Pada tahun 1834 M para delegasi misionaris sudah tersebar luas di seluruh Syam. Di Desa 'Antsurah, Libanon, dibuka satu fakultas. Kemudian dari Malta dikirimkan delegasi-delegasi Amerika ke Beirut untuk mencetak buku-buku sekaligus menyebarkannya. Seorang misionaris Amerika yang sangat terkenal, Ili Smith menggerakkan misi ini dengan gerakan yang sangat fenomenal. Di Malta, kesibukan misionarisnya ditaati. Dia menguasai persoalan penerbitan buletin-buletin.
Pada tahun
1827 M Smith datang ke Beirut. Akan tetapi, dia tidak tinggal lama. Ketakutan
dan kecemasan yang menguasai perasaannya, di samping karena tidak mampu
bersabar, membuatnya kembali ke Malta. Kemudian pada tahun 1834 M dia kembali
lagi Beirut dan bersama istrinya membuka sekolah untuk wanita. Di depannya
medan garapan semakin meluas. Karena itu, dia bertekad memusatkan hidupnya
untuk bekerja di Beirut dengan visi gerakan khusus, dan di Syam dengan visi
gerakan umum. Dengan demikian, seluruh aktivitas ini saling membantu dalam
membangkitkan gerakan misionaris.
Ibrahim Pasha
yang menerapkan program-program pendidikan pertama (dasar) di Suriah yang
diilhami dari program pendidikan yang ada di Mesir yang diambil dari program
pendidikan dasar di Perancis justru menjadi kesempatan emas bagi para
misionaris. Mereka segera memanfaatkannya dan ikut andil dalam gerakan
pendidikan dengan dilandaskan pada visi misionaris, kemudian gerakan itu
mencakup gerakan percetakan.
Dengan
demikian, gerakan misionaris kembali tumbuh dan bergabung dalam gerakan
pendidikan secara transparan. Dengan gerakan ini, mereka mampu membakar hati
rakyat Negara Khilafah Islam (muslim maupun non-muslim) dengan nama kebebasan
beragama. Di antara kaum muslimin, Nasrani, dan Druze diadakan aktivitas
keagamaan yang berkaitan dengan akidah.
Ketika Ibrahim
Pasha meninggalkan Syam pada tahun 1840 M, kegelisahan, kecemasan, dan
kegoncangan menyebar di Syam. Orang-orang terbelah mengikuti perasaan mereka
masing-masing. Sementara para delegasi asing apalagi para delegasi dari kaum
misionaris justru mengambil kesempatan ini untuk memperlemah pengaruh
Khilafah 'Utsmani di Syam. Untuk itu mereka mengobarkan api fitnah. Belum
berjalan satu tahun dan belum genap tahun 1841 M, kegoncangan yang
dikhawatirkan itu akhirnya meletus menjadi huru-hara berdarah di pegunungan
Libanon yang membenturkan kelompok Kristen dan kaum Druze.
Huru-hara ini
memaksa Khilafah 'Utsmani tentunya dengan pengaruh tekanan negara-negara
asing membuat aturan baru untuk Libanon. Aturan itu membagi Libanon menjadi
dua bagian:
(i) bagian
pertama adalah kelompok masyarakat yang dipimpin orang Nasrani, dan
(ii) bagian
kedua adalah kelompok masyarakat yang dipimpin kaum Druze. Kemudian Khilafah
menentukan hakim untuk masing-masing kelompok. Kebijakan ini dimaksudkan
Khilafah untuk melindungi ancaman perpecahan di antara dua kelompok itu. Akan
tetapi sungguh sayang, aturan ini tidak berhasil karena memang isinya tidak
alami.
Sementara
Perancis dan Inggris sibuk menyusupkan pengaruhnya ke dalam pertikaian ini.
Keduanya terus membakar api fitnah setiap kali para penguasa Khilafah berusaha
memadamkan persoalan. Inggris dan Perancis akhirnya berhasil mengambil peran
penengah di tengah perpecahan di antara kelompok-kelompok yang bertikai dengan
tujuan ikut campur menangani persoalan-persoalan Libanon.
Perancis
berpihak kepada kelompok Mawaranah (sebuah sekte dalam Kristen Katolik),
sementara Inggris berpihak pada Druze. Intervensi dari dua negara asing
bertujuan menciptakan goncangan-goncangan baru dengan bentuk yang sangat
mengerikan, dan itu terjadi pada tahun 1845 M. Untuk mencapai targetnya, mereka
meneror biara-biara dan gereja-gereja dengan memakai cara-cara yang sangat
biadab, seperti merampok, merampas, menculik, menghadang, dan membunuh.
Teror-teror ini pula yang memaksa Pemerintahan Khilafah 'Utsmani mengirimkan
para pengawas bagian luar ke Libanon. Petugas ini berusaha memperbaiki
persoalan-persoalan dengan kebijakan-kebijakan yang netral. Akan tetapi, dia
tidak mampu melakukan hal yang penting, meski berhasil memadamkan keadaan.
Sementara
pihak misionaris, justru berhasil meningkatkan gerakannya. Hingga pada tahun
1857 M muncul ide revolusioner dan agresi militer terhadap kelompok Mawaranah.
Kaum agamawan Mawaranah membalas agresi ini dengan menggerakkan para petani
untuk melakukan gerakan separatis dan menghantam para agresor di Libanon Utara.
Balasan agresi mereka sangat bengis dan berhasil mengobarkan api revolusi di
sana, kemudian gerakan itu melebar ke Selatan, sehingga seluruh para petani
Nasrani ikut mengobarkan revolusi menentang kaum separatis Druze.
Sementara
Inggris dan Perancis, masing-masing sibuk memperkuat dukungan terhadap
kelompoknya. Inggris mendukung Druze dan Perancis mendukung kelompok Kristen.
Dengan demikian, fitnah meluas merata hingga meliputi seluruh Libanon. Kaum
Druze membunuh semua warga Kristen, tanpa membedakan antara yang tokoh agama
dan yang bukan. Banyak warga Kristen yang terbunuh dan ribuan dari mereka yang
melarikan diri dari perlakuan keras karena tekanan berbagai konflik dan
goncangan. Kemudian goncangan ini merambat ke seluruh Syam.
Di Damaskus
terkena hembusan gelombang kemarahan ini sehingga berhasil memunculkan
pertikaian antara kaum muslimin dan Nasrani. Di bulan Juli tahun 1860 M
gelombang panas ini mendorong kaum muslimin
menghantam perkampungan Nasrani dan melakukan penjagalan besar-besaran.
Penjagalan itu mengakibatkan keruntuhan, kehancuran, dan kegoncangan sehingga
memaksa daulah menghentikan fitnah dengan kekuatan.
Meski
goncangan-goncangan ini padam dan hampir-hampir berakhir, negara-negara Barat
justru melihat bahwa ini merupakan kesempatan yang terbuka bagi mereka untuk
melakukan intervensi
langsung ke dalam negeri Syam. Dengan peristiwa berdarah itu, Barat punya
alasan untuk mengirimkan kapal-kapal perangnya ke hampir seluruh pesisir Syam.
Di bulan Agustus di tahun yang sama, Perancis mengirimkan angkatan daratnya dan
mendarat di Beirut. Mereka berdalih untuk memadamkan pemberontakan......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar