Pemilihan kepala
daerah (pilkada) dalam sistem demokrasi baik tidak langsung, langsung, maupun
serentak selalu menimbulkan masalah besar. Mengapa? Lantas adakah alternatif
lain? Seperti apa? Apakah lebih baik? Temukan jawabannya dalam wawancara
wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) Yahya Abdurrahman. Berikut petikannya.
Bagaimana
tanggapan Anda dengan Pilkada serentak 9 Desember mendatang?
Diprediksi bakal tetap
dihinggapi berbagai persoalan baik selama proses, sebelum maupun sesudahnya.
Mengapa?
Sedari awal hal itu
bisa diketahui. Banyak hal yang dianggap masalah oleh publik tetapi malah
dibenarkan terjadi oleh MK.
Contohnya?
Politik dinasti tetap
bisa terjadi karena MK menganulir larangan yang mencegah bercokolnya dinasti
politik. Tentu persoalannya bukan semata karena dinasti. Tapi masalahnya,
dengan sistem yang ada, dinasti politik akan cenderung buruk.
Begitu pula, mantan
napi tetapi boleh mencalonkan diri sesuai keputusan MK. Meski mereka sudah
selesai menjalani hukuman, masalahnya banyak hukuman yang ada selama ini
dinilai belum cukup dan tidak adil, khususnya dalam kasus korupsi. Artinya,
koruptor yang sudah selesai hukumannya boleh mencalonkan diri.
Konsekuensi dari
pemilihan langsung, faktor popularitas akan menentukan. Itulah kenapa para
artis bermunculan direkrut oleh parpol menjadi calon kepala atau wakil kepala
daerah. Sayangnya popularitas itu tidak selalu diikuti oleh kualitas,
kapasitas, kapabilitas, keamanahan dan karakter-karakter yang seharusnya ada
pada diri penguasa.
Masih banyak persoalan
lain yang menyertai pelaksanaan pilkada serentak. Semua karut-marut itu
sebenarnya wajar saja menyertai pelaksanaan pilkada serentak nanti. Sebab yang
berubah drastis hanya dibuat serentak saja. Yang lain masih sama atau hanya
dimodifikasi sedikit.
Artinya
Pilkada serentak hanya memberikan harapan semu?
Ya, itu tidak salah.
Pilkada serentak tidak bisa memenuhi harapan yang selama ini diklaim akan bisa
terwujud dengan pilkada serentak.
Misalnya, dengan
diadakan serentak katanya akan lebih efisien, tidak boros, akan lebih murah dan
tidak menguras uang rakyat. Tapi nyatanya pilkada serentak justru lebih boros.
Kemendagri merilis biaya pilkada serentak di 269 kabupaten/kota/provinsi akan menelan
biaya sebesar Rp7 trilyun. Angka itu lebih besar dari pilkada sebelumnya. Lima
tahun lalu, biaya pilkada di 269 daerah totalnya 5 trilyun. Jumlah itu masih
bisa nambah lagi.
Menurut Wakil Ketua
Komisi II DPR Lukman Edy, pilkada sebelumnya rata-rata biaya satu daerah di
sekitaran angka Rp5-10 milyar. Tapi biaya pilkada serentak 9 Desember nanti
jauh lebih besar. Rerata tiap daerah butuh anggaran Rp10-15 milyar.
Sebagian
orang menilai meski mahal tidak apa-apa yang penting kan yang terpilih sesuai aspirasi rakyat...
Pilkada serentak nanti
juga tidak mengutamakan aspirasi rakyat. Aspirasi rakyat itu hanya dalam bentuk
memilih saja. Tapi yang lebih kental adalah aspirasi partai. Pasalnya sama
seperti sebelumnya, calon kepala dan wakil kepala daerah tetap melalui partai.
Jadi rakyat hanya memilih calon yang sudah diseleksi oleh partai. Itu artinya
aspirasi partai lebih menentukan. Apalagi berikutnya partailah, melalui anggota
DPRD dan pengaruh partai yang terus bersama kepala daerah terpilih menentukan
kebijakan.
Pilkada serentak nanti
juga masih diisi oleh muka-muka lama. Tak sedikit inkumben maju lagi. Atau
keluarga, dan orang dekat penguasa. Dengan itu politik dinasti akan terus
terjadi. Pilkada serentak nanti juga dibayangi potensi konflik di sejumlah
daerah.
Dan satu lagi, pilkada
serentak tidak akan lepas dari politik uang. Meski kampanye dibiayai oleh
anggaran KPU, biaya yang dibutuhkan calon tetap jauh lebih besar dari itu.
Walhasil,
Pilkada serentak pun tidak akan membawa perubahan yang berarti ke arah yang
lebih baik?
Ya, sebab yang berubah
hanya pelaksanaannya yang dibuat serentak. Sistem utamanya sendiri tidak
berubah.
Pilkada serentak
bagian upaya memperbaiki sistem demokrasi -pilkada tidak langsung, pilkada
langsung, pilkada serentak- temyata gagal, karena pangkalnya sistem demokrasi
itu sendiri.
Lantas
seperti apa pemilihan pejabat politik dalam Islam?
Islam jelas memiliki
sistem terbaik tentang pemilihan pejabat politik atau penguasa. Pada dasarnya
sistemnya terbagi dua. Pertama, untuk
pemilihan kepala negara atau khalifah. Kedua,
penentuan penguasa dan pejabat selain kepala negara.
Untuk kepala negara
atau khalifah, pada dasarnya ia dipilih dan diangkat oleh rakyat secara suka
rela atas dasar pilihan mereka sendiri. Mekanismenya sendiri bisa melalui
pemilihan langsung oleh rakyat, jika hal itu memungkinkan. Bisa juga melalui
pemilihan oleh wakil-wakil rakyat. Tentu saja, calon kepala negara atau
khalifah itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Islam.
Sementara untuk
penentuan penguasa dan pejabat selain kepala negara termasuk penguasa daerah
baik wali (gubernur), 'amil (penguasa setingkat bupati/walikota),
maka hal itu diserahkan kepada kepala negara atau khalifah. Khalifahlah yang
diberi wewenang memilih, menentukan dan mengangkat para penguasa daerah dan
para pejabat. Islam menjelaskan kriteria dan syarat-syarat yang harus terpenuhi
pada diri penguasa dan pejabat.
Apa
keunggulan pemilihan pejabat politik dalam Islam dibanding dengan demokrasi?
Sistem pemilihan
pejabat politik dalam Islam itu jelas tidak sarat modal, bahkan akan
sangat-sangat murah biaya. Itu artinya, uang rakyat tidak akan banyak terbuang.
Dengan tidak sarat biaya, maka peluang lahirnya penguasa dan pejabat koruptif
juga jauh lebih kecil. Seperti sudah diakui banyak pihak, sistem politik sarat
modal menjadi salah satu faktor utama penyebab maraknya penguasa korupsi.
Karena tak sarat
modal, sistem Islam itu juga memperkecil peluang jika tidak bisa dikatakan
menutup pintu bagi masuknya cukong politik. Dan dengan itu artinya, kontrol
kapitalis bisa dicegah sejak awal. Dan berikutnya, korporatokrasi juga tidak
akan terjadi.
Sementara dalam sistem
politik demokrasi, semua itu terjadi. Padahal semua itu termasuk pangkal
kesusahan bagi rakyat. Artinya dengan bisa mencegah semua itu, sistem pemilihan
penjabat politik dalam Islam juga menyelamatkan rakyat dari berbagai kesusahan
akibat kontrol kapitalis atas kebijakan publik, kolusi penguasa pengusaha,
korporatokrasi, korupsi dan sebagainya.
Keunggulan
lainnya?
Sistem pemilihan
pejabat politik dalam Islam juga akan melahirkan penguasa dan pejabat yang
amanah; peduli dan mengutamakan kepentingan dan memperhatkan aspirasi rakyat.
Tapi hal itu juga didukung oleh sistem Islam lainnya. Meski dipilih dan
diangkat oleh kepala negara atau khalifah, wali
dan 'amil akan senantiasa memperhatikan
rakyat. Sebab dalam Islam jika rakyat atau wakil rakyat menampakkan
ketidakrelaan atas wali atau 'amil, apapun alasan dan sebab ketidakrelaan
itu, maka khalifah harus memberhentikan wali
atau 'amil itu meski baru sehari
diangkat dan selanjutnya khalifah harus mengangkat pengganti wali atau 'amil
yang diberhentikan itu. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar