Bentuk Badan Usaha Perseroan Terbatas PT
Pasar-pasar modal
di Barat tak akan benar-benar eksis, hidup, dan berkembang, kecuali dengan
adanya tiga sistem pokok dalam sistem perekonomian kapitalis:
1. Sistem Perseroan Terbatas.
2. Sistem Perbankan Ribawi.
3. Sistem Uang Kertas Inkonvertibel (fiat money).
Ketiga sistem
tersebut bekerja secara sinergis untuk membagi perekonomian kapitalis menjadi
dua sektor, yaitu: (1) sektor riil, yang di dalamnya terdapat aspek produksi
serta pemasaran barang dan jasa riil, (2) sektor ekonomi modal/kapital, yang oleh
sementara orang disebut sektor non-riil. Di dalamnya terdapat aspek penerbitan
dan jual-beli surat-surat berharga yang beraneka ragam. Surat-surat berharga
ini hakikatnya adalah transaksi-transaksi yang bersifat mengikat, atau
akte-akte dan sertifikat-sertifikat, yang mewakili hak-hak yang dapat dialihkan
secara sepihak, dengan cara menjual atau membelinya, yang berkenaan dengan
kepemilikan perusahaan, utang perusahaan atau utang pemerintah, atau mengenai
harta-harta tak bergerak, dan banyak "hak-hak" lain yang telah
ditetapkan oleh surat-surat berharga yang diedarkan. Hak-hak lain ini misalnya
adanya pilihan sementara untuk membeli atau menjual hak orang lain dengan harga
tertentu yang berbeda dengan harga yang sedang berlaku. Semua ini termasuk
hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan sektor ekonomi riil. Perkembangan
sektor non-riil ini telah sedemikian jauhnya, sampai-sampai nilai muamalah pada
sektor tersebut besarnya berlipat ganda dari nilai sektor riil.
Mengenai sistem
perseroan terbatas (public limited company/PT
Publik), pada awalnya sistem ini muncul agar para pemilik modal dan pengelola
perusahaan dapat melindungi aset mereka yang besar dari orang-orang yang
meminjamkan modalnya (kreditor) dan pemilik hak lainnya dalam usaha-usaha mereka,
seandainya perusahaan mengalami kegagalan. Sistem ini juga dibuat agar para
pemodal dan pengelola perusahaan dapat menguasai dana masyarakat dalam
usaha-usaha mereka.
Sistemnya memang
demikian, karena ada sifat yang unik pada perusahaan terbatas, yaitu tanggung
jawab yang terbatas. Jadi kalau misalnya usahanya gagal dan merugi, maka para
pemilik hak pada perusahaan itu tidak dapat mengajukan klaim apapun kepada para
peseronya (pemegang saham), berapapun jumlah modal yang mereka setorkan. Mereka
tidak berhak mendapatkan apapun kecuali aset perusahaan yang tersisa.
Menurut kebiasaan
yang berlaku di Barat, perusahaan dimunculkan dan diumumkan oleh pemerintah,
bukan oleh para pendirinya. Jadi pemerintahlah yang mengeluarkan akte
pendiriannya, menentukan tujuan-tujuannya dan jumlah saham yang boleh
diedarkan, serta mempublikasikan anggaran dasarnya. Oleh karena itu, perusahaan
merupakan suatu badan hukum yang berdiri sendiri secara penuh dan terlepas dari
para peseronya. Konsekuensinya, pemilik hak hanya dapat mengajukan tuntutan
kepada perusahaan dan tidak dapat menuntut para peseronya sedikitpun. Dengan
demikian, tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada aset perusahaan yang
tersisa, bukan pada aset yang dimiliki
oleh para peseronya.
Pada saat pemerintah
mengeluarkan akte pendirian perusahaan, pemerintah menetapkan suatu dewan
komisaris sementara dari kalangan pendirinya, yaitu orang-orang yang mengajukan
permohonan pendirian perusahaan. Kemudian, dewan komisaris tersebut mengangkat
seorang direktur perusahaan, dan mulailah perusahaan "menjual"
saham-sahamnya, yakni sejumlah dokumen yang merupakan sertifikat-sertifikat
surat berharga yang dapat dialihkan. Pembawa saham ini memiliki hak-hak
tertentu dan terbatas, yaitu mendapat bagian tertentu dari laba yang dibagikan
oleh perusahaan (dividen), mendapat bagian tertentu dari harta perusahaan jika
perusahaan bubar (dilikuidasi), dan mempunyai hak suara sekali setahun untuk
mengangkat dewan komisaris yang baru. Akan tetapi seluruh hak-hak ini didasarkan
pada saham, bukan pada orang yang menjadi pesero. Pada saat pemungutan suara
untuk memilih dewan komisaris, misalnya, suara yang menentukan didasarkan pada
jumlah saham, bukan pada jumlah orang. Jadi kalau ada satu orang yang memiliki
51 % saham yang diedarkan, dan jumlah para pesero lainnya yang memiliki saham
sisanya mencapai 100 ribu orang, maka hakikatnya orang pertama tadilah yang
memilih dewan komisaris sendirian. Suara dari 100 ribu orang lainnya tidak ada
nilainya.
Dalam banyak hal,
para pemodal tidak perlu sampai memiliki 50% saham suatu perusahaan agar mereka
dapat mengontrol perusahaan tersebut. Bahkan kadang-kadang cukup memiliki 5%
atau 10% saham saja, karena tersebarnya mayoritas pesero yang memiliki saham
sedikit, atau karena adanya kerjasama di antara sesama pesero besar yang
minoritas untuk memilih dewan komisaris, sehingga selanjutnya mereka dapat
mengontrol semua modal para pesero dan mengendalikan semua kegiatan perusahaan.
Kenyataan tersebut
dapat dirasakan oleh masyarakat umum. Dengan adanya kenyataan ini, maka
mayoritas pesero tidak dapat lagi mengelola modalnya dalam perusahaan. Mereka
hanya dapat mengalihkan saham mereka --dengan menjual atau membelinya-- di
pasar modal. Akibatnya, mereka tidak lagi menjadi rekanan perusahaan, tetapi
hanya sekedar pemegang surat-surat berharga perusahaan, yang dapat dijual dan
dibeli pada pasar modal tanpa perlu izin kepada perusahaan atau para pesero.
Demikian pula,
pasar modal memungkinkan para pesero besar untuk menjual saham mereka kepada
perusahaan yang mereka kontrol, tanpa perlu minta izin atau memberitahu siapapun,
sehingga mereka dapat berlepas diri dari tanggung jawab apapun mengenai
kegiatan-kegiatan perusahaan yang mereka kuasai dan mereka kendalikan. Begitu
pula tatkala mereka berhasrat untuk membeli saham lebih banyak lagi --baik
saham perusahaan mereka sendiri maupun perusahaan lainnya—mereka pun tidak
perlu minta izin kepada siapapun. Motivasi yang mendorong mereka untuk membeli
atau menjual saham ini tiada lain ialah mendapatkan laba dengan cepat. Jika
harga saham perusahaan yang mereka kuasai naik, mereka menjual semua atau
sebagian saham mereka. Lalu jika harganya turun, mereka kembali membelinya.
Dengan demikian,
mereka sebenarnya tidak punya loyalitas sedikit pun terhadap perusahaan, para
pesero lainnya, kegiatan perusahaan, dan para pegawai perusahaan. Bahkan dapat
dikatakan, keinginan para pemilik modal untuk mengendalikan suatu perusahaan
--dengan cara menguasai dewan komisarisnya-- sebenarnya hanya ingin
mempengaruhi kegiatan-kegiatan perusahaan sedemikian rupa, sehingga
mengakibatkan kenaikan harga sahamnya.
Semua ini
mengakibatkan terpisahnya pasar modal (saham dan surat berharga/sekuritas
lainnya) dari sektor ekonomi riil, yaitu fakta perusahaan yang memperdagangkan
saham-sahamnya. Bukti lain untuk itu adalah adanya nilai PER (Price Earning Ratio) yang selalu
dimonitor oleh para pedagang saham di pasar modal, yang dianggap sebagai
standar untuk mengukur tinggi-rendahnya harga saham perusahaan tertentu. Nilai
PER tersebut adalah perbandingan antara harga saham perusahaan saat sekarang,
dengan besarnya dividen untuk satu saham yang dibagikan perusahaan per tahun.
Sebagai contoh, jika dividen untuk satu saham bernilai US$ 2 dolar, sedang
harga saham di pasar modal sebesar US$ 40 dolar, berarti nilai PER-nya 20%.
Dengan kata lain, laba perusahaan adalah 5% dari harga sahamnya.
Koran-koran setiap
hari mempublikasikan nilai-nilai PER seluruh perusahaan yang memperdagangkan
sahamnya. Dan dengan mempelajari nilai-nilai PER tersebut, nampak bahwa dalam
banyak kasus terdapat perbedaan sangat besar antara satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya. Kadang-kadang beberapa perusahaan nilainya mencapai 100%,
sedang pada beberapa perusahaan lainnya hanya 5%.
Kenyataan ini
membuktikan terpisahnya hubungan antara
pasar modal dengan sektor ekonomi riil dan fakta perusahaan. Maka pasar modal
pun akhirnya berubah menjadi kasino besar untuk ajang perjudian. Artinya,
spekulasi telah mendominasi pasar
modal dan fluktuasi harga yang sangat ekstrem dan berulang telah menjadi watak
dari pasar modal tersebut. Inilah fakta sistem perseroan
terbatas.
Bentuk Badan Usaha Perseroan
Terbatas PT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar