Karena
itu, Sekutu menyimpulkan komite perjanjian kebangsaan Turki adalah kemenangan
terakhir bagi mereka. Dengan alasan adanya pengaruh penyebaran perjanjian
kebangsaan, maka Sekutu membiarkan Turki bebas melakukan perlawanan.
Dari
setiap tempat, mereka menyeret Turki. Sementara kekuatan Inggris dan Perancis
menyeret dari dalam dan memompa semangat kebangsaan/ ashobiyah Turki sehingga
menjadi semakin kuat.
Di dalam
negeri timbul gerakan perlawanan yang menentang musuh (Sekutu) di mana gerakan
itu berbalik menjadi revolusi menentang sultan. Itulah yang memaksa sultan
menyiapkan pasukan dan mengirimkannya dengan serangan dan perlawanan yang kuat.
Semua orang bergabung dengan sultan kecuali Ankara yang memang menjadi pusat
makar revolusi.
Ankara
sendiri hampir-hampir jatuh. Semua desa yang mengepungnya bergabung menjadi
satu di bawah bendera sultan dan berpihak pada pasukan Khalifah. Mushthafa
Kamal dan para pengikutnya di Ankara berada dalam kondisi yang sangat kritis
dan terpuruk. Meski demikian, Mushthafa Kamal tetap melakukan perlawanan.
Dia
membakar api semangat baru dalam sentuhan nasionalis Turki. Upaya Mushthafa
Kamal berhasil. Tekad dan semangat nasionalis mereka berkobar kembali. Di
berbagai wilayah dan desa-desa Turki tersebar berita tentang keberhasilan
Inggris menduduki ibukota, banyak kaum nasionalis yang ditawan, rumah-rumah
parlemen ditutup dengan paksa, sementara bantuan atau dukungan sultan dan
pemerintahannya terhadap mereka macet.
Keadaan
menjadi berubah. Orang-orang berpaling dari sultan. Opini umum digiring untuk
mendukung kaum nasionalis di Ankara. Kaum pria dan wanita berbondong-bondong
mendatangi Ankara untuk berjuang mempertahankan Turki.
Banyak
pasukan Khalifah yang lari dan bergabung dengan pasukan Mushthafa Kamal yang
telah menjadi pusat pandangan Turki dan figur yang mengikat cita-cita
kebangsaan Turki. Kelompoknya menjadi kuat. Kebanyakan negara dan
wilayah-wilayah Khilafah di dalam genggamannya.
Melihat
kondisi yang menguntungkan pihaknya, Mushthafa Kamal mengeluarkan
selebaran-selebaran yang mengajak untuk memilih Komite Kebangsaan yang
kedudukannya di Ankara. Pemilihan berhasil dilaksanakan dan anggota-anggota
dewan yang baru juga berhasil dikumpulkan. Mereka (para anggota dewan)
mendeklarasikan diri sebagai al-Jam'iyyah
al-Wathaniyyah al-Kubraa (komite kebangsaan besar). Bahkan, mereka juga
menyatakan bahwa mereka adalah pemerintahan yang sah, kemudian memilih
Mushthafa Kamal menjadi pemimpin komite.
Ankara
menjadi pusat pemerintahan kebangsaan. Semua unsur kebangsaan Turki bergabung
dan memusat di Ankara. Mushthafa Kamal berdiri tegak. Dengan halus, dia
melanjutkan operasinya, melumatkan sisa-sisa pasukan Khalifah, dan menghentikan
perang saudara. Kemudian dia mencurahkan perhatian untuk memerangi dan
mengacaukan Yunani dalam pertempuran-pertempuran berdarah. Pada mulanya
kemenangan berpihak pada Sekutu. Kemudian persoalan-persoalan berubah dan
neraca Mushthafa Kamal lebih berat.
Bulan
Agustus 1921 sampailah masa yang menguntungkan, Mushthafa Kamal berhasil
berdiri tegak. Dengan sekali hantaman kilat, dia mampu mengakhiri pertempuran
dengan kemenangannya terhadap Yunani yang telah menduduki Izmir dan sebagian
pantai Turki.
Di
awal-awal September 1921 Mushthafa Kamal mengirim delegasi ke 'Ashamta untuk
menemui Harnajitun guna mengadakan kesepakatan pemecahbelahan wilayah Khilafah.
Di sana
Sekutu sepakat untuk mengusir Yunani dari Turis, Konstantinopel, dan Turki dan
menawannya. Dari urutan langkah-langkah Mushthafa Kamal dapat dilihat bahwa
kesepakatan Sekutu merupakan bentuk sambutan menerima Mushthafa Kamal untuk
segera menghabisi pemerintahan Islam.
Karena
itu, tidak aneh jika Anda menemukan indikasinya, yaitu ketika komite kebangsaan
mendebatnya tentang masalah Turki setelah kemenangan-kemenangan yang dijaganya,
Mushthafa Kamal justru berpidato dengan mengatakan, "Saya bukanlah seorang
mukmin yang terikat dengan liga (pengikut kelompok) negeri-negeri Islam, tidak
juga hingga dengan kelompok bangsa-bangsa 'Utsmani. Masing-masing orang dari
kita mempercayai pendapat yang dilihatnya. Pemerintah harus meyakini (memegang
teguh) politik yang kokoh yang disusun dan dibangun di atas sejumlah nilai
esensial yang memiliki tujuan satu dan tunggal. Politik itu untuk menjaga
kehidupan kebangsaan. Wilayah independennya masuk dalam bingkai batas-batasnya
yang bersifat geografis. Maka, tidak ada sentimen rasa (iman) dan tidak pula
angan-angan (Kekhilafahan) yang harus berpengaruh dalam politik kita. Kita
harus menjauhkan mimpi dan khayalan. Di masa lalu hal itu telah membebani kita
dengan ongkos yang mahal."
Seperti
demikianlah yang dikehendaki Mushthafa Kamal (Inggris dan Sekutu). Dia
mengumumkan bahwa dirinya menghendaki “kemerdekaan” Turki dengan sifat
kebangsaan Turki, bukan umat Islam.
Sebagian
anggota dewan dan para politisi menuntut kepadanya untuk menjelaskan
pendapatnya tentang hal-hal yang menjadi kewajibannya membentuk pemerintahan
baru di Turki. Tentu tidak masuk akal jika Turki memiliki dua pemerintahan
sebagaimana yang ditetapkan ketika itu, yaitu pemerintahan yang ditentukan
batas waktunya dan memiliki kekuasaan yang kedudukannya di Ankara dan
pemerintahan resmi di ibukota (Istambul) yang dikepalai oleh sultan dan para
menterinya.
Para
politisi mendesak terus meminta penjelasan pendapat Mushthafa Kamal tentang
kebijakan ini, namun dia tidak menjawabnya dan menyembunyikan niatnya.
Mushthafa
Kamal tahu bahwa dirinya mampu mengangkat (memuaskan) anggota dewan dengan
melepaskan Wahiduddin dan menghapus kesultanan. Akan tetapi, dia tidak berani
berlaku gegabah dengan menyerang Khilafah. Sebab hal itu dengan sendirinya akan
menyentuh perasaan keislaman seluruh bangsa. Karena itu, dia tidak (belum)
menghapus Khilafah dan tidak menentangnya. Hanya saja dia mengusulkan adanya
aturan yang memisahkan antara kekuasaan dan Khilafah, lalu dia menghapus
kesultanan dan mencabut Wahiduddin dari kekuasaan (bukan lembaga Khilafah).
Apa yang
didengar anggota dewan mengenai usulan ini membuat mereka diam memberengut.
Mereka mulai menyadari bahaya usulan ini yang dibebankan oleh Mushthafa Kamal
kepada mereka agar menetapkannya. Mereka bermaksud mendiskusikan dan menyanggah
usulan.
Namun,
Mushthafa Kamal takut akan akibat diskusi ini. Maka, dia mendesak dewan agar
mengambil ide yang diusulkannya. Untuk menggolkan usulannya, Mushthafa Kamal
memperkuatnya dengan 80 anggota dewan dari para pendukung setianya. Akan
tetapi, majelis tetap menolaknya dan menyerahkan atau memandatkan usulan itu
kepada Komite Perundang-undangan agar membahasnya.
Ketika
Komite mengadakan rapat di hari berikutnya, Mushthafa Kamal juga menghadiri
majelis yang menjadi tempat berkumpul anggota Komite. Dia duduk sambil
mengawasi aksi-aksi para anggota Komite. Akhirnya, perdebatan tentang usulan
Mushthafa Kamal tidak bisa dihindari, bahkan terus berlangsung hingga beberapa
waktu.
Sejumlah
anggota majelis dari kalangan para ulama dan pembela kebenaran menentang usulan
ini. Mereka memberi argumen-argumen kuat dengan didasarkan pada nash-nash
syar'i. Menurut mereka, usulan Mushthafa Kamal bertentangan dengan syara'
karena di dalam Islam tidak ditemukan kekuasaan agama, kekuasaan lainnya, dan
kekuasaan dunia.
Kesultanan
dan Khilafah adalah sesuatu yang satu. Di sana tidak ditemukan sesuatu yang
dinamakan agama dan lainnya dinamakan Khilafah. Bahkan, dalam sistem ini, ada
sistem Islam dan Khilafah dikatagorikan bagian dari sistem ini. Khilafahlah
yang menjalankan sistem ini.
Karena
itu, Komite Perundang-undangan tidak menemukan alasan apapun yang membenarkan
pemisahan ini, bahkan tidak menemukan kebenaran bahasan. Nash-nash Islam sangat
jelas menerangkan persoalan ini. Karena itu, Komite menolak usulan ini.
Akan
tetapi, Mushthafa Kamal berpikiran lain. Dia sudah bertekad akan memisahkan
agama dari negara (Khilafah Islam). Caranya dengan memisahkan kesultanan dari
Khilafah. Ini merupakan langkah awalnya untuk menghapus Khilafah, di samping
sebagai pelaksana peran yang telah disiapkan oleh Inggris untuk menghabisi
Khilafah dan sebagai bentuk pemenuhan tuntutan Sekutu kepadanya hingga mereka
berhasil mengakhiri riwayat Khilafah Islam melalui tangan rakyatnya sendiri.
Melihat
perdebatan-perdebatan Komite dan arah pembicaraannya yang menggores
syaraf-syarafnya, maka Mushthafa Kamal spontan meloncat berdiri. Dia kemudian
melangkah ke depan lalu mengambil tempat. Dia duduk dalam keadaan sangat marah,
lalu memutus perdebatan Komite dengan berteriak keras: "Hai Tuan-tuan!
Kesultanan 'Utsmani telah merampas kepemimpinan bangsa dan kekuatan yang
diyakini bangsa yang hendak menuntut kembali dari sultan. Kesultanan
merampasnya dengan kekuatan. Kesultanan harus dipisahkan dari Khilafah dan
dibatalkan! Baik kalian setuju atau tidak, hal itu pasti akan terjadi! Setiap
persoalan yang terdapat dalam urusan ini pasti akan menjatuhkan sebagian kepala
kalian dalam lipatan itu." Dia berkata dengan bahasa seorang diktator.
Dia
memecah perkumpulan Komite, kemudian seketika itu Komite Kebangsaan dipanggil
agar membahas usulannya.
Ditilik
dari arah diskusinya, tampak jelas bagi Mushthafa Kamal bahwa arah opini Komite
yang menonjol condong pada pembatalan usulannya.
Tanda-tanda
ini mendorong para pendukungnya berkumpul di seputarnya dan meminta dewan
memberikan pendapat tentang usulan Mushthafa Kamal dengan cara mengangkat
tangan. Akan tetapi, anggota dewan tidak setuju dan memprotes cara ini seraya
berkata, "Jika harus memberi pendapat, maka harus diserukan dengan
nama." Namun, Mushthafa Kamal menolaknya.
Dengan
suara mengancam, dia berteriak keras, "Aku setuju dengan majelis yang
menerima usulan dengan kesepakatan pendapat. Pengambilan suara cukup dengan
mengangkat tangan." Usulan pun dilontarkan untuk meminta suara dan tidak
ada yang mengangkat kecuali sedikit tangan.
Akan
tetapi, anehnya, hasil akhir tetap memutuskan bahwa majelis telah mengesahkan
usulan Mushthafa Kamal dengan suara bulat. Anggota dewan bingung. Mereka tidak
bisa menerima dagelan ini. Sebagian mereka meloncat ke atas tempat duduk dengan
berteriak lantang, "Keputusan ini tidak sah dan kami tidak setuju!"
Para
pendukung al-Ghaziy (Mushthafa Kamal) ganti berteriak mendiamkan mereka. Maka
suasana sidang menjadi kacau. Mereka saling mengecam dan menuduh. Sementara
pemimpin dewan mengumumkan sekali lagi "hasil akhir sidang" dengan
menyatakan bahwa Komite Kebangsaan Besar Turki (al-Jam'iyyatu al-Wathaniyyah
al-Kubraa) memutuskan dengan "suara bulat" bahwa kesultanan dihapus
(dipisahkan dari lembaga Khilafah). Kemudian pecahlah majelis.
Mushthafa
segera meninggalkan ruangan yang diiringi para pengikutnya. Ketika Khalifah
Wahiduddin mengetahui hal itu, dia lari dengan ketakutan. Pengaruh
"keputusan dewan" yang diumumkan membuatnya lari.
Dan,
kekosongan Kekhilafahan ini harus segera diisi. Maka, saudaranya, Abdul Majid
dipanggil dan didaulat menjadi Khalifah kaum muslimin yang kosong dari semua
kekuasaan [karena keputusan dewan]. Dengan sebab itu, dia menjadi Khalifah
tanpa kekuasaan. Khilafah menjadi terus-menerus tanpa penguasa yang syar'i….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar