H. Membuka Front Peperangan
Dengan Romawi
Setelah kembalinya
pasukan-pasukan yang disebar oleh Rasulullah di padang pasir bangsa Arab untuk
membersihkan kantong-kantong perlawanan yang ada di sana, dan setelah semuanya
dimenangkan oleh Negara Islam, maka seluruh padang pasir tunduk kepada Rasulullah,
dan menyatakan loyalitasnya kepada Negara Islam.
Dengan demikian, telah
tiba saatnya bagi Negara Islam membuka front dengan Romawi, dan orang-orang
yang tunduk dan loyal terhadap Romawi, yang terdiri dari orang-orang Arab yang
beragama Nashrani. Rasulullah Saw. mulai menyiapkan perlengkapan untuk berangkat
ke Tabuk.
1. Perang Tabuk
a. Sebab Perang Tabuk
Sebab-sebab yang jauh
dan hakiki dilakukannya perang Tabuk ini adalah melaksanakan rencana politik
dan militer yang telah dirancang oleh Rasulullah Saw. bagi Negara Islam.
Adapun sebab-sebab
yang secara langsung terkait dengan perang Tabuk ini adalah ketika sampai
informasi kepada bangsa Romawi tentang kemenangan Rasulullah yang luas dan
merata meliputi orang-orang penganut Yahudi dan paganisme, serta informasi
tentang berhasilnya Rasulullah membersihkan institusi-institusi politik
keduanya di Jazirah Arab. Mendengar itu, Romawi merasa bahwa batas-batas
wilayah kekuasaannya sedang terancam bahaya.
Sebab di sampingnya
telah berdiri negara baru yang kuat. Negara inilah yang telah mengakhiri
pusat-pusat kekuatan orang-orang Yahudi, lalu mengakhiri pusat-pusat kekuatan
kaum paganisme. Maka dapat dipastikan negara ini akan sungguh-sungguh berusaha
mengakhiri pusat-pusat kekuatan orang-orang Nashrani, sehingga pertempuran di
antara keduanya pasti akan terjadi.
Untuk itu, Negara
Romawi melihat perlunya menyiapkan tentara yang akan mengakhiri pusat-pusat
kekuatan negara ini sebelum urusannya menjadi lebih gawat. Negara Romawi
menyiapkan tentara berkekuatan empat puluh ribu serdadu untuk digerakkan menuju
Jazirah Arab, dan untuk mengakhiri legenda ketangguhan Negara Islam.
b. Menyiapkan Tentara Islam
Rasulullah Saw.
mengetahui informasi tentang tentara yang dimobilisir oleh Negara Romawi untuk
memerangi beliau ini dari mata-mata yang beliau sebar. Rasulullah Saw.
memerintahkan para sahabatnya agar bersiap-siap memerangi Romawi, dan tidak
boleh seorangpun yang tidak ikut.
Peristiwa itu terjadi
pada bulan Rajab. Ketika itu kaum muslimin sedang dalam kesulitan, cuaca sangat
panas, tanah gersang, sedang buah telah matang, sehingga kaum muslimin merasa
senang tetap tinggal di tempat menikmati buah dan berteduh di bawahnya, mereka
tidak ingin pergi dalam kondisi seperti ini.
Rasulullah Saw. tidak
jarang ketika hendak pergi berperang mengunakan kata kiasan. Beliau
memberitahukan bahwa beliau hendak menuju ke suatu tempat, padahal bukan tempat
itu yang beliau tuju. Namun tidak dengan perang Tabuk, beliau kali ini berterus
terang kepada kaum muslimin, mengingat jauhnya perjalanan, sulitnya medan,
sempitnya zaman, dan banyaknya jumlah musuh, agar kaum muslimin benar-benar
menyiapkan apa yang diperlukan, dan agar kaum muslimin benar-benar siap
menghadapi musuhnya.
Kami katakan bahwa
kaum muslimin benar-benar dalam keadaan kesusahan dan kesulitan, sehingga
mayoritas dari mereka tidak memiliki sesuatu yang akan dipersiapkan untuk turut
dalam peperangan. Begitu juga halnya dengan Negara Islam, Negara Islam juga
tidak memiliki sesuatu yang memadai untuk mempersiapkan tentara Islam ini.
Untuk itu, beliau menganjurkan kaum muslimin berinfak untuk membiayai tentara
Islam ini.
Para sahabat pun
berinfak, sebab anjuran itu tidak terbatas kepada orang-orang tertentu saja. Di
antara para sahabat yang terkenal banyak memberikan hartanya untuk keperluan
tentara ini adalah kedermawanan
Utsman bin Affan ra. yang membekali sepertiga tentara dengan hartanya, yaitu
sepuluh ribu mujahid, kemudian ia membawa seribu dinar dan meletakkannya di
tempat Rasulullah Saw. Melihat itu, Rasulullah mulai menciumnya dengan kedua
tangan beliau. Dan beliau bersabda:
“Tidak akan
membahayakan Utsman apa yang ia kerjakan setelah hari ini.” (HR. Tirmidzi).
Abdurahman bin Auf
berinfak seratus uqiyah perak, para sahabat yang lain pun banyak yang turut
berinfak sehingga semua keperluan tentara telah terpenuhi.
Ada sekelompok orang
yang tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw. dan tidak menyusul
tentara kaum muslimin. Di antara mereka ada yang tidak ikut berangkat perang
karena terdapat penyakit dalam hatinya, dan ada pula yang karena
kemunafikannya, seperti al-Jadd bin Qais. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya,
“Wahai al-Jadd, apakah tahun ini engkau ikut memerangi orang-orang berkulit
kuning (Romawi)? al-Jadd menjawab, “Wahai Rasulullah, berilah aku izin, dan
janganlah engkau menjerumuskan aku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku telah
mengenaliku bahwa tidak ada seorang lelaki pun yang lebih cepat tertarik kepada
wanita daripada aku. Oleh karena itu, aku khawatir jika aku melihat
wanita-wanita berkulit kuning (Romawi), maka aku tidak sabar.” Rasulullah Saw.
memalingkan muka dari al-Jadd bin Qais dan bersabda, “Aku mengizinkanmu.”
Tentang al-Jadd bin Qais ini turunlah firman Allah Swt. bagian dari surat
at-Taubah:
“Di antara mereka ada
orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan
janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa
mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu
benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (TQS. at-Taubah [9]: 49)
Maksudnya, jika
al-Jadd bin Qais khawatir tergoda wanita-wanita Romawi, padahal itu tidak akan
terjadi padanya. Namun, fitnah yang ia telah jatuh ke dalamnya itu lebih besar,
yaitu tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw. dan lebih mementingkan
dirinya daripada beliau. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya Jahannam
itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.”
Di antara mereka
(orang-orang munafik) yang tidak ikut berangkat perang beralasan karena suhu
udara yang sangat panas. Kemudian, sebagian dari mereka menganjurkan kepada
sebagian yang lain, “Janganlah kalian berangkat perang dalam terik panas
seperti ini.” Mereka berkata demikian karena ingin mengecilkan arti jihad,
membuat keraguan tentang kebenaran, dan menggoyahkan kepercayaan kaum muslimin
kepada Rasulullah Saw. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat terkait dengan
mereka ini:
“Orang-orang yang
ditinggalkan (tidak ikat berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka
di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang)
dalam panas terik ini.” Katakanlah: “Api Neraka Jahannam itu lebih sangat
panas(nya)”, jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa tedikit
dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.”
(TQS. at-Taubah [9]: 81-82)
Dan di antara mereka
(orang-orang munafik) yang tidak ikut berangkat perang adalah mereka yang
bersama Abdullah bin Ubay bin Salul yang membuat perkemahannya berada dekat
dengan gunung Dzubab di Madinah al-Munawwarah. Orang-orang munafik yang bersama
Abdullah bin Ubay bin Salul jumlahnya kurang lebih separuh dari jumlah tentara
kaum muslimin. Ketika Rasulullah Saw. berangkat, Abdullah bin Ubay bin Salul
bersama kelompok kaum munafik dan orang-orang yang masih ada keraguan dalam
hatinya tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw.
Dan di antara kaum
mukminin yang tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw. karena tugas
yang Rasulullah Saw. bebankan kepadanya adalah Ali bin Abu Thalib. Rasulullah
Saw. membebani Ali bin Abi Thalib tugas untuk mengawasi dan mengurusi keluarga
beliau dan keluarga orang-orang yang sedang pergi berjihad bersama Rasulullah
Saw. Orang-orang munafik menyebarkan berita bahwa Rasulullah Saw. tidak
memerintahkan Ali untuk tidak ikut berangkat perang dengan tinggal di Madinah.
Namun Ali melakukan itu untuk menyelamatkan diri dari perang.
Setelah Ali mendengar
berita itu, Ali mengambil senjatanya, dan menyusul Rasulullah Saw. Ali bertemu
dengan Rasulullah Saw. di al-Jurf. Ali berkata kepada beliau, “Wahai Nabi
Allah, orang-orang munafik mengatakan bahwa engkau menyuruh aku tidak ikut berangkat
perang, karena engkau melihat aku merasa keberatan dan menghindar dari
kewajiban perang ini.” Rasulullah Saw. bersabda kepada Ali, “Mereka dusta,
namun aku menyuruhmu tidak ikut berangkat perang bersamaku agar kamu mengurusi
keluargaku yang sedang aku tinggalkan.” Kemudian, Ali bin Abu Thalib ra.
kembali lagi ke Madinah alaMunawwarah.
Datang menemui
Rasulullah Saw. sekelompok orang di antara orang-orang Arab yang tinggal di
sekitar Madinah al-Munawwarah, mereka berasal dari Bani Ghafar, mereka belum
banyak mengetahui tentang tujuan-tujuan mulia Islam. Mereka datang kepada
Rasulullah Saw. untuk meminta izin, mereka menjelaskan kesulitan yang sedang
mereka hadapi, dan ketidakmampuan mereka untuk pergi berjihad bersama beliau.
Rasulullah Saw. tidak menerima alasan mereka. Beliau tetap memerintahkan mereka
agar pergi berjihad. Akhirnya sebagian dari kelompok tersebut langsung
bergabung dengan Rasulullah Saw., dan sebagian yang lain berdiam diri tidak
ikut berjihad tanpa meminta izin tentang ketidakikutannya ini. Kemudian, Allah
menurunkan ayat tentang mereka ini:
“Dan datang (kepada
Nabi) orang-orang yang mengemukakan uzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar
diberi izin bagi mereka (untuk tidak pergi berjihad), sedang orang-orang yang
mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang
yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih.” (TQS. at-Taubah
[9]: 90)
Begitu juga ada
sekelompok orang yang hampir-hampir tertinggal dari tentara Islam. Mereka
adalah orang-orang yang paling ikhlas dan paling dalam imannya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Namun karena kondisi mereka yang miskin dan ada dalam kondisi
kesulitan, sehingga yang mampu mereka lakukan hanyalah menangis.
Mereka adalah tujuh
orang dari kaum Anshar dan yang lainnya. Dari Bani Amr bin Auf adalah Salim bin
Umair, Ulbah bin Zaid saudara Bani Haritsah, Abu Laila Abdurrahman bin Ka’ab
saudara Bani Mazin bin Najjar, Amr bin Humam bin Jamuh saudara Bani Salamah, Abdullah
bin Mughaffal al-Muzani -sebagian orang berkata, yang benar adalah Abdullah bin
Amr al-Muzani, Harami bin Abdullah saudara Bani Waqif, dan Irbadh bin Sariyah
al-Fazari.
Mereka semua
mendatangi Rasulullah Saw. dan meminta kepada beliau agar beliau membiayai
persiapan jihad mereka, sebab mereka orang-orang miskin. Rasulullah Saw.
bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa untuk membiayai jihad kalian.” Mereka
pun keluar dari tempat Rasulullah Saw. sambil menangis karena sedih, sebab
mereka tidak mendapatkan infak untuk membiayai persiapan jihad mereka.
Ibnu Yamin bin Umair
bin Ka’ab an-Nadhri bertemu Abu Laila Abdurrahman bin Ka’ab dan Abdullah bin
al-Mughaffal, yang ketika itu keduanya sedang menangis. Ibnu Yamin berkata
kepada keduanya, “Mengapa engkau berdua menangis?” Keduanya menjawab, “Kami
datang kapada Rasulullah Saw. dan meminta kepada beliau agar beliau membiayai
persiapan jihad kami, namun kami melihat beliau tidak memiliki apa-apa untuk
membiayai persiapan jihad kami. Akhirnya kami tetap tidak memiliki bekal untuk
berangkat bersama beliau.” Kemudian, Ibnu Yamin memberikan untanya dan sedikit
kurma untuk bekal keduanya. Akhirnya, kedua sahabat tersebut berangkat perang
bersama Rasulullah Saw.
Ada juga sekelompok
orang di antara para sahabat Rasulullah Saw. yang telat berniat. Hal itu
terjadi secara kebetulan ketika iman dalam kondisi lemah, sebab kondisi yang
demikian ini terkadang menimpa seorang manusia, yang menjadikannya tunduk
terhadap keinginan hawa nafsunya. Kemudian, setelah hatinya terjaga dan kuat,
ia sangat menyesali apa yang terjadi ketika imannya dalam kondisi lemah.
Kelompok para sahabat yang sedang mengalami kondisi seperti ini telat dalam
berniat. Akhirnya mereka tertinggal tidak ikut berangkat bersama Rasulullah
bukan karena mereka ragu atau tidak percaya kepada Rasulullah.
Di antara mereka itu
adalah Ka'ab bin Malik bin Abu Ka’ab, Mararah bin Rabi’, Hilal bin Umayyah, dan
Abu Khaitsamah. Mereka adalah orang-orang jujur, yang tidak diragukan lagi
tentang keIslamannya.
Setelah Rasulullah
Saw. pergi dan membuat perkemahannya di Tsaniyah al-Wada’ (Tsaniyah al-Wada'
adalah celah yang berada di dataran tinggi Madinah. Celah ini dilewati setiap
orang yang hendak ke Makkah). Abu Khaitsamah ra. kembali kepada keluarganya di
hari yang sangat panas setelah beberapa hari sejak Rasulullah Saw. meninggalkan
Madinah. Setibanya di Madinah, ia-mendapati kedua istrinya sedang berada di
gubuk milik keduanya, di kebun kurma Abu Khaitsamah. Masing-masing dari kedua
istrinya sedang mengapur gubuknya. Di dalam gubuk tersebut, kedua istrinya
telah mendinginkan air, dan menyiapkan makanan untuknya. Ketika Abu Khaitsamah
hendak memasuki gubuk, ia tidak langsung masuk, ia berdiri di pintu gubuk,
kemudian ia melihat kedua istrinya dan apa yang sedang dilakukan keduanya. Ia
berkata, “Rasulullah Saw. sedang berada di bawah terik panas sinar matahari,
kencangnya angin, dan hawa panas, sedang Abu Khaitsamah berada di dalam naungan
yang dingin, makanan yang telah siap disantap, dan dua istri yang cantik yang
tersedia di kebunnya? Ini tidak adil.”
Abu Khaitsamah berkata
kepada kedua istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan masuk ke gubuk salah seorang
dari kalian berdua, sebelum aku berhasil menyusul Rasulullah Saw. Untuk itu,
kalian berdua harus segera menyiapkan bekal untukku.”
Kedua istrinya
melakukan apa yang diperintahkannya. Setelah untanya diberikan kepadanya, ia
segera berangkat pergi mencari Rasulullah Saw. Sehingga akhirnya ia bertemu
beliau ketika beliau sedang berhenti di Tabuk. Di tengah perjalanan, Abu
Khaitsamah bertemu dengan Umair bin Wahb al-Jumahi yang juga sedang menyusul
Rasulullah Saw. Kemudian keduanya berjalan bersama.
Ketika keduanya telah
mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair bin Wahb, “Sesungguhnya
aku mempunyai dosa, oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau engkau di
belakangku hingga aku terlebih dahulu tiba di tempat Rasulullah Saw.” Umair bin
Wahb mengabulkan keinginan Abu Khaitsamah.
Ketika Abu Khaitsamah
telah mendekati tempat Rasulullah Saw. yang ketika itu sedang berhenti di
Tabuk, orang-orang berkata, “Musafir yang melintasi jalan ini telah datang.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Dialah Abu Khaitsamah.” Orang-orang berkata, “Wahai
Rasulullah, demi Allah, dia Abu Khaitsamah.”
Setelah menghentikan
untanya, Abu Khaitsamah berjalan dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Khaitsamah, “Wahai Abu Khaitsamah, Aula laka” (Aula
laka adalah kalimat yang bermakna ancaman (at-tahdid). Ia adalah isim namun dinamakan dengan fi’il. Sedang artinya, seperti yang dikatakan
para mufassir adalah danauta min al-halakah
(engkau telah mendekati kebinasaan). Abu Khaitsamah mengemukakan alasan kepada
Rasulullah Saw., kenapa ia tertinggal. Beliau pun berkata baik kepadanya, dan
bahkan beliau mendo’akan kebaikan kepadanya.
c. Berangkat ke Tabuk
Rasulullah Saw.
melanjutkan perjalanan, kemudian salah seorang di antara sahabatnya tertinggal.
Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang tertinggal.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Biarkan dia. Jika pada dirinya terdapat kebaikan,
maka Allah akan menyusulkannya kepada kalian. Jika tidak, maka Allah akan
menghibur kalian daripadanya.” Dikatakan kepada Rasulullah Saw., “Wahai
Rasulullah, yang tertinggal adalah Abu Dzar, karena untanya berjalan lambat.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Biarkan dia. Jika pada dirinya terdapat kebaikan,
maka Allah akan menyusulkannya kepada kalian. Jika tidak, maka Allah akan
menghibur kalian daripadanya.”
Abu Dzar berhenti
sejenak sambil menunggu untanya. Namun karena untanya tetap berjalan lambat,
Abu Dzar mengambil perbekalannya, kemudian memikulnya. Selanjutnya ia berjalan
kaki menelusuri jejak-jejak Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw. sedang
berhenti di salah satu jalan, tiba-tiba salah seorang di antara kaum muslimin
melihat bayangan hitam kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, ada
orang berjalan kaki sendirian." Rasulullah Saw. bersabda, “Dialah Abu
Dzar.” Ketika orang-orang telah melihatnya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah,
demi Allah, betul ia Abu Dzar.” Rasulullah Saw. bersabda, “Semoga Allah
merahmati Abu Dzar yang berjalan kaki sendirian, mati sendirian, dan
dibangkitkan sendirian.”
(Dari Abdullah bin
Mas’ud, ia berkata, “Ketika Utsman mengasingkan Abu Dzar ke ar-Rabadah, di
ar-Rabadah Abu Dzar merasa hidupnya sudah tidak lama lagi. Ia tidak ditemani
seorangpun kecuali istri dan anaknya. Abu Dzar berpesan kepada keduanya: (jika
kelak aku telah meninggal), maka mandikanlah aku, kafanilah aku, kemudian
letakkanlah aku di tengah jalan. Lalu katakan kepada rombongan orang yang
pertama melintasi kalian, “Ini Abu Dzar, ia sahabat Rasulullah, untuk itu,
tolonglah kami menguburnya.” Ketika Abu Dzar meninggal, maka keduanya melakukan
seperti yang dipesan Abu Dzar. Kemudian keduanya menaruh jenazah Abu Dzar di
tengah jalan. Abdullah bin Mas'ud bersama para rombongan orang-orang Iraq
datang. Mereka tidak melihat apa-apa kecuali jenazah yang ada di tengah jalan.
Ketika unta hampir menginjaknya, tiba-tiba seorang anak mendekati mereka, lalu
berkata, “Ini Abu Dzar, ia sahabat Rasulullah, untuk itu, tolonglah kami
menguburnya.” Melihat itu, Abdullah bin Mas’ud mulai menangis hingga air
matanya bercucuran, ia berkata, “Rasulullah Saw. benar. (Beliau bersabda:) Abu
Dzar yang berjalan kaki sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan sendirian.”
Kemudian, ia dan para sahabatnya berhenti, lalu mengubumya. Peristiwa ini
merupakan bukti kebenaran sabda Rasulullah Saw. di perang Tabuk, dan sebagai
bukti baru atas kenabian Rasulullah Saw.)
Tentara Islam bergerak
maju menuju Tabuk dengan penuh kehati-hatian. Akan tetapi, setelah tentara
Romawi mengetahui bahwa tentara kaum muslimin telah datang, mereka lebih
mengutamakan untuk menjauhi medan perang dan menghindari terjadinya
pertempuran. Sebab mereka sadar bahwa peperangan tidak menguntungkan pihak
mereka. Negara Romawi masih belum bisa melupakan perang Mu’tah sebelumnya.
Yaitu perang di mana tiga ribu tentara kaum muslimin berhadapan dengan dua
ratus ribu serdadu orang-orang Romawi. Ternyata kaum muslimin keluar dari medan
perang sebagai pemenang, sebab kerugian di pihak musuh melebihi kerugian di
pihak kaum muslimin.
Sekarang, bagaimana
mungkin kaum muslimin mau menghadapi kesulitan dengan mengadakan kontak
bersenjata dengan tentara Romawi, kalau saja kaum muslimin tidak menyiapkannya
dengan baik sebelumnya. Tentara kaum muslimin datang sambil membakar
batas-batas wilayah kekuasaan Romawi? Kalau saja dalam diri kaum muslimin tidak
ada kemampuan dan kekuatan untuk meraih kemenangan, tentu mereka tidak akan
pergi dari negaranya untuk menghancurkan batas-batas kekuasaan kekaisaran
Romawi. Sehingga, ketika Rasulullah Saw. sampai di Tabuk, beliau tidak
mendapatkan seorangpun di antara tentara Romawi.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar