Putaran Keempat: di Ji’irranah
a. Mengakhiri Pengepungan
Setelah mengakhiri
pengepungan terhadap orang-orang Thaif, Rasulullah Saw. bersama para sahabat
pergi menuju Ji’irranah. Beliau memerintahkan semua hasil rampasan perang
dibawa ke sana agar tetap terkontrol oleh tentaranya. Sungguh Allah telah
memberi mereka nikmat yang banyak ini, Allah mewariskan kepada mereka tanah,
harta benda, dan jiwa raga musuh-musuhnya. Pertolongan Allah kepada mereka
dalam mengalahkan orang-orang Thaif tidak dapat dicegah kecuali karena hikmah
yang diajarkan oleh Allah Swt.
Rasulullah Saw. tiba
di Ji’irranah. Di Ji’irranah terdapat banyak tawanan kabilah Hawazin. Enam ribu
di antaranya berupa anak-anak dan para wanita, empat belas ribu ekor unta, dan
lebih dari empat puluh ribu ekor kambing, sedang yang berupa perak sebanyak
empat ribu uqiyah.
Setelah beliau sampai
di Ji’irranah, delegasi kabilah Hawazin datang kepada beliau untuk meminta
amnesti kepada beliau. Mereka berkata kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah,
kami masih memiliki hubungan nasab dan keluarga (dengan engkau). Sekarang, kami
sedang mendapatkan petaka seperti yang engkau ketahui. Oleh karena itu, berilah
kami karunia semoga Allah memberi karunia kepadamu.”
b. Membebaskan Para Tawanan
Salah seorang dari
kabilah Hawazin yang bernama Zuhair sedang nama panggilannya adalah Abu Shurad
dari Bani Sa’ad bin Bakr berdiri, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, di tempat
penampungan para tawanan ini terdapat para bibimu dari jalur ayah, para bibimu dari
jalur ibu, dan para wanita yang dulu pernah mengasuh dan memeliharamu. Kalau
saja kami dulu pernah memelihara dan mengasuh Harits bin Abu Syamr atau Nu'man
bin Mundzir, kemudian kami mendapatkan musibah seperti yang engkau timpakan
kepada kami, niscaya kami mengharapkan belas kasih dan bantuannya terhadap
kami. Sedang engkau adalah sebaik-baik orang yang pernah kami pelihara dan kami
asuh.” Rasulullah Saw. bersabda, “Manakah yang lebih kalian cintai, anak-anak
dan wanita-wanita kalian, atau harta benda kalian?” Mereka berkata, “Wahai
Rasulullah, engkau menyuruh kami memilih antara harta benda kami dengan anak
keturunan kami. Namun, kami hanya ingin engkau mengembalikan anak-anak dan
wanita-wanita kami, sebab mereka lebih kami cintai daripada yang lain.”
Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka, “Adapun tawanan yang menjadi hakku dan
hak Bani Muththalib, maka tawanan itu aku kembalikan kepada kalian.” Ketika aku
telah selesai mengerjakan shalat Dhuhur bersama kaum muslimin, maka berdirilah
kalian, kemudian katakanlah, “Kami meminta pembelaan kepada Rasulullah Saw.
dalam menghadapi kaum muslimin, dan meminta pembelaan kaum muslimin dalam
menghadapi Rasulullah Saw., untuk mendapatkan kembali anak-anak dan
wanita-wanita kami, maka pada saat itu aku akan memberi kalian, dan aku akan
meminta untuk kalian.”
Maksud Rasulullah Saw.
melakukan itu semua tidak lain, kecuali agar tidak terjadi kegoncangan
kepercayaan antara rakyat dan penguasa yang sedang berkuasa. Tindakan seperti
itu menjadi dasar dalam menciptakan hubungan yang harmonis antara penguasa
(hakim) dan rakyat (mahkum).
Setelah Rasulullah
Saw. selesai mengerjakan shalat Dhuhur bersama kaum muslimin, delegasi kabilah
Hawazin berdiri dan berkata seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw.
Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Adapun tawanan yang menjadi hakku dan hak Bani
Muththalib, maka tawanan itu aku kembalikan kepada kalian.”
Kaum Muhajirin
berkata, “Tawanan yang menjadi hak kami, kami serahkan kepada Rasulullah Saw.”
Kaum Anshar berkata,
“Tawanan yang menjadi hak kami, kami serahkan kepada Rasulullah Saw.”
Al-Aqra’ bin Habits
berkata, “Tawanan yang menjadi hakku dan hak Bani Tamin, kami tidak
memberikannya kepada Rasulullah Saw.”
‘Uyainah bin Hihsn
berkata, “Tawanan yang menjadi hakku dan hak Bani Fazarah, kami tidak
memberikannya kepada Rasulullah Saw.”
Abbas bin Mirdas
berkata, “Tawanan yang menjadi hakku dan hak Bani Sulaim, kami tidak
memberikannya kepada Rasulullah Saw.”
Bani Sulaim berkata,
“Tidak begitu, tawanan yang menjadi hak kami, kami serahkan kepada Rasuullah
Saw.” Abbas bin Mirdas berkata kepada Bani Sulaim, “Kalian membuat aku malu.”
Rasulullah Saw.
bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang ingin tetap mempertahankan haknya
atas tawanan ini, maka ia berhak atas enam bagian untuk setiap tawanan, mulai
dari tawanan yang pertama kali aku dapatkan.” Orang-orang pun mengembalikan
kepada delegasi kabilah Hawazin anak-anak mereka dan wanita-wanita mereka.
c. Kepuasan dan Masuk Islamnya
Panglima Perang Hunain
Rasulullah Saw.
berpikir kalau saja beliau dapat menarik panglima perang (pihak kabilah)
Hunain, Malik bin Auf ke dalam barisan beliau dengan cara apapun, tentu itu
merupakan suatu prestasi yang besar.
Untuk itu, beliau
bertanya kepada delegasi kabilah Hawazin tentang keberadaan Malik bin Auf
an-Nashri, “Apa yang sedang ia kerjakan?” Mereka menjawab, “Ia sedang berada di
Thaif” bemama orang-orang Tsaqif.” Rasulullah Saw. bersabda, “Katakan kepada
Malik bahwa jika ia datang kepadaku dalam keadaan Islam, aku akan mengembalikan
kepadanya keluarga dan harta bendanya, dan aku memberinya seratus unta.”
Informasi tersebut
disampaikan kepada Malik bin Auf. Kemudian, ia pergi dari Thaif dengan
sembunyi-sembunyi bermaksud menemui Rasulullah Saw., sebab Malik bin Auf
an-Nashri khawatir kalau orang-orang Tsaqif mengetahui apa yang disabdakan oleh
Rasulullah Saw., karena jika mereka mengetahuinya, maka mereka pasti terus
mengawasinya dengan ketat dan melarangnya pergi menemui Rasulullah Saw. Oleh
karena itu, ia memerintahkan seseorang untuk menyiapkan untanya, dan ia juga
memerintahkan agar menyiapkan kuda yang akan membawanya ke Thaif.
Ia pergi dari Thaif
pada malam hari, lalu ia duduk di atas kudanya, dan memacunya hingga ia tiba di
tempat di mana untanya telah disiapkan. Kemudian, ia menaiki unta tersebut,
lalu menyusul Rasulullah Saw. Ia bertemu beliau di Ji’irranah atau Makkah.
Rasulullah Saw.
mengembalikan kepadanya keluarga dan harta bendanya, dan memberinya seratus
unta. Akhirnya, ia masuk Islam dan bahkan ia menjadi seorang Islam yang baik.
Rasulullah Saw. mengangkat Malik bin Auf an-Nashri sebagai pemimpin yang
membawahi orang-orang dari kaumnya yang telah masuk Islam.
Kabilah-kabilah dari
kaumnya yang telah masuk Islam adalah Tsumamah, Silmah, dan Fahm. Bersama
mereka itu, Malik bin Auf memerangi orang-orang Tsaqif. Setiap kali hewan
ternak orang-orang Tsaqif terlihat olehnya, ia segera menyerangnya, hingga
akhirnya ia berhasil mempersempit ruang gerak orang-orang Tsaqif.
Kembali ke Makkah al-Mukarramah
Setelah Rasulullah
Saw. selesai membagi-bagikan harta hasil rampasan perang yang sebelumnya beliau
perintahkan agar dibawa ke Ji’irranah, sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan
bagi Negara Islam, beliau memerintahkan agar bagian Negara Islam dari harta hasil
rampasan perang tersebut -yaitu seperlimanya- dipindahkan ke Mijannah, dan
disimpan di sana.
Kemudian, beliau
menuju Makkah al-Mukarramah untuk menenangkan situasi dan kondisi di Makkah
sebelum beliau meninggalkan daerah tersebut, dan untuk menyaksikan sendiri
reaksi setelah pembagian harta hasil rampasan perang -dengan penuh kedermawanan
kepada para pemimpin kabilah dan kepada orang-orang yang memiliki pengaruh di
Makkah. Khususnya para pemimpin kaum Quraisy yang telah mendapatkan bagian yang
sangat banyak dari pembagian ini sampai mereka tidak mampu membawanya.
Selama beliau berada
di Makkah, beliau harus memasuki tanah haram, dan menunaikan hak Allah di
Makkah dengan melakukan umrah. Sehingga sebagai konsekuensinya beliau juga
bermaksud menunaikan umrah.
Setelah beliau tiba di
Makkah, menunaikan umrah, dan tinggal sebentar di Makkah, beliau mendengar
orang-orang membicarakan beliau dan selalu memuji kebaikannya, serta melupakan ejekan-ejekan
sebelumnya ketika bermusuhan
dengan beliau.
Setelah Rasulullah
merasa tenang dan puas bahwa situasi dan kondisi di Makkah sudah tidak keruh
lagi, dan urusan Makkah sudah lebih baik, maka beliau mengangkat Atab bin Usaid
sebagai wali di Makkah, serta menentukan
gajinya yaitu satu dirham setiap harinya. Kemudian beliau memerintahkan agar
harta hasil rampasan perang yang dititipkan di Mijannah dipindahkan ke Madinah
untuk membantu dalam pengaturan urusan-urusan Negara Islam. Kemudian beliau
berangkat kembali ke Madinah al-Munawwarah.
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis
Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar