Bagaimana Khilafah menangani orang murtad dari
Islam
30. Bagaimana
Khilafah menangani mereka yang murtad dari Islam?
Perkara murtad menjadi bagian hukum yang berkaitan dengan pertahanan
ideologi Islam. Ideologi kapitalisme dan komunisme juga punya mekanisme untuk
melindungi ideologinya masing-masing dan menangani perendahan ideologi yang
dilakukan oleh warganya dengan sangat keras. Dalam konteks perlindungan
terhadap ideologi inilah aturan Islam mengenai orang murtad harus dipahami.
Menganut Islam pada dasarnya adalah memasuki sebuah kontrak. Tidak
boleh ada pemaksaan untuk melakukannya. Orang masuk Islam berdasarkan
kehendaknya sendiri. Karena tidak ada paksaan maka keimanan berdasarkan akal
yang memahami pastilah sangat kuat terutama karena seseorang yang masuk Islam
tahu persis bahwa dia tidak akan bisa kembali jadi non-Islam karena ada hukuman
mati - Hal ini memastikan perlunya pembuktian kebenaran akidah Islam dengan
akal untuk memahami bahwa Islamlah yang benar. Hal ini juga mencegah mereka
yang mencoba-coba secara publik menjadi Muslim kemudian secara publik murtad
dalam rangka menyebar keraguan terhadap ideologi Islam. Tidak ada negara
ideologis yang akan membolehkan ideologinya dipertanyakan dalam masyarakat
karena hal ini akan melemahkan dan memungkinkan penggantian ideologi itu dengan
yang lain.
Khilafah bukanlah negara totalitarian. Ia tidak memata-matai kehidupan
para warganya dalam ranah pribadi yaitu dalam rumah mereka. Maka dalam
Khilafah, semua warga bebas bertindak dan berpikir sekehendaknya di dalam
rumahnya. Jadi dalam Khilafah jika seseorang murtad tapi merahasiakannya
ataupun tidak mau mengakui Khilafah tapi merahasiakannya, negara tidak bisa
menjatuhkan hukuman padanya karena si pelaku tidak pernah secara publik
merendahkan ideologi Islam.
Hal ini dipahami dari memeriksa dalil-dalil Islam, perbuatan Nabi
Muhammad Saw. dan perbuatan generasi para sahabat bahwa mereka yang murtad dari
Islam harus dipastikan terlebih dahulu dan didakwahi, di mana bukti-bukti nyata
kebenaran Islam diberikan dengan cara terbaik. Jika setelah ini mereka tidak
bertobat maka mereka dijatuhi hukuman mati karena mereka berusaha merendahkan
ideologi Islam. (Lebih lanjut lihat, 'Punishment system in Islam,' Hizb
ut-Tahrir)
Hukuman mati bukanlah hanya ada di Islam. Hukuman mati di Amerika
Serikat resmi diberlakukan oleh 38 dari 50 negara bagian. Di AS, survei-survei
telah lama menunjukkan bahwa mayoritas menghendaki berlakunya hukuman mati.
Survei ABC News Juli 2006 menemukan 65% setuju hukuman mati, (Lihat http://abcnews.go.com/images/Politics/1015a3DeathPenalty.pdf) konsisten dengan ini ada survei-survei lain sejak tahun 2000
menunjukkan separuh publik Amerika percaya 'hukuman mati masih kurang sering
diterapkan.' (Lihat http://www.pollingreport.com/crime.htm) Di Inggris 1998, the House of Commons (parlemen) voting memberlakukan
the 6th Protocol of the European Convention on Human Rights yang
melarang hukuman mati kecuali "di masa perang atau ada ancaman perang
nyata." Hari ini pemberontakan dan pengkhianatan tetap dijatuhi hukuman
mati di Inggris.
31. Apakah
Khilafah membolehkan penyiksaan?
Penyiksaan sepenuhnya terlarang dalam Islam, siapapun yang ditemukan
bersalah melakukan serangan fisik atau penyiksaan terhadap warga negara, Muslim
atau non-Muslim, akan dihukum berat. Islam melarang menjatuhkan hukuman pada
seorang tertuduh sebelum tuduhan terbukti. Penyiksaan pada prinsipnya dan pada
dasarnya -tanpa pandang alasan keamanan- adalah terlarang. (Lebih lanjut rujuk,
'Punishment system in Islam,' Hizb ut-Tahrir)
32. Bagaimana
Khilafah menangani pemberontakan?
Terhadap pemberontakan apapun di tanah Islam, warga selalu dipandang
sebagai warga oleh negara. Islam telah memberi mandat pada Mahkamah Mazalim
wewenang mencopot Khalifah jika dia melanggar Islam atau melakukan kezaliman.
Kasus pemberontakan ada di luar kerangka ini. (artinya Khalifah tidak dianggap
menzalimi warga yang memberontak jika dia menangani itu sesuai Syari’ah, pent.)
Pemberontakan dalam Islam dipandang sebagai tindakan tidak patuh dan
maka si pelaku didisiplinkan. Tidak boleh bagi Khalifah untuk memerangi mereka
lebih dari pendisiplinan. Dilarang menghabisi para pemberontak atau melancarkan
serangan udara, dengan bom atau senjata berat, karena senjata semacam itu
dipandang tidak tepat untuk hukuman pendisiplinan. Apapun yang berguna dalam
perang yang sesungguhnya adalah dilarang. Siapapun dari mereka yang ditawan,
akan diperlakukan sebagai pendosa/ pelanggar hukum dan bukan sebagai tawanan
perang. (Lebih lanjut lihat, 'Punishment system in Islam,' Hizb ut-Tahrir)
33. Tidakkah
Syari'ah mengutamakan kaum Muslim atas non-Muslim?
Tidak, perkaranya tidak seperti itu. Dari perspektif sosial, Islam
memandang semua penduduk sebagai manusia bukan dipandang etnis atau rasnya.
Hasilnya, semua yang tinggal di wilayah Islam dipandang sebagai warga, apapun
keyakinan, warna kulit atau etnisnya. Kewarganegaraan Khilafah didasarkan pada
tempat tinggal mereka bukan tempat kelahiran atau pernikahannya. Semua orang
yang memegang kewarganegaraan Khilafah adalah subyek Khilafah, penjagaan dan
pengurusan berbagai urusan mereka adalah tugas Khilafah, tanpa ada
diskriminasi. Tiap orang yang memegang
kewarganegaraan Khilafah menikmati semua hak yang telah diberikan Syari'ah pada
mereka, Muslim maupun bukan. Siapapun yang tidak memegang kewarganegaraan
Khilafah tidak memiliki hak-hak itu, meski dia Muslim.
Para warga non-Muslim tidak diganggu agama dan ibadah mereka. Mereka
diperlakukan menurut agama mereka dalam hal makanan dan pakaian dalam kerangka
umum hukum. Sengketa terkait pernikahan dan perceraian bagi non-Muslim
ditangani dengan menetapkan para hakim dari antara mereka sendiri di pengadilan
yang disediakan oleh Khilafah. Dalam ranah publik, Islam mewajibkan terapnya
aturan-aturannya atas tiap warga Muslim dan non-Muslim tanpa pembedaan. Dengan
cara ini semua warga adalah subyek aturan-aturan yang sama dalam ranah publik.
(Lebih lanjut lihat "Introduction to the Constitution and the reasons
which make it obligatory," Hizb ut-Tahrir)
34. Bisakah para
perempuan menjadi saksi di sidang pengadilan?
Ya. Hukum pembuktian sebagaimana semua hukum Islam lainnya adalah
aturan Syari'ah yang digali dari dalil-dalilnya yang rinci. Ada dalil-dalil
yang terbatas untuk kasus-kasus hak keuangan (waris). Ini karena peran
perempuan utamanya sebagai ibu dan istri (meski tidak terbatas itu saja)
berbeda secara relatif dengan laki-laki yang bertanggung jawab atas pemenuhan
kebutuhan dan pemeliharaan. Ada dalil-dalil yang mengindikasikan bahwa
kesaksian dari para perempuan tidak sama dengan dari para laki-laki.
Maka, kesaksian 2 perempuan sama dengan kesaksian 1 laki-laki dalam
tindakan-tindakan yang terjadi di kehidupan publik. Seperti kesaksian perempuan
mengenai hak-hak dan kontrak-kontrak. Kesaksian 1 perempuan diterima dalam
perkara yang terjadi di komunitas perempuan, seperti kejahatan yang terjadi di
toilet perempuan. Kesaksian 1 wanita dipandang mencukupi, dalam perkara yang
erat dengan urusan wanita, seperti kesaksian mereka mengenai keperawanan dan
perkara keibuan.
Selain dari rasio tertentu yang disebutkan mengenai kasus hak-hak
finansial, tidak ada dalil yang mencegah kesaksian perempuan. Teks Islam
sesungguhnya menunjukkan bolehnya para perempuan untuk bersaksi dan bahkan
mengindikasikan bolehnya kesaksian seorang perempuan saja. (Lebih lanjut lihat
'The rules of testimonial evidences,' hal.29-32, Hizb ut-Tahrir)
Bagaimana Khilafah
menangani orang murtad dari Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar