Demokrasi dalam Krisis
Bagaimana Sistem Politik Islam Memastikan Good Governance
Demokrasi baik di Amerika dan Inggris sedang dalam interogasi akhir-akhir ini. Jauh dari bentuk antik para MP dan para anggota kongres, dikatakan bergeser ke arah oligarki, dengan peningkatan penekanan menjadi otokrasi. Uang dan kekuatannya atas teknologi semakin membuat pamilihan umum jadi tidak fair. Kompleks militer-industri adalah paling kuat saat ini, telah mengadopsi "ancaman terorisme global" sebagai casus belli-nya (alasan untuk menjustifikasi dimulainya perang). Lobi-lobi dan korupsi mempolusi proses pemerintahan. Singkatnya, demokrasi tidak berada dalam bentuk fit.
Betapa aneh untuk memilih momen ini untuk mengekspornya, apalagi ke negara-negara yang tidak pernah mengalaminya sepanjang sejarah mereka. Barat tidak hanya mengekspor barang itu, ia melakukannya dengan cara kekerasan masif, anak berandalan, antitesis dari bagaimana pemerintahan-diri seharusnya menjadi dewasa dalam memimpin masyarakat di manapun. Pembenaran penyiksaan di Irak dan Afganistan adalah bahwa pemilu-pemilu dengan suatu cara akan bisa menyucikan "perang melawan terorisme" yang dikobarkan di tanah orang lain. Kematian dan kehancuran yang dihasilkan telah mencekam. Tidak pernah bisa suatu tujuan, bagaimanapun mulia, telah sangat gagal untuk menjustifikasi cara-cara pencapaiannya.
Simon Jenkins, Mantan editor the Times menulis dalam koran the Guardian 8 April 2010
Kata Pengantar
Apa yang mulanya adalah eksperimen di Athena lebih dari 2000 tahun yang lalu tiba-tiba melanda tiap benua dan tiap tanah. Demokrasi, Demokrasi, Demokrasi adalah panggilan yang diulang-ulang yang menggema dari 4 sudut globe. Ini adalah peraturan yang telah berlaku dalam dunia kacau dan tidak stabil, di mana setiap kritik terhadap demokrasi dipandang dengan kecurigaan anti-kemapanan. Untuk setiap problem politik, kita diberitahu, terdapat solusi demokratik. Untuk setiap peradaban, untuk setiap negeri atau setiap suku, untuk setiap waktu - berlaku mantra - demokrasi adalah jawaban yang diklaim untuk semua sakit kita. Dalam kata-kata puitis para aktivis RAWA (Revolutionary Association of the Women in Afghanistan - Asosiasi Revolusioner Wanita di Afganistan), demokrasi akan menyembuhkan semua luka dan membawa fajar kebebasan.
Hai, matahari kebebasan, Menyeruak dalam kegelapan, Demokrasi akan menyembuhkan luka-luka, Yang muncul dari tanah bernoda-darah. Hai, negeri bersedih, Lawanlah pelawanmu. Balaslah dendam untuk para martir, Pada musuh demokrasi dan wanita. Kita harus membawanya melalui pengetahuan, Melalui darah dan asap Kita harus membawa fajar kebebasan, pagi Demokrasi. Bendera Meena di pundak-pundak wanita Yang akan menyanyi dia adalah Rakyat kebanggaan kita, bangkit Melawan musuh-musuh demokrasi Dalam balas dendam untuk darah para martir kita tercinta Dan sebagai satu pesan untuk para pejuang kalian.
Namun demikian peristiwa-peristiwa baru-baru ini sesuai dengan pernyataan oleh John Adams, Presiden kedua Amerika Serikat. "Ingat demokrasi tidak akan pernah bertahan lama. Ia akan segera menyiakan, melelahkan, dan membunuh dirinya sendiri. Tidak pernah ada suatu demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri." Pernyataan Adams adalah benar dahulu dan dengan cepat semakin menjadi benar sekarang, terutama di dunia Barat, jantung tanah air persemaian demokrasi. Korupsi, ketidak-kompetenan, utang bertumbuh dan perasaan bahwa politik tidak bisa berfungsi untuk orang biasa sekarang melanda di seluruh jika tidak semua negara-negara besar demokratis.
Terlebih lagi, sejak 9-11, demokrasi telah menyembelih begitu banyak sacred cows - para naif, tercebur ke dalam kerendahan moral yang makin dalam dan semakin menjadi apa yang tadinya, secara teoritis, seharusnya dilawan olehnya: kekuasaan korup, paranoid dan tiranikal.
Tapi sebelum kita masuk ke diskusi detail seputar kepantasan dan ketidakpantasan demokrasi, adalah penting untuk mendefinisikan secara akurat apa yang kita maksud dengan kata demokrasi - karena ia berarti banyak hal untuk banyak orang.
Beberapa pihak menggunakan istilah itu dalam pengertian linguistik : untuk mengkarakterisasi perilaku konsultatif. Seorang bos perusahaan dinilai demokratis jika ia berkonsultasi dengan tim mereka secara reguler, sebagai kebalikan dari mereka yang dianggap diktator ketika mereka membentakkan perintah-perintah dan berharap untuk dituruti. Yang lain-lainnya menunjuk pada bentuk apapun pemilihan umum - dari dewan sekolah hingga jabatan politik tinggi - sebagai demokratis.
Juga, berbagai masyarakat sekular liberal tidak memiliki monopoli atas klaim bahwa demokrasi milik mereka sendiri. Banyak negara-negara komunis selama era Perang Dingin mendeskripsikan diri mereka sendiri sebagai republik demokratik; dan bahkan Irak-nya Saddam Hussein punya pemilihan Presidensial. Tapi bagi mereka yang memiliki karakteristik kunci demokrasi pemilihan umum bebas dan adil tidak akan memberi legitimasi demokratis pada mereka yang dalam negara-negara komunis atau dalam kediktatoran, di mana hanya satu partai yang eksis.
Pihak-pihak lainnya melihat demokrasi sebagai lebih dari sekedar pemilu - bahwa demokrasi harus dikarakterisasi oleh nilai-nilai dan institusi-institusi lain. Bahwa di samping pemilu reguler harus ada nilai-nilai liberal, dewan legislatif yang berfungsi, oposisi yang kuat, media yang merdeka, masyarakat sipil - civil society dan suatu kehakiman independen.
Bagi beberapa pihak, terutama dari sudut pandang libertarian, demokrasi tidak boleh disamakan dengan liberalisme; yaitu liberalisme yang dianggap sebagai tujuan akhir, sedangkan demokrasi harus dibatasi dalam rangka mencegah suatu negara menjadi tidak liberal karena ditetapkannya legislasi otoritarian. Itulah mengapa banyak yang mendeskripsikan Amerika Serikat sebagai suatu republik bukannya suatu demokrasi.
Untuk tujuan-tujuan pamflet ini, kami telah mendefinisikan demokrasi sebagai sistem politik yang menginstitusionalkan kedaulatan legislatif - baik pada rakyatnya secara langsung - maupun pada para representatif terpilih mereka.
Pamflet ini berusaha menyatakan sistem demokrasi sebagaimana diartikulasikan dan diimplementasikan dalam sebagian besar demokrasi-demokrasi yang telah matang dan yang baru muncul di dunia saat ini. Asumsi kunci yang lain yang kita buat adalah bahwa kita percaya bahwa demokrasi tidak bisa dipisahkan dari sekularisme. Meskipun banyak yang berargumen bahwa agama dan demokrasi adalah kompatibel, ini mungkin benar dalam arena privat tapi tidak berlaku dalam ruang publik - di mana tidak agama tidak juga demokrasi bisa menikmati kepentingan utama, tidak dalam waktu bersamaan. Agama-agama dari asalnya percaya bahwa hukum-hukum dan nilai-nilai adalah produk dari wahyu ketuhanan tanpa campur tangan manusia sedangkan demokrasi adalah tentang menjadikan segala sesuatu sebagai di bawah olah pikir manusia dan menghasilkan hukum-hukum berdasar jumlah mayoritas.
Pamflet pendek ini dibagi menjadi tiga bab. Bab pertama berusaha menampilkan berbagai kelemahan teoretikal demokrasi sekular dan mengartikulasikan suatu kritik yang lebih dalam terhadap pilar-pilar utama yang menancapkan model demokrasi sekular. Yang kedua menggunakan studi-studi kasus singkat demokrasi sekular dalam praktek untuk mengilustrasikan berbagai kelemahan teoretikal yang ditekankan sebelumnya - Amerika Serikat, Inggris dan India - juga demokrasi sekular yang sedang muncul di Afghanistan. Kita akan mengilustrasikan berkembangnya jarak antara retorika dan realita dalam negara-negara demokratis itu. Dalam bagian terakhir kita menggunakan format tanya jawab untuk memberikan ringkasan sistem Khilafah Islam. Meskipun tidak ada yang menyarankan bahwa ia adalah alternatif dekat bagi negeri-negeri non-Muslim, demikian tidak bisa dikatakan pada dunia Muslim, di mana Khilafah memiliki solusi-solusi berpengalaman dan berkepercayaan dan benar-benar alternatif praktikal. Tentu, implementasi manusia di dalam Khilafah tidak akan sempurna bagaimanapun juga, tapi bagi mereka yang yakin bahwa sumber-sumber legislasinya lahir dari entitas ketuhanan (yang eksistensinya harus dibuktikan secara rasional oleh kaum Muslimin sebagai syarat) yang benar-benar mengetahui kompleksitas hidup dan fitrah manusia; sesuatu yang oleh manusia sendiri tidak akan bisa dipahami. Prinsip-prinsip Islam dari sifat dasarnya bukanlah subjek hawa nafsu personal, perubahan konstan, perubahan politik atau kengawuran publik di mana di saat yang bersamaan tetap cukup fleksibel melalui proses Ijtihad untuk mengatasi realitas-realitas baru.
Buku : Demokrasi dalam Krisis
Bagaimana Sistem Politik Islam Memastikan Good Governance
Satu Pamflet oleh Hizb ut-Tahrir Britain
Hizb ut-Tahrir
Britain
22 Jumada al Awwal 1431 / 6 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar