ABDUL
MALIK AL MU’TASHIM BILLAH
SEPENINGGAL Abdullah Al-Ghalib Billah,
pemerintahan Sa'diyyin dipimpin anaknya yang bernama Al-Mutawakkil 'Alallah
yang memendam niatan jahat kepada kedua pamannya, Abdul Malik bin Marwan dan
Ahmad Al-Manshur. Melihat gelagat membahayakan, kedua paman itu segera keluar
dari Maghrib menuju Sultan Utsmani meminta bantuan. (AI-Hurub AI-Shalibiyyah
fil Masyriq AI-'Arabi, Muhammad Al-‘Amrusi, hlm. 265.)
Tidak diragukan, bahwa kemenangan pasukan
Utsmani di Tunisia melawan Spanyol dan stabilnya keadaan di sana, telah
mendorong pemerintahan Utsmani memberikan bantuan kepada Abdul Malik untuk
menduduki singgasana Maghrib dengan tujuan untuk meluaskan pengaruhnya di
wilayah itu. Dengan menguasai Maghrib, akan memberikan jaminan keamanan di
wilayah perbatasan sebelah Barat pemerintahan Utsmani dan sekaligus mengokohkan
pondasi kekuasaan mereka di Afrika Utara. Dan yang lebih penting, bahwa dengan
dikuasainya Maghrib akan menimbulkan ketakutan di dalam hati pasukan Spanyol
dan Portugis, sekaligus akan menimbulkan rasa simpati rakyat di tempat itu
kepada Sultan Utsmani di Istanbul. (Juhud AI-Utsmaniyyin, hlm. 368)
Al-Mutawakkil mengikuti langkah kebijakan
ayahnya, dengan tetap menjalin kolaborasi dengan negara-negara Nasrani dan
lebih memilih berdamai, dengan harapan koalisi yang terbentuk mampu membendung
laju pemerintahan Utsmani. Dalam benaknya, pemerintahan Utsmani akan lebih
membantu menyelamatkan kedua pamannya dengan menggunakan kekuatan militer. Maka
dia pun menandatangani kesepakatan dengan Inggris yang memang menginginkan
menjalin hubungan dagang dengan Maghrib. Banyak keuntungan yang bisa diambil
Inggris dari bisnis ini. Selain itu, pemerintah Inggris tahu tentang posisi
strategis Maghrib. Apalagi saat itu Inggris sedang terlibat perang dengan
Spanyol. (Bidayah AI-Hukm AI-Maghribi fi Sudan, hlm.94.)
Penandatanganan kesepakatan antara
Al-Mutawakkil dengan Inggris, dianggap satu-satunya pekerjaan yang mampu dilakukan
Al-Mutawakkii dalam masa pemerintahannya yang sangat pendek. Al-Mutawakkil
melakukannya, didorong atas asumsi bahwa Inggris adalah pedagang asing yang
memperdagangkan alat-alat perang dan senjata untuk negeri Maghrib sejak lama.
Memang kebutuhan Al-Mutawakkil terhadap senjata sangat mendesak, terutama bila
ditinjau dari tujuan dia untuk membendung ancaman pemerintahan Utsmani dan
untuk melawan pamannya yang merongrong kursi kepemimpinan.
Pemerintah Utsmani melihat adanya peluang
akibat terkurasnya perhatian dan energi Raja Spanyol Philip II, disebabkan
berbagai peristiwa pemberontakan di dataran-dataran rendah. Kerepotan itu dia
anggap sebagai waktu yang sangat tepat untuk memasuki wilayah Maghrib. (Al-Maghrib
fi 'Ahdi AI-Daulah Al-Sa’diyyah, Abdul Karim Karim, hlm. 97 dan 99.) Maka
pemerintah Utsmani memberi bantuan pasukan kepada Maula Abdul Malik sebanyak
5.000 tentara, yang dilengkapi persenjataan paling baik. Maula Abdul Malik
memasuki Fas setelah ia mencapai kemenangan gemilang atas keponakannya
Al-Mutawakkil. Kemudian bala tentara bantuan kembali lagi ke Aljazair. (Bidayat
AI-Hukm AI-Maghribi fi Sudan, hlm.94.)
Sukses mengalahkan AI-Mutawakkil dengan
bantuan pemerintahan Utsmani, membuat Abdul Malik segera melakukan
perbaikan-perbaikan internal di negerinya, antara lain:
1. Memerintahkan untuk merenovasi kapal-kapal
dan membuat perahu-perahu baru. Dengan perintah itu kehidupan industri menjadi
bergairah kembali.
2. Dia sangat menaruh perhatian terhadap
perdagangan melalui jalur laut. Harta rampasan yang dia peroleh dari
perang-perang di pesisir Maghrib merupakan penyebab utama majunya perekonimian
negerinya.
3. Dia membentuk pasukan terlatih dan maju
yang dia adopsi dari pengalaman pasukan Utsmani. Dia meniru senjata dan bentuk
struktur tentara Utsmani.
4. Dia mampu membangun hubungan yang sangat
kuat dengan pemerintahan Utsmani yang dia anggap sebagai sekutu, teman dan
sekaligus saudara yang ikhlas di Maghrib.
5. Dia menjadi orang terpandang dan terhormat
di zamannya, hingga di kalangan orang-orang Eropa. Mereka demikian menghormati
dan mengagungkannya. Seorang penyair asal Perancis Acbariba Dubin yang hidup di
masa itu mengatakan: “Abdul Malik adalah sosok yang memiliki wajah begitu
rupawan, bahkan dia adalah yang paling rupawan di tengah kaumnya. Pemikirannya
demikian jernih dan brilian. Dia sangat mengerti bahasa Spanyol, Italia,
Armenia dan Rusia. Dia adalah seorang penyair yang fasih berbahasa Arab.
Singkatnya, sesungguhnya pengetahuannya, andaikata dia adalah salah seorang
pangeran di antara pangeran-pangeran kami, maka apa yang dia miliki lebih dari
batas normal untuk seorang yang terpandang; dan dia hanya cocok untuk seorang
raja.” (Waadi Al-Makhazin, hlm.37.)
6. Dia berupaya untuk menguatkan semua
aparatur negara dan sarana-sarananya. Dia berhasil membentuk satu tim penasehat
negara yang merupakan tim yang memberitahukan tentang masalah dalam negerinya,
serta kondisi penduduk secara umum. Dengan tim itu dia mengetahui politik
dunia, khususnya negeri-negeri yang memiliki hubungan politik dengan Maghrib.
Saudaranya yang bernama Abu Al-Abbas Ahmad Al-Manshur Billah yang digelari
Adz-Dzahabi di dalam buku-buku sejarah merupakan tangan kanannya yang mengatur
masalah negara. (Waadi Al-Makhazin, hlm. 39-40.)
Aliansi
Muhammad AI-Mutawakkil dengan Raja Portugis
Setelah kekalahan atas pamannya Abdul Malik,
Muhammad Al-Mutawakkil melakukan kontak dengan Raja Portugis, Sebastian.
Keduanya bersepakat melengserkan pamannya dari kursi pemerintahan di Maghrib.
Sebagai imbalan, Portugis boleh menguasai seluruh pesisir Maghrib. Dengan
senang hati, Sebastian menerima tawaran Muhammad Al-Mutawakkil itu. (Tarikh
Al-Maghrib, Muhammad bin Abud, 2/19.) Al-Mutawakkil kemudian pindah di Sabtah
dan berdiam di sana selama empat bulan. Dari sana dia berangkat ke Thanjah,
sambil menunggu Sebastian yang akan datang membawa pasukan.
Di tengah-tengah persiapan negara Nasrani dan
Portugis untuk menaklukkan Maghrib, pemerintahan Utsmani juga mengirimkan
pasukan pelatih dan bermacam-macam senjata dengan disertai pasukan militer. (Bidayat
AI-Hukm AI-Maghribi fi Sudan, hlm. 94.) Di sanalah terlihat jelas, spirit Islam
yang bergelora dalam dada pasukan Utsmani untuk membela agama. Sebab peperangan
yang terjadi sebenarnya, adalah peperangan umat Islam secara keseluruhan,
khususnya pemerintahan Utsmani, untuk melindungi kaum muslimin dan Tanah Air
mereka. Suatu pembelaan yang tidak didasarkan atas kepentingan-kepentingan
materi. (Juhud AI-Utsmaniyyin, hlm. 471.)
Perang
Wadil Makhazin
Sesungguhnya prestasi besar yang dicapai
pemerintahan Sa'di di masa pemerintahan Abdul Malik adalah, kemenangan gemilang
atas kaum Nasrani Portugis dalam perang Tiga Raja. Dalam sejarah sering disebut
dengan "Perang Istana Besar” atau perang Wadil Makhazin yang terjadi pada
tanggal 30 Jumadil Akhirah 986 H/4 Agustus 1578 M.
Sebab-sebab terjadinya perang tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Portugis ingin menghapus rasa malu atas
kekalahan yang diderita saat mendapatkan serangan dari pasukan Maghrib yang
membuat mereka terpaksa harus menarik diri dari Asifa, Azmur dan Ashila pada
masa pemerintahan Johannes III (1521-1557 M).
2. Raja Portugis yang baru, Sebastian putra
Johannes III ingin melakukan perang suci melawan kaum muslimin hingga namanya
menjadi terangkat di antara raja-raja Eropa. Ambisinya yang salah sasaran ini
semakin menjadi-jadi, tatkala Portugis berhasil menemukan peta-peta dunia baru.
Dengan penemuan ini, dia semakin agresif untuk menggempur dunia Islam. Ambisi
menggebu demikian, hanya didorong kebencian kepada Islam dan kaum muslimin
secara umum, dan orang-orang Maghrib secara khusus. Dalam otak sang raja saat
itu berkumpul dua hal: Kebencian Salibis dan paradigma kolonialis yang melihat
bahwa tangannya bebas untuk menjarah kekayaan negeri muslim manapun yang tidak
mampu melindungi dirinya dari serangan luar. Dan pada sisi lain, dia berencana
untuk melakukan pendudukan di wilayah Maghrib. (Waadi AI-Makhazin, hlm. 45-46.)
Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof.
Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar