Kaitannya dengan Undang-undang Dasar, gerakan antek Barat tentunya lebih
difokuskan pada penciptaan UUD negara yang pembuatannya diambil dari UUD
Perancis. Proses pembuatannya bersamaan dengan gerakan pengambilan
undang-undang.
Pada tahun
1878 gerakan ini hampir berhasil dengan baik. Karena kekuatan perlawanan kaum
muslimin masih kuat, maka proses pembentukannya berhasil dipatahkan dan
dibuatnya membeku. Akan tetapi, karena adanya kafir penjajah yang terus-menerus
membuntutinya, juga adanya kesuksesan antek-anteknya, dan karena umat cenderung
pada tsaqafah (pemikiran) kafir penjajah, maka gerakan pembuatan UUD memperoleh
posisi yang memungkinkannya dimunculkan keluar pada kesempatan yang lain,
diposisikannya sebagai kesuksesan tersendiri, dan pada tahun 1908 UUD
diletakkan pada posisi yang menjadi medan aktivitas Khilafah.
Dengan
diletakkannya undang-undang dan UUD dalam posisi ini di Khilafah 'Utsmani, maka
hampir seluruh wilayah Khilafah Islam kecuali Jazirah Arab dan Afganistan
berjalan mengikuti arah undang-undang Barat.
Kafir
penjajah menduduki negara hingga negara itu berdiri dengan menerapkan seluruh
undang-undang Barat secara langsung dengan menganggapnya sebagai undang-undang
sipil, padahal esensinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam dan
justru meninggalkan hukum-hukum syara', berarti negara telah menetapkan hukum
atau pemerintahan kufur dan menjauhkan hukum atau pemerintahan Islam.
Keberhasilan
kafir penjajah itu masih didukung dengan pemantapan pilar-pilarnya dan
penegakan (pemecahan dan pembentukan) semua urusan di atas dasar “politik
pengajaran” (sistem politik Barat yang diterapkan, dilegalkan, dan diwariskan
dengan berbagai cara pengkaderan) yang dibakukan dan manhaj (metode) pendidikan yang diletakkan yang hal itu hingga
saat ini masih terus diterapkan dalam semua negeri Islam.
Prestasi
ini sudah barang tentu menghasilkan "pasukan besar" dari para
pengajar yang kebanyakan mereka menjaga dan melestarikan manhaj (metode) ini (aturan, sistem
operasional, dan strategi kafir penjajah) dan melahirkan orang-orang yang
kebanyakan memegang kendali semua persoalan kehidupan, dan mereka berjalan
sesuai dengan apa yang dikehendaki kafir penjajah.
“Politik
pengajaran” didirikan dan dibuatkan metode yang dibangun di atas dua dasar.
Dasar pertama memisahkan agama dari kehidupan.
Pemisahan ini secara otomatis akan menghasilkan pemisahan agama dari negara.
Demikian itu akan mendorong putra-putri kaum muslimin berjuang memerangi
pendirian Negara Islam dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan asas
belajar mereka yang memang berdiri di atas politik itu (politik pengajaran).
Dasar kedua membentuk kepribadian kafir
penjajah untuk dijadikan sumber utama (inspirasi) pengkaderan. Sumber itu
mengisi akal yang tumbuh dari pengetahuan dan informasi-informasi mereka.
Pengkaderan ini mengharuskan murid menghormati dan mengagungkan kafir penjajah
dan berusaha mencontoh dan meneladaninya meski yang dicontoh adalah kafir
penjajah.
Di samping
itu, murid juga dituntut merendahkan orang Islam dan menjauhinya, jijik
terhadapnya, congkak dan memandangnya rendah, serta meremehkan pengambilan
nilai darinya. Maka tidak aneh jika ajaran-ajaran ini menetapkan keharusan
memerangi pembentukan Negara Islam dan mengategorikannya sebagai perbuatan
terbelakang dan mundur.
Penjajahan
tidak cukup dengan sekolah-sekolah yang diasuh dan dibimbing oleh
pemerintah-pemerintah yang mendirikan dan menempati posisi antek itu. Bahkan di
sampingnya, juga didirikan sekolah-sekolah misionaris yang berdiri di atas
landasan penjajahan semata serta lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan tsaqafah
(pemikiran) yang dibentuk di atas landasan arah politik yang keliru dan
tsaqafah (pemikiran) yang salah-kaprah.
Dengan
demikian, iklim pemikiran di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga tsaqafah
(keilmuan pemikiran) yang berbeda-berbeda dan memiliki banyak cabang itu akan
membina dan membentuk umat dengan tsaqafah (pemikiran) yang menjauhkan mereka
dari berpikir tentang Negara Khilafah Islam dan berusaha menghalang-halangi
mereka untuk bekerja dan berjuang demi mendirikan Negara Khilafah Islam.
Selain
itu, juga didirikan haluan-haluan politik di seluruh negeri Muslim di atas
dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Praktek penerapan paham ini
melahirkan persepsi umum di hampir seluruh para budayawan dengan paham
pemisahan agama dari negara, sementara di tengah kehidupan berbangsa umumnya
berpikiran pemisahan agama dari politik.
Akibatnya,
banyak dijumpai kelompok-kelompok budayawan yang berpendapat bahwa penyebab
kemunduran umat Islam adalah keteguhan mereka memegang agama, dan jalan
satu-satunya untuk membangkitkan mereka adalah paham kebangsaan/ ashobiyah dan
bekerja untuknya.
Juga
banyak ditemukan kelompok-kelompok budayawan yang berpendapat bahwa penyebab
kemunduran umat adalah nilai-nilai etika. Maka, berdirilah kelompok-kelompok
(takattul) partai politik di atas dasar pikiran pertama yang bekerja untuk
kebangsaan (juga kesukuan) dan nasionalisme.
Sementara
aktivitas yang dilandaskan pada Islam dianggap sebagai susupan penjajahan yang
dicap sebagai kemunduran dan kebekuan yang akan mengantarkan manusia pada
keterbelakangan dan kemerosotan. Respon politik ini (suatu respon atas
kemunduran umat dengan melahirkan pemecahan secara politis yang bernafaskan
kebangsaan yang mengharamkan pembentukan Negara atau partai Islam) sama halnya
dengan respon moral dengan upaya pembentukan kelompok organisasi yang berdiri
di atas dasar pikiran kedua yang berpijak pada prinsip akhlak, nasihat, dan
petuah, dan akibatnya organisasi-organisasi itu hanya menjadi kelompok yang
bekerja untuk nilai-nilai keutamaan dan akhlak serta mengharuskan dirinya untuk
tidak masuk ke dalam kancah politik.
Dengan
demikian, partai-partai politik kebangsaan dan kelompok-kelompok organisasi
moral aktivitasnya hanya berputar-putar di tempat tanpa ada upaya yang mengarah
pada pembentukan Negara Islam. Mengapa? Karena kelompok-kelompok ini
memalingkan pikiran-pikiran dari aktivitas politik yang diwajibkan syara',
yaitu mendirikan Negara Khilafah Islam.
Aktivitas-aktivitasnya
dipalingkan dari aktivitas yang seharusnya dan hanya diarahkan pada aktivitas
moral yang demikian itu sebenarnya merupakan pemalingan wujud pasti dari
penerapan muslim terhadap hukum-hukum Islam serta pemalingan wujud alami dari
pembentukan pemerintahan Islam.
Juga
karena partai-partai itu berdiri di atas dasar prinsip penjajahan yang
menentang Islam dan berusaha menggagalkan pembentukan Khilafah Islam…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar