Peran umat Islam
sangat besar dalam sejarah perjuangan Indonesia merdeka. Namun, sejarah
Indonesia meminggirkan peran tersebut. Tidak hanya di berbagai suku sejarah
versi pemerintah yang diajarkan di berbagai tingkatan sekolah, jejak sejarah
Indonesia yang meminggirkan peran Islam tampak di Monumen Nasional (Monas/Tugu
Monas) yang dibangun pada 1961-1975 di bawah perintah Presiden Soekarno untuk
mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan
dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
"Kalau Sang Guru
Bangsa itu adalah HOS Tjokroaminoto, lihat saja di Monas itu ada tidak? Justru
yang disebut sebagai perekat bangsa di diorama Monas malah zending Katolik dan Protestan,” ujar sejarawan
senior Ahmad Mansur Suryanegara kepada Media Umat, Ahad (26/4/2015).
Ahmad Mansur merasa
aneh, bagaimana bisa dikatakan perekat bangsa, bukankah rakyat Indonesia
menolak dikristenkan? Bukankah rakyat yang dikomandoi para kyai dan santri
melawan Keradjaan Protestan Belanda? Begitu juga ketika Keradjaan Katholik
Portoegis menyerang ke Malaka pada 1511, dilawan oleh Pati Unus alias Pangeran
Sabrang Slor dari Keradjaan Islam Demak. "Sri Widjaja atau Madjapahit itu
sudah tidak ada. Jadi yang melawan penjajah itu adalah Islam,” tegasnya.
Penulis buku sejarah
Api Sejarah tersebut juga menyebut Museum Palagan Ambarawa yang dibangun pada
1973 dan diresmikan pada 15 Desember 1974 oleh Presiden Soeharto meminggirkan
peran kyai dan santri. Gambaran singkat sejarah pertempuran 12-15 Desember 1945
bisa dilihat pada relief yang dibuat pada dinding Monumen Palagan Ambarawa.
Tapi tidak ada seorang
kyai yang tergabung dalam Laskar Hizbullah yang ikut bertempur saat itu
-seperti Kyai Mansur, Kyai Ghazali, Kyai Syaifuddin Zuhri (kelak jadi menteri
agama)- disinggung. Padahal, ketika pasukan sekutu yang terdesak dan Magelang
mengadakan pengunduran ke Ambarawa, dan para kyai dan santri yang tergabung
dalam Laskar Hizbullah berhasil menghancurkan Sekutu pada 15 Desember 1945
-yang kini diperingati sebagai Hari Infanteri. ”Anehnya, gambarnya (reliefnya)
tidak ada, tulisan namanya juga tidak ada. Padahal yang membuat Inggris lari
meninggalkan Ambarawa, kata Kyai Ghazali, itu kami (Hizbullah) yang paling
duluan melawan Inggris, setelah itu kami lapor (ke Kolonel Soedirman). Begitu
juga diberitakan dalam koran-koran saat itu, TNI datang belakangan," ujar
Ahmad Mansur meluruskan sejarah.
Selain itu,
peminggiran Islam pun tampak pada nama-nama jalan. Sudah merupakan konsensus,
nama-nama pahlawan dijadikan nama jalan, semakin besar perannya, maka namanya
akan dijadikan nama jalan yang lebih besar. Maka bisa dimaklumi bila jalan yang
paling besar di setiap provinsi biasanya bernama Jalan Soekarno-Hatta, lantaran
keduanya adalah pendiri negara Indonesia.
Tapi mengapa HOS
Tjokroaminoto yang diakui sebagai Guru Bangsa karena -selain sebagai pejuang
melawan penjajahan Belanda- berhasil mendidik dan melahirkan banyak tokoh-tokoh
nasional, namanya diabadikan pada salah satu ruas jalan yang kecil di Jakarta?
Sedangkan Tahi Bonar (TB) Simatupang, namanya dijadikan jalan besar yang
menghubungkan Jakarta Barat, Jakarta Selatan hingga Jakarta Timur. Apakah
karena ia seorang aktivis gereja yang kemudian menjadi Ketua Dewan
Gereja-Gereja Indonesia, se-Asia dan se-Dunia? Selain karena pertempuran kecil
yang pernah melibatkan dirinya di Kaliurang, saat Yogyakarta diserang Belanda.
[]
Tokoh
Islam Anti Penjajahan
Ketokohan
Tjokroaminoto sebenarnya cukup besar. Penulis buku Tjokroaminoto: Jang Oetama, Aji Dedi Mulawarman dalam twitternya
menggambarkan, Tjokro adalah seorang tokoh yang sangat konsisten dalam
ber-Islam.
Ia sangat anti
terhadap borjuisme dan liberalisme. Ia sangat menghormati persamaan kedudukan
di hadapan Allah sehingga ia lebih memilih dekat dengan rakyat dan menanggalkan
simbol keningratannya.
Tjokro, tulis Aji,
sangat anti terhadap komunisme. ”Kita orang Islam tidak boleh dan tidak dapat
menerima segenapnya wefenschappelik socialisme pelajaran Karl Marx itu,” kata
Tjokro.
Sepanjang hidupnya
Tjokro berjuang bersama di Sarekat Islam bersama enam sahabat karib dan tiga
muridnya. Sahabatnya adalah Ahmad Dahlan, Mas Mansoer, M. Fachroeddin, Agoes
Salim, Abdoel Moeis, dan Soerjopranoto. Sedangkan ketiga muridnya: Soekarno
Proklamator RI, Kartosoewirjo Proklamator NII, dan Hamka, Sang Tokoh
Konstituante Masyumi.
Ia dikenal sangat
berani melawan liberalisme dan kolonialisme Belanda. Perlawanan itu dirintis
dengan mendirikan Sjarekat Islam. Di tangannya, Sarekat Islam dalam waktu 7
tahun berkembang dari hanya 2.000 (1912) menjadi 2,5 juta orang (1919)
anggotanya. Sementara Boedi Oetomo hanya 1O ribu orang (1909). Ia pun harus
rela dipenjara oleh Belanda sementara Boedi Oetomo malah bekerja sama dengan
penjajah.
Keterikatannya
terhadap Islam cukup kuat. Dalam pesannya kepada murid-murid sekolah di
Yogyakarta, 24 Agustus 1925, ia mengatakan:
”…Anak-anakku
semuanya, kalau kamu sudah dapat pendidikan Islam dan kalau kamu sudah sama
dewasa, ditakdirkan Allah SWT yang Maha Luhur, kamu dijadikan orang tani, tentu
kamu bisa mengerjakan pertanian secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi
saudagar, jadilah saudagar secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi
prajurit, jadilah prajurit menurut Islam; dan kalau kamu ditakdirkan menjadi
senopati, jadilah senopati secara perintah Islam. Hingga dunia diatur sesuai
dengan azas-azas Islam…”
Pandangannya terhadap
Islam tertuang dalam tulisannya di koran Fadjar Asia 14 Zulhijah 1347 - Jum'at
24 Mei 1929, “Islam bukan hanya suatu aturan yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Allah, tetapi juga merupakan suatu aturan yang lengkap tentang hubungan
manusia dengan manusia lainnya, suatu organisasi sosial, bentuk bangunan
keadaban, dan suatu ”kebangsaan" yang lebih luas daripada paham kebangsaan
yang biasa itu… Islam itulah cita-cita kita yang tertinggi…”
Meski begitu besar
perjuangannya, namanya justru dikecilkan. Entah ada maksud apa?
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 150, Mei 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar