I'tikaf Kaum Wanita
Hal ini disebutkan
dalam hadits-hadits berikut:
1. Dari
Aisyah ra.:
“Bahwa Nabi Saw. biasa
beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, hingga Allah Swt.
mewafatkannya. Kemudian isteri-isterinya beri'tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari
[2025], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)
Sebelumnya hadits ini
telah kami sebutkan dalam pembahasan “Hukum I'tikaf” pada poin pertama.
2. Dari
Aisyah ra., ia berkata:
“Telah beri’tikaf
bersama Rasulullah Saw. seorang isterinya yang sedang beristihadhah (bukan haid), kemudian dia melihat
darah berwarna merah dan kuning, sehingga kadangkala kami meletakkan wadah di
bawahnya ketika wanita tersebut shalat.” (HR. Bukhari [2037], Abu Dawud,
an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat Bukhari
yang kedua [309] dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:
“Bahwa Nabi Saw. telah
beri'tikaf bersama sebagian isteri-isterinya, dan salah seorang isterinya
sedang beristihadhah. Isterinya itu
melihat darah, dan mungkin sampai meletakkan wadah di bawahnya untuk menampung
darah.”
3. Dari
Amrah binti Abdirrahman, dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menyebutkan akan beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu
Aisyah meminta izin dari beliau dan beliau mengizinkannya. Kemudian Hafshah
meminta kepada Aisyah untuk mengizinkannya, dan ia pun mengizinkannya. Ketika Zainab
binti Jahsy melihat hal itu, maka dia memerintahkan untuk dibuatkan sebuah
ruangan baginya. Aisyah berkata: Adalah Rasulullah Saw., jika telah selesai
shalat, beliau kembali menuju ruangannya, lalu beliau Saw. melihat
ruangan-ruangan tersebut, kemudian beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka
berkata: Ini adalah ruangan Aisyah, Hafshah dan Zainab. Maka Rasulullah Saw.
bertanya: “Apakah kebaikan yang mereka inginkan dengan melakukan seperti ini?
Aku tidak jadi beri'tikaf.” Kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka
(berhari raya), beliau Saw. beri'tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR.
Bukhari [2045], Malik, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Sebelumnya hadits ini
telah kami sebutkan dalam pembahasan “Hukum I'tikaf” poin empat.
Ketiga nash ini
menunjukkan kebolehan kaum wanita melakukan i'tikaf, dan tentu saja di tempat
yang terpisah dengan kaum lelaki di dalam masjid.
Hadits yang ketiga
menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh beri'tikaf sehingga meminta izin
kepada suaminya. Jika dia (wanita tersebut) beri'tikaf tanpa izin suaminya maka
sang suami berhak menyuruhnya keluar. Dan kalaupun sang wanita itu beri'tikaf
seizin suaminya, maka sang suami tetap berhak untuk menarik kembali izinnya dan
melarangnya beri'tikaf. Pendapat inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama, dan
pendapat inilah yang shahih. Sebab, hukum i'tikaf itu mandub. Seandainya wajib
bagi seorang isteri, tentu sang suami tidak boleh dan tidak berhak melarangnya.
Dengan demikian, pendapat ahlur ra'yi keliru,
yang mengatakan: jika sang suami telah mengizinkannya beri'tikaf, kemudian
melarangnya maka sang suami berdosa. Ini adalah salah satu pendapat Malik juga.
Para ulama Hanafiyah
menetapkan syarat sahnya i'tikaf seorang wanita adalah harus dilakukan di
masjid rumahnya. Ini adalah pendapat yang dibantah hadits nomor 3.
Ahmad telah berkata
dalam satu riwayat darinya: bahwa seorang wanita berhak i'tikaf di masjid
bersama suaminya. Ini adalah pendapat yang tidak diperselisihkan oleh siapapun,
dan pendapatnya ini tidak disebutkan dalam bentuk syarat, seperti: seorang
wanita berhak i'tikaf di masjid, dengan syarat bersama suaminya. Jika ucapan
tersebut diungkapkan dalam bentuk syarat seperti itu, maka jelas keliru dan
tidak memiliki dalil, karena hadits yang ketiga pun telah membantahnya juga, di
mana isteri-isteri Rasulullah Saw. telah membuat kemah khusus untuk diri mereka
masing-masing.
Hadits pertama telah
menyebutkan: “Kemudian isteri-isterinya beri’tikaf setelahnya.” Artinya, mereka
masing-masing beri'tikaf tanpa suaminya, yaitu Rasulullah Saw.
Adapun hadits kedua,
maka ungkapkan tersuratnya (al-manthuq) menunjukkan bahwa seorang wanita yang
sedang beristihadhah -yaitu yang darahnya mengalir dari kemaluannya disebabkan
oleh sakit (bukan haid)- boleh melakukan i'tikaf, dan disertakan juga ke dalam
kategori ini adalah orang yang da'imul hadats (orang yang buang air kecil
terus-menerus), orang yang memiliki luka bernanah yang terus mengalir, dengan
syarat tidak sampai menajisi masjid.
Pada masa kita
sekarang ini, aktivitas i'tikaf kaum wanita sudah atau hampir tidak dilakukan
lagi. Kita tidak melihat lagi kaum wanita beri'tikaf, bahkan kaum laki-laki pun
hampir tidak melakukannya lagi. Kita juga tidak bisa lagi menyaksikan hal itu
secara gamblang kecuali pada malam-malam datangnya lailatul qadar saja. Yang ada hanya i'tikaf singkat, dalam waktu
satu atau dua jam, yakni berdiam di dalam masjid dengan niat i'tikaf, dan ini
yang terus berlangsung atau terus ada karena mudahnya. Saya perlu sampaikan
bahwa seorang wanita itu berposisi sebagai isteri, atau dia memiliki anak-anak
yang masih kecil yang memerlukan pelayanan, sehingga pelayanan terhadap suami
atau anak-anak tidak dapat terlaksana tanpa dirinya, maka (dalam kondisi
demikian) meninggalkan i'tikaf itu menjadi ketetapan bagi dirinya, dan i'tikafnya
menjadi tidak boleh. Ini disebabkan apabila sesuatu yang wajib berbenturan
dengan sesuatu yang mandub (sunat), maka yang didahulukan adalah melaksanakan
yang wajib dan meninggalkan yang mandub. Dalam kasus ini, tidak ragu lagi bahwa
berkhidmat (melayani) suami dan anak-anak itu hukumnya adalah wajib bagi
seorang wanita, sehingga aktivitas inilah yang lebih didahulukan daripada
i’tikafnya yang bersifat mandub.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar