BAB
VI
MEMPROKLAMASIKAN
KEDAULATAN NEGARA ISLAM ATAS SELURUH JAZIRAH ARAB DAN BERGABUNGNYA MASYARAKAT
DI BAWAH KEDAULATAN INI
A. Memproklamasikan Kedaulatan
Negara Islam Atas Seluruh Jazirah Arab
Setelah seluruh
Jazirah Arab tunduk terhadap Negara Islam, maka harus bagi Negara Islam ini
memproklamirkan kedaulatannya atas seluruh wilayah-wilayah di Jazirah Arab, dan
memproklamirkan an-nizham al-‘am
(ketertiban umum) yang wajib dihormati dan dijalankan oleh setiap daerah yang
tunduk di bawah Negara Islam ini.
Pemroklamiran
ketertiban umum ini harus dilakukan dalam rapat umum yang dihadiri oleh seluruh
kabilah-kabilah bangsa Arab. Dengan demikian, waktu dan tempat yang terbaik
untuk melakukan itu adalah pada musim haji. Untuk itu, Rasulullah Saw.
mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pemimpin perjalanan haji kaum muslimin
di musim haji tahun ini, agar kaum muslimin melaksanakan haji mereka dengan
komando Abu Bakar.
Sedang setiap
komunitas manusia melaksanakan hajinya berdasarkan cara dan metodenya sendiri;
kaum muslimin melaksanakan hajinya sesuai cara dan metodenya; dan kaum
musyrikin melaksanakan hajinya juga menurut cara dan metodenya yang penuh
dengan kesyirikan di dalamnya.
Setelah Abu Bakar dan
kaum muslimin berangkat, maka turunlah surat at-Taubah (bara'ah) kepada Rasulullah Saw. yang memerintahkan agar mengakhiri semua perjanjian yang
sifatnya terbuka, yang dibuat antara Rasulullah dengan kaum musyrikin di antara
kabilah-kabilah bangsa Arab (Jazirah) yang memberikan kebebasan beragama dan loyalitas.
Perintah agar mengakhiri semua perjanjian yang sifatnya terbuka tersebut
merupakan perkara yang alami (persoalan biasa) setelah tunduknya negeri kaum
musyrikin yang tercermin pada kaum kafir Quraisy. Sehingga otoritas perintah
menjadi milik Negara Islam.
Dengan demikian,
kedaulatan dan kekuasaan di seluruh penjuru Negara Islam menjadi milik syari’at
Allah Swt. Selanjutnya syari’at Allah Swt. ini harus diterapkan pada semuanya.
Allah Swt. memberi
kesempatan kepada orang-orang yang memiliki perjanjian dalam jangka waktu
tertentu di antara kaum musyrikin untuk menata ulang posisi di antara mereka,
dan bergabung di bawah bendera Negara Islam sebagaimana daerah-daerah kaum
mukminin yang baik, yang memberikan loyalitasnya hanya kepada Negara Islam
sampai masa berlakunya perjanjian mereka berakhir.
Sedang bagi mereka
yang tidak memiliki perjanjian, atau memiliki perjanjian, namun tidak ada batas
waktu berlakunya, diberi kesempatan selama masa empat bulan. Setelah itu, tidak
ada alasan jika melihat Negara Islam melakukan pembersihan keadaan dengan cara
yang sesuai menurut pandangan Negara Islam.
Sebab tidak akan
tercipta keamanan bagi negara yang memberikan kebebasan dalam melakukan apapun,
bahkan tidak akan tercipta keamanan bagi negara yang mengurusi para warga
negara, di mana warga negaranya tersebut tidak memeluk agama negara dengan
penuh loyalitas. Sebaliknya malah mereka berkonspirasi dengan musuh-musuh
negara untuk menghancurkan dan merobohkan sendi-sendi politik dan pemikiran
Negara Islam.
B. Bergabungnya Orang-Orang Di
Bawah Negara Islam
Setelah Rasulullah
Saw. menaklukkan Makkah, pulang dari Tabuk, orang-orang Tsaqif masuk Islam dan
berjanji setia kepada beliau, dan Rasulullah Saw. memberi tenggang waktu empat
bulan kepada kabilah-kabilah bangsa Arab (di Jazirah) yang masih musyrik untuk
menentukan nasib mereka sendiri, sebelum Negara Islam yang menentukan sikap
tertentu terhadap mereka, maka datanglah secara berbondong-bondong para
delegasi bangsa Arab dari segala penjuru kepada Rasulullah Saw. untuk
menyatakan keimanan dan loyalitasnya.
Delegasi Bani Abdu
Qais, Tamim, Amir, Bani Hanifah, Thaiy, al-Azd, Hamdan, Tajib, Bani Tsa’labah,
Bani Sa’ad Hudaim dari Qudha’ah, Fazarah, Asad, Bahra’, Bali, Marrah, Khaulan,
Maharib, Shada', Ghassan, Salaman, an-Nakh’, Kindah, Zabid, Ghamid, dan lainnya.
Sehingga terwujudlah firman Allah Swt.
“Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (TQS. an-Nashr
[110]: 1-3)
2. Delegasi Bani Amir
Datang kepada
Rasulullah Saw. delegasi Bani Amir. Mereka itu adalah Amir bin ath-Thufail,
Arbad bin Qais bin Jaza’ bin Khalid bin Jafar, dan Jabbar bin Salma bin Malik
bin Jafar. Mereka bertiga adalah pemimpin Bani Amir dan syetan-syetan mereka.
Musuh Allah, Amir bin ath-Thufail datang kepada Rasulullah Saw. Tujuan
kedatangannya adalah untuk membunuh beliau. Sebelum itu, kaumnya berkata kepada
Amir bin ath-Thufail, “Wahai Amir, sesungguhnya orang-orang telah masuk Islam.
Oleh karena itu, masuk Islamlah engkau.” Amir bin ath-Thufail berkata, “Demi
Allah, aku bersumpah untuk tidak menyerah hingga orang-orang Arab menjadi
pengikutku. Jika demikian, pantaskah aku mengikuti pemuda dari suku Quraisy
ini?”
Amir bin ath-Thufail
berkata kepada Arbad bin Qais, “Jika kita datang ke tempat orang tersebut
(Rasulullah Saw.), maka aku akan menyibukkannya, sehingga ia tidak melihatmu.
jika hal itu telah aku lakukan, maka pukullah dia dengan pedang.”
Ketika delegasi Bani
Amir tiba di tempat Rasulullah Saw., Amir bin ath-Thufail berkata, “Wahai
Muhammad, aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Rasulullah Saw. bersabda,
“Tidak, demi Allah, aku tidak mau sebelum engkau beriman kepada Allah saja.”
Amir bin ath-Thufail berkata, “Wahai Muhammad, aku ingin berbicara empat mata
denganmu.” Amir bin ath-Thufail terus berbicara dengan Rasulullah Saw. sambil
menunggu Arbad bin Qais melakukan apa yang telah ia perintahkan sebelumnya.
Namun, Arbad bin Qais tidak melakukan apa-apa.
Ketika Amir bin
ath-Thufail melihat Arbad bin Qais tidak melakukan apa-apa, ia berkata, “Wahai
Muhammad, aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Rasulullah Saw. bersabda,
“Tidak, demi Allah, aku tidak mau sebelum engkau beriman kepada Allah saja yang
tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Melihat Rasulullah
Saw. terus-menerus menolak keinginannya, maka Amir bin ath-Thufail berkata,
“Demi Allah, aku akan menyerangmu dengan pasukan berkuda dan pasukan berjalan
kaki.”
Setelah Amir bin
ath-Thufail pergi, Rasulullah Saw. bersabda, “Ya Allah, lindungi aku dari Amir
bin ath-Thufail.”
Ketika delegasi Bani
Amir telah meninggalkan tempat Rasulullah Saw., Amir bin ath-Thufail berkata
kepada Arbad bin Qais, “Celaka engkau Arbad. Kenapa engkau tidak mengerjakan
apa yang telah aku perintahkan kepadamu? Demi Allah, tadinya di dunia ini tidak
ada seorangpun yang lebih aku takuti daripada engkau. Demi Allah, sejak hari
ini, aku tidak lagi takut kepadamu selama-lamanya.” Arbad bin Qais berkata,
“Semaga engkau tidak mempunyai ayah. Engkau jangan terburu-buru bersikap
demikian terhadapku. Demi Allah, tadinya aku bertekad melakukan apa yang telah
engkau perintahkan kepadaku. Namun, ketika engkau masuk ke tempat orang
tersebut (Rasulullah Saw.), aku tidak melihat apa-apa selain dirimu. Apakah aku
harus memukulmu dengan pedang?”
Setelah itu, mereka
pun pulang kembali ke negeri mereka. Ketika mereka masih dalam perjalanan
pulang, Allah Swt. mengirim penyakit Tha'un
yang menimpa leher Amir bin ath-Thufail. Akibatnya Amir bin ath-Thufail mati di
rumah seorang wanita dari Bani Salul. Sebelum meninggal dunia, Amir bin
ath-Thufail berkata, “Wahai Bani Amir, apakah ini ghuddah seperti yang biasa
menimpa anak unta di rumah seorang wanita dari Bani Salul?” (Ghuddah adalah
penyakit mematikan berupa kantong yang berisi cairan, yang biasanya menyerang
leher unta)
Setelah mengubur
jenazah Amir bin ath-Thufail, delegasi Bani Amir meneruskan perjalanan hingga
tiba di daerah Bani Amir dalam keadaan bercerai-berai. Setelah mereka tiba di
tempat mereka, maka kaumnya mendatanginya, lalu berkata, “Wahai Arbad,
informasi apa yang engkau bawa?” Arbad bin Qais berkata, “Tidak ada informasi
apapun. Demi Allah, orang tersebut (Rasulullah Saw.) mengajak kami menyembah
sesuatu yang jika sesuatu tersebut ada padaku, aku pasti melemparnya dengan
panah hingga ia tewas.” Sehari atau dua hari setelah berkata seperti itu, Arbad
bin Qais keluar dari rumahnya dengan mengendarai untanya. Lalu, Allah mengirim
halilintar kepadanya hingga ia dan untanya terbakar.
3. Delegasi Bani Bakr bin Sa'ad
Bani Sa’ad bin Bakr
mengutus seseorang di antara mereka yang bernama Dhimam bin Tsa’labah kepada
Rasulullah Saw. Dhimam bin Tsa'labah tiba di tempat Rasulullah Saw. yang ketika
itu beliau sedang duduk bersama para sahabatnya. Setelah Dhimam bin Tsa'labah
berdiri di depan Rasulullah Saw., Dhimam bin Tsa’labah berkata, “Mana anak
Abdul Muththalib di antara kalian?” Rasulullah Saw. bersabda, “Akulah anak
Abdullah bin Abdul Muthhalib.” Dhimam bin Tsa’labah berkata, “Benarkah anda
yang bernama Muhammad?” Rasulullah Saw. bersabda, “Ya, betul.” Dhimam bin
Tsa'labah berkata, “Wahai anak Abdul Muththalib, aku akan bertanya kepadamu.
Meski aku kasar dalam bertanya kepadamu, namun engkau tidak perlu curiga
kepadaku.” Rasulullah Saw. bersabda, “Aku sedikitpun tidak curiga kepadamu.
Untuk itu, silahkan bertanya apa saja kepadaku.” Dhimam bin Tsa’labah berkata,
“Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, Tuhanmu, Tuhan orang-orang
sebelummu, dan Tuhan orang-orang yang ada setelahmu. Apakah betul, Allah
mengutusmu sebagai Rasul (utusan) kepada kami?” Rasulullah Saw. bersabda, “Ya
betul.” Dhimam bin Tsa’labah berkata, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama
Allah, Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu dan orang-orang yang ada sesudahmu.
Apakah betul, Allah menyuruhmu agar engkau menyuruh kami hanya beribadah
kepada-Nya saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan agar kami
melepaskan diri dari tuhan-tuhan yang dulu disembah oleh nenek moyang kami?”
Rasulullah Saw. bersabda, “Ya betul.” Dhimam bin Tsa’labah berkata, “Aku
bereumpah kepadamu dengan nama Allah, Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu dan
Tuhan orang-orang yang ada sesudahmu. Apakah betul, Allah menyuruhmu agar
engkau menyuruh kami mengerjakan shalat lima waktu?” Rasulullah Saw. bersabda,
“Ya betul.”
Kemudian, Dhimam bin
Tsa’labah menyebutkan satu persatu kewajiban Islam: zakat, puasa, haji, dan
seluruh syariat Islam lainnya. Dhimam bin Tsa’labah bersumpah setiap menanyakan
kewajiban Islam sebagaimana sumpah yang diucapkan sebelumnya.
Setelah selesai
menanyakan semuanya, Dhimam bin Tsa’labah berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Aku bejanjii akan menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut, menjauhi apa saja
yang engkau larang, dengan tidak menambahnya dan tidak pula menguranginya.”
Kemudian, Dhimam bin
Tsa’labah berjalan menuju untanya hendak pulang ke negerinya. Rasulullah Saw.
bersabda, “Jika orang yang mempunyai rambut berkepang dua tersebut -Dhimam bin
Tsalabah- jujur, maka ia akan masuk Surga.”
Ketika Dhimam bin
Tsa’labah sampai pada kaumnya, maka kaumnya berkumpul menyambutnya. Ungkapan
yang pertama kali diucapkan oleh Dhimam bin Tsa’labah adalah “Persetan dengan
Lata dan Uzza.” Bani Sa’ad bin Bakr berkata, “Wahai Dhimam, takutlah engkau
kepada penyakit kusta, penyakit lepra, dan gila.” Dhimam bin Tsa’labah berkata,
“Celakalah kalian, sesungguhnya Lata dan Uzza tidak dapat memberi madharat dan
manfaat. Sesungguhnya Allah telah mengutus seorang Rasul, menurunkan kitab
kepadanya, dan dengan Rasul itu Allah akan menyelamatkan kalian dari kondisi
yang kalian alami. Sungguh aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali
Allah, Dialah satu-satunya Tuhan, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku telah
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan sekaligus Rasul-Nya. Aku baru
saja datang dari beliau dengan membawa apa yang beliau perintahkan kepada
kalian dan apa saja yang beliau larang dari kalian.” Dhimam bin Tsa’labah
berkata, “Demi Allah, pada hari tersebut, seluruh orang-orang Bani Sa’ad bin
Bakr yang ada, laki-laki dan perempuan semuanya masuk Islam.”
4. Delegasi Abdul Qais
Datang kepada
Rasulullah Saw. al-Jarud bin Amr bin Hanasy saudara Abdul Qais. Ketika itu
al-Jarud beragama Nashrani (Kristen). Setelah al-Jarud sampai di tempat
Rasulullah Saw., ia berbicara dengan beliau. Rasulullah Saw. memperkenalkan
Islam kepada al-Jarud, lalu beliau mengajak dan membujuknya agar ia mau masuk
Islam. Al-Jarud berkata, “Wahai Muhammad, aku telah memeluk suatu agama. Jika
aku meninggalkan agamaku untuk masuk agamamu, apa jaminanmu bahwa agamamu lebih
baik daripada agamaku?” Rasulullah Saw. bersabda, “Ya, aku menjamin bahwa Allah
pasti memberimu petunjuk kepada sesuatu yang lebih baik daripada agamamu
sebelumya.”
Kemudian, al-Jarud
masuk Islam bersama teman-temannya. Setelah itu, al-Jarud minta hewan
kendaraan. Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah, aku tidak memiliki hewan
kendaraan yang bisa kalian kendarai.” Al-Jarud berkata, “Wahai Rasulullah, di
antara kami dengan negeri kami terdapat banyak unta hilang milik manusia,
bolehkah kami pulang ke negeri kami dengan mengendarai unta-unta tersebut?”
Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak boleh, janganlah engkau mengendarai unta
tersebut, sebab unta tersebut akan membawamu ke Neraka.”
Kemudian al-Jarud
keluar dari tempat Rasulullah Saw. untuk kembali pada kaumnya. Al-Jarud menjadi
seorang Islam yang baik dan taat, serta teguh dalam memegang ajaran agama Islam
hingga ia meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia ia sempat ikut serta dalam
memerangi orang-orang murtad.
Ketika beberapa orang
dari Bani Abdul Qais yang tadinya telah masuk Islam kembali ke agama mereka
sebelumnya (Nashrani) bersama al-Gharur bin al-Mundzir bin an-Nu’man bin
al-Mundzir, maka al-Jarud berdiri, berbicara, dan bersaksi dengan kesaksian
yang benar, lalu mengajak mereka agar kembali lagi kepada Islam. Al-Jarud
berkata, “ Wahai manusia, sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan sekaligus
utusan-Nya, serta aku mengkfirkan orang-orang yang tidak mau bersyahadat.”
5. Delegasi Bani Hanifah
Delegasi Bani Hanifah
datang ke Makkah. Di antara mereka terdapat Musailamah bin Habib al-Hanafi
(Ibnu Hisyam berkata: Musailamah bin Tsumamah, dan ia biasa dipanggil dengan
Abu Tsumamah) -Musailamah al-Kadzdzab. Delegasi Bani Hanifah ini langsung
mendatangi Rasulullah Saw. setelah mereka meninggalkan Musailamah di tempat
peristirahatan hewan kendaraan mereka. Musailamah tidak ikut serta bersama
mereka menemui Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. berbicara dengan mereka, lalu
mereka masuk Islam. Rasulullah Saw. memberi mereka hadiah.
Mereka berkata kepada
Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, kami meninggalkan salah seorang di antara
kami (Musailamah) di tempat penstirahatan hewan kendaraan kami, agar ia
menjaganya ketika kami sedang tidak ada.” Rasulullah Saw. memerintahkan
kepadanya (Musailamah), seperti yang beliau perintahkan kepada mereka yang
hadir di hadapan beliau. Rasulullah Saw. bersabda, “Ingat! Kedudukan dia
(Musailamah) tidaklah lebih buruk dibanding kalian.” Maksud Rasulullah Saw.
berkata demikian sebab dia (Musailamah) telah menjaga barang-barang milik
teman-temannya.
Kemudian delegasi Bani
Hanifah pergi meninggalkan Rasulullah Saw. sambil membawa hadiah yang beliau
berikan. Setelah sampai di al-Yamamah, musuh Allah, Musailamah murtad, mengaku
sebagai nabi, dan membuat kebohongan terhadap mereka. Musailamah berkata, “Aku
bersekutu dengannya (Rasulullah) dalam urusan agama.” Musailamah berkata kepada
delegasi Bani Hanifah yang bersamanya, “Tidakkah Rasulullah Saw. bersabda
kepada kalian ketika kalian menyebutkan namaku kepadanya, “Ingat! Kedudukan dia
(Musailamah) tidaklah lebih buruk dibanding kalian? Rasulullah Saw. berkata
yang demikian itu karena beliau tahu bahwa aku adalah sekutunya dalam hal
agama.”
Setelah itu,
Musailamah membuat sajak-sajak untuk Bani Hanifah, dan mengatakan sesuatu untuk
menandingi al-Qur’an. “Sungguh Allah telah memberi kenikmatan kepada wanita
hamil. Allah mengeluarkan darinya jiwa yang bisa berusaha. Dan yang berada di
antara kulit arinya.”
Ocehannya tidak hanya
berhenti di sini, ia menghalalkan minuman keras, zina, menghapus kewajiban
shalat dari mereka. Meski demikian, ia masih bersaksi bahwa Rasulullah Saw.
adalah Nabi. Musailamah banyak mendapat pengikut dari Bani Hanifah. Kemudian,
Musailamah mengirim surat kepada Rasulullah Saw. yang isinya adalah, “Dari
Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah, Amma
Ba’du. Aku adalah sekutumu dalam hal agama ini. Sehingga, separuh bumi
milik kami, dan separuhnya lagi milik kaum Quraisy. Akan tetapi, kaum Quraisy
adalah kaum yang suka melampaui batas.” Surat Musailamah ini dikirim melalui
dua orang utusan.
Setelah surat tersebut
dibacakan kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda kepada dua orang utusan
tersebut, “Apa yang kalian berdua katakan?” Keduanya berkata, “Kami hanya
mengatakan apa yang dikatakannya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah, kalau
saja seorang utusan itu boleh dibunuh, niscaya aku penggal leher kalian
berdua.”
Lalu, beliau menulis
surat kepada Musailamah. “Bismillahirrahmannirrahim.
Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah al-Kadzdzab (yang pendusta).
Kesejahteraan semoga tetap atas orang-orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sesungguhnya bumi ini milik Allah,
Allah akan memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki di antara
hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.”
7. Kedatangan Farwah bin Musaik
al-Muradi
Farwah bin Musaik
al-Muradi datang kepada Rasulullah Saw. dengan meninggalkan raja-raja Kindah,
menjauhi mereka, dan ingin dekat dengan Rasulullah Saw.
Sebelum kedatangan
Islam, perang meletus antara kabilah Murad dan kabilah Hamdan. Pada perang
tersebut, kabilah Hamdan mendapatkan apa yang mereka inginkan terhadap kabilah
Murad hingga kabilah Hamdan banyak sekali membunuh orang-orang Murad pada
perang ar-Radm.
Ketika Farwah bin
Musaik tiba di tempat Rasulullah Saw., Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Farwah,
apakah musibah yang menimpa kaummu pada perang ar-Radm itu membuatmu sedih?”
Farwah bin Musaik berkata, “Wahai Rasulallah, kaum manakah yang tidak sedih ketika
kaumnya mendapatkan musibah seperti yang menimpa kaumku pada perang ar-Radm?”
Rasulullah Saw. bersabda, “Tapi itu semua tidak menambahkan pada kaummu dalam
Islam kecuali kebaikan.”
Kemudian, Rasulullah
Saw. mengangkat Farwah bin Musaik sebagai gubenur (wali) beliau yang membawahi wilayah Murad, Zubaid, dan Mudzhij.
Rasulullah Saw. pernah mengutusnya bersama Khalid bin Sa’id bin al-Ash untuk
menarik zakat. Bahkan ia tetap bersama Khalid bin Sa’id bin al-Ash di negerinya
hingga Rasulullah Saw. wafat.
8. Kedatangan Amr bin Ma’dikarib
Bersama Delegasi Bani Zubaid
Amr bin Ma’dikarib
bersama orang-orang dari Bani Zubaid datang kepada Rasulullah Saw., lalu ia
masuk Islam. Amr berkata kepada Qais bin Maksyuh al-Muradi -ketika sampai pada
mereka berita tentang agama Rasulullah Saw.-, “Wahai Qais, sesungguhnya engkau
adalah pemimpin kaummu. Kami mendapat informasi bahwa ada seorang di antara
suku Quraisy bernama Muhammad, ia lahir di Hijaz, dan mengaku sebagai Nabi.
Untuk itu, mari kita pergi menemuinya, sehingga kita mengetahui sejauh mana
ilmunya. Jika dia benar-benar Nabi seperti yang dikatakannya maka pasti kamu
mengetahuinya. Sehingga apabila kita bertemu dengannya maka kita mengetahuinya.
Namun, jika dia bukan seorang Nabi, maka kita mengetahui ilmunya.” Qais menolak
ajakan Amr, bahkan mengejek ajakannya.
Setelah itu, Amr bin
Ma’dikarib pergi, hingga akhirnya ia sampai juga pada Rasulullah Saw. Setelah
bertemu Rasululah Saw., ia masuk Islam, membenarkannya, dan beriman kepadanya.
Ketika berita tentang
masuk Islamnya Amr ini sampai kepada Qais, maka Qais mengancam Amr dan bersikap
keras kepadanya. Qais berkata, “Amr bin Ma'dikarib telah menentangku dan
mengabaikan pendapatku.” Selanjutnya, Amr bin Ma’dikarib tinggal bersama kaumnya
dari Bani Zubaid yang dipimpin Farwah bin Musaik.
Ketika Rasulullah Saw.
wafat, Amr bin Ma’dikarib murtad, kemudian ia masuk Islam kembali, bahkan kali
ini ia menjadi seorang Islam yang baik dan taat. Amr bin Ma’dikarib banyak ikut
serta dalam penaklukan-penaklukan yang dilakukan di masa kekhilafahan Abu Bakar
dan Umar. Amr bin Ma’dikarib ra. mendapatkan syahid pada perang al-Qadhisiyah.
9. Delegasi Kindah
Datang kepada
Rasulullah Saw. Asy’ats bin Qais bersama delegasi Kindah yang berjumlah delapan
puluh orang. Mereka menemui Rasulullah Saw. yang ketika itu sedang berada di
masjid. Mereka datang dengan rambut yang telah disisir rapi, bercelak, dan
mengenakan jubah dari harbah (kain produk Yaman) yang ujung-ujungnya diberi
kain sutra. Setelah mereka bertemu Rasulullah Saw., Rasulullah Saw. bersabda,
“Kalian hendak masuk Islam, bukan?” Mereka menjawab, “Benar, kami hendak masuk
Islam.” Rasulullah Saw. bersabda, “Jika demikian, mengapa kain sutra ini masih
ada di leher kalian?” Kemudian, mereka merobek-robeknya, dan lalu membuangnya.
Asy’ats bin Qais berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, kami
keturunan Bani Akil Murar, dan engkau juga keturunan Bani Akil Murar.”
Mendengar ucapan mereka itu, Rasulullah Saw. tersenyum, dan bersabda, “Kalian
menasabkan Abbas bin Abdul Muththalib dan Rabi’ah bin Harits dengan nasab ini.”
Abbas dan Rabi’ah
keduanya adalah pedagang. Jika keduanya berjalan jauh di wilayah bangsa Arab
pada saat berdagang, lalu keduanya ditanya, “Kalian berdua berasal dari mana?”
Keduanya menjawab, “Kami berasal dari Bani Akil Murar.” Dengan jawaban itu
keduanya ingin menjadi mulia. Sebab orang-orang Kindah ketika itu adalah
keturunan para raja.
Rasulullah Saw.
bersabda kepada delegasi Kindah, “Tidak, kami berasal dari Bani Nadhir bin
Kinanah. Kami tidak mengikuti nasabnya, sebab seseorang dinasabkan kepada
ayahnya, bukan kepada ibunya. Sehingga kami tidak menghilangkan nasab dari
jalur ayah kami.” Asy'ats bin Qais berkata, “Wahai orang-orang Kindah, apakah
urusan kalian telah selesai? Demi Allah, jika aku mendengar seseorang berkata
seperti itu, maka aku pasti memukulnya sebanyak delapan puluh kali.”
Yang dimaksud dengan
Akil Murar adalah Harits bin Amr bin Hujair bin Amr bin Mu'awiyah bin Harits
bin Mu’awiyah bin Kindi. Mereka berkata demikian ini kepada Rasulullah Saw.,
yaitu: “Dan engkau juga keturunan Akil Murar,” sebab salah seorang kakeknya berasal
dari nasab (keturunan) ini.
10. Delegasi al-Azdi
Datang kepada
Rasulullah Saw. Shurad bin Abdullah al-Azdi, kemudian ia masuk Islam dan
menjadi orang Islam yang baik dan taat. Ia
datang kepada Rasulullah Saw. bersama delegasi dari kabilah al-Azd. Rasulullah
Saw. mengangkat Shurad bin Abdullah al-Azdi sebagai pemimpin bagi kaumnya yang
telah masuk Islam. Selanjutnya, beliau memerintahkan Shurad bin Abdullah agar
memerangi orang-orang musyrik di antara kabilah-kabilah Yaman yang ada di
sekitar mereka. Shurad bin Abdullah pergi sesuai dengan perintah Rasulullah
Saw., hingga ia sampai di Jurasy. Ketika itu Jurasy merupakan kota tertutup.
Dan di Jurasy inilah beberapa kabilah di antara kabilah-kabilah Yaman tinggal.
Kabilah Khats'am
mencari perlindungan di Jurasy. Mereka masuk ke Jurasy bersama-sama dengan
kabilah-kabilah Yaman ketika mereka mendengar bahwa pasukan kaum muslimin
sedang bergerak menuju mereka. Kemudian, Shurad bin Abdullah mengepung mereka
di Jurasy selama hampir sebulan. Mereka tetap berlindung dan bertahan di Jurasy
dari serangan Shurad bin Abdullah. Setelah itu, Shurad bin Abdullah pergi
meninggalkan mereka. Sehingga, ketika Shurad bin Abdullah sampai di gunung yang
bernama Syakar, orang-orang Jurasy menduga bahwa Shurad bin Abdullah pergi
karena melarikan diri. Kemudian, mereka keluar dari Jurasy untuk mencari Shurad
bin Abdullah. Ketika mereka bertemu Shurad bin Abdullah, Shurad bin Abdullah
bersikap lembut kepada mereka, lalu Shurad bin Abdullah membunuh banyak sekali
di antara mereka.
Sebelum itu, penduduk
Jurasy mengirim dua orang di antara mereka kepada Rasulullah Saw. di Madinah
untuk melihat-lihat kondisi yang ada. Pada suatu sore, setelah shalat Ashar,
ketika keduanya sedang berada di tempat Rasulullah Saw., tiba-tiba Rasulullah Saw.
bersabda, “Syakar berada di bumi Allah yang mana?” Kedua orang dari Jurasy itu
berkata, “Wahai Rasulullah, di daerah kami terdapat gunung bernama Kasyar,
begitulah orang-orang Jurasy menyebutnya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak,
gunung tersebut tidak bernama Kasyar, namun bernama Syakar.” Kedua orang dari
Jurasy itu berkata, “Memangnya ada apa di gunung tersebut, wahai Rasulullah?”
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya unta Allah sedang disembelih di gunung
tersebut sekarang.”
Kedua orang Jurasy
tersebut duduk di dekat Abu Bakar atau Utsman bin Affan yang kemudian berkata
kepada keduanya, “Celaka kalian berdua, Rasulullah Saw. sekarang sedang
mengumumkan kematian kaum kalian kepada kalian. Segeralah kalian berdua
menghadap Rasulullah Saw. dan mintalah kepada beliau berdo’a kepada Allah agar
Dia menghilangkan musibah tersebut dari kaum kalian.”
Kedua orang Jurasy
tersebut menghadap Rasulullah Saw. dan meminta hal tersebut kepada beliau,
kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Ya Allah, hilangkan musibah tersebut dari
mereka.” Setelah itu, kedua orang Jurasy tersebut pergi meninggalkan tempat
Rasulullah Saw. dengan maksud kembali kepada kaumnya.
Ketika keduanya sampai
pada kaumnya, keduanya mendapati bahwa kaumnya telah dibunuh Shurad bin
Abdullah. Pembunuhan itu terjadi persis pada hari dan jam yang sama ketika
Rasulullah Saw. bersabda bahwa unta Allah sekarang sedang disembelih.
Kemudian, delegasi
Jurasy pergi menuju Rasulullah Saw., setelah mereka sampai di tempat Rasulullah
Saw., merekapun masuk Islam. Setelah mereka masuk Islam, Rasulullah Saw.
melindungi sebuah tanah tempat pengembalaan di sekitar desa mereka dengan
tanda-tanda tertentu untuk kepentingan kuda, unta, dan al-Mutsirah (sapi
pembajak). Sehingga tempat tersebut tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh
siapapun.
Para delegasi yang
lain berdatangan kepada Rasulullah Saw., namun kami hanya menyebutkan ini saja
agar terhindar dari pembahasan yang terlalu panjang.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar