Memang
benar, seorang khalifah adalah subjek yang menjalankan hukum-hukum ibadah. Dia
menjatuhkan sanksi pada warganya yang muslim yang meninggalkan shalat dan tidak
berpuasa Ramadan.
Khalifah
juga yang menjalankan semua hukum ibadah sebagaimana juga menjalankan seluruh
hukum Islam lainnya. Pelaksanaan ini wajib bagi Negara Khilafah karena
kewajiban shalat bukanlah lahan ijtihad. Khalifah hanyalah pelaksana hukum
syara' yang diputuskan di tengah masyarakat dan membangun hukum Islam untuk
melaksanakan sanksi-sanksi atas penerapan hukum Islam yang manapun. Ini
kaitannya dengan kaum muslimin.
Adapun
kaitannya dengan non-muslim yang menganut selain akidah Islam, maka mereka
adalah:
(i)
orang-orang yang mengaku bahwa mereka muslim tapi meyakini akidah yang
bertentangan dengan akidah Islam
(ii)
orang-orang dari Ahli Kitab
(iii)
orang-orang musyrik dan mereka adalah para penyembah berhala, penyembah
bintang, kaum Majusi, pemeluk Hindu, dan semua penganut agama selain Ahlu
Kitab.
Mereka
semua ini, berikut apa yang menjadi perilaku akidah dan ibadah mereka dan dalam
semua urusan perkawinan dan perceraian, dibiarkan berjalan mengikuti
agama-agama mereka. Negara (Negara Khilafah Islam) hanya menentukan seorang
qadhi (hakim) dari dan bagi mereka yang akan mengawasi pertikaian-pertikaian
mereka dalam hal akidah, ibadah, kawin, cerai dan diselesaikan dalam mahkamah
negara.
Adapun
masalah makanan dan minuman, mereka diperlakukan menurut kedudukan hukum-hukum
agama mereka sendiri (tidak harus mengikuti syariah dalam halal-haram) yang
operasionalnya dijamin dalam sistem umum hukum publik Islam.
Selain
Ahlu Kitab diperlakukan seperti perlakuan terhadap Ahlu Kitab. Nabi Saw.
bersabda tentang hak orang Majusi: "Perlakukan
mereka dengan perlakukan hukum Ahlu Kitab."
Sedangkan
dalam muamalah dan sanksi-sanksi (hukum publik), penerapannya terhadap
non-muslim disamakan dengan kaum muslimin. Mereka semua kedudukannya sama.
Sanksi yang dikenakan pada non-muslim juga sama dengan sanksi yang dikenakan
pada kaum muslimin. Pelaksanaan dan pembatalan muamalah yang diberlakukan pada
non-muslim kedudukannya juga sama dengan yang diberlakukan pada kaum muslimin.
Semuanya
di mata hukum Islam sama, tanpa ada perbedaan atau perlakukan khusus terhadap
orang-orang tertentu. Karena, semua yang mengemban fungsi mengikut (tabi'iyah)
sebagai warga negara Khilafah, meski agama, jenis bangsa, dan mazhab mereka
berbeda, dikenai khithab (seruan) dengan hukum-hukum syari'at Islam. Khithab
(seruan)nya menyangkut semua persoalan muamalah dan sanksi hukum publik.
Mereka
juga diharuskan mengikuti dan menjalankan hukum-hukum tersebut. Hanya saja
kewajiban mereka terhadap hal itu terbatas pada sisi pelaksanaan undang-undang
negara Khilafah, tidak dari sisi keyakinan keagamaan. Karena itulah, mereka
tidak boleh dipaksa berakidah dengan akidah tertentu karena memang mereka tidak
boleh dipaksa memeluk Islam. Allah berfirman: "Tidak
ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]" (QS. Al-Baqarah: 256).
Rasulullah
Saw. juga dilarang mengancam Ahlu Kitab agar melepaskan agama mereka, akan
tetapi mereka dipaksa untuk tunduk pada hukum-hukum publik Islam. Keharusan
ketundukan ini dikarenakan posisi hukum Islam sebagai undang-undang negara
Khilafah yang harus dilaksanakan.
Kesimpulannya,
Negara Islam dalam politik dalam negerinya melaksanakan hukum Islam yang
dibebankan kepada semua warga negara Khilafah yang mengemban fungsi mengikut
(tab'iyah) sebagai warga negara Khilafah, baik mereka sebagai seorang muslim
atau non-muslim. Bentuk pelaksanaannya sebagai berikut.
(1)
Pelaksanaan semua hukum Islam dibebankan kepada kaum muslimin.
(2)
Membiarkan masyarakat non-muslim mengikuti apa yang mereka yakini dan sembah.
(3)
Memperlakukan masyarakat non-muslim dalam persoalan-persoalan makanan dan
pakaian dengan mengikuti agama-agama mereka yang masih dalam lingkup sistem
umum.
(4)
Memutuskan persoalan-persoalan perkawinan dan perceraian di antara masyarakat
non-muslim dengan mengikuti agama-agama mereka. Penanganannya dilakukan oleh
qadhi (hakim) yang dipilih di antara mereka dan diputuskan di Mahkamah Negara,
tidak di mahkamah khusus. Persoalan-persoalan ini jika berhubungan dengan
antara kaum muslimin dan non-muslim, maka pemutusannya mengikuti hukum-hukum
Islam dan dijalankan oleh qadhi (hakim) muslim.
(5) Negara
melaksanakan semua syari'at Islam selain hukum-hukum di atas, seperti muamalah,
sanksi-sanksi, sistem-sistem pemerintahan, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya.
Pelaksanaannya dibebankan pada semua warga negara Khilafah. Dalam hal ini, baik
yang muslim maupun non-muslim kedudukannya sama.
(6) Semua
orang yang mengemban fungsi mengikut aturan Islam adalah rakyat negara
Khilafah. Negara Khilafah wajib mengatur semua urusan mereka dengan adil, tanpa
membedakan atau memberi pengecualian antara yang muslim dan yang non-muslim.
…..
18. Marhalah Ketiga,
yaitu marhalah pengambilalihan pemerintahan.
Partai
ideologi Islam mengambil alih pemerintahan adalah melalui umat dan menerapkan
ideologi Islam sekaligus. Inilah yang disebut metode revolusi tanpa kekerasan.
Metode ini tak membolehkan partai dakwah ideologi Islam bergabung ke dalam
pemerintahan yang menerapkan hukum Islam secara parsial, tetapi mengambil alih
pemerintahan secara total dan menjadikannya satu-satunya metode penerapan
ideologi Islam. Metode ini mengharuskan penerapan ideologi Islam secara
revolusioner, tidak membolehkan penerapan ideologi secara bertahap,
bagaimanapun keadannya.
Apabila
Negara Khilafah telah menerapkan ideologi Islam secara sempurna dan menyeluruh
maka wajib bagi Negara Khilafah Islam itu untuk mengemban dakwah Islam dan
menetapkan dalam Anggaran Belanja Negara bagian khusus untuk dakwah dan
propaganda, mengatur dakwah Islam dari sisi kenegaraan atau dari aspek
kepartaian sesuai dengan situasi yang ada. Sekalipun partai Islam ideologis
telah berhasil mendirikan pemerintahan Islam, dia tetap bertindak sebagai
partai dakwah ideologi Islam, strukturnya tetap ada, baik para anggotanya
menduduki kursi pemerintahan atau tidak. Partai Islam ideologis menganggap
pemerintahan adalah awal langkah praktis untuk melaksanakan ideologi Islam
dalam negara, dan berusaha menerapkannya di setiap penjuru dunia.
Inilah
langkah-langkah yang ditempuh oleh partai dakwah ideologi Islam di dalam medan
kehidupan, untuk membawa fikrah (pemikiran) ke periode kerja praktis atau
dengan kata lain untuk membawa ideologi Islam ke medan kehidupan dengan
melanjutkan kehidupan Islam, untuk membangkitkan masyarakat dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh dunia.
Pada
saat inilah partai dakwah ideologi Islam memulai kerja praktis yaitu suatu
periode yang ia dirikan untuk mewujudkan periode itu. Atas dasar ini maka
partai Islam ideologis adalah jaminan hakiki untuk berdirinya Negara Khilafah
Islamiyah dan kelestariannya, dan untuk menerapkan Islam, memperbaiki
penerapannya, dan kelestarian penerapannya dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia. Sebab setelah Negara Khilafah Islam itu berdiri, partai
Islam ideologis menjadi pengawas wilayah Negara Khilafah itu, mengoreksinya,
dan memimpin umat untuk membicarakan masalah dengannya, dan pada saat yang
sama partai Islam ideologis menjadi pengemban dakwah Islam di negeri-negeri
Islam dan penjuru dunia lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar