Fardhu Berjuang Menegakkan Islam
Berjuang Untuk Islam di Jalan Yang Keliru
Ada sebagian di antara kaum Muslimin selalu mencari alasan
untuk tidak berjuang demi tegaknya Islam dan kembalinya khilafah Islam. Mereka
berpendapat bahwa memperjuangkan Islam sekarang ini penuh dengan resiko. "Allah akan memaafkan orang-orang yang tidak sanggup
berjuang", kata mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa aktifitas da'wah
harus dijauhkan dari arena politik. Bahkan dalam masalah ini ada yang berani
menentang adanya politik di dalam Islam, sehingga tidak mau berjuang bersama-sama
partai atau gerakan Islam. Ada juga di antara pejuang-pejuang Islam menempuh
jalan kekerasan untuk mendirikan negara Islam. Benarkah semua pendapat tersebut
di atas?
Rasulullah Saw. telah mengambil berbagai langkah yang
dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membangun negara yang menerapkan
aqidah Islam dan peraturan-peraturannya, sampai beliau berhasil mengambil alih
kekuasaan pada malam bai'at ahlul halli wal 'aqdi --yaitu pemimpin dan
tokoh-tokoh masyarakat di Madinah-- untuk melindungi beliau dan menghadapi
seluruh kekuatan kafir yang ada, juga untuk mendengar dan taat kepadanya.
'Ubadah bin Shamit meriwayatkan tentang peristiwa ini sebagai berikut:
"Kami telah membai'at/berjanji kepada Rasulullah Saw.
untuk tetap setia mendengarkan dan mematuhi perintahnya, dalam keadaan yang
kami senangi atau kurang kami senangi, di masa sulit maupun lapang, dan tidak
mendahulukan kepentingan kami. Dan kami tidak menentang perintah dari ahlul
amri/orang-orang yang memegang jabatan pemerintahan, kecuali (sabda Rasul):
"Kalau kamu melihat kekufuran secara terang-terangan, yang bisa kamu
buktikan berdasarkan keterangan dari Allah". (HSR Bukhari-Muslim) [Lihat Shahih Bukhari hadits
no. 7056; dan Shahih Muslim hadits no.1709. Istilah Ahlul Amri di
sini termasuk para khalifah, wali (gubernur) dan umarâ (pejabat-pejabat
pemerintah Islam lainnya)]
Tidak ada ikhtilaf lagi di kalangan kaum muslimin bahwa
pengangkatan dan bai'at kepada khalifah itu wajib hukumnya dan ia merupakan
fardhu kifayah. Berarti jika ditegakkan oleh sebagian kaum muslimin maka tidak
dikenakan kewajiban ini kepada yang lain. Tetapi, jika belum ditegakkan, maka
kewajiban itu tetap dibebankan kepada kaum muslimin seluruhnya. Apabila
kewajiban ini belum terlaksana, mereka semuanya berdosa kecuali orang-orang
yang berusaha menegakkannya. Demikian pula setiap fardlu kifayah, bisa menjadi
fardhu 'ain sampai terlaksana; atau diduga oleh orang-orang yang belum terlibat
bahwa yang sudah mulai berusaha melakukannya mampu menghasilkan atau
merealisasikan fardlu tersebut. Contoh dalam hal ini seperti shalat jenazah,
jihad dan menuntut ilmu yang dibutuhkan oleh umat, semuanya adalah fardlu
kifayah.
Andaikata kaum muslimin sekarang menduga kuat bahwa kaum
muslimin Palestina mampu mengalahkan dan memusnahkan Yahudi, maka mereka boleh
tidak ikut berjihad bersama mereka. Apabila mereka menduga sebaliknya, maka
wajib bagi mereka (mulai dari yang dekat sampai kepada yang paling jauh) ikut
bergabung dengan kaum muslimin Palestina untuk berjihad melawan orang-orang
Yahudi. Jika mereka tidak melakukannya, semuanya akan berdosa. Dalam hal ini
contohnya tidak terbatas pada negeri Palestina, bahkan mencakup seluruh negeri
yang dikuasai orang-orang (negara) kafir dari Kaukasus (Rusia) sampai
Yugoslavia, dari Andalusia sampai India, dan lain-lainnya.
Adapun jalan yang ditempuh untuk menegakkan negara Islam
tergolong hukum syara' yang harus dilaksanakan sebagaimana hukum syara'
lainnya. Kaum muslimin sekarang terbagi dua, ada yang berusaha menegakkan
negara Islam dan ada yang tidak. Padahal Rasulullah Saw. telah bersabda:
"Siapa saja yang mati dan (di negerinya) tidak ada seorang imam (khalifah), maka matinya adalah seperti mati jahiliyah". (HSR Imam Ahmad) [Lihat Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid XXIII, halaman 52, no. 119]
"Siapa saja yang mati dan (di negerinya) tidak ada seorang imam (khalifah), maka matinya adalah seperti mati jahiliyah". (HSR Imam Ahmad) [Lihat Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid XXIII, halaman 52, no. 119]
Para pejuang (gerakan) Islam sekarang belum berhasil
mengangkat seorang khalifah dan merealisasikan Hukum Islam sejak tahun 1924.
Karena itu, orang-orang yang tidak berjuang akan berdosa karena telah
melalaikan dan tidak melaksanakan fardlu ini. Status mereka sama dengan
meninggalkan fardlu-fardlu lain seperti sholat, shaum, dan lain-lain.
Di antara orang-orang yang malas berjuang untuk Islam ada
yang mencari alasan bahwa ia tidak mampu melaksanakannya, karena resikonya
sangat besar. Mereka bertolak dari berbagai dalil-dalil syara' antara lain
firman Allah SWT:
"Allah tidak membebani (hukum) atas seseorang, kecuali
sesuai dengan kesanggupannya..." (Al Baqarah:
286)
Juga sabda Rasulullah Saw.:
“Tidak layak bagi seorang muslim untuk menghina
dirinya". Para sahabat bertanya: 'Bagaimana bisa seseorang menghina
dirinya, ya Rasulullah?' Beliau menjawab: "Ia melibatkan diri dalam suatu
perbuatan yang membahayakan dirinya dan ia tidak mampu melaksanakannya" (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ath Thabari) [Lihat Sunan
Tirmidzi, hadits no. 2353; Sunan Ibnu Majah hadits no. 4016; Musnad
Imam Ahmad, jilid V, hal. 405; dan Mu'jam Thabari Al Kabir jilid
III, hal. 204]
Orang-orang yang mengatakan demikian, di antaranya terdapat
berbagai alim ulama yang mengajarkan Islam kepada kaum muslimin tetapi tidak
memperdulikan masalah politik dan tidak ingin membentuk suatu gerakan atau
partai politik Islam.
Adapun ayat tersebut adalah suatu nash syara' yang menunjukkan bahwa Allah tidak membebani manusia dengan suatu perbuatan kecuali sesuai dengan kemampuannya, sebatas pemahaman dan niatnya. Makna tersebut berlawanan dengan makna yang diisyaratkan oleh orang alim di atas. Begitu pula Hadits di atas yang dijadikan alasan menunjukkan makna yang sama, karena berbunyi: "Ia melibatkan diri dalam suatu perbuatan".
Masalah ini berbeda dengan taklif Allah kepada manusia. Di
samping itu, hadits ini adalah "munqathî" (terputus sanadnya),
sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam masalah ini, kami
ungkapkan contoh yang dilakukan oleh tiga orang shahabat yang telah berlomba
dalam beribadah. Salah satunya mengatakan sanggup berpuasa terus-menerus, yang
kedua bangun malam (tahajjud) secara terus menerus, dan yang ketiga tidak ingin
menikah dengan wanita untuk selama-lamanya. Kemudian mereka datang ke rumah
Rasulullah dan bertanya kepada istrinya mengenai ibadah Rasulullah. Setelah
menjelaskan ibadah yang dilakukan Rasul tersebut seolah mereka menganggap
ringan ibadah beliau. Kemudian mereka berkata: "Bagaimana kita
dibandingkan Rasulullah, beliau diampuni dosa sebelum dan sesudahnya".
Tatkala mendengar ucapan mereka itu, Rasulullah Saw. marah dan berkhutbah di
hadapan kaum muslimin:
"Demi Allah, Aku manusia yang paling taqwa kepada Allah di antara kalian. Tetapi aku berpuasa dan berbuka. Aku pun bangun malam dan tidur dan aku juga menikahi wanita. Siapa saja tidak mengikuti sunnahku, maka (mereka) tidaklah termasuk golonganku". (HSR Bukhari, Muslim, An Nasa'i, dan lain-lain) [Lihat Shahih Bukhari, IX/89-90; Shahih Muslim, no. 1401; Sunan An Nasaîi VI/60]
"Demi Allah, Aku manusia yang paling taqwa kepada Allah di antara kalian. Tetapi aku berpuasa dan berbuka. Aku pun bangun malam dan tidur dan aku juga menikahi wanita. Siapa saja tidak mengikuti sunnahku, maka (mereka) tidaklah termasuk golonganku". (HSR Bukhari, Muslim, An Nasa'i, dan lain-lain) [Lihat Shahih Bukhari, IX/89-90; Shahih Muslim, no. 1401; Sunan An Nasaîi VI/60]
Adapun ada tidaknya politik dalam Islam, maka perlu
dijelaskan pengertiannya dari segi istilah syara', yaitu: "memelihara dan
memperhatikan urusan umat/rakyat” [Lihat Kamus Politik, Ahmad 'Athiyah, hal.
320]
Mengangkat seorang khalifah adalah termasuk kegiatan politik.
Sebab, apa tugas khalifah kalau bukan mengurusi masyarakat dengan aturan yang benar!
Perhatikanlah sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Al Hakim [Lihat Al
Mustadrak, jilid IV, halaman 320]:
“Siapa saja di pagi hari tidak memikirkan masalah kaum
muslimin, maka bukan termasuk golongan mereka".
Rasulullah senantiasa memikirkan dan memelihara urusan ummat
selama hidupnya demikian pula para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat sesudahnya.
Rasul juga memberitahu kepada para sahabat bahwa Allah akan meminta
tanggungjawabnya (para Imam/Khalifah) tentang rakyat yang harus dipelihara
urusannya, sebagaimana sabdanya:
"Dahulu Bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya
oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang
lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada
banyak khalifah (kepala pemerintahan Islam)". Para shahabat bertanya:
'Apakah yang engkau perintahkan kepada kami (pada saat itu)?' Beliau menjawab:
"Penuhilah bai'at yang pertama dan hanya yang pertama itu saja, serta
berikanlah kepada mereka haknya. Sebab, Allah nanti akan menuntut
pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada
mereka" (HSR Bukhari dan Muslim) [Lihat Shahih
Bukhari, hadits no. 3455; dan Shahih Muslim, hadits no. 1844]
Untuk apa mengkaji ilmu tentang sistem pemerintahan, kalau
bukan untuk diterapkan?
Adapun yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah
membentuk partai yang terorganisir untuk menegakkan negara Islam, maka itu bertentangan
dengan firman Allah:
"..Allah ridha terhadap mereka (shahabat) dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah partai Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya partai Allah itulah yang beruntung" (Al Mujadalah: 22)
"..Allah ridha terhadap mereka (shahabat) dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah partai Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya partai Allah itulah yang beruntung" (Al Mujadalah: 22)
Juga bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad yang shahih [Lihat Sunan
Abu Dawud, hadits no. 4338; Sunan Tirmidzi, hadits no. 3059; Sunan
Ibnu Majah, hadits no. 4005; Sunan Ibnu Hibban hadits no. 1837]:
"Jika masyarakat kaum Muslimin melihat penguasa yang
zhalim lalu tidak mencegahnya dari kezhaliman itu, maka hampir-hampir
ditimpakan azab atas diri mereka".
Sabda Rasul ini merupakan penjelasan tentang amal jama'i atau
kegiatan da'wah yang dilakukan
oleh masyarakat, atau sekelompok kaum Muslimin dalam wadah suatu partai yang
diperintahkan untuk membentuknya agar dapat melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar.
Perintah ini lebih ditegaskan lagi dalam firman Allah SWT:
"(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung". (Ali Imran: 104).
Di bawah ini contoh salah seorang anggota Hizbur Rasul, yakni
Mush'ab bin Umair ra. Allah menolongnya menyebarkan Islam di Madinah sebagai
dasar bangunan negara Islam di sana, setelah ia berhasil mengajak tokoh-tokoh
masyarakat Madinah (73 pemimpin) untuk masuk Islam. Kemudian mereka datang ke
Makkah untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah Saw. Karena itu, dalam
hal ini tidak boleh dibedakan antara fardlu
mengangkat khalifah dan fardlu menuntut ilmu.
Keduanya merupakan fardlu kifayah, tidak bisa ditinggalkan
salah satunya sebagaimana halnya tidak bisa ditinggalkannya salah satu dari
shalat dan shaum. Sebab, memang yang diperintahkan kepada mukallaf
(manusia yang sudah akil baligh) adalah kedua-duanya.
Fardhu
Berjuang Menegakkan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar