Allah
Swt. telah menjadikan kita umat yang paling kaya, karena Islam telah cukup dan
tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah menentukan metode
pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk menyelesaikan seluruh
problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang muslim
kecuali berijtihad, menggali nash-nash syara’ yang telah diturunkan. Bukan
mencari selainnya untuk mengetahui hukum-hukum Allah Swt. Kaidah berpikir
seorang muslim -yang mengharuskan kehidupannya terikat dengan dalil-dalil
syara’- itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad
ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan alasan apapun tidak boleh
menggantikannya. Dari sinilah bertolaknya asas kebangkitan kita secara
sempurna, sebagaimana telah bertolak sebelumnya.
Kaidah-kaidah
dan pemikiran-pemikiran yang terikat dengan dalil-dalil syara’ yang wajib
menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara pandang mereka
dipaparkan agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya, ‘Di mana ada hukum
syara’ di situ ada maslahat, dan bukan sebaliknya’, ‘Hukum asal perbuatan
adalah terikat dengan hukum syara’, ‘Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah
mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya’, ‘Terpuji (hasan) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik
oleh syara, dan tercela (qabih) itu
adalah apa-apa yang dikatakan buruk oleh syara’, ‘Kebaikan (khair) itu adalah apa-apa yang diridhai Allah,
dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa
yang dibenci Allah’, ‘Tidak ada hukum sebelum datangnya syariat’, ‘Barangsiapa
yang berpaling dari hukum Allah maka baginya kehidupan yang sempit’,
‘Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu tidak seperti umat yang lain’,
‘Sesungguhnya Islam tidak mengakui ashobiyah
wathaniyah (nasionalisme), qaumiyah (kebangsaan), isytirâkiyyah (sosialis) dan demokrasi’, ‘Islam adalah gaya
hidup yang istimewa, yang berbeda dengan gaya hidup lainnya secara diametral.’
Jika
sebagian nash-nash syara’ diperhatikan dengan seksama maka akan menunjukkan
dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang telah dipegang
oleh generasi salafush shâlih. Kita
tidak boleh keluar dari keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang baru (bid’ah), karena berlaku bid’ah di dalam agama adalah pebuatan yang
tercela.
Rasulullah
Saw. bersabda:
“Sungguh
aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang jika kalian berpegang
teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, sesuatu yang telah
jelas, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” (Sirah Ibnu Hisyam)
Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua.
Rasulullah
Saw. bersabda:
“Dan
umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada
di Neraka, kecuali satu. Dan mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapa orang-orang
yang termasuk golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab:
‘(Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku sekarang ini’.” (HR.
Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)
Rasulullah
Saw. bersabda:
“Telah
aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak akan
menyimpang daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat.” (HR. Ibnu
Majah dan Ibnu Hanbal)
Sabda
Rasulullah Saw.:
“Sebaik-baik
manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang sesudah mereka,
kemudian orang-orang sesudah mereka....” (HR. Muslim)
Sabda
Rasulullah Saw.:
“Barangsiapa
di antara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang
banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru.
Sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di
Neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafâ ar-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah
kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits-hadits
tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (terpuji)
dan peringatan agar menjauhi perkara bid’ah.
Semakin jauh suatu zaman dengan masa Rasulullah Saw. maka kita dituntut agar
memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih konsisten dan lebih banyak lagi
proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang lebih besar.
Apabila
yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Saw. dan
sunnah khulafâ ar-râsyidîn yang mendapat
petunjuk dan harus melaksanakan apapun yang Rasulullah saw dan para sahabat
kerjakan, maka kita tidak boleh membuat-buat bid’ah
di dalam agama dan tidak keluar lalu terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak.
-
Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa kita
sehingga tidak ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya.
-
Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci.
-
Kita harus menjaga metode istidlal (pengambilan
dalil) yang akurat, yang bisa mencegah infiltrasi hawa nafsu dan pendapat
manusia ke dalam hukum-hukum syara’.
-
Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam kehidupan
kita; lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita; lebih
penting dari segala perkara yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat
Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak melalaikan
perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga keadaan kita menjadi seperti
keadaan salafush shâlih.
-
Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya dari
jiwa dan akal kita karena bisa merusak akidah, serta membuang jauh-jauh segala
keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para sahabat ra. yang telah melucuti
seluruh kotoran jahiliyyah di depan tangga Islam, lalu mereka memasukinya
dengan penuh kesucian dan ketakwaan.
Semua
ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena umat di masa
akhir ini tidak akan baik kecuali dengan menggunakan perkara yang menjadikan
umat di masa awal baik. Ini merupakan suatu keharusan di mana kaum Muslim harus
memilikinya pada setiap fase kehidupan mereka. Dekat ataupun jauhnya mereka
dari perkara tersebut amat menentukan kuat atau lemahnya kondisi mereka.
Konsep
kompromistis Tadarruj (bertahap) juga berarti menerapkan sedikit hukum syara
dengan ikut melestarikan penerapan hukum selain syara’ untuk sementara waktu,
hingga menurut asumsinya akan tiba saatnya penerapan hukum syara’ secara
sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar