6. Delegasi Thay'i
Datang kepada
Rasulullah Saw. delegasai Thay’i. Di antara mereka adalah Zaid al-Khail yang
menjadi pemimpin mereka. Setelah mereka sampai pada Rasulullah Saw., mereka
berbicara kepada beliau. Rasulullah Saw. menawarkan Islam kepada mereka, lalu
mereka pun masuk Islam. Mereka menjadi orang-orang Islam yang baik dan taat.
Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak seorangpun di antara bangsa Arab yang tidak
meryebutkan kelebihannya sebelum ia datang kepadaku, namun ketika ia datang
kepadaku, aku tidak melihat kelebihan seperti yang disebutkannya, kecuali Zaid
al-Khail, ia datang kepadaku tanpa menyebutkan kelebihannya terlebih dahulu.”
Kemudian, Rasulullah Saw. memberinya nama baru, yaitu Zaid al-Khair. Beliau
juga memberi daerah Faid dan beberapa bidang tanah kepadanya, bahkan
pemberiannya itu beliau lengkapi dengan surat perjanjian. Setelah itu Zaid pun
pergi meninggalkan Rasulullah Saw. kembali kepada kaumnya.
Rasulullah Saw.
bersabda, “Aka tidak yakin kalau Zaid bisa selamat dari demam Madinah -beliau
menyebutnya dengan nama selain demam.” Setelah Zaid sampai di sebagian Wilayah
Najd, yaitu di salah satu mata air Najd yang bernama Fardah, maka di tempat ini
Zaid terserang demam, dan meninggal dunia. Setelah Zaid meninggal dunia,
istrinya mencari surat perjanjian pemberian tanah yang dibuat Rasulullah Saw.
untuk Zaid, lalu istrinya membakar surat tersebut.
Tentang Adi bin Hatim,
maka Adi bin Hatim berkata, “Tidak ada seorangpun di antara bangsa Arab yang
sangat benci kepada Rasulullah Saw. ketika mendengar namanya daripada aku.
Sebabnya adalah aku orang terhormat, dan aku beragama Nashrani (Kristen). Aku berhak
atas seperempat bagian dari tawanan yang dikuasai kaumku (Artinya ia mengambil
seperempat dari harta hasil rampasan perang. Hal seperti itu biasa dilakukan
oleh bangsa Arab untuk pemimpin mereka), dalam hal agama aku diposisikan
sebagai orang penting, sehingga aku tidak ubahnya raja di tengah tengah kaumku,
melihat perlakuan kaumku kepadaku. Oleh karena itu, ketika aku mendengar
tentang Rasulullah Saw., maka aku sangat benci kepada beliau.
Aku berkata kepada
budakku yang berkebangsaan Arab. Budak tersebut yang setiap harinya
menggembalakan unta-untaku, “Semoga engkau tidak mempunyai ayah, siapkan aku
unta-unta yang bagus, penurut dan gemuk di antara unta-untuku, kemudian
unta-unta tersebut engkau tahan di tempat yang dekat denganku. Jika engkau
mendengar bahwa pasukan Muhammad datang dan menginjakkan kakinya di negeri ini,
maka segeralah beritahu aku. Budak itupun melakukan apa yang aku perintahkan
kepadanya.
Kemudian pada suatu
pagi, budakku datang kepadaku lalu berkata, “Wahai Adi, sebelumnya engkau telah
merencanakan suatu tindakan ketika pasukan berkuda Muhammad datang kepadamu,
sekarang laksanakan rencanamu itu, sebab aku telah melihat panji-panji perang
mereka berkibar. ” Lalu, aka menanyakan kebenaran pasukan yang dimaksud oleh
budakku. Orang-orang yang aku tanya berkata, “Betul, pasukan tersebut adalah
pasukan Muhammad.”
Aku berkata kepada
budakku, “Bawa kemari unta-untaku itu.” Budakku membawa unta-untuku itu
kepadaku. Kemudian, aku membawa pergi istri dan anakku. Aku berkata, “Aku akan
pergi kepada orang-orang Nashrani (Kristen) yang seagama denganku di Syam.”
Aku berjalan melewati
al-Jusyiyah (Al-Jusyiyah adalah gunung milik kabilah Dhabab yang terletak di
dekat Dhiryah bagian dari wilayah Najd), dan aku meninggalkan saudara
perempuanku di daerah itu (Namanya Safanah, sebagaimana yang dikatakan
as-Suhaili). Setelah sampai di Syam, aku pun menetap di sana. Pasukan berkuda
Rasulullah Saw. menyerang daerah tersebut, akhirnya mereka menahan saudara
perempuanku bersama para tawanan yang lain. Saudara perempuanku dibawa ke
hadapan Rasulullah Saw. bersama para tawanan Thay’i. Rasulullah Saw. tahu kalau
aku telah melarikan diri ke Syam. Saudara perempuanku ditempatkan di tempat
dekat pintu masjid, di mana para tawanan biasa di tempatkan di tempat tersebut.
Pada suatu hari,
Rasulullah Saw. berjalan melewati saudara perempuanku, lalu saudara perempuanku
mendekat kepada beliau -ia wanita yang pintar dalam mengemukakan pendapat- dan
berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal dunia, sedang orang yang melindungiku
telah pergi. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepadaku, mudah-mudahan Allah
juga berbuat baik kepadamu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa orang yang
menjadi pelindungmu?” Saudara perempuanku menjawab, “Adi bin Hatim.” Rasulullah
Saw. bersabda, “Oh, dia orang yang lari dari Allah dan Rasul-Nya itu.” Saudara
perempuanku berkata, “Kemudian, Rasulullah Saw. meneruskan perjalanannya dan
meninggalkanku. Keesokan harinya, beliau kembali berjalan melewatiku. Kemudian,
aku berkata kepada beliau seperti yang aku katakan kepada beliau sebelumnya,
sedang beliau juga bersabda kepadaku seperti yang beliau sabdakan kepadaku
kemarin. Besoknya lagi, beliau berjalan melewatiku. Namun, aku sudah tidak
punya harapan lagi terhadap beliau. Tiba-tiba seorang di belakang beliau
memberi isyarat kepadaku dengan berkata, “Berdirilah dan berbicaralah kepada
beliau.” Aku langsung mendekat kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai
Rasulullah, ayahku telah meninggal dunia, sedang orang yang melindungiku telah
pergi. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepadaku, mudah-mudahan Allah juga
berbuat baik kepadamu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Itu telah aku lakukan (dalam
riwayat lain Rasulullah bersabda, “Bebaskan dia, sebab ayahnya adalah orang
yang menyukai akhlak mulia), namun engkau jangan buru-buru pergi sebelum engkau
mendapatkan orang yang engkau percayai di antara kaummu yang bisa
mengantarkanmu ke negerimu. Jika engkau telah mendapatkannya, maka segera
beritahu aku.” Aku bertanya tentang orang yang tadi memberi isyarat kepadaku
dengan berkata, “Berdirilah dan berbicaralah kepada beliau.” Aku diberitahu
bahwa orang tersebut adalah Ali bin Abi Tbalib ra. Aku tetap berada di tempatku
hingga datang rombongan musafir dari Biliya atau Qudha'ah. Aku ingin menyusul
saudaraku di Syam. Oleh karena itu, aku pergi menemui Rasulullah Saw. dan
berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sekelompok orang di antara kaumku
telah datang, dan di antara mereka itu terdapat orang yang aku percayai.”
Kemudian, Rasulullah Saw. memberiku pakaian, hewan kendaraan, serta perbekalan.
Setelah itu, akupun berangkat bersama mereka hingga aku tiba di Syam.
Aku (Adi bin Hatim)
berkata, “Ketika aku sedang duduk dengan keluargaku, tiba-tiba aku melibat
seorang wanita yang ada di dalam sekedup berjalan ke arahku. Aku berkata,
“Sepertinya ia saudara perempuanku.” Ternyata perkiraanku betul, bahwa wanita
itu adalah saudara perempuanku. Ketika ia telah berdiri di dekatku, maka
mulailah ia mengecamku dengan suara keras dan berkata, “Engkau pemutus
kekerabatan, dan tidak adil. Engkau bawa pergi istrimu dan anakmu, sedang
saudara perempuanmu engkau tinggalkan, padahal ia juga kehormatan yang harus
engkau jaga.” Aku berkata, “Wahai saudara perempuanku, berkatalah yang baik
kepadaku. Demi Allah, aku tidak mengelak bahwa aku memang telah melakukan apa
yang engkau sebutkan itu.”
Kemudian, saudara
perempuanku tinggal bersamaku. Pada suatu hari aku bertanya kepadanya -ia
wanita yang bijak-, “Apa yang engkau lihat tentang kekuasaan dan pengaruh orang
tersebut (Rasulullah Saw.)?” Ia menjawab, “Demi Allah, aku berpendapat
hendaknya engkau segera pergi kepada beliau. Jika beliau seorang Nabi, maka
orang yang segera pergi kepadanya berhak atas kelebihannya. Jika beliau seorang
raja, maka engkau tidak akan menjadi hina di Yaman, sebab engkau tetap sebagai
orang yang berkedudukan tinggi di mata mereka.” Aku berkata, “Demi Allah,
sungguh ini masukan yang bagus.”
Aku segera berangkat
menuju Rasulullah Saw. di Madinah. Ketika aku tiba di Madinah, aku langsung
mendatangi beliau, yang ketika itu beliau sedang berada di masjid. Setelah aku
mengucapkan salam kepada beliau, beliau bersabda, “Siapa engkau?” Aku menjawab,
“Aku, Adi bin Hatim.” Rasulullah Saw. berdiri, lalu beliau mengajakku ke
rumahnya.
Demi Allah, ketika
beliau sedang berjalan bersamaku menuju rumahnya, tiba-tiba beliau berpapasan
dengan seorang wanita yang telah berusia lanjut. Wanita tersebut meminta beliau
berhenti. Kemudian, beliau berhenti lama sekali memperhatikan wanita tua yang
sedang mengemukakan keperluannya. Dalam hatiku berkata, “Demi Allah, orang ini
bukan raja.”
“Rasulullah Saw.
meneruskan perjalanannya bersamaku. Setelah beliau membawaku masuk ke dalam
rumahnya, beliau mengambil bantal dari kulit yang padat dan dijahit, lalu
memberikannya kepadaku sambil bersabda, “Duduklah di atas bantal ini.” Aku
berkata, “Tidak, engkau saja yang duduk di atas bantal ini.” Rasulullah Saw.
bersabda, “Tidak, engkau saja.” Aku pun duduk di atas bantal tersebut, sedang
beliau sendiri duduk di atas tanah. Dalam hatiku berkata, “Demi Allah,
perbuatan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh seorang raja manapun.”
“Setelah itu
Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi bin Hatim, bukankah engkau penganut
ar-Rukusiyah (ar-Rukusiyah adalah kelompok beragama antara agama Nashrani dan
ash-Shabi’in)?” Aku menjawab, “Ya, betul.” Rasulullah Saw. bersabda, “Bukankah
engkau mengambil seperempat dari rampasan perang yang diperoleh kaummu?” Aku
menjawab, “Ya, betul.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya hal tersebut
tidak diperbolehkan dalam agamamu.” Aku berkata, “Benar, demi Allah.” Dari situ
aku tahu bahwa Rasulullah Saw. adalah Nabi yang diutus, yang diajari sesuatu
yang tidak diketahui olehku.
Setelah itu,
Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi bin Hatim, barangkali engkau tidak mau
masuk ke dalam agama ini (Islam), sebab engkau melihat kaum muslimin itu
miskin? Demi Allah, tidak lama lagi kaum muslimin akan memiliki harta yang
melimpah hingga tidak ada seorangpun yang mau mengambilnya; barangkali engkau
tidak mau masuk ke dalam agama ini, sebab engkau melihat agama ini mempunyai
banyak musuh, sedang jumlah pemeluknya sedikit sekali? Demi Allah, tidak lama
lagi engkau akan mendengar seorang wanita yang pergi dengan mengendarai untanya
dari al-Qadhisiyah menuju Baitullah tanpa rasa takut dan khawatir sedikitpun;
atau barangkali engkau tidak mau masuk ke dalam agama ini, sebab engkau melihat
bahwa kerajaan dan kekuasaan itu tidak berada di tangan kaum muslimin? Demi
Allah, tidak lama lagi engkau akan mendengar istana-istana putih di daerah
Babil akan ditaklukkan untuk kaum muslimin.” Kemudian akupun masuk Islam.”
Adi bin Hatim berkata,
“Dua hal yang dijanjikan Rasulullah Saw. dalam sabdanya tersebut betul-betul
telah terjadi, sedang yang ketiga belum, namun, demi Allah, yang ketiga itu
juga pasti akan terjadi. Sungguh aku telah menyaksikan istana-istana putih di daerah
Babil ditaklukkan, dan aku juga menyaksikan seorang wanita yang pergi dengan
mengendarai untanya dari al-Qadhisiyah menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah
haji tanpa rasa takut dan khawatir sedikitpun. Demi Allah, aku yakin yang
ketiga itu pasti akan terjadi. Yaitu, kaum muilimin memiliki harta yang
melimpah hingga tidak ada seorangpun yang mau mengambilnya.”
Sungguh Allah
benar-benar merealisasikan hal yang ketiga itu pada masa kekhilafahan
Umar bin Khaththab dan sesudahnya. Ibnu Qudamah menceritakan dalam al-Mughni. Ketika Mu’adz bin Jabal mengirim
harta zakat dari Yaman kepada Umar, Umar menolaknya, dan berkata, “Aku tidak
mengutusmu ke Yaman sebagai penarik pajak dan pengumpul jizyah. Namun, aku
mengutusmu agar mengambil harta zakat dari mereka yang kaya, kemudian diberikan
kepada mereka yang miskin.” Mu'adz berkata, “Aku pun tidak akan mengirim
sesuatu (harta zakat) ini kepadamu, kalau saja aku mendapatkan seseorang yang
mau mengambilnya dariku.”
Tahun kedua, Mu’adz
mengirim lagi kepada Umar separuh dari harta zakat, namun Umar mengembalikan
lagi tanpa mengambil sedikitpun. Tahun ketiga, Mu’adz mengirim lagi kepada Umar
seluruh dari harta zakat, namun lagi-lagi Umar mengembalikannya tanpa mengambil
sedikitpun. Mu’adz berkata, “Aku tidak mendapatkan seorangpun yang mau
mengambil harta zakat ini walau sedikit dariku.” (lihat kitabku “Mausu’ah Fiqh Umar bin Khaththab,” huruf Za’, materi “Zakat”)
Para ahli sejarah
menceritakan bahwa ada seorang di masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang
mengeluarkan zakat atas harta bendanya, namun dia tidak mendapatkan orang yang
mau mengambil zakat itu darinya.
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar