Persoalan
yang merajam keadaan dalam negeri Negara Khilafah Islam tidak terbatas pada
masalah penyimpangan baiat khalifah saja, tetapi melebar hingga ke para
penguasa daerah atau pejabat-pejabat tinggi negara. Diamnya Daulah Khilafah
'Abbasi terhadap perilaku politik Abdurrahman yang berhasil memasuki Andalus
(karena itu dijuluki al-Daakhil) dan membiarkannya menguasai Andalus
menyebabkan Abdurrahman memerintah Andalus secara penuh dan terpisah dari pusat
Negara Khilafah Islam (Baghdad).
Abdurrahman
memangkas sebagian wilayah Negara Khilafah Islam dan mengaturnya dengan aturan
tersendiri. Para penguasa sesudahnya yang menamakan diri dengan sebutan Amirul Mukminin juga mengatur pemerintahannya
dengan aturan sendiri. Meski Andalus sebenarnya tidak terpisah dari tubuh
Negara Khilafah Islam dan kaum muslimin yang tinggal di Andalus juga tidak
terpisah dari kaum muslimin lainnya yang tinggal di wilayah Daulah Khilafah
'Abbasi dan mereka tetap menjadi bagian dari kesatuan umat Islam, akan tetapi
mereka terpisah secara administratif (aturan pemerintahan).
Fakta ini
menyebabkan kelemahan terserap ke dalam tubuh daulah Khilafah. Kelemahan itulah
yang menjadikan kaum kafir mudah menguasai Andalus. Padahal Negara Khilafah
Islam (berpusat di Baghdad) pada waktu itu berada di puncak keluhuran dan
kekuatan. Bagdad tidak mampu menolak serangan musuh yang melemahkan kondisi
Andalus.
Ini
kondisi yang terjadi di wilayah Barat. Adapun di wilayah Timur (pusat
pemerintahan Negara Islam: Baghdad), pemerintah-pemerintah daerah (propinsi)
diberikan kepada para gubernur secara umum. Tiap-tiap daerah diberi keleluasaan
(otonomi) mengatur secara luas. Otonomi ini memberi kesempatan para penguasa
daerah untuk menggerakkan perasaan-perasaan kepemimpinan yang membuat mereka
berambisi. Mereka memiliki kekuasaan yang otonom dalam administrasi (mengatur
pemerintah daerah), sementara khalifah merelakannya.
Pengakuan
atas legalitas kekuasaan khalifah cukup dilakukan di mimbar-mimbar, pengeluaran
surat-surat keputusan yang diambil dari lembaga khilafah, pembuatan uang dengan
namanya, dan penyetoran pajak. Wilayah-wilayah propinsi yang memiliki kekuasaan
otonom menjadikannya seperti negara-negara bagian federal, sebagaimana yang
terjadi antara penguasa bani Saljuq dan Hamdani. Hal ini juga menyebabkan
Negara Khilafah Islam melemah.
Semua
persoalan di atas menjadi sebab yang mengantarkan pada lemahnya Negara Khilafah
Islam. Kondisi ini terus berlangsung hingga Bani 'Utsmani datang dan menguasai
kekhilafahan. Mereka kemudian menyatukan hampir seluruh wilayah Negara Khilafah
Islam di bawah kekuasaan mereka, kemudian mengemban dakwah ke Eropa dan kembali
memulai jihad penaklukan-penaklukan. Akan tetapi sayang, kekuasaannya tidak
bersandar pada dasar kekuatan iman para khalifah pertama bani 'Utsmani.
Khalifah-khalifah sesudahnya justru hanya bersandar pada kekuatan militer.
Pemerintahannya
tidak bersandar pada asas pemahaman Islam yang benar dan penerapan yang
sempurna. Oleh karena itu, jihad penaklukan-penaklukan yang diraihnya tidak
memperoleh hasil sebagaimana jihad penaklukan-penaklukan yang pertama. Di
samping itu, dalam tubuh umat tidak ada kekuatan yang mendasar. Karena itu,
kondisi yang mendominasi ini juga ikut berperan memperlemah daulah Khilafah,
kemudian memudar, dan akhirnya Negara Khilafah Islam hilang. Lenyapnya Negara
Khilafah Islam dari permukaan bumi tidak lain karena pengaruh faktor-faktor di
atas, di samping karena macam-macam tipudaya yang dilancarkan oleh musuh-musuh
Islam.
Faktor-faktor
yang memperlemah daulah Khilafah yang akhirnya menyebabkan lenyapnya Negara
Khilafah Islam secara ringkas dapat dikelompokkan menjadi dua faktor: (i)
lemahnya pemahaman Islam dan (ii) buruknya penerapan Islam. Karena itu, yang
dapat mengembalikan Negara Khilafah Islam adalah pemahaman Islam yang benar,
dan yang dapat menjaga kekuatan negara Khilafah adalah kelangsungan negara
Khilafah yang terus-menerus memahami Islam yang benar, memperbaiki penerapannya
dalam negeri, dan mengemban dakwahnya ke luar wilayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar