“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta
rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan
Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di
antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah
orang-orang yang beriman."” (QS. Al Anfaal: 1) Pembagian harta rampasan itu menurut ketentuan Allah dan
RasulNya.
Para
ulama dan cendekiawan yang ditunjuk oleh pemerintah Mesir untuk duduk dalam
lembaga Pusat Pengembangan Kurikulum (Centre for Curriculum Development / CCD)
telah berupaya keras siang dan malam untuk melakukan evaluasi ulang atas
puluhan ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jihad. Setelah itu, mereka
mengajukan pengajaran alternatif tentang makna jihad.
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka
sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa.
Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar
mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur
sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,” (QS. Ali
'Imran: 140)
Pada
akhir abad ke-20, sebuah konferensi diadakan di kota Dakar bagi perwakilan
negara-negara yang termasuk dalam dunia Islam. Mereka mengatakan bahwa jihad
merupakan konsep yang cocok hanya untuk situasi internasional masa lalu, serta
sesuai bagi keadaan-keadaan masa lampau saja. Mereka yang hadir dalam pertemuan
itu menyusun sebuah resolusi yang menyerukan penghapusan jihad ofensif [jihad oleh negara Khilafah], dengan
dalih bahwa segala permasalahan dan konflik antar negara dan bangsa di dunia
hanya dapat diselesaikan melalui dialog dan perundingan yang diprakarsai oleh
lembaga-lembaga yang ada dalam naungan PBB, dengan mengacu pada hukum
internasional. Mereka mengatakan, ‘Masa-masa jihad telah berlalu’.
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu,
maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,
kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali
'Imran: 161)
Penguasa
Mesir, Husni Mubarak, dalam sebuah dialog dengan penguasa Yaman juga menyatakan
opini seperti itu ketika menunjuk peristiwa pembantaian kaum Muslim Palestina
oleh penjajah Yahudi, ‘Peperangan merupakan sesuatu yang kuno. Masa-masa
peperangan adalah masa yang telah lalu’. (Desember 2000)
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan
perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah
mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah
menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji
sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada
jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (QS. Muhammad:
4)
Pernyataan
penguasa ini dengan jelas menunjukkan kepada seluruh umat Islam bahwa para
penguasa-penguasa mereka tidak pernah berniat tulus untuk memberikan
klarifikasi atas konsep jihad ofensif. Tetapi, faktanya mereka justru hendak
menghapuskan segala bentuk jihad, ofensif maupun defensif. Pengakuan mereka,
bahwa mereka semata-mata ingin memperkaya pemikiran Islam, merupakan kamuflase
belaka, karena pendapat-pendapat seperti itu hanya akan memperlemah kaum
Muslim. Sedangkan penguasa-penguasa itu tidak pernah menekankan pendapat mereka
itu kepada negara-negara seperti Amerika, masyarakat Yahudi, dan Inggris, yang
menjadikan peperangan sebagai hak eksklusif mereka serta bersiap menyatukan
kekuatan mereka untuk menekan negara dan bangsa lain.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari
(rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk
berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS. Ali
'Imran: 121)
Orang-orang
kafir Barat telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap rencana untuk
menghapuskan kekuatan dan keperkasaan kaum Muslim. Umat Islam harus paham bahwa
tujuan orang-orang kafir Barat yang telah dirintis sejak abad ke-19 lalu
tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari suatu upaya dan metodologi yang
dilakukan secara terus menerus untuk menghalangi tegaknya negara Khilafah.
Karena, mereka pernah merasakan kehadiran dan keperkasaan negara Khilafah dalam
kancah internasional serta pengaruhnya yang unik terhadap negara dan bangsa
mereka. Posisi kaum Muslim yang kuat, yang direpresentasikan oleh keberadaan
negara Khilafah, akan berpengaruh besar terhadap konstelasi internasional. Ini
berarti bahwa keberadaan negara Khilafah akan menjadi rintangan permanen
sekaligus ancaman permanen terhadap kepentingan egois serta ambisi busuk
mereka. Masalah ini akan menyebabkan terulangnya kembali peristiwa Perang
Salib.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Anfaal: 41)
dari "Jihad Dan Kebijakan Luar Negeri Daulah Khilafah", terjemah al-Qur'an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar