6. Makan Daging Jazur (Unta)
Daging jazur maksudnya
adalah daging unta. Terdapat dua pendapat yang berbeda di antara kaum Muslim
terkait hukum memakan daging unta: apakah membatalkan wudhu atau tidak.
Dinisbatkan pada Khalifah yang empat, Ibnu Mas'ud, Ubay bin Kaab, Ibnu Abbas,
Abu Darda, Abu Umamah, Malik, Abu Hanifah dan as-Syafi’i, mereka menyatakan
bahwa memakan daging unta itu tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan Ahmad, Ishaq
bin Rahuwaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan ashab ul-hadits secara mutlak, serta
sekelompok sahabat berpendapat bahwa memakan daging unta itu membatalkan wudhu.
Pendapat terakhir ini juga dinisbatkan pada as-Syafi’i dalam salah satu qaul-nya dan pada Muhammad bin al-Hasan dari
kalangan ulama Hanafiyah.
Hal ini karena
diriwayatkan bahwa as-Syafi'i berkata: Jika hadits tentang daging unta ini shahih maka kami berpendapat dengannya.
Dan kami katakan,
memang benar bahwa hadits ini shahih
adanya.
Al-Baihaqi seorang
yang bermadzhab Syafi'i berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin
Ibrahim al-Handzaliy yakni Ibnu Rahuwaih, keduanya menyatakan yang shahih dalam persoalan ini hanya dua hadits
dari Nabi Saw., yakni hadits al-Barra bin Azib, dan hadits Jabir bin Samurrah.
Karena itu kami akan
menyebutkan hadits-hadits tersebut sebagai berikut:
1. Dari Jabir bin Samurah:
“Bahwasanya seorang
lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw.: Apakah aku mesti berwudhu karena
memakan daging kambing? Beliau Saw. menjawab: “Jika engkau berkehendak maka
silakan berwudhu, dan jika berkehendak silakan pula tidak berwudhu.” Dia
berkata: Apakah aku mesti berwudhu karena memakan daging unta? Rasulullah Saw.
bersabda: “Iya, berwudhulah karena memakan daging unta.” Dia bertanya: Apakah
aku boleh shalat di kandang kambing? Beliau Saw. berkata: “Iya boleh.” Dia
bertanya: Apakah aku boleh shalat di kandang unta? Beliau Saw. menjawab:
“Jangan.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)
2. Dari al-Bara bin Azib, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya tentang wudhu karena memakan daging unta, maka beliau Saw. menjawab:
“Berwudhulah karena makan daging unta.” Beliau Saw. kembali ditanya tentang
wudhu karena makan daging kambing, maka beliau Saw. menjawab: “Kalian tidak
perlu berwudhu karena makan daging kambing.” Beliau Saw. ditanya tentang shalat
di kandang unta, maka beliau Saw. menjawab: “Janganlah kalian shalat di kandang
unta, karena unta itu termasuk setan.” Dan beliau Saw. ditanya tentang shalat
di kandang kambing, maka beliau Saw. menjawab: “Shalatlah kalian di sana,
karena itu adalah barakah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Ibnu Hibban)
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan hadits ini dan berkata: Kami tidak menemukan perbedaan di antara
ulama ahli hadits bahwa hadits ini shahih dari
sisi penukilannya karena keadilan para perawinya.
3. Dari Dzil Ghurrah, dia berkata:
“Seorang Arab dusun
datang menemui Rasulullah Saw. Saat itu Rasulullah Saw. sedang dalam suatu
perjalanan. Dia bertanya: Wahai Rasulullah, ketika waktu shalat tiba, kami
sedang berada di kandang unta, apakah kami boleh shalat di sana? Rasulullah
Saw. menjawab: “Jangan.” Dia bertanya: Apakah kami harus berwudhu karena
memakan dagingnya? Rasulullah Saw. menjawab: “Iya.” Dia bertanya: Apakah kami
boleh shalat di kandang kambing? Rasulullah Saw. menjawab: “Iya.” Apakah kami
harus berwudhu karena memakan daging kambing? Rasulullah Saw. menjawab:
“Tidak.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani)
Al-Haitsami berkata
dalam kitabnya Majma'uz Zawaid: para
perawi hadits Ahmad ini dipandang tsiqah.
4. Dari Abdullah bin Ibrahim bin Qaridz.
“Bahwasanya dia
melihat Abu Hurairah sedang berwudhu di masjid. Abu Hurairah berkata: Aku
berwudhu setelah memakan sepotong keju, karena aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: “Berwudhulah kalian setelah memakan sesuatu yang disentuh api
(dibakar).” (HR. Muslim dan an-Nasai)
Dari Aisyah ra., dari
Nabi Saw., beliau bersabda:
“Berwudhulah kalian
karena memakan sesuatu yang disentuh (dibakar) oleh api.” (HR. Muslim, Ahmad,
Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai)
5. Dari Jabir, dia berkata:
“Aku memakan roti dan
daging bersama Nabi Saw., Abu Bakar dan Umar, lalu mereka shalat dan mereka
tidak berwudhu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah)
Abdurrazaq
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang cukup panjang.
6. Dari Jabir, dia
berkata:
“Salah satu dari dua
perkara yang terakhir diperintahkan Rasulullah Saw. adalah tidak berwudhu
karena memakan sesuatu yang disentuh (dibakar) oleh api.” (HR. an-Nasai, Abu
Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Hadits ini dhaif.
7. Dari Busyair bin Yasar bahwasanya Suwaid bin
an-Nu’man bercerita padanya:
“Bahwasanya dia keluar
bersama Rasulullah Saw. pada tahun penaklukan Khaibar, hingga ketika mereka
berada di as-Shahba -suatu daerah dekat Khaibar-, beliau Saw. shalat Ashar,
kemudian meminta perbekalan, namun tidak dibawakan kecuali tepung gandum. Maka beliau
Saw. memerintahkan untuk dihidangkan, lalu tepung tersebut diadon dengan air.
Rasulullah Saw. makan dan kami pun ikut makan. Kemudian Rasulullah Saw. berdiri
untuk shalat maghrib, beliau berkumur-kumur dan kami pun ikut berkumur-kumur,
lalu beliau Saw. shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Bukhari, Ibnu Majah dan
Malik)
8. Dari Maimunah ra.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
makan paha kambing di sisinya, kemudian beliau Saw. shalat dan tanpa berwudhu.”
(HR. Bukhari)
Dalam hadits-hadits
ini terdapat dua masalah atau terdapat satu masalah yang mengandung dua bagian
persoalan, yakni: wudhu karena makan daging unta, dan wudhu karena makan
sesuatu yang disentuh oleh api (dibakar).
Sebelumnya kami telah
menyebutkan dua kelompok yang berbeda pendapat dalam bagian pertama, sekarang
kita akan menyebutkan dua kelompok yang berbeda dalam bagian kedua.
Mereka yang
berpendapat bahwa berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar api itu tidak
wajib, artinya memakan sesuatu yang dibakar api itu tidak membatalkan wudhu,
adalah Khulafaur Rasyidun yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu ad-Darda, Ibnu
Abbas, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Samurrah, Zaid bin Tsabit,
Abu Musa al-Asy'ari, Abu Hurairah, Ubay bin Kaab, Abu Umamah, al-Mughirah bin
Syu’bah, Jabir bin Abdillah, Aisyah, Malik, Abu Hanifah, as-Syafi'i, Ahmad,
Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Tsur, dan Sufyan at-Tsauri. An-Nawawi
berkata: Memang ada perbedaan pendapat sebagaimana yang telah kami ceritakan di
bagian pertama ini, tetapi kemudian para ulama bersepakat bahwa wudhu karena
memakan daging yang disentuh api (dibakar) itu tidak wajib.
Sedangkan mereka yang
berpendapat bahwa makan sesuatu yang disentuh api itu membatalkan wudhu adalah
Umar bin Abdul Aziz, Abu Qilabah, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, riwayat kedua
dari Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Musa, Aisyah, Zaid bin Tsabit dan
Abu Hurairah. Saya katakan riwayat kedua dari Abdullah bin Umar ...hingga Abu
Hurairah tiada lain karena dari mereka telah diriwayatkan pendapat yang
pertama, sehingga mereka disebutkan bersama kelompok yang pertama.
Delapan hadits ini
layak digunakan sebagai hujjah, kecuali hadits yang keenam yang diriwayatkan
an-Nasai dan selainnya. Ibnu Hajar telah menetapkan dua kecacatan pada hadits
ini sehingga harus kita buang.
Hadits yang pertama:
“Apakah aku mesti
berwudhu karena makan daging unta? Rasulullah Saw. bersabda: “Iya, berwudhulah
karena makan daging unta.”
Hadits yang kedua:
“Rasulullah Saw.
ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau Saw. menjawab:
“Berwudhulah karena makan daging unta.”
Hadits ketiga:
“Apakah kami harus
berwudhu karena makan dagingnya (unta)? Rasulullah Saw. menjawab: “Iya.”
Hadits keempat:
“Berwudhulah kalian
setelah makan sesuatu yang disentuh api (dibakar).”
Hadits kelima:
“Aku makan roti dan
daging bersama Nabi Saw., Abu Bakar dan Umar, lalu mereka shalat dan mereka
tidak berwudhu.”
Hadits ketujuh:
“Namun ke hadapan
beliau tidak dibawakan kecuali tepung gandum. Maka beliau Saw. memerintahkan
untuk dihidangkan, lalu tepung tersebut diadon dengan air. Rasulullah Saw.
makan dan kami pun ikut makan lalu beliau Saw. shalat dan tidak berwudhu.”
Hadits kedelapan:
“(Nabi Saw.) makan
paha kambing di sisinya (Maimunah), kemudian beliau Saw. shalat dan tanpa
berwudhu.”
Dalam tiga hadits
pertama disebutkan dengan jelas (manthuq) bahwa memakan daging unta itu
membatalkan wudhu.
Dalam hadits keempat
disebutkan berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api.
Dalam hadits kelima
disebutkan bahwa makan daging sebagaimana dilakukan Nabi Saw., Abu Bakar dan
Umar, itu tidak membatalkan wudhu.
Dan dalam hadits
ketujuh disebutkan bahwa makan tepung gandum sebagaimana dilakukan Rasulullah
Saw. dan sahabatnya itu tidak membatalkan wudhu.
Dalam hadits kedelapan
disebutkan bahwa makan daging yang dimasak itu tidak membatalkan wudhu.
Tiga hadits pertama
memerintahkan berwudhu karena makan daging unta.
Hadits keempat
satu-satunya yang memerintahkan berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh
api.
Sedangkan dalam hadits
kelima, ketujuh dan kedelapan disebutkan bahwa makan sesuatu yang disentuh api
itu tidak membatalkan wudhu dengan beberapa perbedaan kondisi; satu waktu
disebutkan makan daging, dan saat yang lain disebutkan makan tepung gandum; keduanya
adalah makanan yang disentuh api, kadangkala berasal dari perbuatan Rasulullah
Saw., kadangkala berasal dari perbuatan para sahabat Rasulullah Saw., dan
terkadang pula berasal dari perbuatan Rasulullah Saw. bersama dengan para
sahabat.
Dengan mencermati
hadits-hadits tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa wudhu karena makan sesuatu
yang disentuh oleh api itu sebelumnya diperintahkan. Kemudian datang
hadits-hadits yang belakangan membatalkan tuntutan ini dan menasakhnya.
Hadits sawiq (tepung
gandum) ini terjadi dalam Perang Khaibar. Perang Khaibar itu terjadi
belakangan, sehingga layak menjadi penasakh,
terlebih lagi ketika dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Muhammad bin
Maslamah:
“Rasulullah Saw. makan
sesuatu yang dibakar api, kemudian beliau Saw. shalat tetapi tidak berwudhu.
Ini merupakan salah satu dari dua perintah terakhirnya.” (HR. al-Baihaqi)
Hadits ini menerangkan
dengan jelas bahwa perintah tersebut datang belakangan. Ketika ada kontradiksi
di antara hadits-hadits, maka yang dipegang adalah hadits yang belakangan.
Hadits-hadits yang menyebutkan tidak berwudhu itu datang belakangan, sehingga
inilah yang harus diamalkan dan dipandang sebagai penasakh hadits-hadits yang memerintahkan berwudhu.
Tidak bisa dikatakan
bahwa hadits-hadits yang memerintahkan wudhu itu adalah hadits qauli, sedangkan hadits-hadits yang
menyebutkan beliau tidak berwudhu itu adalah hadits fi’li, tidak bisa dikatakan
seperti itu, karena hadits memakan tepung gandum merupakan perbuatan yang
dilakukan sahabat dengan sepengetahuan Rasulullah Saw., bahkan dilakukan
sahabat bersama dengan Rasulullah Saw. Ini menunjukkan adanya iqrar (persetujuan) Rasulullah Saw. atas apa
yang mereka lakukan, selain memang dilakukan juga oleh beliau saw.
Persetujuan (iqrar) Rasulullah Saw. dihukumi sebagai ucapan
(qaul) beliau Saw., sehingga dalam
persoalan ini, pada mulanya ada perintah dari Rasulullah Saw. untuk berwudhu,
kemudian datang perintah berikutnya untuk tidak berwudhu. Artinya, hukum keharusan berwudhu setelah
makan sesuatu yang disentuh api (dibakar) itu telah dinasakh.
Dengan demikian, jelas
bahwa pendapat mereka yang menyatakan tidak wajib berwudhu setelah makan
sesuatu yang dibakar itu adalah pendapat yang benar. Besar kemungkinan
perbedaan pendapat dalam persoalan ini pada mulanya disebabkan karena tidak
sampainya hadits penasakh itu kepada
mereka yang menyatakan wajib berwudhu (setelah memakan sesuatu yang dibakar).
Setelah mendengar hadits penasakh,
kemudian mereka meninggalkan pendapatnya semula dan menyepakati pendapat tidak
ada kewajiban berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar, kecuali segelintir
orang dari mereka yang keukeuh dengan
pendapatnya semula. Inilah hukum makan sesuatu yang disentuh api (dibakar) dan
telah kami jelaskan bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu.
Perihal makan daging unta, tidak
ada satu nash pun yang menasakh hukum kewajiban berwudhu setelah makan daging unta.
Sejumlah imam seperti
aS-Syafi’i sedikit kesulitan memahami ucapan Jabir tentang tidak ada kewajiban
berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar, padahal hadits Jabir ini memiliki
dua cacat atau kelemahan:
“Salah satu dari dua
perkara terakhir yang diperintahkan Rasulullah Saw. adalah tidak berwudhu
karena makan sesuatu yang disentuh (dibakar) oleh api.”
Mereka mengatakan
bahwa hadits Jabir ini datang belakangan, dan ini jelas merupakan nash yang
tidak mewajibkan berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar api. Dan daging
unta itu termasuk sesuatu yang disentuh api, sehingga kewajiban berwudhu
setelah makan daging unta itu dinasakh
oleh hadits ini. Di antara mereka ada yang menakwilkan tiga hadits yang
memerintahkan berwudhu setelah makan daging unta itu dengan wudhu dalam
pengertian bahasa, yakni mencuci kedua tangan saja. ‘Illat atau alasannya adalah lemak dan bau busuk. Pendapat mereka
ini kami bantah dengan menyatakan bahwa hadits Jabir ini dhaif, karena rangkaian sanad antara Ibnu
al-Munkadir dengan Jabir terputus, sehingga hadits Jabir ini dikategorikan
sebagai hadits munqathi.
Di dalam rangkaian sanadnya juga ada nama Amr bin Manshur, yang
didhaifkan oleh Abu Hatim ar-Razi.
Al-Khatib menceritakan bahwa Amr ini meriwayatkan hadits munkar dari Ali bin
al-Madini, dan dalam rangkaian sanad Abu Dawud terdapat nama Musa bin Sahm yang
juga dhaif, sehingga status hadits ini
dipandang dhaif, yang tidak layak
dijadikan sebagai hujjah. As-Syaukani menyatakan dalam kitabnya yang berjudul Irsyadul Fuhul: Ulama as-Syafi'iyah
menyatakan: Ketika lafadz yang umum ini lebih belakangan untuk mengamalkan yang
khusus, maka lafadz yang umum ini dilandaskan pada lafadz yang khusus, karena
makna yang dikandung lafadz yang khusus itu lebih meyakinkan, sedangkan makna
yang dikandung oleh lafadz yang umum itu jelasnya sekedar dugaan, padahal
sesuatu yang meyakinkan itu lebih utama adanya.
Seandainya penganut
madzhab as-Syafi’iyah merujuk pada kaidah ushul mereka, tentunya mereka tidak
akan menyatakan makan daging unta itu tidak membatalkan wudhu. Dengan demikian,
kaidah ushul Imam Syafi’i ini benar, dan ketika kaidah ini diamalkan mengharuskan
kita untuk mengatakan bahwa makan daging unta itu membatalkan wudhu. Imam
an-Nawawi yang termasuk fuqaha bermadzhab as-Syafi’i telah menyatakan: Perihal
opsi adanya nasakh, maka jelas lemah atau batil, karena hadits tidak berwudhu
setelah makan sesuatu yang disentuh api ini bersifat umum, sedangkan hadits
berwudhu setelah makan daging unta itu bersifat khusus. Nash yang khusus harus
didahulukan daripada nash yang umum, baik terjadinya sebelum atau setelahnya.
As-Syaukani mengomentari pernyataan an-Nawawi ini dengan mengatakan: Pendapat
an-Nawawi ini dilandaskan pada kaidah “lafadz yang umum itu mesti dibangun di
atas yang khusus” secara mutlak sebagaimana dipegang oleh as-Syafi’i dan
mayoritas ahli ushul, dan inilah pendapat yang benar.
As-Syaukani mengatakan
dalam kitab ilmu ushul yang disusunnya yakni Irsyadul
Fuhul: “Alasan “nash yang umum yang datang belakangan itu menjadi penasakh” yang mereka lontarkan adalah adanya
dua dalil yang saling bertentangan, di mana latar belakang sejarah kedua nash
tersebut diketahui, maka yang harus dilakukan adalah memenangkan nash yang
datang belakangan untuk menasakh nash
yang ada sebelumnya, begitu pula jika dalil yang belakangan itu adalah nash
yang khusus (bukan nash yang umum). Alasan ini bisa dibantah bahwa nash yang
umum yang datang belakangan tersebut memiliki dilalah yang dhaif, sehingga nash yang umum tersebut tidak
bisa mengalahkan nash yang khusus yang memiliki dilalah yang kuat. Selain itu
“membangun nash yang umum di atas yang khusus” sama dengan pengkompromian,
sedangkan mengamalkan yang umum sama dengan pentarjihan.
Pengkompromian dua dalil lebih diprioritaskan daripada pentarjihan. Lagi pula mengamalkan nash yang umum
sama dengan mengabaikan nash yang khusus, tetapi dalam pentakhsisan itu tidak ada pengabaian terhadap
nash yang umum, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.”
Kemudian Imam
as-Syafi’i mengatakan: “Seandainya hadits “memakan daging unta” ini shahih maka aku akan berpendapat dengannya.”
Ini merupakan pernyataan yang jelas menunjukkan bahwa beliau tidak berpendapat
bahwa lafadz yang umum itu bisa menasakh
yang khusus. Sebab, jika beliau berpendapat seperti itu niscaya pernyataan
beliau ini tidak memiliki arti apapun.
Sebenarnya, kalangan
ulama Syafi’iyah seluruhnya seharusnya mematuhi kaidah ushul imam mereka, yang
menyatakan kewajiban berwudhu setelah makan daging unta setelah terbukti keshahihan sebagian besar hadits tentang daging
unta ini, sehingga para pengikutnya tidak boleh menyatakan tidak wajib berwudhu
setelah makan daging unta setelah terbukti keshahihan
dalilnya.
Sebaliknya, justru
dalil-dalil yang dipegang as-Syafi’i itulah yang tidak terbukti keshahihannya. Inilah yang ditabanni (diadopsi) oleh banyak fuqaha
bermadzhab as-Syafi’i, sehingga mereka menetapkan wudhu menjadi batal setelah
makan daging unta. Misalnya saja Ibnu al-Mundzir, al-Baihaqi dan Ibnu
Khuzaimah. An-Nawawi yang juga seorang penganut madzhab Syafi’i menyatakan dalam
kitabnya al-Majmu' tentang hukum
batalnya wudhu karena makan daging unta: Pendapat inilah yang kuat atau shahih dari sisi dalil, dan pendapat inilah
yang aku yakini ketetapannya.
Sedangkan orang-orang
yang mentakwilkan hadits-hadits dan menetapkan sebab datangnya perintah
berwudhu karena adanya bau busuk pada daging unta, maka kami katakan bahwa bau
busuk itu selain ada pada daging unta, juga ada pada daging kambing, tetapi
Rasulullah Saw. tidak memerintahkan berwudhu setelah makan daging kambing.
Dengan demikian, hujjah dan penetapan ‘illat
yang mereka lakukan itu terbantahkan.
Sedangkan ketika
mereka menyatakan bahwa wudhu yang Rasulullah maksudkan adalah wudhu dari sisi
bahasa, yakni mencuci tangan, maka kami bantah mereka dengan ucapan an-Nawawi
yang notabene sebagai salah seorang dari mereka: “Memahami wudhu dalam hadits
tersebut sebagai wudhu dari sisi bahasa saja, maka pemahaman seperti itu jelas
kedhaifannya, karena memahaminya sebagai
wudhu dalam konotasi syar'i harus diprioritaskan daripada wudhu dengan konotasi
lughawi (bahasa). Kaidah seperti ini
populer dalam kitab-kitab ushul.”
Selain itu, pernyataan
bahwa wudhu yang dimaksud dalam hadits-hadits ini adalah membasuh kedua tangan
saja, itu membutuhkan dalil. Faktanya tidak ada dalil dalam hal ini. Seandainya
yang dimaksudkan oleh hadits-hadits tersebut adalah membasuh kedua tangan, maka
mengapa Rasulullah Saw. tidak memerintahkan hal yang sama ketika makan daging
kambing, yang bisa kita temukan dalam hadits-hadits yang sama yang
memerintahkan berwudhu setelah makan daging unta. Sebenarnya, penakwilan
seperti ini merupakan penakwilan yang rusak, dan ketidakinginan untuk
menyatakan batalnya wudhu yang sebenarnya dituturkan dalam hadits-hadits.
Ringkas kata, makan daging unta itu
membatalkan wudhu. Sedangkan makan daging yang lain yang disentuh api (dibakar-pen.), termasuk makanan dan
minuman, bagaimanapun juga tidak membatalkan wudhu.
Hati dan limpa unta
dipandang sebagai daging unta, sedangkan susu dan yoghurtnya tidak.
Ketika sebagian mereka
mengambil kesimpulan, minum susu unta itu membatalkan wudhu dengan berdalilkan
hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Usaid bin Hudhair ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah kalian
berwudhu karena minum susu kambing, tetapi berwudhulah karena minum susu unta.”
Hadits ini dhaif.
Juga hadits yang
diriwayatkan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amr ra. dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
“Berwudhulah kalian
karena makan daging unta, dan janganlah kalian berwudhu karena makan daging
kambing. Berwudhulah kalian karena minum susu unta, dan janganlah kalian
berwudhu karena minum susu kambing. Sholatlah kalian di kandang kambing, dan
janganlah kalian shalat di kandang unta.”
Hadits ini dhaif.
Kedua hadits ini
adalah hadits dhaif, di dalam sanad
hadits pertama ada nama Hajjaj bin Artha’ah, seorang perawi yang dhaif, sedangkan dalam hadits kedua ada
Baqiyyah bin al-Walid merupakan perawi yang dhaif,
serta ada Khalid bin Yazid bin Umar seorang yang tidak diketahui asal-usulnya.
Dengan demikian, dua hadits ini tidak layak dijadikan sebagai hujjah, sehingga gugurlah
pendapat yang mereka lontarkan itu.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar