Hukum I'tikaf
Beberapa hadits
berikut terkait dengan masalah i'tikaf:
1. Dari Aisyah ra. isteri Nabi Saw.:
“Bahwa Nabi Saw. biasa
beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, hingga Allah Swt.
mewafatkannya. Kemudian isteri-isterinya beri'tikaf setelahnya. (HR. Bukhari
[2025], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)
2. Dari Ubay bin Ka'ab ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, kemudian beliau
Saw. melakukan perjalanan di suatu tahun hingga tidak (sempat) beri'tikaf. Pada
tahun berikutnya beliau beri'tikaf dua puluh hari.” (HR. an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra [3330], Abu Dawud, Ibnu
Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
3. Dari Abu Sa'id al-Khudri ra., ia berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan. Kemudian
beliau beri’tikaf pada sepuluh hari kedua di qubah
turkiyah, yang di pintunya ada gorden dari tikar, lalu ia menjulurkan
kepalanya dan berbicara kepada orang-orang. Orang-orang itu mendekat kepadanya,
lalu ia bersabda: “Sesungguhnya aku sedang i'tikaf pada sepuluh hari di
permulaan bulan, aku mencari malam ini, kemudian aku i’tikaf pada sepuluh hari
di pertengahan bulan, lalu diturunkanlah wahyu kepadaku. Kemudian dikatakan,
bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari
terakhir, maka siapa di antara kamu yang suka beri’tikaf maka beritikaflah.
Lalu orang-orang pun beri'tikaf bersamanya...” (HR. Muslim [2771], Bukhari,
Ahmad, Malik, Abu Dawud dan an-Nasai)
4. Dari Amarah binti Abdirrahman, dari Aisyah
ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menyebutkan akan beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu
Aisyah meminta izin dari beliau dan beliau mengizinkannya. Setelah itu Hafshah
meminta pada Aisyah untuk mengizinkannya, dan ia pun mengizinkannya. Ketika Zainab
binti Jahsy melihat hal itu maka dia memerintahkan untuk dibuatkan sebuah
ruangan baginya. Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah Saw. jika telah selesai
shalat, beliau kembali menuju ruangannya, lalu beliau Saw. melihat
ruangan-ruangan tersebut, kemudian beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka
berkata: “Ini adalah ruangan Aisyah, Hafshah dan Zainab.” Maka Rasulullah Saw.
bertanya: “Apa kebaikan yang mereka inginkan dengan melakukan seperti ini? Aku
tidak jadi beri'tikaf.” Kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka
(berhari raya) beliau Saw. beri'tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR.
Bukhari [2045], Malik, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Dengan melihat empat
hadits ini kita mendapati bahwa Rasulullah Saw. mendawamkan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan
hingga beliau wafat. Jika beliau tidak sempat beri'tikaf karena melakukan
perjalanan, maka beliau melakukan i'tikaf penggantinya di tahun berikutnya.
Hal ini menegaskan
bahwa i'tikaf itu adalah sebuah qurbah
(upaya mendekatkan diri) kepada Allah Swt.
Qurbah ini bisa wajib,
bisa juga sunah atau mandub. Kemudian datang nash ketiga dan keempat, sebagai qarinah yang menunjukkan bahwa qurbah tersebut
berhukum mandub bukan fardhu. Hadits ketiga menyatakan:
“Maka siapa di antara
kamu yang suka beri'tikaf maka beritikaflah. Lalu orang-orang beri'tikaf
bersamanya…”
Hadits ini telah
mengaitkan i'tikaf pada keinginan atau kesukaan manusia beri'tikaf. Ini menjadi
dalil yang jelas bahwa i'tikaf itu bukan wajib, tetapi sunah. Begitu pula
hadits keempat menyatakan:
“Aku tidak jadi
beri'tikaf,” kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka (berhari raya)
beliau Saw. beri’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.”
Rasulullah Saw. tidak
akan membatalkan suatu qurbah dan meninggalkannya seandainya hukumnya fardhu.
Persoalan ini, yaitu
bahwa hukum i'tikaf itu mandub, tidak diselisihi oleh seorangpun kecuali
beberapa sahabat Malik, di mana mereka mengatakan bahwa i'tikaf itu boleh
(jaiz) bukan sunah (mandub). Pendapat seperti itu dibantah oleh Ibnu al-Arabi
yang notabene seorang ulama Malikiyah. Ia menyatakan bahwa hukum i'tikaf itu
adalah sunah muakkad. Ibnu Baththal berkata: ketika Rasulullah Saw. menekuni
sesuatu maka hal itu menunjukkan ketetapannya. Ibnu Hajar berkata: Abu Dawud
berkata dari Ahmad: Aku tidak mengetahui ada seorangpun ulama yang menyalahi
pendapat bahwa i'tikaf itu disunahkan.
Adapun syubhat yang
menjadi sandaran sebagian sahabat Malik adalah pernyataan Malik sendiri: Aku
sedang memikirkan masalah i'tikaf serta fenomena para sahabat yang kadang
meninggalkannya, padahal mereka begitu setia mengikuti jejak Rasulullah. Lalu
muncul kesimpulan dalam diriku bahwa i'tikaf itu seperti wishal, dan aku melihat mereka meninggalkannya
karena kesulitannya. Ibnu Hajar menceritakan hal itu dalam kitab Fathul Bari. Saya telah mencari pernyataan
Malik ini dalam al-Muwaththa, tetapi
saya tidak menemukannya. Syubhat seperti ini sangat lemah, selain bahwa orang
yang membaca al-Muwaththa akan menemukan
Imam Malik menyatakan bahwa i'tikaf itu sunah dalam lebih dari satu kali
pernyataan. Dalam jilid pertama halaman 267 terdapat kalimat seperti ini:
“[Malik berkata: aku tidak mendengar seorang ahli ilmu pun yang menyebutkan
bahwa i'tikaf itu syarat. Sebenarnya i'tikaf itu adalah salah satu amal seperti
halnya shalat, puasa dan haji, dan beberapa aktivitas serupa, baik yang fardhu
ataupun yang sunah. Sehingga siapa saja yang memasukinya dia telah melakukan
sunah yang telah lama berlaku, dan dia tidak berhak untuk berbicara tentangnya
dengan sesuatu yang tidak dilakukan kaum Muslim, berupa menetapkan syarat yang
disyaratkannya, dan juga tidak boleh mengada-adakannya. Rasulullah Saw. sungguh
telah beri'tikaf, dan kaum Muslim sudah mengetahui sunahnya i'tikaf].”
Dengan demikian,
i'tikaf itu sunah, dan sunah ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar