Munculnya opini yang
digerakkan oleh pihak-pihak tertentu mengesankan seolah Islam, syariah Islam dan Khilafah
Islam itu anti kebhinnekaan. Ini menunjukkan dua hal: pertama, kebodohan tentang Islam, syariah dan Khilafah Islam. Kedua, adanya niat jahat di balik tuduhan itu,
karena kepentingan politik asing dan aseng di belakang mereka. Karena itu,
penting dijelaskan, bagaimana Islam, syariah Islam dan Khilafah merawat
kebhinnekaan tersebut?
Masalah kebhinnekaan
atau kemajemukan telah dibahas oleh Islam, syariah Islam, dan diterapkan di
dalam negara Islam, jauh lebih dulu ketimbang bangsa Barat. Bahkan, boleh
dikatakan, hanya Islamlah yang mengakui keberagamaan manusia, baik suku,
bangsa, bahasa, kedudukan sosial, bahkan agama.
Islam mengakui
keberagaman, kemajemukan, dan kebhinnekaan manusia, dari aspek jenis kelamin,
suku, warna kulit, bahasa, status ekonomi, sampai posisi di tengah masyarakat.
Keberagaman itu merupakan fakta, yang tidak bisa dinafikan. Di dalam Al-Qur’an,
Allah menyatakan, ”Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari
seorang laki-laki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.” (TQS. al-Hujurat [49]: 13).
Pengakuan yang tegas
dan jelas, bahwa manusia memang telah diciptakan berbeda, satu dengan yang
lain. Itu merupakan fitrah kehidupan. Sejak zaman Nabi SAW hingga kini,
perbedaan suku, bangsa, ras, bahasa dan agama itu tetap ada. Islam pun dipeluk
bukan hanya oleh bangsa Arab, tetapi juga non-Arab [ajam]. Negara khilafah pun didiami bukan hanya oleh orang Islam,
tetapi juga non-Muslim.
Wilayah kekuasaan kaum
Muslim sejak zaman Nabi SAW hingga Khilafah Utsmani meliputi Jazirah Arab,
benua Afrika, Asia hingga Eropa. Ulama Islam terdiri dari beragam etnis. Imam
aI-Bukhari berasal dari kawasan Bukhara di Uzbekistan, Rusia. Ibn Hazm berasal
dari Cordoba, Spanyol, sedangkan Imam an-Nawawi berasal dari Damaskus, Syam.
Bahkan ada juga Imam an-Nawawi al-Bantani yang berasal dari Banten, Indonesia
(nusantara).
Karena itulah, Islam
dengan tegas melarang umatnya membanggakan suku bangsa dan keturunan.
Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang berbangga-bangga dengan
slogan-slogan jahiliah, suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah
pakai bahasa kiasan terhadap dirinya.” (HR. Ahmad).
Primordialisme
Haram
Selain Islam dan
khilafah menjaga kebhinnekaan, Islam juga dengan tegas melarang sikap
primordialisme atau chauvinisme, yang kerap merendahkan bangsa lain dan
menganggap bangsanya atau rasnya lebih superior. Selain perbedaan suku bangsa
dan warna kulit, Islam juga mengakui adanya perbedaan strata sosial-ekonomi
sebagai anugerah dari Allah.
Allah dengan tegas
menyatakan, ”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling
bertakwa." (TQS. AI-Hujurat [49]: 13). Dalam hadits shahih, Nabi SAW juga
tegas menyatakan, ”Wahai manusia, ingatlah, bahwa Tuhan kalian satu, dan nenek
moyang kalian juga satu [Adam]. Ingatlah, bahwa tidak ada kemuliaan bagi bangsa
Arab atas bangsa lain non-Arab, juga bangsa non-Arab atas bangsa Arab, bangsa
kulit putih atas kulit hitam, begitu juga kulit hitam atas bangsa kulit putih,
kecuali karena ketakwaannya. Apakah aku sudah menyampaikan?” Mereka menjawab,
”Rasulullah Saw. telah menyampaikan.” (HR. Ahmad)
Islam dan kafir juga
fakta yang ada di tengah-tengah masyarakat, karena menjadi Muslim dan kafir
adalah pilihan. Dengan segala konsekuensinya, maka pilihan itu pun dihormati
oleh Islam. Sampai Allah SWT melarang kaum Muslim, termasuk khilafah, memaksa
orang kafir untuk memeluk islam, ”La ikraha fi
ad-dini” [Tidak ada paksaan [bagi kaum kafir] untuk memeluk agama
[Islam].” (TQS. Al-Baqarah [02]: 256).
Nabi juga mengajarkan,
dan menginstruksikan kepada para walinya
di daerah. Dalam surat baginda dinyatakan, ”Siapa saja yang tetap dengan
keyahudian dan kenasraniannya, maka tidak boleh dipaksa atau dibujuk [untuk
meninggalkan agamanya].” Ketentuan ini terus dipegang teguh dan diterapkan
dalam sepanjang sejarah khilafah. Umat Islam, Kristen, Yahudi, Majusi dan yang
lain bisa hidup denqan damai di bawah naungan khilafah, dengan pilihan
keyakinan masing-masing.
Meski orang-orang
non-Muslim diakui sebagai warga negara Khilafah dan disebut sebagai ahli
dzimmah, tidak berarti mereka merupakan warga kelas kedua. Tidak. Hak-hak
mereka sebagai warga negara, seperti mendapatkan jaminan kebutuhan pokok
individu, sandang, papan dan pangan, termasuk kebutuhan pokok masyarakat,
seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, semuanya dijamin oleh khilafah.
Diskriminasi terhadap
kelompok non-Muslim juga tidak terjadi di dalam negara khilafah. Pemicu konflik
antarumat beragama yang melibatkan elemen umat Islam justru dipicu oleh
perilaku kalangan non-Muslim. Karena pengkhianatan mereka terhadap dzimmah-nya, orang-orang Yahudi diusir dari
Madinah, karena pengkhianatan mereka. Mereka kemudian diusir dari Jazirah Arab,
juga di zaman 'Umar bin Khatthab karena pengkhianatan mereka.
Perlindungan
Islam
Islam adalah sistem
kehidupan yang telah menjamin kebersamaan dan keadilan bagi semua manusia.
Secara fikrah maupun thariqah, seluruh hukum Islam memberikan
perlindungan bagi semua kalangan; lintas sosial, suku bangsa, bahkan hingga
lintas agama.
Dalam sistem Islam
tidak dikenal dikotomi masyarakat mayoritas-minoritas. Sekalipun kaum Muslim
dominan di suatu wilayah khilafah, bukan berarti mereka memiliki keistimewaan
atau hak prerogatif yang tidak bisa dimiliki warga minoritas. Di hadapan
syariah Islam semua warga adalah sama.
Kaum Muslim juga
dilarang untuk menghina sesembahan dan simbol-simbol sesembahan kalangan
non-Muslim, sebagaimana firman-Nya, ”Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan." (TQS. al-An'am [6]: 108).
Karena itu, praktik
kehidupan yang majemuk, plural, atau apapun sebutannya telah menjadi catatan
emas dalam sejarah yang ditorehkan umat Islam dan negara khilafah sepanjang I4
abad.
Semua terwujud dalam
satu wadah khilafah, yang di dalamnya aturan Islam yang agung diterapkan dan
memberikan jaminan kehidupan yang terbaik bagi seluruh masyarakat. Catatan apik
ini diakui oleh para sejarawan Barat. T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup
Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan
dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara.
Sesuatu yang justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar
Byzantium.
Keadilan dan
kebersamaan status di mata hukum yang membuat kalangan non-Muslim tetap tunduk
dan menjaga keutuhan khilafah sekalipun ada masa jumlah warga non-Muslim di
banyak wilayah lebih dominan dibandingkan kalangan kaum Muslim.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 190
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar