Apa artinya punya
rumah dan mobil mewah,jika hidup seorang diri tanpa nikah sampai menua? Apa
bahagianya bisa keliling dunia, bulan madu setiap hari dengan pasangan, tanpa
kehadiran anak dalam pernikahan, disebabkan enggan hamil dan melahirkan? Apa
nikmatnya berpenghasilan sendiri belasan atau puluhan juta, tapi keluarga
tercerai-berai? Apa tenteramnya di masa tua jika hidup merana meski berlimpah
harta?
Bagi manusia normal
yang mendengarkan hati nuraninya terdalam, pasti tak mau mengalami kondisi
seperti di atas. Dalam fase hidup, pasti ingin menikah, meski dengan pasangan
yang bersahaja. Setelah nikah, pasti merindukan kehamilan, melahirkan keturunan
sebagai penyambung generasi. Sudah ada anak, pasti ingin keluarga terus rukun,
bisa membesarkan anak bersama hingga ajal memisahkan.
Begitu seharusnya
kehidupan normal manusia, sejak zaman dahulu hingga yang akan datang. Namun
saat ini, fenomena seperti itu mulai terancam punah. Sedikit demi sedikit,
konsep hidup manusia modern kian bergeser.
Banyak yang memilih
hidup melajang, saking sibuknya mengejar materi dan tak punya waktu mencari
pasangan. Asal punya uang, lebih bebas hidup sendirian. Bujangan-perawan yang
sejatinya merana, tapi menutupi kondisi sesungguhnya dengan gila kerja.
Kemapanan baginya adalah memiliki karier yang bagus, rumah sendiri, mobil dan
segala perabotannya.
Ada juga pasangan
modern yang sejak menikah enggan memiliki anak. Apalagi jika sang istri
perempuan sibuk, merasa anak menjadi beban bagi pengembangan dirinya. Fitrah
perempuan sayang anak, ditekan habis-habisan agar tidak muncul. Disibukkanlah
dengan karier, shopping, koleksi, dan gaya hidup yang dianggap membahagiakan.
Kehidupan seperti itu,
banyak ditemukan di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura,
Jerman, Korea Selatan, dll. Hampir seluruh negara yang katanya maju setara
fisik, mengalami fenomena kehancuran sosial yang disebut sindrom Chicago. Maju
di satu sisi, tapi mundur di sisi lain. Pembangunan dan teknologi maju, tapi
aspek sosial kemanusiaan merosot tajam. Sebuah paradoks yang sangat
memprihatinkan.
Hancurnya
Peradaban Sekuler
Peradaban sekuler saat
ini memacu manusia untuk mengejar kemajuan duniawi setinggi-tingginya. Kemajuan
yang dikejar itu, diukur dari menggelembungnya pendapatan per kapita,
menjulangnya gedung bertingkat, menterengnya gaya hidup masyarakat dan
simbol-simbol kemajuan fisik lainnya.
Tetapi di sisi lain,
aspek-aspek kemanusiaan kian ditanggalkan. Pernikahan tidak lagi diimpikan,
membangun keluarga tak lagi diidamkan, merawat dan membesarkan anak tak lagi
jadi tujuan. Manusia tidak lagi hidup menjalani fitrahnya, melainkan bak robot
tanpa perasaan.
Fenomena tersebut
tampaknya sudah mulai melanda Indonesia yang kian sekuler dan liberal.
Buktinya, bangunan keluarga kian rapuh. Ketahanan keluarga terancam ambruk.
Pernikahan kian tidak dihormati. Jumlah lajang kian menjulang. Usia pernikahan
kian menua. Sementara volume duda dan janda makin menggelembung. Krisis sosial
pun melanda. Jelas ini ancaman serius yang harus dibenahi. Siapa paling
bertanggung jawab?
Negara
Ujung Tombak
Buruknya kondisi
sosial masyarakat saat ini adalah ancaman serius bagi masa depan bangsa. Bukan
kemajuan hakiki, jika kemajuan fisik tidak dibarengi dengan ketinggian moral.
Bukan peradaban yang baik, jika kemajuan fisik malah diikuti kemerosotan moral.
Jelas hal itu tidak akan menjadi sumber kebahagiaan, kecuali semu.
Fenomena di
negara-negara maju, mereka kering dari sisi spiritual dan moral. Akibatnya,
angka depresi dan bunuh diri cenderung tinggi. Peradaban yang baik, seharusnya
menjamin kebahagiaan setiap manusia. Jika sebaliknya, itu pertanda hancurnya
peradaban.
Ancaman sindrom
Chicago ini, tentu hanya bisa diselesaikan dengan peran besar negara. Bahkan,
negara seharusnya yang menjadi pilar utama (soko guru) untuk merealisasikan
kehidupan yang baik, maju secara fisik maupun moral.
Pasalnya, buruknya
kondisi masyarakat saat ini adalah persoalan sistemik. Persoalan individu,
keluarga dan masyarakat hari ini, tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan
negara. Tidak terlepas dari sistem apa yang diterapkan negara dalam seluruh
aspek kehidupan. Maka, sistem sekuler kapitalis harus diganti dengan sistem
Islam.
Pertama, dalam hal politik, seharusnya negara
bertindak sebagai pelayanan (khadamah)
umat, yakni senantiasa memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Tidak berlaku
sebagai pedagang, yang selalu berpikir untung rugi dalam melayani rakyat.
Akibatnya, rakyat menanggung penderitaannya sendiri.
Di bidang ekonomi, negara sebagai penjamin
seluruh kebutuhan umat. Misalnya, menjamin nafkah pokok keluarga sehingga
keluarga tangguh secara ekonomi. Jika sudah tangguh, keluarga niscaya harmonis.
Tak perlu mengeluarkan para perempuan dari rumah-rumahnya secara masif, didorong
untuk bekerja keras.
Dalam hal sosial, seharusnya negara melarang
kehidupan bebas yang menjerumuskan manusia pada amoral. Seperti melarang
pergaulan bebas dan menghukum tegas pelakunya, memberantas perzinaan,
pelacuran, pornografi dan sejenisnya. Agar terwujud kehidupan sosial yang sehat
dan bermartabat. Manusia dihargai sebagai manusia, berperilaku penuh etika dan
tidak bebas seperti binatang.
Demikian pula bidang pendidikan dan kesehatan,
semestinya disediakan dengan gratis dan berkualitas oleh negara. Dengan begitu
masyarakat fokus mencerdaskan dirinya, mendidik generasi lebih terarah dan
serius, hingga lahirlah manusia-manusia cerdas dan beradab. Kurikulum
pendidikan berbasis islam diterapkan, sehingga anak didik menjadi generasi
berkualitas. Dan masih banyak bidang lainnya yang hanya bisa terwujud jika
sistem khilafah yang diterapkan.
Perempuan
Punya Peran
Krisis moral, krisis
sosial, krisis keluarga sangat dekat dengan isu perempuan. Perempuan adalah
tiang negara. Jika perempuan tangguh, cerdas, baik, bermoral, paham politik dan
paham Islam, niscaya mampu menjalankan peran dengan semestinya. Menikah, menjadi
ibu dan pendidik generasi terbaik.
Selain
di dalam rumahnya, perempuan juga punya peran besar dalam ikut serta
menyelamatkan keluarga, generasi dan negara. Maka, sudah saatnya kaum Muslimah,
sebagai pemeran utama sebuah keluarga dan masyarakat, ikut memperjuangkan
tegaknya khilafah. []kholda
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 188
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar