Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 17 Mei 2018

Dalil Sunah I’tikaf



Hukum I'tikaf

Beberapa hadits berikut terkait dengan masalah i'tikaf:

1. Dari Aisyah ra. isteri Nabi Saw.:

“Bahwa Nabi Saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, hingga Allah Swt. mewafatkannya. Kemudian isteri-isterinya beri'tikaf setelahnya. (HR. Bukhari [2025], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)

2. Dari Ubay bin Ka'ab ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, kemudian beliau Saw. melakukan perjalanan di suatu tahun hingga tidak (sempat) beri'tikaf. Pada tahun berikutnya beliau beri'tikaf dua puluh hari.” (HR. an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra [3330], Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

3. Dari Abu Sa'id al-Khudri ra., ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan. Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari kedua di qubah turkiyah, yang di pintunya ada gorden dari tikar, lalu ia menjulurkan kepalanya dan berbicara kepada orang-orang. Orang-orang itu mendekat kepadanya, lalu ia bersabda: “Sesungguhnya aku sedang i'tikaf pada sepuluh hari di permulaan bulan, aku mencari malam ini, kemudian aku i’tikaf pada sepuluh hari di pertengahan bulan, lalu diturunkanlah wahyu kepadaku. Kemudian dikatakan, bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari terakhir, maka siapa di antara kamu yang suka beri’tikaf maka beritikaflah. Lalu orang-orang pun beri'tikaf bersamanya...” (HR. Muslim [2771], Bukhari, Ahmad, Malik, Abu Dawud dan an-Nasai)

4. Dari Amarah binti Abdirrahman, dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menyebutkan akan beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu Aisyah meminta izin dari beliau dan beliau mengizinkannya. Setelah itu Hafshah meminta pada Aisyah untuk mengizinkannya, dan ia pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat hal itu maka dia memerintahkan untuk dibuatkan sebuah ruangan baginya. Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah Saw. jika telah selesai shalat, beliau kembali menuju ruangannya, lalu beliau Saw. melihat ruangan-ruangan tersebut, kemudian beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka berkata: “Ini adalah ruangan Aisyah, Hafshah dan Zainab.” Maka Rasulullah Saw. bertanya: “Apa kebaikan yang mereka inginkan dengan melakukan seperti ini? Aku tidak jadi beri'tikaf.” Kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka (berhari raya) beliau Saw. beri'tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Bukhari [2045], Malik, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Dengan melihat empat hadits ini kita mendapati bahwa Rasulullah Saw. mendawamkan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Jika beliau tidak sempat beri'tikaf karena melakukan perjalanan, maka beliau melakukan i'tikaf penggantinya di tahun berikutnya.

Hal ini menegaskan bahwa i'tikaf itu adalah sebuah qurbah (upaya mendekatkan diri) kepada Allah Swt.

Qurbah ini bisa wajib, bisa juga sunah atau mandub. Kemudian datang nash ketiga dan keempat, sebagai qarinah yang menunjukkan bahwa qurbah tersebut berhukum mandub bukan fardhu. Hadits ketiga menyatakan:

“Maka siapa di antara kamu yang suka beri'tikaf maka beritikaflah. Lalu orang-orang beri'tikaf bersamanya…”

Hadits ini telah mengaitkan i'tikaf pada keinginan atau kesukaan manusia beri'tikaf. Ini menjadi dalil yang jelas bahwa i'tikaf itu bukan wajib, tetapi sunah. Begitu pula hadits keempat menyatakan:

“Aku tidak jadi beri'tikaf,” kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka (berhari raya) beliau Saw. beri’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.”

Rasulullah Saw. tidak akan membatalkan suatu qurbah dan meninggalkannya seandainya hukumnya fardhu.

Persoalan ini, yaitu bahwa hukum i'tikaf itu mandub, tidak diselisihi oleh seorangpun kecuali beberapa sahabat Malik, di mana mereka mengatakan bahwa i'tikaf itu boleh (jaiz) bukan sunah (mandub). Pendapat seperti itu dibantah oleh Ibnu al-Arabi yang notabene seorang ulama Malikiyah. Ia menyatakan bahwa hukum i'tikaf itu adalah sunah muakkad. Ibnu Baththal berkata: ketika Rasulullah Saw. menekuni sesuatu maka hal itu menunjukkan ketetapannya. Ibnu Hajar berkata: Abu Dawud berkata dari Ahmad: Aku tidak mengetahui ada seorangpun ulama yang menyalahi pendapat bahwa i'tikaf itu disunahkan.

Adapun syubhat yang menjadi sandaran sebagian sahabat Malik adalah pernyataan Malik sendiri: Aku sedang memikirkan masalah i'tikaf serta fenomena para sahabat yang kadang meninggalkannya, padahal mereka begitu setia mengikuti jejak Rasulullah. Lalu muncul kesimpulan dalam diriku bahwa i'tikaf itu seperti wishal, dan aku melihat mereka meninggalkannya karena kesulitannya. Ibnu Hajar menceritakan hal itu dalam kitab Fathul Bari. Saya telah mencari pernyataan Malik ini dalam al-Muwaththa, tetapi saya tidak menemukannya. Syubhat seperti ini sangat lemah, selain bahwa orang yang membaca al-Muwaththa akan menemukan Imam Malik menyatakan bahwa i'tikaf itu sunah dalam lebih dari satu kali pernyataan. Dalam jilid pertama halaman 267 terdapat kalimat seperti ini: “[Malik berkata: aku tidak mendengar seorang ahli ilmu pun yang menyebutkan bahwa i'tikaf itu syarat. Sebenarnya i'tikaf itu adalah salah satu amal seperti halnya shalat, puasa dan haji, dan beberapa aktivitas serupa, baik yang fardhu ataupun yang sunah. Sehingga siapa saja yang memasukinya dia telah melakukan sunah yang telah lama berlaku, dan dia tidak berhak untuk berbicara tentangnya dengan sesuatu yang tidak dilakukan kaum Muslim, berupa menetapkan syarat yang disyaratkannya, dan juga tidak boleh mengada-adakannya. Rasulullah Saw. sungguh telah beri'tikaf, dan kaum Muslim sudah mengetahui sunahnya i'tikaf].”
Dengan demikian, i'tikaf itu sunah, dan sunah ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam