Di Mana I'tikaf Dilaksanakan?
Banyak sekali hadits
yang menyebutkan masalah ini, yang tidak perlu kami cantumkan semuanya di sini.
Kami cukup meneliti beberapa hadits saja: 1. Allah Swt. berfirman:
1. “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 187)
2. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Nabi Saw. menjulurkan
kepalanya kepadaku ketika beliau Saw. sedang beri'tikaf dalam masjid. Kemudian
aku menyisirnya, padahal aku sedang haid.” (HR. Bukhari [2028], Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan Ahmad dengan lafadz yang berbeda-beda)
3. Dari Ali bin al-Husain, bahwa Shafiyah ra.,
isteri Nabi Saw. memberitahunya:
“Bahwa dia telah
datang kepada Rasulullah Saw. untuk mengunjunginya ketika beliau Saw. sedang
beri'tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lalu dia
berbicara dengannya beberapa saat, kemudian berdiri dan berbalik hendak pulang,
lalu Nabi Saw. berdiri melepas kepulangannya...” (HR. Bukhari [2035], Muslim,
Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
4. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
beri’tikaf di masjid, lalu beliau Saw. mendengar mereka mengeraskan bacaan.
Setelah itu beliau Saw. menyingkap tirai dan berkata: “Ketahuilah, setiap dari
kalian sedang bermunajat dengan Tuhannya, maka janganlah kalian saling
mengganggu satu sama lain, dan janganlah kalian saling mengeraskan bacaan satu
sama lain.” Atau beliau berkata: “Dalam shalat.” (HR. Abu Dawud [1332], Ahmad,
Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan dishahihkan
oleh an-Nawawi)
5. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Kami beri'tikaf
bersama Rasulullah Saw. pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan. Dia
berkata: kemudian kami keluar pada pagi hari kedua puluh. Dia berkata: lalu
Rasulullah Saw. berkhutbah pada pagi hari kedua puluh. Beliau Saw. bersabda:
“Sesungguhnya aku bermimpi melihat lailatul
qadar, tetapi sungguh aku dilupakannya, maka carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir pada
malam-malam ganjil. Sesungguhnya aku bermimpi melihat diriku bersujud di atas
air dan tanah, dan barangsiapa yang telah beri'tikaf bersama Rasulullah Saw.
maka hendaklah dia kembali.” Lalu orang-orang kembali ke masjid, dan kami tidak
melihat ada awan di atas langit. Dia berkata: lalu muncullah awan, kemudian
turun hujan. Iqamat shalat pun dikumandangkan, dan Rasulullah Saw. bersujud di
atas tanah dan air, hingga aku melihat tanah itu membekas di pucuk hidung dan
dahinya.” (HR. Imam Bukhari [2036], Muslim, Ahmad, Malik, Ibnu Hibban dan
al-Baihaqi)
Beberapa atsar
menyebutkan sebagai berikut:
1. Dari Hudzaifah ra.,
ia berkata:
“Sesungguhnya i'tikaf
itu di tiga masjid ini: (yaitu) Masjidil haram, Masjid Madinah, dan Masjidil
Aqsha.” (Riwayat Abdurrazaq [8014], Thabrani, al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan
Said bin Manshur)
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang shahih.
2. Dari Muhammad bin
Syihab az-Zuhri, ia berkata:
“Tidak ada i'tikaf
kecuali di masjid jami' (tempat shalat Jumat).” (Riwayat Abdurrazaq [8017] dan
Ibnu Abi Syaibah)
3. Dari Atha bin Abi
Rabah, dia berkata:
“Seseorang tidak boleh
beri'tikaf kecuali di masjid Makkah dan masjid Madinah.” (Riwayat Abdurrazaq
[8020])
4. Dari Said bin
al-Musayyab, ia berkata:
“Barangsiapa yang
bernadzar i'tikaf di Masjid Iliya, maka beri’tikaflah di masjid Nabi Saw. di
Madinah, (niscaya itu) telah mencukupinya. Dan barangsiapa yang bernadzar
beri'tikaf di masjid Nabi Saw. di Madinah, maka beri’tikaflah di Masjidil
Haram, (niscaya itu) telah mencukupinya.” (Riwayat Abdurrazaq [8025])
Ibnu Hajar berkata:
Para ulama bersepakat disyaratkannya masjid sebagai tempat i'tikaf, kecuali
Muhammad bin Lubabah al-Maliki yang membolehkan i'tikaf di semua tempat, dan
ulama Hanafiyah yang membolehkan perempuan beri'tikaf di masjid rumahnya, yakni
satu tempat dalam rumah yang disediakan untuk shalat. Pendapat ini adalah qaul qadim as-Syafi'i. Di sisi lain, sahabat
as-Syafi'i dan Malik membolehkan masjid rumah itu untuk digunakan sebagai
tempat i'tikaf, karena ibadah sunah itu lebih utama dilakukan di rumah.
Abu Hanifah dan Ahmad
berpendapat bahwa i'tikaf itu dikhususkan di masjid-masjid tempat iqamat shalat
dikumandangkan.
Abu Yusuf
mengkhususkan untuk i'tikaf wajib saja. Adapun i'tikaf sunah maka tidak apa-apa
dilaksanakan di setiap masjid.
Jumhur ulama
berpendapat dengan keumumannya, yakni semua masjid, kecuali orang yang
diwajibkan mengikuti Jumat. Bagi orang seperti ini, as-Syafi'i menganjurkannya
untuk i'tikaf di masjid jami', bahkan Malik telah mensyaratkannya, karena
menurut keduanya i'tikaf itu akan terputus dengan shalat Jumat, sehingga
menurut Malik -dan khususnya beberapa ulama salaf seperti az-Zuhri- i'tikaf itu
harus dilaksanakan di masjid jami' secara mutlak. Pendapat seperti ini
diisyaratkan oleh as-Syafi'i dalam qaul qadimnya.
Hudzaifah bin al-Yaman telah mengkhususkan masjid itu dengan tiga masjid. Atha
mengkhususkannya dengan masjid Makkah dan Madinah. Sedangkan Ibnu al-Musayyab
mengkhususkannya dengan masjid Madinah.
Dengan melihat
beberapa pernyataan ulama -sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari- kita mendapati bahwa mereka
seperti biasa hampir tidak pernah bersepakat dalam suatu hukum. Mereka
memasukkan pencabangan dan berbagai istinbath tanpa benar-benar memperhatikan
kejelasan nash-nash yang ada dan apa yang ditunjukinya, hingga beredar di tengah-tengah
manusia pandangan:
“Perbedaan di antara
umatku adalah rahmat.”
Kalimat ini dianggap
sebagai hadits, padahal sama sekali bukan, karena tidak ada dasarnya sama
sekali. Dan pernyataan:
“Bahwa perbedaan
sahabatku adalah rahmat bagi kalian.”
Dipandang sebagai
hadits, padahal bukan hadits shahih.
Ucapan ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Thabrani, ad-Dailami dan selainnya
dari jalur Ibnu Abbas dengan sanad munqathi’
(terputus), sehingga tidak boleh dipakai.
Sebenarnya apa yang
membingungkan mereka? Padahal nash-nash banyak berserakan di hadapan mereka,
yang notabene menjadi solusi permasalahan yang mereka hadapi. Kita sudah
terlalu banyak melihat perbedaan yang ada di tengah-tengah kaum Muslim, hingga
perbedaan itu nampak seolah-olah legislasi hukum yang beragam. Semoga Allah
Swt. mengampuni kita semua.
Nash-nash yang berasal dari
al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah tidak menyebutkan kata kecuali al-masajid
(masjid dalam bentuk plural) atau al-masjid (masjid dalam bentuk
tunggal), tanpa ada penjelasan apakah masjid jami' atau bukan, atau apakah
masjid-masjid itu adalah masjid yang tiga ataukah selainnya, atau apakah
masjid-masjid itu menjadi tempat dilaksanakannya shalat Jum’at atau tidak, atau
apakah i’tikaf yang dilakukannya itu bersifat wajib -seperti nadzar- ataukah
nafilah, begitu seterusnya, hingga nampak jelas bahwa banyak pencabangan dan
perincian yang muncul dan kita temukan dalam kitab-kitab fikih itu tidak
memiliki sandaran syariatnya.
Sebenarnya i'tikaf itu
tidak dilaksanakan kecuali di masjid, yakni di satu tempat yang dikhususkan
oleh kaum Muslim untuk shalat. Tidak ada perbedaan antara masjid yang tiga
dengan selainnya, atau antara masjid jami' dengan selainnya. Sesuatu yang layak
disemati dengan istilah masjid, maka dibolehkan i'tikaf di dalamnya. Adapun
pernyataan bahwa masjid itu harus tempat dilaksanakannya shalat Jumat, jika
tidak maka i'tikafnya akan terputus, karena sang mu'takif keluar menuju masjid
jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at di sana, maka bantahannya -dengan izin
Allah Swt.- bisa kita temukan dalam pembahasan apa yang boleh dilakukan oleh
sang mu'takif.
Mengenai pernyataan
bahwa i'tikaf itu sah dilakukan di semua tempat adalah pernyataan tak berdalil,
bahkan dalil-dalil yang ada telah membantahnya, sehingga pendapat seperti itu
tidak ada nilainya sama sekali.
Kadangkala dikatakan
bahwa penyebutan kata al-masajid dalam nash-nash itu tidak berfungsi sebagai
syarat, semata-mata menjadi berita tentang apa yang terjadi. Dan sesuatu yang
disampaikan sebagai berita tidak bisa dipandang sebagai syarat? Maka kami menjawabnya
sebagai berikut: sesungguhnya ayat ini telah ditutup dengan pernyataan:
“Itulah larangan
Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
Di mana kalimat
tersebut menafikan kemungkinan hukum-hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut
sekedar khabar (berita) yang tidak perlu
ditaati, di mana pernyataan ayat :
“(Tetapi) janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”
Masuk ke dalam
pernyataan selanjutnya:
“Itulah larangan
Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.”
Sehingga tidak boleh
memasukkan pemahaman ke dalam pernyataan terakhir itu, seandainya jima' tersebut –misalnya- dilakukan di selain masjid,
atau perbuatan-perbuatan di masjid itu tidak
sampai pada batasan bersetubuh.
Al-Baihaqi [4/321],
Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu
Abbas ra. tentang firman-Nya:
“(Tetapi) janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”
Ibnu Abbas berkata: al-mubasyarah, al-mulamasah dan al-massu,
semuanya bermakna jima’ (bersetubuh), tetapi Allah Swt. menyebut sesuatu yang
dikehendaki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya. Ibnu al-Mundzir menukil adanya
kesepakatan bahwa al-mubasyarah yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah jima', sehingga penyebutan al-mubasyarah dan penyebutan al-masajid adalah
dua perkara yang harus menyatu tak terpisahkan, sehingga menafikan hal itu
sebagai khabar saja.
Kemudian perhatikan
hadits kelima:
“Dan barangsiapa yang
telah beri'tikaf bersama Rasulullah Saw. maka hendaklah dia kembali. Lalu
orang-orang kembali ke masjid.”
Isi hadits ini
merupakan perintah Nabi Saw. untuk kembali ke masjid bagi orang yang telah
beri'tikaf sebelumnya. Seandainya masjid itu tidak menjadi tempat i’tikaf,
tentu perintah Nabi Saw. seperti ini tidak akan muncul keluar.
Adapun beberapa atsar
yang diriwayatkan berasal dari sahabat dan tabi'in, maka semua itu tidak lebih
sekedar pendapat dan ijtihad mereka saja.
Sedangkan pendapat
Ibnu al-Musayyab pada poin 4, dalam banyak hal tidak bertentangan dengan
pendapat yang kita pegang tentang wajibnya masjid sebagai tempat i'tikaf. Atsar
Ibnu al-Musayyab ini tiada lain menjelaskan keutamaan masjid-masjid itu antara
satu dibandingkan dengan lainnya.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar