Bertebarannya hoax di media sosial dan chatroom meresahkan masyarakat. Tak terkecuali kaum Muslimah. Di kalangan ibu-ibu, banyak informasi beredar yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah atau tidak akurat, yang sempat menjadi perhatian seperti isu penculikan dengan modus penjualan organ tubuh anak. Selain itu, penculikan dengan modus pelaku sebagai orang yang pura-pura gila, pemulung, dll.
Kaum ibu begitu
semangat menyebarkannya. Ada yang beralasan, hal itu untuk membuat orangtua
kian waspada. Padahal, ada atau tidak ada isu, ada atau tidak ada kasus
penculikan, orang tua memang wajib waspada menjaga keselamatan anak-anaknya.
Karena, potensi penculikan selalu ada, kapanpun dan di manapun.
Orang gila, pemulung,
pedagang asongan bisa-bisa difitnah sebagai penculik. Di mana-mana dicurigai
sebagai pelaku penculikan. Akibatnya jelas tidak baik.
Di Sampang Madura
misalnya, orang gila beneran -yang bukan
pura-pura gila- dihajar massa karena dituduh penculik (detik.com, 27/3/17).
Padahal, mana bisa orang gila berpikir menculik? Seorang wanita sakit jiwa,
Almiati, warga Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, juga diamankan massa di
Lapangan Cibodas, Karawaci Tangerang, karena diduga penculik (Wartakota,
21/3/17). Di Langkat, Sumatera Utara, wanita gila (65) babak belur diamuk
massa. Padahal tidak ada satupun masyarakat yang lapor kehilangan anaknya
(okezone, 26/3/77).
Paling tragis di
Cilegon, pria tanpa identitas tewas dihajar ratusan massa. Demikian pula di
Mempawah, Kalbar, Maman Sudirman (52) dikeroyok massa hingga tewas gara-gara
dicurigai sebagai penculik. Padahal sedang berkunjung ke kerabat untuk urusan
bisnis (Jawapos). Dan masih banyak lagi korban fitnah dan main hakim sendiri di
berbagai daerah. Innalillaahi!
Bahaya
Hoax
Penyebaran hoax telah
mengancam ketahanan informasi. Ini karena dalam perabadan sekuler, informasi
bersifat bebas alias liberal. Media massa juga bersifat liberal, karena
mengabdi pada kepentingan kapitalis. Konten info disajikan untuk memenuhi
selera pasar. Informasi menjadi simpang siur, tidak bisa dibedakan mana yang
benar dan mana yang salah. Selain itu, informasi publik, bercampur dengan
informasi privat (infotainment).
Yang tak kalah
memprihatinkan, hoax itu kadang dikemas
seolah-olah Islami. Misalnya, saat marak fenomena Pokemon, serta merta
dimunculkan isu bahwa istilah pokemon bermakna "aku yahudi". Padahal
pokemon hanyalah singkatan dari pocket monster,
merujuk pada karakter permainan yang sedang digandrungi.
Demikian pula ketika
muncul fenomena "om telolet om", tersebarlah informasi bahwa itu
adalah bahasa Yahudi yang umat Islam jangan sampai mengadopsinya. Ada juga yang
menyebutkan itu sebagai bahasa Bali yang merupakan istilah dalam ritual umat Hindu.
Padahal asal muasal istilah itu hanyalah kebiasaan anak-anak di Jawa Tengah dan
Jawa Timur yang menunggu bus lewat supaya membunyikan klakson. Namun, fenomena
ini telanjur menghabiskan energi dengan pembahasan panjang lebar yang sejatinya
tidak perlu.
Tampaknya, kemunduran
berpikir umat, menyebabkan kelemahan pula dalam mencerna informasi. Masyarakat
banyak yang tidak memiliki ketahanan informasi secara personal, sehingga mudah
terhasut info yang tidak benar. Sekalipun info tersebut sangat tidak masuk
akal, tetap saja ditelan mentah-mentah. Bahkan dengan semangat, ingin menjadi
terdepan dalam menyebarkan.
Malas dari tanggung
jawab mencari kebenaran atau tabayyun.
Ironisnya, ketika menyadari kesalahan telah menyebarkan berita bohong
sekalipun, enggan menyebarkan kembali informasi sebenarnya. Misalnya, ketika
muncul isu yang telah terbukti keliru/ hoax,
berita klarifikasinya tidak muncul di ruang-ruang informasi publik.
Akses
Informasi
Dewasa ini,
masyarakat, termasuk ibu-ibu, mulai malas mengakses sumber-sumber informasi
terpercaya. Di kalangan Islam, terlanjur tertanam paradigma bahwa media massa
sekuler sama sekali tidak bisa dipercaya. Terbukti dengan menurunnya oplah
media massa, cetak terutama.
Memang, untuk
pemberitaan yang sifatnya views
(pandangan), kita tidak bisa mempercayai media liberal. Karena, pastinya sudah
disertai paradigma berpikir sekuler. Tetapi sekadar menengok fakta (news), media-media mainstream masih bisa menjadi rujukan. Terutama kantor-kantor
berita yang jurnalistiknya objektif dan profesional.
Sementara itu, menurut
berbagai survei, televisi menjadi media favorit. Padahal semua tahu, sebagian
konten televisi adalah sampah. Tapi, ibu-ibu malah menggandrunginya dan menjadi
penonton setia layar kaca. Pengecualian para pengemban dakwah, banyak yang
telah meninggalkan televisi, beralih kepada sumber berita lain.
Media sosial merupakan
wadah informasi yang bablas tanpa
filter. Mayoritas pemilik akun, bukanlah pihak yang berpedoman pada kerja
jurnalistik profesional. Akibatnya, informasi yang keliru bisa bergerak bebas.
Jangan sampai itu menyeret para Muslimah pada arus informasi yang salah.
Melek
Media
Para Muslimah,
khususnya pengemban dakwah, seharusnya memiliki ketahanan informasi. Yakni,
kemampuan menyeleksi informasi sehingga tidak mudah terpapar hoax. Hal itu bisa diasah dengan literasi
media. Terdepan dalam mengakses informasi kekinian yang berkembang di
media-media mainstream. Terdepan dalam
penyebaran kebenaran dan ikut memberantas hoax.
Tak terkecuali para
Muslimah pengemban dakwah, seharusnya menjadi sumber terpercaya pertama kali
dalam hal informasi bagi anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak mendapatkan
informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dari luar sana.
Literasi media ini
adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan
media (lihat: wikipedia). Konsumen media, termasuk anak-anak, menjadi sadar
atau melek tentang cara media dibuat dan diakses. Melek informasi, berarti
selalu aktif mencari informasi sesuai kebutuhan berdasarkan referensi dan
sumber terpercaya. Bukan sekadar menunggu informasi. Seberapa banyak sudah
melakukan literasi media, bisa diukur dari media apa yang diakses, berapa
durasi menyimak berita, kemampuan menganalisa setiap informasi dan
mengaitkannya dengan akidah Islam.
Melalui literasi
media, Muslimah akan cerdas informasi, aktif, peka dan kritis dalam mengamati
fenomena pemberitaan media saat ini. Pengemban dakwah punya keahlian memutuskan
informasi yang dibutuhkan dari suatu pesan. Selanjutnya, keahlian untuk mengidentifikasi
dan memilah simbol-simbol, menafsirkan informasi, menganalisis dan menyikapinya
dari sudut pandang Islam.
Begitu menerima
informasi, dapat berpikir jernih untuk menganalisanya, apakah info tersebut
masuk akal atau tidak. Apakah info itu mengandung opini yang menyimpang atau
apakah terdapat framing pemberitaan yang menggiring pada kesimpulan yang
keliru.
Melalui literasi
media, akan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas intelektual kita.
Sekaligus membangun rasa percaya dari umat. Bahwa, pengemban dakwah adalah
penyebar informasi kebenaran saja. Dengan demikian, ikut mengedukasi masyarakat
agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih informasi yang bermanfaat dan
sesuai kebutuhan. Termasuk, informasi-informasi Islam. Dengan demikian umat
ikut tercerdaskan.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 194
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar