan imam membolehkan mengusap dua kaus kaki. Kebolehan ini dinukil dari
mayoritas sahabat.
Abu Dawud berkata:
Mereka yang membolehkan mengusap dua kaus kaki adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas’ud, al-Barra bin Azib, Anas bin Malik, Abu Umamah, Sahl bin Saad, Amr bin
Harits, juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dan Ibnu Abbas.
Mengusap dua kaus kaki
juga diriwayatkan dari Ammar, Bilal bin Abdullah dan Ibnu Umar.
at-Tirmidzi berkata:
“Pendapat ini disampaikan pula oleh Sufyan at-Tsauri, Ibnul Mubarak,
as-Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka mengatakan: Boleh mengusap dua kaus kaki
walaupun tidak ada sandal jika memang kedua kaus kaki itu tebal.”
Adapun terkait
limitasi (pembatasan waktu) mengusap sepatu dan sandal maka kami menyebutkan
beberapa hadits berikut:
1. Hadits Auf bin Malik yang sudah kami
sebutkan sebelumnya. Di dalamnya disebutkan:
“Tiga hari tiga malam
untuk orang yang sedang dalam perjalanan, dan satu hari satu malam untuk orang
yang sedang mukim.”
2. Dari al-Qasim bin Mukhaimirah, dari Syuraih
bin Hani, dia berkata:
“Aku pernah menemui
Aisyah dan bertanya kepadanya tentang mengusap dua khuff, maka beliau berkata:
Datanglah kepada Ibnu Abi Thalib, lalu tanyakanlah hal itu kepadanya, karena
dia pernah bepergian bersama Rasulullah Saw. Maka kami bertanya kepada Ali, dia
berkata: Rasulullah Saw. menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu
hari satu malam bagi orang yang mukim.” (HR. Muslim, Ahmad, at-Titmidzi, Ibnu
Majah dan an-Nasai)
3. Dari Shafwan bin Assal, dia berkata:
“Kemudian beliau Saw.
memerintahkan kami untuk mengusap dua khuff, jika memang saat kami memakainya
dalam keadaan suci, selama tiga hari ketika kami sedang melakukan perjalanan,
dan selama sehari semalam ketika kami sedang bermukim, dan kami tidak melepas
keduanya kecuali karena junub.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)
Dan dalam riwayat
Ahmad, Tirmidzi dan an-Nasai disebutkan:
“Kecuali karena junub,
tetapi (kami dibolehkan melepasnya) saat buang air besar, kencing atau karena
tidur.”
Tirmidzi berkata: Ini
adalah hadits hasan shahih. Dan dia berkata: Muhammad bin Ismail
berkata: hadits yang paling baik dalam persoalan ini adalah hadits Shafwan.
4. Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari
ayahnya, dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya beliau
Saw. memberi rukhshah untuk mengusap dua
khufnya kepada musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) selama tiga hari
tiga malam, dan bagi orang yang mukim selama sehari semalam jika memang dia
dalam keadaan suci saat memakai dua khuffnya.”
(HR. ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, at-Thabrani, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)
Hadits ini dishahihkan oleh as-Syafi’i, al-Khattabiy, dan
Ibnu Khuzaimah. Bukhari berkata: Hadits Abu Bakrah ini adalah hadits hasan.
5. Dari Khuzaimah bin Tsabit, dari Nabi Saw.:
“Mengusap dua khuff
untuk musafir itu tiga hari tiga malam, dan bagi orang yang sedang mukim adalah
sehari semalam.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadits ini
diriwayatkan dan dishahihkan pula oleh
at-Tirmidzi, begitu pula dishahihkan
oleh Yahya bin Ma’in.
Lima hadits yang shahih ini menjelaskan bahwa jangka waktu usapan sepatu bagi
seorang mukim (yang tidak sedang dalam perjalanan) itu sehari semalam,
sedangkan untuk musafir (yang sedang dalam perjalanan) adalah tiga hari tiga
malam.
Walaupun begitu, para
ulama dan imam berbeda pendapat tentang penetapan waktu usapan. Malik dan
al-Laits berpendapat bahwa usapan dua khuff itu tidak ditetapkan waktunya, dan
seorang Muslim
berhak mengusap kapan saja, baik dia seorang musafir ataupun seorang mukim.
Pendapat serupa dalam satu riwayat diriwayatkan berasal dari Umar, juga berasal
dari Abdullah bin Umar, Uqbah bin Amir, dan al-Hasan al-Bashri.
Sedangkan Abu Hanifah,
at-Tsauri, al-Auza’iy, as-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, Dawud, dan
at-Thabari berpendapat adanya penetapan waktu usapan. Pendapat ini diriwayatkan
berasal dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hudzaifah, al-Mughirah, Abu Zaid al-Anshari,
dan Umar dalam satu riwayat darinya, dari kalangan tabi’in ada Syuraih
al-Qadhi, Atha, as-Sya'biy, dan Umar bin Abdul Aziz.
Ibnu Abdil Barr
berkata: “Sebagian besar tabiin dan fuqaha berpendapat seperti ini.”
Dalil-dalil mereka adalah dalil-dalil yang kami sebutkan di atas.
Adapun dalil-dalil
yang digunakan oleh mereka yang membantah adanya penetapan waktu, di antaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ubay bin Imarah, dia berkata:
“Wahai Rasulullah,
apakah aku boleh mengusap dua khuff? Beliau Saw. menjawab: Boleh. Dia bertanya
lagi: Satu hari? Beliau Saw. menjawab: Iya satu hari. Dia bertanya lagi: Dua
hari? Beliau Saw. menjawab: Iya dua hari. Dia bertanya lagi: Tiga hari? Beliau Saw.
menjawab: Iya, sesukamu.”
Ini hadits dhaif.
Dalam satu riwayat
dari Abu Dawud:
“Hingga tujuh hari,
Rasulullah Saw. menjawab: “Iya sekehendakmu.”
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Khuzaimah bin Tsabit bahwasanya
dia berkata:
“Rasulullah Saw.
memberikan rukhshah kepada kami mengusap
(khuff) selama tiga hari, dan seandainya kami meminta tambah waktu, niscaya
beliau Saw. memberikan tambahan kepada kami.”
Dan berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Ibnu Hibban dan Ibnu Majah:
“Seandainya si penanya
itu terus-menerus bertanya, niscaya beliau Saw. menetapkannya hingga lima
hari.”
Hadits Abu Dawud dari
jalur Ibnu Imarah ini adalah hadits dhaif.
Ahmad berkata: Para perawinya tidak dikenal.
Ad-Daruquthni berkata:
Sanad hadits ini tidak terbukti keshahihannya,
selain itu di dalam sanadnya ada beberapa perawi yang tidak dikenal.
Ibnu Abdil Barr
berkata: Tidak terbukti keshahihannya
dan tidak memiliki sanad yang bisa dijadikan landasan.
Abu Dawud berkata: Sanadnya tidak kuat.
Bahkan ad-Daruquthni
menyebutkannya dalam kitab al-Maudhu'at
(kumpulan hadits maudhu).
Hadits Khuzaimah bin
Tsabit dengan tambahan yang disebutkan itu tidak bisa dijadikan hujjah, karena
tambahan pembatasan waktu itu bersifat dugaan.
Kalimat:
“Dan seandainya kami
meminta tambah waktu, niscaya beliau Saw. memberikan tambahan kepada kami.”
Dan kalimat:
“Seandainya si penanya
itu terus menerus bertanya.”
Jelas menunjukkan
bahwa mereka tidak meminta tambahan sehingga mereka tidak diberi tambahan.
Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan tidak
adanya pembatasan waktu.
Nash-nash dhaif ini tidak akan mampu bertahan di hadapan
banyaknya hadits-hadits shahih yang
menyebutkan penetapan waktu. Dengan demikian, gugurlah pendapat mereka yang
mengatakan tidak adanya pembatasan waktu.
Mengenai awal jangka waktu usapan, adalah
sejak dia berhadats dan dia dalam keadaan memakai khuff, bukan sejak
mengusap, karena mengusap itu ibadah yang temporal, sehingga awal waktunya
dipandang sejak berlakunya kebolehan melakukan usapan, bukan sejak mengusap itu
sendiri. Pernyataan yang lain bersifat muhtamal (mengandung beberapa
kemungkinan). Selain itu kami tidak memiliki nash yang bisa menetapkan manakah
di antara dua pendapat ini yang paling tepat.
Ketika mengusap sandal dan
khuff, seseorang diwajibkan untuk memakainya dalam keadaan sudah bersuci, yakni
telah berwudhu. Dalilnya adalah hadits Shafwan bin ‘Assal di atas, di
dalamnya disebutkan:
“(Beliau Saw.
memerintahkan) kami untuk mengusap dua khuff jika memang saat kami memakainya
dalam keadaan suci.”
Dan hadits al-Mughirah
sebelumnya, di dalamnya disebutkan:
“Biarkanlah keduanya,
karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.”
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Biarkanlah dua khuff
itu, sesungguhnya aku memasukkan kedua kakiku ke dalamnya dan keduanya dalam
keadaan suci. Beliau Saw. kemudian mengusap kedua khuffnya
itu.”
Nash-nash ini
menunjukkan adanya syarat “sudah bersuci” ketika memakainya. Artinya, ketika
dimasukkan dalam keadaan tidak suci, maka khuff tersebut tidak boleh diusap.
Ini adalah pendapat Malik, as-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Pendapat ini ditentang
oleh Abu Hanifah, Sufyan at-Tsauri, Yahya bin Adam, al-Muzani, Abu Tsur dan
Dawud. Mereka menyatakan boleh memakainya dalam keadaan berhadats, kemudian
setelah itu baru bersuci. Mereka memahami hadis-hadits di atas dalam pengertian
suci dari najis, bukan suci dari hadats. Betul bahwa lafadz thaharah (bersuci) itu mencakup menghilangkan
hadats, menghilangkan najis, dan mencakup selain keduanya, sehingga qarinah-lah yang menentukan pengertian manakah
yang dimaksud.
Di sini qarinahnya adalah nash-nash tersebut
disampaikan dalam persoalan wudhu dan mengusap khuff saat wudhu, bukan dalam
persoalan bersuci dari najis dan selainnya, sehingga ketika nash-nash tersebut
datang terkait persoalan wudhu maka ini menjadi qarinah
bahwa makna yang dimaksud dengan thaharah
(bersuci) di sini adalah thaharah
(bersuci) dari hadats, bukan dari yang lain.
Mereka sendiri tidak
memiliki qarinah yang bisa mengarahkan
makna thaharah itu pada bersuci
menghilangkan najis. Yang mereka lakukan hanyalah melakukan penentuan tanpa qarinah yang menentukan, dan melakukan
pembatasan tanpa qarinah yang bisa
membatasi.
Para imam berbeda
pendapat tentang membasuh kaki kanan dalam wudhu dan memakai khuff sebelum kaki
kiri dibasuh, dan sebelum khuff sebelah kiri dipakai, apakah orang yang
melakukan seperti itu di waktu kemudian boleh mengusap dua khuffnya? Mereka
terbagi menjadi dua pendapat.
Pendapat yang paling
tepat adalah tidak boleh, karena dengan melakukan seperti itu berarti dia telah
memakai khuff sebelah kanan sebelum selesai bersuci (berwudhu). Sedangkan seorang
yang mengusap dua khuff diwajibkan memasukkan dua kakinya ke dalam dua khuff
dalam keadaan suci, dan kondisi suci itu tidak terwujud sebelum sempurnanya
wudhu. Ibnu Hajar dan an-Nawawi mendukung pendapat ini, berbeda dengan
at-Tsauri, al-Muzani dan Ibnul Mundzir.
Usapan khuff menjadi batal
sehingga wudhunya pun menjadi batal, disebabkan oleh tiga perkara:
Pertama: menanggalkan dua
khuff atau salah satunya, walaupun hanya sebentar, termasuk ketika khuff itu
robek sehingga biasanya tidak layak dipakai lagi.
Al-Muzani dan Abu
Tsaur tidak sependapat dengan ini. Mereka berdua mengatakan, jika khuff
ditanggalkan, maka kedua kakinya dibasuh dan wudhunya tetap sah. Pendapat ini
sama dengan yang dilontarkan Malik dan al-Laits kecuali jika menanggalkannya
telah terlalu lama. Al-Hasan dan Ibnu Abi Laila berkata: Kedua kakinya tidak
perlu dibasuh dan wudhunya tetap sah. Mereka menganalogikan dengan mengusap
rambut kepala, kemudian rambut tersebut dicukur, maka orang tersebut tidak
wajib mengusap kembali, dan wudhunya tetap sah. Ini merupakan qiyas (analogi)
yang tidak benar.
Hal ini karena rambut
itu tidak dipakai, tidak bisa ditanggalkan untuk dipakai kembali, berbeda
halnya dengan khuff yang bisa dipakai dan ditanggalkan. Selain itu, rambut
merupakan bagian dari kepala, berbeda halnya dengan khuff, dua fakta ini
berbeda.
Terlebih lagi qiyas
dalam persoalan ibadah itu tidak bisa dibenarkan kecuali jika ada ‘illat yang nyata. Ibnu Hajar mengkritisi qiyas
yang mereka lakukan ini dengan mengatakan: qiyas seperti ini bisa dibantah.
Kedua: berakhirnya masa
berlaku usapan yang telah kami sebutkan di atas.
Ketiga: janabah. Ini
berdasarkan hadits Shafwan di atas, di dalamnya disebutkan:
“Dan kami tidak
melepas keduanya kecuali karena junub.”
Jika seorang Muslim
memakai khuff yang di atasnya ada hidza
(sepatu), lalu dia mengusap sepatu itu, kemudian menanggalkannya (sedang khuffnya tidak ditanggalkan), maka batallah
wudhunya, karena syarat langgengnya wudhu itu adalah langgengnya sesuatu yang
diusapnya.
Ketika dia memakai
khuff dan mengusap khuff, kemudian di atasnya dia memakai khuff yang lain atau
sepatu, maka wudhunya tetap berlaku.
Ketika khuffnya sangat rusak karena robek berat
sehingga tidak bisa diusap lagi, lalu dia memakai khuff lain di atasnya yang
juga sangat rusak karena robek berat, di mana dua khuff yang rusak itu dipakai
dan bisa menutupi, maka keduanya boleh diusap, tetapi wudhu menjadi batal
ketika salah satunya ditanggalkan. Kami katakan sangat rusak karena robek berat
sebagai batasannya, agar bisa mengeliminasi sepatu yang robek sedikit dan
wajar. Jika ada robek atau retak dengan kadar yang wajar pada khuff, sepatu,
kaus kaki ataupun sandal, maka tetap boleh diusap selama dipakai seperti biasa.
At-Tsauri berkata:
“Khuff kaum Muhajirin dan Anshar tidak luput dari robek seperti kebanyakan
khuff orang-orang.”
Seandainya hal seperti
itu dilarang, niscaya akan disampaikan dan dinukilkan pada kita. Tetapi ketika khuffnya tidak menutupi bagian yang fardhu
dibasuh, seperti sepatu yang tidak menutupi dua mata kaki, maka tidak sah
diusap karena bagian kaki yang terbuka itu wajib dibasuh dalam wudhu, sedangkan
khuff hanya diusap, padahal basuhan dan usapan tidak bisa dipadukan untuk satu
anggota wudhu. Yang seharusnya dilakukan saat itu adalah menanggalkan sepatu,
lalu membasuh kaki.
Adapun tata cara
mengusap dua khuff, maka kami sebutkan beberapa hadits yang menjadi
landasannya, kemudian dengan pertolongan Allah akan kami jelaskan hukum yang shahih yang bisa digali dari hadits-hadits
tersebut:
1. Dari Ali ra., dia berkata:
“Seandainya agama itu
didasarkan pada akal pikiran, niscaya bagian bawah khuff itu lebih pantas untuk
diusap daripada bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah Saw.
mengusap punggung kedua khuffnya.”
(Riwayat Abu Dawud dan ad-Daruquthni)
2. Dari Urwah bin Zubair, dari al-Mughirah bin
Syu'bah:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. suka mengusap punggung dua khuffnya.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Tirmidzi meriwayatkan
dan menghasankan hadits ini dengan
lafadz:
“Aku melihat Nabi Saw.
mengusap kedua khuffnya itu pada bagian
atasnya.”
3. Dari Tsaur bin Yazid, dari Raja bin Haywah,
dari Warrad, sekretaris al-Mughirah bin Syu’bah:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. mengusap bagian atas khuffnya dan
bagian bawahnya. (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi, dan
ad-Daruquthni)
Ini hadits dhaif.
Hadits yang pertama dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab
Bulughul Maram, dan dishahihkannya dalam kitab at-Talkhish.
Hadits kedua
dikomentari oleh Bukhari dalam kitab at-Tarikh
yang disusunnya: “Hadits dengan lafadz ini lebih shahih
dibandingkan hadits Raja bin Haywah,” yakni hadits ketiga.
Mengenai hadits
ketiga, al-Atsram menuturkan bahwa Ahmad mendhaifkannya.
Nuaim bin Hammad berkata: Buanglah hadits ini. Abu Dawud berkata: “Aku
mendengar kabar bahwa Tsaur bin Yazid tidak mendengar hadits ini dari Raja.”
Dengan demikian hadits ini adalah hadits munqathi,
sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Tinggallah kini hadits
pertama dan kedua saja, dua hadits ini memberi pengertian bahwa mengusap itu
dilakukan pada punggung khuff, tidak pada bagian dalam khuff. Di antara mereka
yang berpendapat bahwa usapan
yang disyariatkan itu adalah mengusap punggung khuff, bukan pada bagian dalam
atau bagian bawah khuff adalah: at-Tsauri, Abu Hanifah, al-Auza"
iy, dan Ahmad bin Hanbal.
Malik, as-Syafi'i,
az-Zuhri, dan Ibnul Mubarak berpendapat mengusap punggung dan bagian dalam
khuff. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash dan Umar bin
Abdul Aziz.
Tetapi as-Syafi’i dan
Malik berkata: Mengusap punggung khuff itu sudah cukup tanpa perlu mengusap
bagian dalamnya. Keduanya berkata pula: Mengusap bagian dalam khuff tanpa
mengusap punggungnya itu tidak cukup, dia harus mengulang usapannya itu karena
dia dipandang belum mengusap khuffnya.
Malik dan as-Syafi’i sepakat dengan pendapat Abu Hanifah dan Ahmad, yakni
mengusap khuff yang disyariatkan dan cukup itu adalah mengusap punggung dua
khuff saja.
Yang berbeda hanya
dalam persoalan mengusap bagian dalam khuff. Menurut Ahmad dan Abu Hanifah
tidak perlu diusap, sedangkan menurut Malik dan as-Syafi'i dianjurkan untuk
diusap, sehingga perbedaan di antara keduanya sangat tipis.
Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa hadits-hadits yang ada dan layak digunakan sebagai
hujjah tidak memberi pengertian selain mengusap punggung khuff saja, tanpa
perlu mengusap bagian dalamnya. Dan mengusap bagian dalam khuff itu tidak
disebutkan dalam hadits yang dipandang shahih.
Adapun hadits yang
diriwayatkan as-Syafi'i dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar bahwasanya dia seringkali
mengusap punggung dan telapak khuff, maka ini merupakan perbuatan seorang
sahabat, bukan dalil, sehingga tidak layak kecuali bagi orang yang ingin
mengikuti ijtihad Ibnu Umar dalam persoalan ini, padahal prinsipnya kita harus
berpegang pada dalil.
Adapun bagaimana
mengusap punggung khuff, maka Abu Hanifah mewajibkan mengusap seukuran tiga
jari tangan.
Ahmad mewajibkan
mengusap khuff terbanyak, sedangkan as-Syafi’i tidak menetapkan batasan apapun.
Dia mengatakan: Yang wajib itu adalah apa yang disebut dengan mengusap saja.
Ibnu Aqil berkata: Sunah mengusap itu adalah
mengusap dengan kedua tangannya, khuff yang kanan diusap oleh tangan kanan,
sedangkan yang kiri oleh tangan kiri. Dan saya sependapat dengan
pernyataan ini. Dalilnya adalah hadits al-Mughirah yang menceritakan wudhu Nabi
Saw., dia berkata:
“Kemudian beliau
berwudhu dan mengusap dua khuffnya,
beliau Saw. meletakkan tangan kanannya di atas khuffnya
yang sebelah kanan, dan meletakkan tangan kirinya di atas khuffnya yang sebelah kiri, kemudian beliau
mengusap bagian atas khuf itu satu kali, hingga seolah-olah aku melihat bekas
jari-jemarinya ada di atas dua khuff tersebut.” (HR. al-Khallal)
Hadits ini diceritakan
oleh penyusun kitab al-Mughni.
Mengenai ukuran
punggung khuff yang diusap itu tidak ditetapkan batasannya oleh hadits-hadits
yang ada. Karena itu, pendapat as-Syafi’i dalam persoalan ini merupakan
pendapat yang paling tepat, yakni mengusap sekadar punggung khuff, yang dengannya bisa disebut sebagai
usapan terhadap punggung khuff, tetapi lebih utama dan lebih sempurna
mengusap seluruh punggung khuff agar terhindar dari konflik dan dalam rangka
kehati-hatian.
Masalah
Mengusap dua khuff,
kaus kaki, dan sandal itu berkaitan dengan berwudhu saja, tidak dilakukan saat
mandi. Dalam arti, dalam mandi janabah tidak sah mengusap dua khuff secara
mutlak. Saya tidak mengetahui ada seorangpun yang menyalahi pendapat ini. Ibnu
Hajar mengklaim hal ini sudah menjadi kesepakatan (ijma).
Sama halnya dengan mengusap
surban dan sesuatu yang disamakan dengan surban, seperti kopiah, thaqiyah (kudung penutup kepala), tarbus
(sejenis pakaian besar yang bersambung dengan penutup kepala).
Adapun mengusap
belat (bilah pembalut tulang yang patah) dan pembalut luka, itu berlaku
umum, alias bisa dilakukan saat mandi dan saat berwudhu.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar