Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 18 Mei 2018

Dalil I’tikaf Harus Di Masjid



Di Mana I'tikaf Dilaksanakan?

Banyak sekali hadits yang menyebutkan masalah ini, yang tidak perlu kami cantumkan semuanya di sini. Kami cukup meneliti beberapa hadits saja: 1. Allah Swt. berfirman:

1. “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 187)

2. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. menjulurkan kepalanya kepadaku ketika beliau Saw. sedang beri'tikaf dalam masjid. Kemudian aku menyisirnya, padahal aku sedang haid.” (HR. Bukhari [2028], Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan lafadz yang berbeda-beda)

3. Dari Ali bin al-Husain, bahwa Shafiyah ra., isteri Nabi Saw. memberitahunya:

“Bahwa dia telah datang kepada Rasulullah Saw. untuk mengunjunginya ketika beliau Saw. sedang beri'tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lalu dia berbicara dengannya beberapa saat, kemudian berdiri dan berbalik hendak pulang, lalu Nabi Saw. berdiri melepas kepulangannya...” (HR. Bukhari [2035], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

4. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. beri’tikaf di masjid, lalu beliau Saw. mendengar mereka mengeraskan bacaan. Setelah itu beliau Saw. menyingkap tirai dan berkata: “Ketahuilah, setiap dari kalian sedang bermunajat dengan Tuhannya, maka janganlah kalian saling mengganggu satu sama lain, dan janganlah kalian saling mengeraskan bacaan satu sama lain.” Atau beliau berkata: “Dalam shalat.” (HR. Abu Dawud [1332], Ahmad, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan dishahihkan oleh an-Nawawi)

5. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Kami beri'tikaf bersama Rasulullah Saw. pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan. Dia berkata: kemudian kami keluar pada pagi hari kedua puluh. Dia berkata: lalu Rasulullah Saw. berkhutbah pada pagi hari kedua puluh. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya aku bermimpi melihat lailatul qadar, tetapi sungguh aku dilupakannya, maka carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir pada malam-malam ganjil. Sesungguhnya aku bermimpi melihat diriku bersujud di atas air dan tanah, dan barangsiapa yang telah beri'tikaf bersama Rasulullah Saw. maka hendaklah dia kembali.” Lalu orang-orang kembali ke masjid, dan kami tidak melihat ada awan di atas langit. Dia berkata: lalu muncullah awan, kemudian turun hujan. Iqamat shalat pun dikumandangkan, dan Rasulullah Saw. bersujud di atas tanah dan air, hingga aku melihat tanah itu membekas di pucuk hidung dan dahinya.” (HR. Imam Bukhari [2036], Muslim, Ahmad, Malik, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Beberapa atsar menyebutkan sebagai berikut:

1. Dari Hudzaifah ra., ia berkata:

“Sesungguhnya i'tikaf itu di tiga masjid ini: (yaitu) Masjidil haram, Masjid Madinah, dan Masjidil Aqsha.” (Riwayat Abdurrazaq [8014], Thabrani, al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Manshur)

Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang shahih.

2. Dari Muhammad bin Syihab az-Zuhri, ia berkata:

“Tidak ada i'tikaf kecuali di masjid jami' (tempat shalat Jumat).” (Riwayat Abdurrazaq [8017] dan Ibnu Abi Syaibah)

3. Dari Atha bin Abi Rabah, dia berkata:

“Seseorang tidak boleh beri'tikaf kecuali di masjid Makkah dan masjid Madinah.” (Riwayat Abdurrazaq [8020])

4. Dari Said bin al-Musayyab, ia berkata:

“Barangsiapa yang bernadzar i'tikaf di Masjid Iliya, maka beri’tikaflah di masjid Nabi Saw. di Madinah, (niscaya itu) telah mencukupinya. Dan barangsiapa yang bernadzar beri'tikaf di masjid Nabi Saw. di Madinah, maka beri’tikaflah di Masjidil Haram, (niscaya itu) telah mencukupinya.” (Riwayat Abdurrazaq [8025])

Ibnu Hajar berkata: Para ulama bersepakat disyaratkannya masjid sebagai tempat i'tikaf, kecuali Muhammad bin Lubabah al-Maliki yang membolehkan i'tikaf di semua tempat, dan ulama Hanafiyah yang membolehkan perempuan beri'tikaf di masjid rumahnya, yakni satu tempat dalam rumah yang disediakan untuk shalat. Pendapat ini adalah qaul qadim as-Syafi'i. Di sisi lain, sahabat as-Syafi'i dan Malik membolehkan masjid rumah itu untuk digunakan sebagai tempat i'tikaf, karena ibadah sunah itu lebih utama dilakukan di rumah.
Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa i'tikaf itu dikhususkan di masjid-masjid tempat iqamat shalat dikumandangkan.
Abu Yusuf mengkhususkan untuk i'tikaf wajib saja. Adapun i'tikaf sunah maka tidak apa-apa dilaksanakan di setiap masjid.
Jumhur ulama berpendapat dengan keumumannya, yakni semua masjid, kecuali orang yang diwajibkan mengikuti Jumat. Bagi orang seperti ini, as-Syafi'i menganjurkannya untuk i'tikaf di masjid jami', bahkan Malik telah mensyaratkannya, karena menurut keduanya i'tikaf itu akan terputus dengan shalat Jumat, sehingga menurut Malik -dan khususnya beberapa ulama salaf seperti az-Zuhri- i'tikaf itu harus dilaksanakan di masjid jami' secara mutlak. Pendapat seperti ini diisyaratkan oleh as-Syafi'i dalam qaul qadimnya. Hudzaifah bin al-Yaman telah mengkhususkan masjid itu dengan tiga masjid. Atha mengkhususkannya dengan masjid Makkah dan Madinah. Sedangkan Ibnu al-Musayyab mengkhususkannya dengan masjid Madinah.

Dengan melihat beberapa pernyataan ulama -sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari- kita mendapati bahwa mereka seperti biasa hampir tidak pernah bersepakat dalam suatu hukum. Mereka memasukkan pencabangan dan berbagai istinbath tanpa benar-benar memperhatikan kejelasan nash-nash yang ada dan apa yang ditunjukinya, hingga beredar di tengah-tengah manusia pandangan:

“Perbedaan di antara umatku adalah rahmat.”

Kalimat ini dianggap sebagai hadits, padahal sama sekali bukan, karena tidak ada dasarnya sama sekali. Dan pernyataan:

“Bahwa perbedaan sahabatku adalah rahmat bagi kalian.”

Dipandang sebagai hadits, padahal bukan hadits shahih. Ucapan ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Thabrani, ad-Dailami dan selainnya dari jalur Ibnu Abbas dengan sanad munqathi’ (terputus), sehingga tidak boleh dipakai.
Sebenarnya apa yang membingungkan mereka? Padahal nash-nash banyak berserakan di hadapan mereka, yang notabene menjadi solusi permasalahan yang mereka hadapi. Kita sudah terlalu banyak melihat perbedaan yang ada di tengah-tengah kaum Muslim, hingga perbedaan itu nampak seolah-olah legislasi hukum yang beragam. Semoga Allah Swt. mengampuni kita semua.

Nash-nash yang berasal dari al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah tidak menyebutkan kata kecuali al-masajid (masjid dalam bentuk plural) atau al-masjid (masjid dalam bentuk tunggal), tanpa ada penjelasan apakah masjid jami' atau bukan, atau apakah masjid-masjid itu adalah masjid yang tiga ataukah selainnya, atau apakah masjid-masjid itu menjadi tempat dilaksanakannya shalat Jum’at atau tidak, atau apakah i’tikaf yang dilakukannya itu bersifat wajib -seperti nadzar- ataukah nafilah, begitu seterusnya, hingga nampak jelas bahwa banyak pencabangan dan perincian yang muncul dan kita temukan dalam kitab-kitab fikih itu tidak memiliki sandaran syariatnya.

Sebenarnya i'tikaf itu tidak dilaksanakan kecuali di masjid, yakni di satu tempat yang dikhususkan oleh kaum Muslim untuk shalat. Tidak ada perbedaan antara masjid yang tiga dengan selainnya, atau antara masjid jami' dengan selainnya. Sesuatu yang layak disemati dengan istilah masjid, maka dibolehkan i'tikaf di dalamnya. Adapun pernyataan bahwa masjid itu harus tempat dilaksanakannya shalat Jumat, jika tidak maka i'tikafnya akan terputus, karena sang mu'takif keluar menuju masjid jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at di sana, maka bantahannya -dengan izin Allah Swt.- bisa kita temukan dalam pembahasan apa yang boleh dilakukan oleh sang mu'takif.
Mengenai pernyataan bahwa i'tikaf itu sah dilakukan di semua tempat adalah pernyataan tak berdalil, bahkan dalil-dalil yang ada telah membantahnya, sehingga pendapat seperti itu tidak ada nilainya sama sekali.

Kadangkala dikatakan bahwa penyebutan kata al-masajid dalam nash-nash itu tidak berfungsi sebagai syarat, semata-mata menjadi berita tentang apa yang terjadi. Dan sesuatu yang disampaikan sebagai berita tidak bisa dipandang sebagai syarat? Maka kami menjawabnya sebagai berikut: sesungguhnya ayat ini telah ditutup dengan pernyataan:

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

Di mana kalimat tersebut menafikan kemungkinan hukum-hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut sekedar khabar (berita) yang tidak perlu ditaati, di mana pernyataan ayat :

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”

Masuk ke dalam pernyataan selanjutnya:

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.”

Sehingga tidak boleh memasukkan pemahaman ke dalam pernyataan terakhir itu, seandainya jima' tersebut –misalnya- dilakukan di selain masjid, atau perbuatan-perbuatan di masjid itu tidak sampai pada batasan bersetubuh.

Al-Baihaqi [4/321], Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. tentang firman-Nya:

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”

Ibnu Abbas berkata: al-mubasyarah, al-mulamasah dan al-massu, semuanya bermakna jima’ (bersetubuh), tetapi Allah Swt. menyebut sesuatu yang dikehendaki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya. Ibnu al-Mundzir menukil adanya kesepakatan bahwa al-mubasyarah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah jima', sehingga penyebutan al-mubasyarah dan penyebutan al-masajid adalah dua perkara yang harus menyatu tak terpisahkan, sehingga menafikan hal itu sebagai khabar saja.

Kemudian perhatikan hadits kelima:

“Dan barangsiapa yang telah beri'tikaf bersama Rasulullah Saw. maka hendaklah dia kembali. Lalu orang-orang kembali ke masjid.”

Isi hadits ini merupakan perintah Nabi Saw. untuk kembali ke masjid bagi orang yang telah beri'tikaf sebelumnya. Seandainya masjid itu tidak menjadi tempat i’tikaf, tentu perintah Nabi Saw. seperti ini tidak akan muncul keluar.

Adapun beberapa atsar yang diriwayatkan berasal dari sahabat dan tabi'in, maka semua itu tidak lebih sekedar pendapat dan ijtihad mereka saja.
Sedangkan pendapat Ibnu al-Musayyab pada poin 4, dalam banyak hal tidak bertentangan dengan pendapat yang kita pegang tentang wajibnya masjid sebagai tempat i'tikaf. Atsar Ibnu al-Musayyab ini tiada lain menjelaskan keutamaan masjid-masjid itu antara satu dibandingkan dengan lainnya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam