Aktivitas
Harakah Islamiyah
Apakah benar pendapat yang dikatakan oleh sebagian gerakan
da'wah bahwa Islam mewajibkan membatasi aktifitas gerakannya hanya pada amar
ma'ruf dan nahi munkar, dan bahwasanya tidak dibolehkan mencegah kemungkaran
dengan tangan. Selain itu, tidak dibolehkan pula melakukan aktivitas-aktivitas
di bidang sosial kemasyarakatan atas nama gerakan, tapi dibolehkan bagi
individu Muslim, termasuk anggota suatu gerakan atas nama pribadi mereka. Yang
menjadi pertanyaan: mengapa bagi individu dibolehkan, sedangkan bagi gerakan
da'wah tidak boleh?
Sesungguhnya masalah ini termasuk masalah fiqih yang penting
dan sangat dalam pembahasannya, namun belum mendapat perhatian di kalangan para
fuqahâ terdahulu, sehingga pemahaman masalah ini menjadi kabur. Dan ternyata
hal tersebut dialami juga oleh kalangan intelektual Muslim saat ini. Untuk
menjelaskan pertanyaan tersebut di atas, kami akan bertolak dari firman Allah
SWT, yang artinya:
"(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada Al Khair (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran 104)
Ayat yang mulia ini merupakan seruan yang sangat jelas kepada
umat Islam untuk membentuk suatu jama'ah, kelompok da'wah atau sebuah partai
politik Islam, sekaligus membatasi aktivitasnya ke dalam dua kegiatan: pertama,
berda'wah kepada Islam (terhadap pengikut agama lain); dan kedua,
melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar di tengah-tengah kaum Muslimin.
Kita mengetahui bahwasanya pelaksanaan hukum syari'at Islam
telah dibebankan kepada individu, juga kepada ulil amri (penguasa sah menurut hukum Islam) yang
tanggung jawabnya lebih berat dibandingkan tanggung jawab yang dibebankan
kepada individu, tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah syari'at
Islam membolehkan adanya jama'ah/kelompok da'wah atau partai politik Islam
untuk melakukan aktifitas yang pembebanan pelaksanaan hukumnya ditujukan bagi individu atau ulil amri? Mengapa
syariat Islam membebankan berbagai hukum tertentu kepada jama'ah, kelompok
da'wah, maupun partai politik Islam secara khusus, yang tidak diperuntukan bagi individu dan atau ulil amri?
Memang benar bahwa keberadaan suatu jama'ah, kelompok da'wah
atau partai Islam merupakan fardhu kifayah, yakni suatu kewajiban yang dibebankan atas seluruh
kaum Muslimin. Sebab, perintah tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin di
setiap wilayah Islam, yaitu dengan firmanNya, yang
artinya:
"..Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.." (Ali Imran 104).
"..Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.." (Ali Imran 104).
Ayat tersebut juga membatasi aktivitas jama'ah dalam dua hal
seperti yang telah disebut di muka. Dalam hal ini, syari'at Islam tidak hanya membatasi pembahasannya tentang
urusan penguasa ataupun individu, tetapi juga membahas pula masalah gerakan.
Bahkan, syari'at Islam mengharuskan adanya jama'ah, kelompok da'wah atau partai-partai
Islam pada setiap masa secara terus menerus, khususnya pada saat daulah Islam
masih ada. Kalaupun tidak ada daulah Islam untuk seluruh kaum Muslimin di dunia
seperti keadaan saat ini, maka dalam hal ini terdapat dalil lain yang tetap
mengharuskan adanya gerakan Islam, yaitu dengan berpedoman kepada kaidah syara'
yang mengatakan:
"Apabila suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan
suatu perbuatan, maka perbuatan itu wajib pula hukumnya". [Lihat
Al Muwafaqaat, Imam Asy Syathibi,
Jilid II, halaman 394] Sebab daulah Islam tidak akan tegak berdiri
tanpa adanya suatu gerakan Islam yang
berupaya untuk menegakkannya.
"Siapa saja di antara kalian melihat (suatu)
kemungkaran, maka hendaklah ia berusaha mencegahnya dengan tangannya ..." [Lihat Shahih Muslim, hadits no. 49]
Seorang individu tidak wajib mencegah
kemungkaran apabila tindakannya justru akan menimbulkan kemungkaran yang lebih
besar lagi [Lihat Syarah
Shahih Muslim, Imam Nawawi, jilid II, hal
25-35]
Contoh dari perbedaan antara aktivitas gerakan
dengan individu adalah tindakan Abu Bakar ra tatkala membebaskan Bilal ra, yang
ketika itu masih berstatus budak milik Umayyah bin Khalaf. Setelah mengetahui
Bilal ra masuk Islam, Umayyah mulai menyiksanya dengan cara menjemurnya di
siang hari yang terik dan ditindih batu besar, dengan tujuan agar ia
meninggalkan Islam dan
kembali kepada kemusyrikan. Namun
Bilal ra tetap sabar menahan siksaan dan hanya mengucapkan kata "ahad"
berkali-kali. Padahal sesuatu yang mudah bagi
Nabi Saw., sebagai pemimpin gerakan Islam pertama di dunia, untuk
mengumpulkan dana dari para Shahabatnya guna menebus dan membebaskan Bilal ra
serta Shahabat lainnya yang disiksa setelah masuk Islam. Namun demikian, beliau
tidak melakukannya!
Kita memahami bahwa apabila perbuatan seperti itu merupakan
suatu keharusan untuk dilakukan, tentulah harus segera dilaksanakan. Namun ternyata Nabi Saw., sebagai pemimpin gerakan Islam, tidak melakukannya walaupun
beliau mampu. Dari sini dapat dipahami bahwa aktivitas seperti itu atau yang
serupa dengannya bukanlah kegiatan dan
tanggung jawab gerakan.
Di antara hal-hal lain yang membedakan secara nyata antara
aktivitas inidividu dengan aktifitas gerakan adalah sebagaimana yang
dicantumkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi Saw., bahwasanya Abdurrahman bin Auf ra dan beberapa orang
Shahabat lainnya mendatangi Rasulullah Saw. seraya berkata:
"Ya Nabiyullah. Dahulu, tatkala kami masih musyrik, kami
dimuliakan. Tetapi tatkala kami telah beriman, kami dihinakan". Rasulullah Saw. menjawab:
'Aku telah diperintahkan untuk menjadi orang pemaaf. Karena
itu, janganlah kalian memerangi mereka (Quraisy)' (HR An Nasa'i) [Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ath Thabari, Ibnu Abi
Hatim, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Lihat Sunan An Nasa'i, jilid VI,
halaman 2-3; Ad Durrul Mantsur, Imam As
Suyuthi, jilid II, halaman 594]
Namun demikian dalam catatan sejarah, Saad bin Abi Waqash ra
atas nama pribadinya pernah melakukan tindakan yang bersifat fisik, sebagaimana
yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi
saw. Diceritakan bahwa sekelompok Shahabat termasuk di dalamnya
Sa'ad bin Abi Waqash sedang melakukan shalat di salah satu lembah kota Makkah.
Mereka menyembunyikan aktifitas itu dari orang-orang kafir. Tetapi, sekelompok
orang Musyrik melihat perbuatan tersebut dan mulai mengganggu serta
mencaci-maki mereka. Akhirnya terjadi perkelahian antara kedua kelompok itu.
Keadaan tersebut mendorong Sa'ad bin Abi Waqash memukul salah seorang musyrik
dengan rahang unta sehingga berlumuran darah (lalu mati). Peristiwa ini merupakan
pertumpahan darah yang pertama di dalam Islam. Berita ini kemudian sampai kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mendiamkannya (membolehkannya). [Lihat Sirah Ibnu Hisyam jilid I,
halaman 263; As Sirah An Nabawiyah, Imam Adz Dzahabi, halaman 84]
Dari pengaduan Abdurrahman bin Auf
ra dan kemudian Rasulullah Saw. menjawab agar bersifat pemaaf dan tidak
membolehkan mereka memerangi orang-orang Quraisy atau yang lainnya, maka kita
dapat memahami bahwasanya Rasulullah Saw. tidak membolehkan gerakan melakukan reaksi terhadap tindakan
kekerasan dengan cara membalasnya. Yang beliau lakukan adalah menyuruh para
Shahabat untuk bersabar (menahan diri). Padahal
ketika itu, Rasulullah Saw. mampu mengerahkan kaum Muslimin untuk bereaksi membalas
kekerasan yang dilakukan orang-orang kafir itu dengan perbuatan yang setimpal
dalam setiap peristiwa/ kejadian yang menyakiti dan membahayakan kaum Muslimin.
Namun ternyata, beliau tidak melakukannya meskipun tindakan itu dibutuhkan, dan
walaupun ada pengaduan dari Shahabat agar
Rasulullah Saw. mau melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau melarang
kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan/fisik atas nama gerakan, namun
dibolehkan bagi individu atau anggota gerakan melakukannya atas nama pribadi
mereka apabila diancam atau dianiaya dan
disiksa.
Dalil-dalil lain yang lebih memperkuat pemahaman ini adalah
tindakan dan aktivitas da'wah Rasulullah Saw. di Makkah yang berlasung selama 13 tahun. Beliau melakukan
aktivitas da'wah dan meminta pertolongan kepada orang-orang terkemuka dari
seluruh Jazirah Arab dengan tujuan agar da'wah beliau berhasil dalam menegakkan daulah Islam. Rasulullah Saw. dalam hal ini telah membatasi kegiatannya dalam aktivitas-aktivitas yang bersifat non fisik (fikriyah). Beliau tidak pernah
melakukan aktivitas apapun yang bersifat fisik, sebagaimana yang dikatakannya
kepada para Shahabatnya setelah Bai'at Aqabah II:
"Kita belum diperintahkan melakukan hal itu (tindakan kekerasan)". [Lihat Sirah Ibnu Hisyam, jilid I, halaman 448; As Sirah An Nabawiyah, Imam Adz Dzahabi, halaman 202]
"Kita belum diperintahkan melakukan hal itu (tindakan kekerasan)". [Lihat Sirah Ibnu Hisyam, jilid I, halaman 448; As Sirah An Nabawiyah, Imam Adz Dzahabi, halaman 202]
Beliau menolak tawaran para pemimpin Madinah untuk memerangi
penduduk Mina (jama'ah haji dari seluruh Jazirah Arab) dengan pedang. Beliau
tidak mengatakan kepada mereka: "Kita belum mampu", tetapi
beliau mengatakan: "Kita belum diperintahkan melakukan hal itu". Dan Rasulullah
Saw. baru mengizinkan mereka melakukan perang setelah beliau bersama kaum Muhajirin
hijrah ke Madinah dan setelah berdirinya daulah Islam di sana. Saat itulah
diturunkan firman Allah SWT yang berbunyi [Lihat As Sirah An Nabawiyah, Imam
Az Zahabi, halaman 467-468]:
"Telah diberi izin (untuk berperang) bagi orang-orang
yang telah diperangi, karena mereka telah dizhalimi" (Al Hajj: 39)
"Mafhum Mukhalafah" [Hukum yang tersirat adalah kebalikan
dari hukum yang tersurat. Disebut juga dengan
dalil khithab] dari ayat ini
menjelaskan bahwa sebelum Rasul Saw. hijrah (sebelum didirikan negara
Islam), kaum Muslimin tidak diizinkan untuk berperang. Mafhum
Mukhalafah ini merupakan hujjah yang wajib dilaksanakan serta dijadikan pedoman
bagi setiap gerakan Islam. Lebih dari itu, Allah SWT berfirman:
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: 'Tahanlah tanganmu (dari berperang), dan dirikanlah shalat'" (An Nisa 77)
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: 'Tahanlah tanganmu (dari berperang), dan dirikanlah shalat'" (An Nisa 77)
Ayat ini diturunkan pada saat daulah Islam belum terwujud,
sementara telah ada satu gerakan yang dipimpin
Rasulallah Saw. yang anggotanya adalah individu-individu Muslim (kaum
Muhajirin), yang berupaya keras untuk mendirikan daulah Islam dengan
menghabiskan waktu 13 tahun lamanya. Setelah itu timbul kebutuhan untuk melakukan aktivitas fisik. Akan tetapi sebelumnya kaum Muslimin sebagai sebuah kesatuan
gerakan, telah dilarang melakukan aktivitas fisik tersebut. Malah, mereka
diperintahkan untuk bersabar dan menahan emosi. Bahkan, sebagian besar dari
mereka diizinkan berhijrah ke Habsyah demi menghindarkan diri dari fitnah (paksaan untuk meninggalkan Islam).
Tidak diturunkannya
izin yang membolehkan tindakan kekerasan pada saat itu, menunjukkan adanya
larangan keras melakukan tindakan kekerasan tersebut dalam usaha mendirikan
daulah Islam pada setiap masa (kecuali jika kaum
Muslimin diperangi). Sedangkan diturunkannya izin melakukan
tindakan kekerasan muncul setelah tegaknya daulah Islam, menunjukkan bahwa
aktifitas fisik merupakan salah satu hal yang tidak termasuk langkah-langkah
suatu gerakan. Melainkan hal tersebut termasuk aktivitas dan tanggung jawab
daulah Islam, dan sebagian tercakup pula ke
dalam aktivitas individu.
Dari sini kita dapat memahami bahwasanya syari'at Islam telah
membedakan antara hukum yang dibebankan kepada gerakan dengan hukum yang
dibebankan kepada individu dan penguasa. Namun perlu diingat pula bahwa
perbedaan hukum-hukum terhadap jama'ah, kelompok da'wah dan partai politik
Islam dengan hukum-hukum yang menyangkut individu di dalam suatu gerakan, hanya
terbatas pada gerakan yang mengemban da'wah Islam yang bertujuan mendirikan
daulah Islam saja. Atau dengan kata lain hanya pada kelompok da'wah yang
aktifitasnya bersifat politis yang melakukan aktifitas berdasarkan apa yang
telah diserukan dalam surat Ali Imran ayat 104, meneladani cara kelompok da'wah
pertama dalam sejarah umat Islam, yaitu kelompok Shahabat yang dipimpin Rasulullah Saw. dalam menegakkan Islam.
Adapun kelompok-kelompok kaum Muslimin lainnya (selain gerakan
politik), terhadap mereka hanya dapat diterapkan hukum-hukum syara' yang
menyangkut masalah individu. Sama halnya dengan suatu jama'ah (sekelompok
orang) yang sedang bepergian. Status hukum yang menyangkut
mereka, sama dengan hukum-hukum yang barkaitan dengan individu,
baik mereka mempunyai pemimpin lebih dari satu, ataupun tanpa pemimpin.
Demikian pula halnya dengan suatu kelompok masyarakat yang membentuk suatu
lingkungan, atau organisasi-organisasi sosial yang bergerak di tengah-tengah masyarakat;
semua kelompok ini dan yang serupa dengannya, terhadap mereka diberlakukan
hukum-hukum yang berkaitan dengan individu, walaupun aktivitas sosial
kemasyarakatan itu mereka laksanakan secara bersama-sama serta tolong menolong.
Dengan kata lain, mereka dianggap sebagai sebuah organisasi/sekelompok orang,
namun tidak dapat dikategorikan sebagai gerakan politik atau sebagai gerakan da'wah penegakkan Islam.
Aktivitas Harakah Islamiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar