Buku Afghanistan dan Pakistan : Perang yang Tak Dapat Dimenangkan
Strategi Barat saat ini untuk Afghanistan dan Pakistan dan jalan alternatif untuk daerah itu
Bab 1 Afghanistan: Perang yang Tak Dapat Dimenangkan
Apa yang mereka pikirkan? Satu-satunya superpower dunia dengan sumberdaya tak terhitung, kekuatan militer terbesar ditambah dengan NATO, aliansi militer paling dominan di dunia, menginvasi dan menjajah pada Oktober 2001, salah satu negara paling miskin di dunia dengan populasi 28 juta, dua per tiganya hidup dengan kurang dari dua dolar sehari. Meski begitu, delapan tahun berlangsung telah diterima secara universal sebagai kegagalan untuk menundukkan negara itu dan telah kalah perang.
Pada 16 September 2001, yang tadinya Presiden US George W. Bush menyatakan: “Perang salib ini, perang terhadap terorisme, akan membutuhkan waktu cukup lama.” Argumen legal yang digunakan Washington dan NATO untuk menginvasi Afghanistan adalah bahwa serangan 11 September merupakan “serangan bersenjata” yang tidak dideklarasikan dari luar negri oleh kekuatan asing tak bernama, dan bahwa konsekuensinya sebagai “negara di bawah serangan” boleh menyerang balik dengan kebebasam atas nama “membela diri”. Menguasai telah menjadi formalitas, membuatnya tetap begitu delapan tahun kemudian – sangat tidak meyakinkan. Seiring prajurit US dan NATO yang mati menumpuk dan opini publik Barat bergerak secara sadar melawan penjajahan itu, semakin banyak pertanyaan-pertanyaan diajukan tentang perang ini. Dan meskipun dengan superioritas sumberdaya dan militer yang luar biasa – ini tetap perang yang tak dapat dimenangkan.
Pendudukan Soviet – jumlah tentara bukanlah solusi
Pada Desember 1979, pasukan Soviet masuk Afghanistan, sepuluh tahun setelahnya tidak hanya mereka telah dikalahkan, tapi juga semua badan negara Soviet Sosialis berada dalam kekacauan. Tembok Berlin runtuh dan negara Soviet terfragmentasi dan berakhir setelah itu.
Jika diperhatikan, Soviet punya banyak keunggulan lebih daripada penjajah yang sekarang. Mereka punya batas yang bersinggungan langsung dengan Afghanistan melalui apa yang sekarang disebut Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan. Mereka menggunakan jumlah kekuatan militer yang jauh lebih besar – 250.000 puncaknya. Sebagai pemain regional yang kuat mereka juga memiliki keahlian bahasa yang luas (Uzbek, Pushto, dan Tajik) yang telah menjadi hambatan bagi orang Amerika dan NATO, yang sekarang bergantung pada para ahli Afghanistan termasuk para dokter dan guru sebagai penerjemah mereka.
Orang Soviet tidak mengalami kesulitan mengendalikan pusat-pusat populasi, tapi meskipun demikian pemerintah pusat bentukan tidak dapat mengendalikan daerah pinggiran. Kenyataannya ribuan kota dan desa tetap berada di luar pengaruh mereka. Seperti yang orang Amerika temukan sekarang ini, tidaklah sulit mengambil alih kota-kota tapi mengambil hati, memimpin, menyediakan kebutuhan dasar kepada orang-orang miskin, meyakinkan maksudnya adalah di mana kesulitan itu berada.
Marshal Akhromeyev menyebutkan di tahun 1986, “Kita mengendalikan Kabul dan pusat-pusat propinsi, tapi ... kita telah kehilangan pertarungan untuk penduduk Afghanistan.” [1]
Pasukan Rusia juga menunjukkan kekurangan nyata kegesitan yang memaksa mereka hanya menggunakan doktrin-doktrin perang konvensional dan penggunaan kekuatan mekanisasi / berat – taktik dan strategi yang sama sekali tidak cocok untuk melawan perlawanan di medan bergunung kasar dan urban. Pasukan Mujahidin jauh lebih gesit dan bisa dengan mudah melakukan serangan-serangan bergaya gerilya yang terbukti menghancurkan pasukan yang lemah semangat dan kurang persiapan (perang besar Rusia yang lalu adalah Perang Dunia II). Tiga puluh tahun berlangsung dan pihak Amerika tampaknya telah belajar sedikit saja dari taktik konvensional Soviet – bersihkan, kuasai, dan bangun, pasukan kurang motivasi (mengapa kita di sini?) dan kekurangan kesuksesan yang nyata dalam memenangkan 'hati dan pikiran'.
Presiden Obama pada pidatonya 1 Desember 2009 menjanjikan untuk menghentikan atau memperlambat kehancuran meluncur spiral menuju kekalahan di Afghanistan. Namun begitu, pidato ini tercatat tidak membawa apapun yang baru dari stratregi gagal delapan tahun yang lalu. Intinya janji Obama adalah “lebih banyak orang, lebih banyak uang, dan kita harus berusaha lebih keras.” Kenyataannya, tidak mirip dengan pidato Mikhail Gorbachev yang memerintahkan pergerakan masuk pasukan Soviet yang mirip ukurannya, temporer ke Afghanistan di 1986.
Vietnam diulangi?
Dengan serangan-serangan pada pasukan Amerika dan NATO beranjak naik sejak 2003, sedikit usaha awal menghambat korupsi atau melegitimasi rezim Karzai dan peningkatan oposisi di sepanjang 2009, adalah mudah menghubungkan dengan Perang Vietnam yang sangat cacat. Afghanistan adalah terisolasi secara geografis sehingga memerlukan dukungan logistik melalui negara-negara tetangga, populasinya yang antagonistik terhadap US. Afghanistan juga empat kali ukuran Vietnam, namun jumlah pasukan bahkan setelah Desember 2009 dinyatakannya penyerangan tidak akan pernah mencapai apa yang dicapai di Vietnam dengan 535.000 tentara. Konsentrasi pasukan US/NATO di Afghanistan adalah 1/32 di Vietnam. Meski dengan ketidak-konsistenan nyata seperti itu banyak pihak menolak menyatakan kalah.
Terdapat banyak persamaan jelas antara kedua konflik yang oleh para penasihat kebijakan luar negeri akan mempertimbangkan sebaik-baiknya:
a. Sejarah agresi Eropa / Imperial
Perancis di Vietnam dan Uni Soviet di Afghanistan adalah yang paling baru dalam urutan panjang para agresor. Kedua konflik memiliki persamaan sejarah dalam mengusir para pasukan bersenjata agresor yang lebih besar dan lebih kuat. Adalah sejarah ini yang telah membantu membentuk dan menghasilkan pasukan perang yang mumpuni di kedua konflik.
b. Berbasis Asia : ribuan mil dari US
Dalam kedua kasus terdapat kekurangan pengalaman berperang dalam kondisi tiu dan dengan masalah logistik yang sulit untuk dihadapi. Di Afghanistan terdapat masalah tambahan tidak adanya garis pantai, sangat membatasi kemampuan Angkatan laut.
c. Perang berbasis perkampungan
Di kedua konflik terdapat lebih dari 80% populasi kampung di mana para penjajah sangat tidak popular.
d. Medan yang sulit dan kurangnya jalan
Permukaan sulit memaksa para agresor baik di Afghanistan maupun Vietnam untuk bergantung pada dukungan udara dan membuat tank-tank konvensional dan kendaraan semacamnya menjadi tidak berlaku.
e. Pertalian etnis dan kantong perlindungan
Dalam kedua kasus pasukan perlawanan menikmati kantong perlindungan di balik batas panjang, tertutup, dan tak dapat dihuni. Pasukan US berjuang menghadapinya dan hanya memiliki sedikit atau tak ada legitimasi.
f. Infiltrasi
Dalam kedua perang para penerjemah seringkali memberi informasi kepada tentara lokal mengenai setiap gerak pasukan penjajah.
g. Ketidakpekaan kultural
Di kedua perang para penjajah menggunakan taktik-taktik berat termasuk mengebom secara acak dan sama sekali tidak memahami kepercayaan dan budaya lokal yang membuat mudah merekrut untuk pasukan perlawanan. Di dalam kedua perang “penghitungan tubuh” US musuh yang terbunuh adalah popular meskipun terakhir ini Jendral Stanley McChrystal menahannya di Afghanistan.
Pidato Barack Obama 1 Desember 2009 mengumumkan masuknya pasukannya ke Afghanistan sama seperti keputusan fatal Presiden Lyndon B. Johnson di tahun 1965 untuk melanjutkan perintah dari para komandan US untuk memperluas Perang Vietnam dengan mengirim banyak tambahan tentara US. Obama kehilangan kesempatan untuk membalik bencana perang Bush di Afghanistan dan bahkan mengimitasi praktek Bush mengumumkan kebijakan-kebijakan dengan dikelilingi lebih dari 4.000 tentara kadet di Akademi Militer West Point.
Koalisi Mistis
Obama dalam pidatonya Desember 2009 memberikan alasan-alasan mengapa kedua perang itu berbeda. Yang paling penting di antaranya adalah bahwa di Afghanistan terdapat koalisi yang lebih kuat, seolah-olah kekuatan jumlah akan bisa menambah legitimasi bagi perang melawan salah satu negara-negara termiskin dunia.
Namun, pemeriksaan lebih dekat terhadap “koalisi” mengungkap bahwa hanya sembilan dari 43 negara di Afghanistan memiliki pasukan lebih dari 1.000 di sana, kebanyakan negara lainnya mengirim sejumlah kecil termasuk hanya bisa dihitung jari dalam kasus sepuluh negara. Banyak yang lainnya dibatasi untuk peran non-tempur – tidak mau mengganggu si superpower – tapi siap mengambil peran tidak penting. Jumlah aktual pasukan tempur negara-negara lain adalah lebih tinggi di Vietnam dan negara-negara itu telah belajar pelajaran tentang bahayanya petualangan Amerika seperti itu.
Masalah-Masalah Lain
Eric Bergerud, ahli sejarah Perang Vietnam terpandang menggaris-bawahi bahwa:
“The Government of Vietnam (GVN) kekurangan legitimasi dengan orang kampung lokal, segmen terbesar dari populasi ... Orang kampung menganggap GVN busuk, korup, dan tidak efisien ... Para elit urban Vietnam Selatan memiliki penampilan budaya asing ... yang lebih penting, kelompok kecil ini memiliki paling banyak kekayaan dan kekuasaan di negara miskin, dan sikap elit penguasa terhadap populasi rural hanyalah, paling baik, hubungan keturunan, paling buruk, ke-predator-an. [2]
Mengulang situasi yang sama di Afghanistan pemerintah Karzai memiliki legitimasi kecil baik secara global atau yang paling penting di Afghanistan sendiri. Anthony Cordesman menggaris-bawahi fakta ini ketika mengungkapkan kegagalan kronis kebijakan US di Afghanistan.
“Kebutuhan untuk menstruktur elemen polisi dan keamanan lain dengan cara yang sesuai dengan batasan-batasan karena kurangnya kapasitas pemerintah, korupsi, perbedaan nilai-nilai kultural, dan kebutuhan menciptakan “aturan hukum” atau aturan sipil di negara terduduki bukannya nilai-nilai US atau Barat.” [3]
Tidak saja pemerintahan Karzai korup dan tidak kompeten, ia menunjukkan hanya sedikit maksud untuk menawarkan kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai Afghanistan yang terutamanya Islami. Juga akan menjadi tanda yang ekstrim jika Amerika menggunakan struktur kepemimpinan dan masyarakat sipil berdasar Islam di negara yang ia kendalikan.
Kembalinya 'Domino'
Mungkin justifikasi yang paling kontroversial untuk Vietnam adalah teori domino yang cacat yang memprediksi penyebaran komunisme dari satu negara ke negara lain dengan cepat dan tidak terkontrol jika Vietnam Selatan jatuh. Suatu teori yang sangat terlemahkan oleh fakta-fakta setelah hengkangnya US dan kegagalan komunisme untuk menancapkan pengaruhnya secara signifikan hingga hari ini. Yang sama kontroversialnya adalah pendapat bahwa tanpa kontrol langsung terhadap tuan rumah terorisme – sebagaimana Afghanistan dituduh dalam kasus ini – US akan terus menghadapi ancaman terorisme secara domestik. Meski Taliban selalu berargumen bahwa mereka sejatinya tidak punya urusan dengan orang Amerika dan tidak punya ambisi untuk mengadakan perang di US, juga telah jelas bahwa sumber kunci antagonisme di dalam dunia Muslim adalah keberlangsungan penjajahan tanah-tanah Muslim. Sayangnya, telah memakan waktu terlalu lama bagi pandangan ini untuk mendapatkan persetujuan yang merupakan haknya.
Berkebalikan dengan klaim bahwa militer US akan menstabilisasi daerah itu dan menurunkan ancaman terorisme, study tahun 2008 oleh RAND Corporation menemukan bahwa kebijakan-kebijakan US yang menekankan penggunaan kekerasan cenderung menciptakan , bukannya mengubur oposisi. Dalam “How Terrorist Groups End : Lessons for Countering Al-Qaeda,” Seth Jones & Martin Libicki berpendapat bahwa militer US “harus secara umum menolak digiring ke dalam operasi-operasi tempur dalam masyarakat Muslim, karena kehadiran [militer U.S.] kemungkinan besar meningkatkan serangan-serangan teroris.” [4]
Islam di Afghanistan
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
[Terjemah Makna Qur'an Surat (2) Al-Baqarah : 190]
... ,dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
[Terjemah Makna Qur'an Surat (9) At-Taubah : 36]
Terdapat banyak ayat Qur'an yang memerintahkan orang-orang Muslim untuk mempertahankan tanahnya. Seperti halnya semua negeri berdaulat tidak ada rasa malu di antara Muslim untuk memastikan integritas tanahnya. Bagi orang-orang Muslim ini adalah masalah vital (hidup dan mati) dan artinya orang-orang beriman diperintahkan untuk berjuang dalam Jihad dengan harta mereka, lidah mereka, dan jiwa mereka untuk mengusir penjajah. Tidak ada biaya atau usaha tersiakan – baik hasilnya kemenangan maupun kemartiran.
Al Qur'an juga mengharuskan bahwa otoritas atas tanah Muslim tetap bersama orang-orang Muslim dan hukum Islam (Syari'at).
... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
[Terjemah Makna Qur'an Surat (4) An-Nisaa' : 141]
Taliban sebenarnya bermakna para pelajar, atau pencari pengetahuan dalam bahasa Pushto. Pengetahuan yang dipakai adalah pengetahuan Islam – yang mana mencarinya adalah kewajiban bagi semua Muslim. Penjajahan militer, penimpaan pemerintah boneka (Karzai) dan pembuangan Jirga (dewan) tradisional Islami regional dan desa adalah tidak akan pernah diterima oleh Taliban dan orang-orang Afghanistan secara umum. Memperluas kontrol pemerintah pusat ke seluruh Afghanistan bukannya menjadi solusi terhadap perlawanan tapi telah menjadi penyebabnya. Tidak pernah sulit memotivasi Jihad dari area pedesaan.
Tidak juga pernah masuk akal membayangkan bahwa US bisa dengan enaknya menyalakan “keinginan” Jihad, memotivasi dan secara rahasia mendanai Mujahidin dalam alasannya yang adil untuk mengenyahkan agresor Soviet. Tapi juga semudah mematikan keinginan itu ketika sang agresor adalah mantan teman. Demikian juga, pembantaian tak pandang bulu terhadap penduduk sipil mengkerdilkan mantra yang sering dibaca dalam memenangkan hati dan pikiran; itu hanya akan menghapuskan kredibilitas dan integritas Barat, mengagetkan negara-negara dunia dan semakin signifikan memperteguh resistensi orang-orang Afghanistan.
Taliban bukanlah pejuang asing
“Sedangkan bagi Taliban, apapun juga mereka itu, mereka adalah pribumi Afghanistan. Ini tidak bisa dikatakan Al-Qaeda, tapi juga tidak bisa dikatakan, tentara, pelatih, penasihat, dan kontraktor yang dikirim oleh United States.” [5]
Pokok bagi strategi US untuk Afghanistan adalah untuk membangun Tentara Nasional Afghanistan, dalam persiapan untuk menghadapi resistensi ketika US akhirnya hengkang. Kebijakan ini gagal. Rekrutmen dan training lambat dan diwabahi oleh pengunduran diri dan kegagalan kronis orang-orang terekrut untuk mendaftar kembali. Pelamaran-kembali kurang dari 50% dan meskipun terjadi 40% tingkat pengangguran di negara itu, rekrutmen jauh di bawah target dan terlalu banyak merupakan orang asal etnis Tajiks. Dalam latihan membangun pasukan yang loyal dan kredibel untuk rezim sebagai lawan bagi Taliban, singkatnya tidak punya kesempatan untuk berhasil. Delapan tahun yang lalu telah menyediakan bukti yang banyak untuk ini.
“The Afghan National Army (ANA) – dirancang untuk mengambil alih konflik ketika koalisi hengkang – tidak akan bisa bahkan untuk memberi makan dirinya sendiri dalam lima tahun, apalagi membalik ombak menggunung Taliban.” [6]
Bentuk asosiasi apapun dengan orang Amerika adalah rusak. Bukannya menyebarkan kedamaian dan keamanan bagaikan kertas-kertas tersebar ke seantero daerah dan area-area rural khusunya, orang-orang Amerika malah meninggalkan jejak bernoda yang mencekam bagi orang-orang pribumi. Kebijakan pembunuhan hanyalah satu contoh ketidak-percayaan yang ditimbulkan oleh penjajahan. Dalam artikel New Yorker akhir-akhir ini Jane Mayer membicarakan akibat dari mentarget Baitullah Mehsud (dengan pesawat tak berawak): “16 serangan adalah kebutuhan, lebih dari 14 bulan, membunuh total sebanyak 538 orang, yang di antaranya 200-300 adalah penggembira. Apa hasilnya bagi reputasi polisi dalam perumahan penuh kejahatan ketika mereka berlaku seperti itu? Dan apa yang membuat orang mengira kalau reaksinya akan kalah ekstrem ketika polisinya datang dari negara lain? [7]
David Kilcullen, mantan penasihat senior anti-perlawanan bagi David Patreus, menulis, “Setiap orang dari non-tempur yang mati adalah mewakili keluarga yang teralienasi, usaha balas dendam baru, dan lebih banyak calon rekrut bagi gerakan militan.”
Afghanistan, Kuburan Kerajaan-Kerajaan
“Dari invasinya oleh Ghenghis Khan dan dengan dua-juta penyerbu Mongolnya hingga perang jarak-jauh adidaya antara United States dan Uni Soviet, rute perdagangan Afghanistan dan posisi terkunci secara geografis di tengah daerah itu selama berabad-abad membuatnya kebal terhadap invasi oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Meskipun Afghanistan telah mengalami pergantian penjajah Persia, Yunani, Arab, Turki, Mongol, Inggris, dan Soviet, tidak ada kekuatan penjajah yang pernah sukses menguasainya. Memang terdapat alasan mengapa ia telah dideskripsikan sebagai “kuburan kerajaan-kerajaan” [8]
Kekuatan politik baru yang kokoh, bahkan yang ditimpakan, membutuhkan legitimasi dan dukungan populasi. Mantan Kepala Deputi misi UN di Afghanistan mendeskripsikan pemilihan umum Agustus 2009 sebagai “kereta rusak”. Dengan sedikit tanda legitimasi baik sebelum maupun sesudah pemilu itu, Karzai menikmati mungkin paling banyak 30% tingkat persetujuan. Kunci dari menguras perlawanan adalah dukungan bagi otoritas pemerintah sebanyak 85 hingga 90% [9]. Rezim Karzai baru-baru ini dideskripsikan sebagai “jelas-jelas tidak sah, perampok yang tidak kompeten.” [10]
Dengan pemerintah timpaan dan sistem-sistem aturan timpaan (demokrasi) haruskah ada harapan keberhasilan dengan tidak ada sejarah demikian di daerah itu?
Banyak dilakukan polling opini domestik yang menunjuk untuk mendukung pengenalan demokrasi dan menimpakan perlawanan / Taliban. Tapi bisakah bentuk apapun polling di suatu negara yang berada di bawah penjajahan dianggap serius?
“Orang-orang Afghanistan terkenal ramah; polling opini Barat hanya memperlihatkan apa yang dianggap oleh orang Afghanistan kuesioner itu inginkan, seperti yang diinginkan budaya mereka, bukan apa yang sebenarnya mereka pikirkan.” [11]
Mengapa ada yang harus menjawab sebaliknya jika ketika ditanya di belakang kamera televisi Barat, dengan pasukan militer penjajah Barat di dekatnya?
Amerika telah begitu saja meremehkan derajat oposisi yang telah ia hasilkan dari negara kecil dan miskin ini – suatu negara yang telah menerima kebanggaan besar dalam mengusir kekuatan penjajah yang bergantian selama beberapa abad. Dick Cheney memang mengatakan aksioma dari “perang tiada akhir”, istilah yang sangat tidak dianggap di US yang materialis – sedangkan orang-orang Afghanistan hidup dengan itu, bukannya karena memilih tapi karena kebutuhan dalam mempertahankan tanah mereka dan sebagaimana diperintahkan oleh kepercayaan mereka. Mereka adalah terkuatkan oleh pertempuran di kondisi rural yang keras, dan generasi ke generasi hanya sedikit tahu hal lainnya.
Meskipun jelas memiliki superioritas dalam senjata militer pasukan US / NATO telah mengikuti jebakan klasik mengendalikan pusat-pusat populasi utama dan membuat usaha kecil di antara populasi yang dominan rural. Ini hanyalah masalah waktu sebelum mereka ikut Alexander The Great, kerajaan Inggris, dan Uni Soviet dalam dipaksa meninggalkan perang yang tak dapat dimenangkan ini.
[1] Michael Dobbs, The Afghan Archive: Secret Memos Trace Kremlin’s March to War, The Washington Post, 15 November 1992, p. A1
[2] Eric Bergerud, The Dynamics Of Defeat: The Vietnam War In Hau Nghia Province (Boulder, Co: Westview Press, 1993)
[3] Anthony Cordesman, CSIS Afghan National Security Forces, Nov 2009
[4] Seth Jones and Martin Libicki, How Terrorist Groups End: Lessons for Countering al Qa’ida (Washington,DC: RAND Corporation, 2008).
[5] David Bromwich, ‘The Afghanistan Parenthesis’ http://www.huffingtonpost.com/david-bromwich/the-afghanistan-parenthes_b_377141.html
[6] Thomas H Johnson, 10 Dec 09 http://www.foreignpolicy.com/articles/2009/12/10/sorry_obama_afghanistans_your_vietnam?page=0,0
[7] Jane Meyer, http://www.newyorker.com/online/blogs/newsdesk/2009/10/jane-mayer-predators-drones-pakistan.html#ixzz0b0ER34gA
[8] ESCAPING THE GRAVEYARD OF EMPIRES A strategy to exit Afghanistan, Malou Innocent and Ted Galen Carpenter, CATO Institute, 2009
[9] Kalev I. Sepp, “Best Practices in Counterinsurgency,” Military Review (May-June 2005), 8-12.
[10] Thomas H Johnson, Chris Mason http://www.foreignpolicy.com/articles/2009/12/10/sorry_obama_afghanistans_your_vietnam
[11] Thomas H Johnson, M Chris Mason http://usacac.army.mil/CAC2/MilitaryReview/Archives/English/MilitaryReview_20091231_art004.pdf
Afghanistan and Pakistan: The Unwinnable War
The current Western strategy for Afghanistan and Pakistan and an alternative path for the region
Laporan dari Hizb ut-Tahrir Inggris
Hizb ut-Tahrir
Britain
1st Safar 1431 / 17th January 2010
Afghanistan Pakistan Dossier [PDF]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar