KH
Amin Suradilaga, Pimpinan Ponpes Al-Amien Bojonggede:
Tujuh
Dimensi Untuk Calon Khalifah
Setiap orang atau
kelompok yang membawa bendera Islam saya dukung untuk menegakkan khilafah.
Selama ini sudah banyak yang membawa dan mendukung bendera liberalis, komunis,
nasionalis, materialistis, kapitalis di negeri mayoritas Muslim ini. Tetapi
mengapa bendera Islam yang merupakan kebutuhan mendesak tidak diangkat
benderanya? Saya sangat setuju berjuang menegakkan khilafah, karena itu
kewajiban.
Namun ujian yang dulu
dihadapi akan terulang lagi, ujiannya begitu berat, Rasulullah SAW dan para
sahabat pada sabar, istiqamah. Kesabaran dan keistiqaamahan itulah yang jangan
lupa dididikkan kepada generasi penerus kita, karena yang akan dihadapi itu semakin
berat. Makanya untuk menyiapkan kader-kader calon khalifah dan aparatnya di
masa datang, dari sekarang harus disiapkan generasi yang mengembangkan tujuh
dimensi, yakni spiritual, emosional, intelektual, estetika, jasmani, sosial,
dan finansial. []
Ponpes
Al Amien Bojonggede, Bogor, Jawa Barat
Dari kejauhan KH Amin
Suradilaga sudah tersenyum ketika melihat Media Umat datang. ”Wah tepat jam 2 siang," ujarnya, sambil
menoleh ke jam tangannya. Media Umat datang sesuai jadwal yang disepakati. Ia
mempersilakan masuk ke rumahnya yang sederhana; lantai masih belum keramik,
kursi dan meja tamunya dari bambu.
Ia menyatakan sejak
2013 Yayasan Al-Amien Bojonggede mengeluarkan brand
baru yakni Menuju Miniatur Madinah Al-Amien (Menuju MMA). Menurutnya, sekolah
berbasis masjid ini mengembangkan tujuh dimensi manusia yaitu spiritual,
emosional, intelektual, estetika, jasmani, sosial dan finansial.
Sebenarnya, sebelum
ada brand itu, Al Amien sudah berupaya
ke arah tersebut. Buktinya pimpinan pondok berulang kali menekankan kepada
guru-guru, santri dan jamaah agar hanya taat pada syariat Islam saja
(spiritual).
Meski kurikulum
sekolahnya tidak mengacu pada Kementerian Agama ataupun Kementerian Pendidikan
dan Budaya, tetapi ketika ikut ujian persamaan tidak ada yang gagal.Padahal,
santri hanya belajar pelajaran yang mau diujian-nasionalkan pada tahun terakhir
di setiap jenjang saja dengan belajar soal-soal UN. Dan ikut ujian di sekolah
biasa yang sudah ada kerjasama. Hasilnya, kalau siswa sekolah tersebut nilai
UN-nya 33 yang dari Al Amien sampai 42. Sehingga SMP tempat ujian persamaan
santri di sini menjadi terkenal.
“Luar biasa, karena
memang begitu hafal Al-Qur’an, otak itu ngikutin
saja, satu buku pelajaran sekolah biasa hanya dibaca seminggu saja. Alhamdulillah, mereka langsung bisa jawab saat
UN,” ungkapnya.
Pada 2011-2012, salah
satu alumnus Al Amien yang meneruskan kuliah ke Universitas Pattimura mendapat
penghargaan mahasiswa terbaik se-Maluku. “Waktu kerusuhan Maluku pada 2000,
saya dikirimi 20 anak tidak dikenal. Salah satunya kini menjadi mahasiswa teladan
di Maluku, namanya Diana," ujarnya.
Sedangkan lulusannya
tidak sedikit yang terjun ke masyarakat dan menjadi dai, ada pula yang sempat
kuliah dahulu ke Al Azhar Mesir dan kembali membina masyarakat dengan
hukum-hukum Islam (sosial).
Kalau jasmani jangan
ditanya, setiap sore santri berolahraga di lapang yang tersedia serta pada
waktu-waktu tertentu outbound. Untuk
melatih kemandirian secara finansial, santri pun diajari berkebun dan
berternak, serta berdagang.
Sejarah
Untuk menguji mental,
pada 1985 Amin Suradilaga yang lulusan Pesantren Pabelan, Muntilan Magelang
merantau ke Jakarta. Ketika melihat air menggenang di selokan mess perwira
Angkatan Darat Yon Zikon di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jaksel, dengan spontan
ia bersihkan dan lancarkan. Tiba-tiba keluarlah salah seorang istri tentara
dari dalam rumahnya menghampiri Amin muda.
”Mengapa got saya
dibersihkan?” tanya ibu itu.
”Tidak boleh Bu?” Amin
balik bertanya.
”Bukannya tidak boleh,
tetapi orang seperti Mas ini Iangka,” jawabnya. Setelah selesai membersihan got
ia dipanggil ke rumahnya ngobrol-ngobrol lalu diberi orson, kopi, kue kaleng
dan lain sebagainya.
Setelah tahu Amin
lulusan pesantren, maka ia diminta tinggal di mess untuk mengajari anak-anak
karang taruna mengaji. Lama kelamaan para tentaranya juga minta diajari ngaji.
Akhirnya, ada barak dijadikan masjid. Karena makanan yang didapatnya selalu
berlimpah, maka Amin pun memungut anak telantar yang suka nyemir sepatu.
“Saya pun ditegur oleh
Pak RW yang juga tentara, “Ini anak siapa?” setelah saya jelaskan bukannya
marah dia malah nitipkan anak telantar lainnya, sehingga dalam sembilan bulan
saya diamanahi 20 anak telantar, yatim dan dhuafa," kenang Kyai Amin kepada
Media Umat.
Masuk tahun 1990, ada
informasi Pangdam melarang mess difungsikan sebagai penampungan anak telantar.
Maka iapun mencari tempat ke Pasar Minggu, Depok dan sekitarnya, karena tidak
ada tempat yang gratis akhirnya ia berhenti di bawah pohon di pinggir jalan
Lenteng Agung menangis dan berdoa, ”Ya Allah bagaimana nasib anak-anak saya
yang 20 orang ini. Mau di kemanakan mereka..."
Tak lama kemudian, ia
dihampiri kenalannya yang tukang ojek mengajaknya ke Bojonggede untuk melihat
tanah yang mau dijual, Amin hanya melihat saja karena memang tidak ada uang
untuk membeli. Di hari hari berikutnya yang punya tanah mengejarnya ke mess perwira
sampai tiga kali.
Jawabannya sama,
"Saya tidak akan beli tanah." Hanya saja yang ketiga kalinya si
penjual tanah bertanya lagi. "lni anak-anak siapa? Kok banyak
sekali?"
Setelah dia tahu
mereka adalah anak-anak telantar lalu si pemilik tanah bilang, "Kalau
begitu saya yakin tanah saya ini akan menjadi milik Anda.” Amin mengira mau
diwakafkan tetapi tetap saja mau dijual. Lalu Amin disarankan si penjual untuk
berdoa dan pamit kepada seluruh tetangga bahwa dirinya mau pindah ke Bojonggede
dan mendirikan pesantren.
”Benar saja ketika
pamit dapat Rp5 juta sehingga bisa membayar uang muka tanah seluas 3000 meter
persegi,” ujarnya sambil menunjuk tanah yang ditempatinya sekarang ini.
Ketika pindah ke
Bojonggede lalu membikin bedeng untuk tinggal semuanya, putra dan putri
terpisah. Belajar dan shalat berjamaah di alam terbuka, barulah tahun ketujuh
mulai membangun masjid, wakaf dari Irianto atas nama keluarganya yang jadi TNI
maupun yang kontraktor. Lalu ia diajak bersilaturahim ke rumahnya.
"Lho lokasinya
apalagi pohonnya saya kenal sekali, ternyata itu pohon tempat saya berdoa dan
menangis dulu! Ternyata orang yang wakaf masjid, rumah tepat di depan pohon. Subhanallah," kenangnya.
Sejak itu, bantuan
terus mengalir, dari berbagai pihak termasuk juga dari kalangan tentara.
Uniknya, meski sudah delapan atau sembilan tahun berdiri belum ada nama.
Makanya, ketika Jenderal Wiranto datanq dan bertanya apa nama pesantrennya,
Amin kebingungan. Kemudian Panglima TNI kala itupun menamai pesantren tersebut
dengan nama Al Amien.
”Al Amien itu adalah
gelar Rasulullah SAW karena kejujuran dan keamanahannya. Jadi bukan nama depan
saya, kebetulan saja sama. Itu juga setelah ditanya oleh Pak Wiranto pada 1998
atau 1999, “apa nama pesantrennya?” Saya jawab belum ada. “Ya sudah Al Amien
saja!” ungkapnya.
Pesantrennya terus
berkembang hingga saat ini lahan yang dimiliki sekitar 8.000 meter persegi;
masjid (kapasitas 500 jamaah); gedung sekolah 14 kelas; asrama putra dan putri;
laboratorium komputer; dapur umum; kamar mandi dan sarana MCK; lapangan olahraga;
koperasi santri; lahan pertanian, peternakan (kandang) dan kolam perikanan;
serta lokasi outbound (sungai, kebun,
dll) dan sekitar 43 ustadz-ustadzah untuk membina sekitar 300 santri laki laki
dan wanita. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 147, Maret-April 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar