Nyai
Hj Luthfiyah binti M Suhud Zayyadi, Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot
Perempuan
Harus Punya Keinginan Kuat Dakwahkan Islam
Pengasuh Pondok
Pesantren Putri Ai Khoirot ini dilahirkan di pesantren Al-Khoirot pada 27 Maret
1963, putri ke-4 dari 10 bersaudara ini dibesarkan di pesantren Al-Khoirot
dengan pola pendidikan ayahandanya KH M Syuhud Zayyadi.
Nyai Luthfiyah
memiliki kepedulian yang kuat terhadap kemajuan umat terutama para perempuan
sebagai pencetak generasi umat yang tangguh. Menurut penuturannya, para
perempuan harus memiliki akhlak yang mulia dan keinginan kuat untuk
memperjuangkan agama Islam.
Selain sebagai
pengasuh ponpes putri, ia juga banyak membantu masyarakat sekitar dalam hal
pendidikan putra-putrinya dan juga membantu perekonomian masyarakat sekitarnya
agar para wanita tidak bekerja di luar rumah akan tetapi tetap bisa mendidik
putra putrinya sambil berkarya di rumahnya.
Ia sangat mengimbau
para santriwati agar dalam hidup ini tidak hanya memikirkan dirinya sendiri
tapi juga harus berjuang mendakwahkan Islam karena manusia dilahirkan
hakikatnya untuk beribadah kepada Allah, karena puncaknya ibadah adalah taqwaLlah.
“Manusia yang mulia
adalah yang memiliki rasa takut (taqwa) yang kuat kepada Allah,” ujarnya.
Menurutnya, ibadah itu
bukan berarti duduk-duduk saja tapi justru mendakwahkan Islam dan senantiasa
menambah ilmu plus ikhlas karena Allah. Ia sangat antusias dan mendukung
terhadap perjuangan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang senantiasa
memiliki semangat yang luar biasa dan optimis dalam memperjuangkan syariat
Islam dan khilafah tanpa kenal lelah.
Pesan
Nyai Luthtiyah kepada kaum Muslimin adalah bahwa kaum Muslimin ini merupakan
umat yang satu sehingga harus bersatu tidak boleh bercerai-berai hanya karena
perbedaan latar belakang, yang terpenting adalah menyatukan landasan yang satu
yaitu bertujuan memperjuangkan Syariat Islam dan harus berjuang bersama-sama,
tetap bekerjasama dan pantang menyerah dalam memperjuangkan syariat Allah agar taqwaLlah bisa terwujud sebagaimana firman Allah bahwa tidak
diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah bukan untuk
tujuan lain tapi semata-mata memperjuangkan syariat Islam karena Allah. []nikma fitriana/joy
Pondok
Pesantren Putri al-Khoirot, Karangsuko, Pagelaran, Malang, Jawa Timur
Ikhlaskan
Hati Dalam Menimba Ilmu
“Ke Al-Khoirot Apa
yang Kau Cari??" slogan dalam bentuk pertanyaan terpampang di dinding
Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot. Slogan tersebut begitu mencolok sehingga
siapa saja yang melewatinya seakan ditegur dan diingatkan untuk selalu
meluruskan niat dalam mencari ilmu di Al-Khoirot semata-mata karena Allah bukan
karena yang lain.
Pesantren yang
memiliki lahan seluas dua hektar ini memiliki 700 orang santri yang terdiri
atas 400 santri putri dan 300 santri putra dibangun dengan format sederhana dan
menggambarkan suasana mencintai ilmu.
Salah satu upaya untuk
memastikan niat mencari ilmu itu tetap ikhlas, Al-Khoirot benar-benar menjaga
pergaulan pria dan wanita. Campur baur (ikhtilat)
apalagi bersunyi-sunyian (khalwat)
sangat tidak diperkenankan di segala lini aktivitas pendidikan, baik itu
pendidikan formal MTs dan MA, pendidikan madrasah diniyah, pendidikan kajian
kitab kuning, maupun dalam aktivitas harian yang lain.
Pemisahan pria-wanita
tidak hanya terbatas pada siswa peserta didik, tapi juga meliputi tenaga
pengajar dan tenaga administrasi. Artinya, tenaga pengajar putra adalah
laki-laki; sedang tenaga pengajar putri adalah perempuan. Begitu juga tenaga
administrasi kantor putra dan putri diisi oleh karyawan sesuai dengan gender.
"Ini untuk
memastikan bahwa santri, tenaga pengajar dan tenaga administrasi hanya fokus
pada kegiatan dan pekerjaan masing-masing tanpa terganggu oleh hal-hal lain
yang bisa terjadi dalam situasi dua lawan jenis bukan mahram berkumpul dalam
tempat dan lokasi yang sama dalam waktu yang lama," ujar Nyai Hj Luthfiyah
binti M Suhud Zayyadi, Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot kepada Media
Umat beberapa waktu lalu.
Salah satu tujuan
utama Al Khoirot adalah mencetak antri berakhlak mulia. Standar minimal dari
akhlak mulia adalah melaksanakan syariah Islam yang wajib dan halal dan
menjauhi larangannya yang haram. Sebagai implementasi dari tujuan ini, hal
pertama dan mendasar yang dilakukan adalah pemisahan santri putra dan putri
secara ketat di segala lini aktifitas pendidikan.
Sejarah
Berdirinya
Berawal dari
kepedulian terhadap masyarakat dan tekad dakwah yang kuatlah pondok pesantren
ini didirikan oleh almarhum KH Syuhud Zayyadi, ayahanda dari Nyai Luthfiyah.
Kyai Syuhud adalah seorang ulama yang terkenal dengan kehati-hatiannya (wara’) dalam menjalani kehidupan. Kyai Syuhud
merupakan bagian dari keluarga besar Bani Itsbat dengan silsilah nasab sampai
ke Sunan Drajat, salah satu Walisongo.
Dari pernikahan Kyai
Syuhud dengan almarhumah Nyai Hj Masluhah Muzakki nantinya lahir sepuluh orang
putra dan putri yang kelak akan tersebar di berbagai kota kabupaten di Jawa
Timur dan mendakwahkan Islam lalu mendirikan pesantren, di antaranya adalah Nurul
Jadid Paiton dan tentu saja termasuk Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot yang
diasuh Nyai Luthfiyah.
Pesantren Al-Khoirot
didirikan pada bulan Ramadhan tahun 1963 Masehi di atas tanah wakaf Hj Ruqoyah
Bulupitu seluas satu hektar. Maka Kyai Syuhud sekeluarga pun pindah dari Jalan
Murcoyo Gondanglegi ke Desa Karangsuko dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Khoirot
untuk putra. Kepindahan dari Gondanglegi ke Karangsuko pada tahun 1963 ini
bersamaan dengan lahirnya anak yang keempat dengan nama Luthtiyah.
Saat itu, tidak ada
niat Kyai Syuhud atau Nyai Hj Masluhah Muzakki untuk mendirikan pesantren
putri. Namun karena animo masyarakat untuk menitipkan anak putrinya menuntut
ilmu di Al-Khoirot begitu tinggi, maka setahun kemudian dibukalah Ponpes Putri
Al-Khoirot yang dipimpin oleh Nyai Masluhah.
Pondok Pesantren
Al-Khoirot awalnya merupakan lembaga pengajaran Islam dengan format salaf (tradisional) murni dengan sistem
pengajian sorogan dan wethonan/bandongan. Pada 1966, madrasah
diniyah (madin) Annasyiatul Jadidah didirikan. Madin ini menitikberatkan pada
pendidikan ilmu agama dengan sistem klasikal dari kelas 1 sampai kelas 6
ibtidaiyah. Pada 1977, madrasah tsanawiyah mulai dirintis. Namun sekolah ini
hanya bertahan kurang dari setahun karena terkendala oleh banyak hal.
Pada 2009, sekolah
formal kembali didirikan tidak hanya Madrasah Tsanawiyah (MTs) tapi juga
Madrasah Aliyah (MA) dengan nama MTs dan MA Al-Khoirot. Keunikan dua sekolah
ini adalah siswanya diwajibkan belajar di dalam pondok pesantren. Tidak boleh
sekolah dari luar. Begitu juga sebaliknya, santri harus menjadi siswa MTs dan
MA kecuali bagi yang sudah lulus SLTA. Intinya, santri harus menjadi siswa dan
siswa harus menjadi santri.
Pada
tahun 2012, Al-Khoirot membuka program baru menghafal Al-Qur’an (Tahfidzul
Qur’an) dengan tujuan untuk menciptakan generasi muda yang Qur’ani tidak hanya
dalam keilmuan tapi juga dalam perilaku. Menjalankan dua sistem yang berbeda
antara sistem salaf dan modern sekaligus tidaklah mudah. Namun, dengan kerja
keras dan kedisiplinan yang tinggi dari semua pihak, sistem ini berjalan dengan
efektif dan efisien. Santri Al-Khoirot tidak hanya mengikuti pendidikan formal,
tapi juga dibekali dengan berbagai ilmu agama yang dipelajari di madrasah
diniyah. Santri tidak hanya bisa membaca kitab kuning, tapi juga bisa secara
aktif berbicara Bahasa Arab (bagi peserta Dauroh Arabi) dan hafal Al-Qur’an
(bagi peserta program tahfidz. []nikma fitriana/joy
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 170
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar