Putaran Kedua: di Hunain
a. Sebab dilakukan (segera) dan
persiapannya
Sesungguhnya
kemenangan yang diraih kaum muslimin Makkah telah membangkitkan perasaan marah
dan dendam bagi kabilah-kabilah bangsa Arab yang masih memiliki kekuatan yang
berada di sekitar Makkah. Kabilah Hawazin yang berhasil membangkitkan semua
bangsa Arab yang masih musyrik jadi penggerak utama untuk memerangi Negara
Islam. Kabilah ini dipimpin oleh Malik bin Auf an-Nashri. Malik bin Auf
an-Nashri ini mampu mengumpulkan kabilah-kabilah lain bergabung ke dalam
kaumnya, seperti kabilah Hawazin, kabilah Tsaqif, kabilah Nashr, seluruh Bani
Jusyam, Sa’ad bin Bakar, sedikit dari Bani Hilal.
Sedang dari kalangan
kabilah Hawazin yang tidak ikut bergabung adalah Bani Ka'ab, dan Bani Kilab
sehingga tidak seorangpun di antara orang-orang penting mereka yang turut
bergabung.
Dari kalangan Bani
Jusyam yang tidak ikut bergabung adalah Duraid bin Shimmah. Ia orang tua yang
tidak memiliki apa-apa, namun pendapatnya brilian, ahli perang, dan
berpengalaman.
Dari kabilah Tsaqif
yang tidak ikut bergabung adalah dua orang pemimpin mereka.
Dari kabilah Akhlaf
yang tidak ikut bergabung adalah Qarib bin Aswad Mas’ud bin Mu’attib.
Dan dari Bani Malik
yang tidak ikut gabung adalah Dzu Khimar Sabi’ bin Harits bin Malik, dan
saudaranya, Ahmar bin Harits.
Sedang kepemimpinan
umum kelompok perlawanan ini dipegang oleh Malik bin Auf an-Nashri.
Ketika Malik bin Auf
an-Nashri telah bulat tekadnya untuk berangkat menyerang Rasulullah Saw., ia
tidak hanya berangkat bersama orang-orang, tetapi ia juga tidak lupa membawa
harta bendanya, istri-istrinya, dan anak-anaknya.
Setelah ia tiba di
Authas, orang-orang berkumpul di tempat Malik bin Auf an-Nashri, termasuk di
antaranya Duraid bin Shimmah, yang ketika itu berada dalam sekedup yang tidak
beratap yang dibawanya. (Authas adalah lembah di daerah kekuasaan kabilah
Hawazin yang terletak di antara Hunain dan Thaif)
Ketika Duraid bin
Shimmah turun dari sekedupnya, ia berkata, “Kalian berhenti di lembah apa?”
Orang-orang menjawab, “Di lembah Authas.” Duraid bin Shimmah berkata, “Bagus!
Ini sebaik-baik tempat kuda. Tempatnya tidak sulit, tidak berkerikil dan tidak
becek. Tapi, mengapa aku tidak mendengar suara unta menggeram, keledai
meringkik, anak kecil menangis, dan kambing mengembek?” Orang-orang menjawab,
“Malik bin Auf an-Nashri berangkat bersama orang-orang, tidak hanya itu, Malik
bin Auf an-Nashri juga membawa harta bendanya, istri-istrinya, dan
anak-anaknya.” Duraid bin Shimmah berkata, “Mana Malik?” Seorang berkata, “Ini
Malik.”
Setelah Malik di
depannya, Duraid bin Shimmah berkata, “Wahai Malik, engkau sekarang menjadi
pemimpin kaummu. Sungguh, hari ini milikmu, namun hari-hari berikutnya tidak
lagi. Tapi, mengapa aku tidak mendengar suara unta menggeram, keledai
meringkik, anak kecil menangis dan kambing mengembek?” Malik bin Auf an-Nashri
menjawab, “Aku berangkat bersama orang-orang, tidak hanya itu, aku juga membawa
harta bendanya, istri-istri dan anak-anaknya.” Duraid bin Shimmah berkata,
“Mengapa melakukan itu?” Malik bin Auf an-Nashri menjawab, “Aku ingin
menempatkan di belakang setiap orang dari mereka istrinya dan harta bendanya
agar ia turut berperang membantu mereka.”
Duraid bin Shimmah
mencela tindakan Malik bin Auf an-Nashri ini, kemudian Duraid bin Shimmah
berkata kepadanya, “Demi Allah, itu seperti penggembala kambing. Adakah sesuatu
yang dapat menahan mundurnya orang yang lari dari medan perang? Jika itu yang
engkau lakukan, maka hal itu sama sekali tidak akan bermanfaat bagimu, kecuali
setiap orang hanya disertai pedang dan tombaknya saja. Jika engkau tetap
melakukan itu, maka tindakanmu itu justru merupakan pelecehan terhadap keluarga
dan harta bendamu.”
Kemudian, Duraid bin
Shimmah berkata lagi, “Apa yang dikenakan Bani Ka'ab dan Bani Kilab?”
Orang-orang menjawab, “Tidak ada satupun dari mereka yang ikut serta.” Duraid
bin Shimmah berkata, “Kekuatan dan keberanian telah hilang. Jika perang ini
memberikan kejayaan dan kemuliaan, tentu tidak seorangpun dari Bani Ka’ab dan
Bani Kilab yang akan absen. Sungguh, aku ingin kalian berbuat seperti Bani
Ka'ab dan Bani Kilab. Siapa saja di antara kalian yang akan ikut serta?”
Orang-orang menjawab, “Amr bin Amir dan Auf bin Amir.” Duraid bin Shimmah
berkata, “Dua anak Amir tersebut tidak memiliki kemampuan berperang, sehingga
keduanya tidak akan memberi manfaat dan madharat. Wahai Malik, engkau
sedikitpun tidak mendekatkan para pemuda Hawazin ke dada kuda. Tempatkan
keluarga dan harta mereka di tempat yang sulit dijangkau, namun mudah
dipertahankan, baru kemudian hadapi ash-Shubbat dengan tetap berada di atas
punggung kuda (Ash-Shubba’ bentuk jama' dari kata Shabi’ (orang murtad). Mereka
menyebut kaum muslimin dengan sebutan orang murtad itu sebab kaum muslimin
keluar dari agama paganisme kemudian masuk ke dalam Islam). Jika kemenangan ada
di pihakmu, maka orang-orang yang ada di belakangmu pasti menyusulmu. Jika
engkau kalah, aku akan menemuimu di tempat tersebut, dan dengan tindakanmu itu
engkau sungguh telah melindungi keluarga dan harta bendamu.”
Malik bin Auf
an-Nashri berkata, “Demi Allah, itu tidak akan aku lakukan. Wahai Duraid bin
Shimmah, engkau sudah tua dan akalmu juga sudah pikun. Demi Allah, kalian harus
taat kepadaku, wahai orang-orang Hawazin. Kalau tidak, maka aku akan bersandar
di atas pedang ini hingga pedang ini keluar dari punggungku.”
Malik bin Auf
an-Nashri tidak ingin Duraid bin Shimmah ikut andil dengan memberi nasehat,
masukan, atau pendapat dalam masalah ini. Orang-orang kabilah Hawazin pun
berkata, “Kami taat kepadamu.”
Duraid Shimmah
berkata:
Ini adalah hari di
mana kehadiranku tidaklah berguna
Seandainya dalam
perang ini aku seorang pemuda
Pasti aku segera
menyelinap dan berjalan di dalamnya
Aku tuntun kuda yang
panjang rambutnya
Sepertinya ia adalah
kambing muda
b. Persiapan Rasulullah
Menghadapi Peperangan
Setelah Rasulullah
Saw. mendengar rencana mereka, beliau mengutus Abdullah bin Abu Hadrad
al-Aslami. Beliau memerintahkannya agar menyelinap ke tempat mereka, dan berada
di tempat mereka untuk mengetahui seluk-beluk tentang mereka, kemudian pulang
kembali kepada beliau dengan membawa informasi tentang mereka.
Abdullah bin Abu
Hadrad berangkat, lalu ia menyelinap ke tempat mereka, dan berada di tempat
mereka hingga ia mendengar dan mengetahui tentang apa yang telah mereka
sepakati, yaitu memerangi Rasulullah Saw. Ia juga mendengar ucapan Malik bin
Auf an-Nashri dan kondisi terakhir kabilah Hawazin, serta kesiapan mereka yang
akan memerangi Rasulullah Saw. Setelah mendapat semua informasi itu, Abdullah
bin Abu Hadrad pulang kembali menemui Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah Saw.
memutuskan untuk berangkat ke tempat kabilah Hawazin untuk menghadapi mereka,
beliau mendapat laporan bahwa Shafwan bin Umayyah mempunyai baju besi dan
senjata perang. Untuk itu, beliau pergi kepada Shafwan bin Umayyah -yang ketika
itu ia masih musyrik- dan beliau bersabda, “Wahai Abu Umayyah, pinjamkan
senjatamu kepada kami untuk menghadapi musuh kami besok pagi.” Shafwan bin
Umayyah berkata, “Wahai Muhammad, apakah ini perampasan?” Rasulullah Saw.
bersabda, “Bukan, namun ini pinjaman dengan diberi jaminan, sampai senjata ini
aku kembalikan lagi kepadamu.” Shafwan bin Umayyah berkata, “Kalau begitu,
baiklah.” Lalu, Shafwan bin Umayyah memberikan seratus baju besi dan senjata
perang yang cukup kepada Rasulullah Saw. Ini kedua kalinya Shafwan bin Umayyah
membantu Rasulullah Saw. memerangi orang kafir dalam rangka menghabisinya.
Sedang, pembicaraan tentang hal itu telah kami kemukakan.
d. Peristiwa-peristiwa setelah
peperangan
1. Pasukan yang dipimpin Abu
Amir al-Asy'ari di kirim ke Authas
Orang-orang yang
melarikan diri dari medan perang Hunain sedang berkumpul di Authas. Untuk itu,
Rasulullah Saw. mengirim pasukan yang dipimpin oleh Abu Amir al-Asy’ari untuk
memerangi mereka. Abu Amir al-Asy’ari menjadi syahid dalam penyerangan ini.
Setelah itu kepemimpinan diserahkan kepada Abu Musa al-Asy’ari, lalu Allah
memenangkan Abu Musa al-Asy’ari atas mereka, dan akhirnya mereka melarikan diri
ke Thaif.
2. Keputusan terhadap para
tawanan
Para tawanan yang
diikat itu dibawa kepada Rasulullah Saw., di antara mereka adalah “Bijad” salah
seorang dari Bani Sa’ad bin Bakar. Rasulullah Saw. sebelumnya telah
memerintahkan untuk mencari Bijad dan membawa kepada beliau. Sebab ia pernah
ikut andil dalam menghasut orang-orang agar melawan Negara Islam.
Sedang harta rampasan
perang yang lain dan para tawanan wanita dibawa ke Ji’irranah. Dan di antara
para tawanan itu adalah “Syaima’ bintu Harits bin Abdul Uzza” yang tidak lain
adalah saudara perempuan sesusuan Rasulullah Saw. Ketika ia dibawa ke hadapan
Rasulullah Saw., ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah saudara perempuan
sesusuanmu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Apa tanda untuk membuktikan ucapanmu
itu?” Syaima' bintu Harits berkata, “Bekas gigitan. Engkau pernah menggigit
punggungku ketika aku menggendongmu.” Rasulullah Saw. mengenal bukti itu.
Kemudian beliau membentangkan kain selendangnya untuk Syaima’, lalu menyuruhnya
duduk di atas kain selendang tersebut. Setelah itu, beliau memberi Syaima'
pilihan, yaitu antara tinggal bersama beliau dengan dimuliakan, atau kembali
kepada keluarganya. Syaima’ memilih kembali kepada keluarganya. Kemudian,
Rasulullah Saw. menyiapkan keperluannya, dan mengembalikannya kepada
keluarganya.
3. Pembagian Bonus (Rampasan
Perang)
Rasulullah Saw.
menyeru kepada pasukannya:
“Siapa saja yang
membunuh seorang musuh, maka ia berhak atas harta apa saja yang ditemukan pada
tubuhnya (salab).” Hal itu beliau lakukan sebagai bonus bagi mereka yang ikhlas
dalam berjihad, ujian yang baik, dan pendorong agar mereka lebih berani menghadapi
ujian dalam peperangan berikutnya.
Kemudian, Abu Qatadah
mendekat kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah,
aku membunuh salah seorang musuh yang bersalah, kemudian perang membuatku
menjauh darinya. Sehingga aku tidak tahu siapa yang mengambil salabnya.” Seorang di antara penduduk Makkah
berkata, “Wahai Rasulullah, ia (Abu Qatadah) berkata benar, sedang salab orang
yang ia bunuh ada padaku. Untuk itu, mohonkan kepadanya agar ia merelakan salab
tersebut aku miliki.” Abu Bakar ash-Shiddiq berkata kepada orang Makkah
tersebut, “Tidak, Allah tidak meridhai hal ini, sebab engkau sengaja mendekat
kepada salah seorang singa Allah yang berperang karena Allah dengan tujuan bisa
berbagi salab denganmu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Abu Bakar berkata benar. Aku
ingin engkau mengembalikan salab tersebut kepada pemiliknya.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan
Rasulullah Saw., Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar